Beethoven

3

Kehidupanku yang tak selalu mulus, terjadi juga pada Laifka. Dia baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas, saat ia berkendara menggunakan ojeg online. Sepeda motor itu menimpa tangan kirinya, akibat benturan keras dan cidera di tahun sebelumnya membuat saraf tangannya rusak.

Laifka harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk terus menjadi seorang violinist. Bahkan keinginannya untuk mengambil bagian untuk acara orkestra yang akan di adakan beberapa bulan lagi di Istana Merdeka, harus sirna.

Dokter mengatakan, beberapa saraf di tangannya sudah tidak bisa bekerja seperti biasa akibat kecelakaan itu. Jika di paksakan, maka selamanya Laifka tidak lagi bisa menggerakan tangan kirinya.

Gadis lembut yang kukenal ceria itu tak lagi sama, meski ia mencoba terlihat tegar dan selalu tersenyum kepadaku. Tapi aku tahu, jika ia sangat terpuruk dengan keadaannya saat ini. Laifka melarangku untuk tidak memberi tahu keluarganya di Jogja. Jika itu terjadi, maka ia tidak akan lagi tinggal di Jakarta.

Beberapa hari ini, Figo rutin menyambangi kediaman kami berdua. Dia dengan telaten membantuku merawat Laifka. Sorot matanya menunjukkan kasih sayang yang tulus pada Laifka, tapi entah kenapa hatiku masih terlalu berat untuk melepaskan Laifka pada pria itu.

***

Aku baru saja keluar dari gedung bioskop bersama teman kuliahku. Mataku membulat kaget mendapati pemandangan di depan sana, saat aku baru saja turun dari eskalator. Disana, Figo berjalan bersama seorang gadis, dan itu bukanlah Laifka. Aku semakin geram kala melihat sebelah tangannya memeluk mesra tubuh gadis itu.

Moodku sudah hancur, aku beralasan ada urusan mendadak pada temanku. Aku harus segera memberi tahu Laifka, seperti apa kelakuan pria yang selalu ia agungkan itu saat tidak bersamanya.

Aku memasuki apartemen dengan gusar. Pelan-pelan aku mengatur nafasku dan mengontrol emosi yang sejak tadi meluap-luap. Aku tidak ingin jika nantinya emosiku berimbas pada Laifka.

Gadis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menyender. Perlahan aku duduk di sampingnya.

"Dari awal aku sudah menduga. Laki-laki itu tidak baik untukmu" cercahku sambil menyodorkan ponsel yang menampilkan foto Figo bersama gadis tadi.

Laifka tidak merespon, ia menatap nanar pada layar ponsel milikku lalu meletakannya.
Aku memandangnya gusar. Iya, aku tahu ini egois. Hanya saja aku tidak bisa melihat jika nantinya Laifka terluka karena orang yang tak pantas untuknya.

"Bisa-bisanya dalam keadaanmu yang seperti ini dia mencari kebahagiaan bersama gadis lain. Putuskan Figo. Laki-laki itu berengsek, La"

"Stop, Ken. Berhenti ikut campur urusanku. Kamu tidak berhak mengatur hidupku!" ia pergi masuk ke kamar dan membanting pintu.

Untuk pertama kalinya setelah dua tahun mengenalnya, Laifka membentakku. Aku terpaku tak mampu berucap.

Esok paginya, aku terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Aku tidur dalam posisi duduk di sofa, sementara kepalaku menyender ke kebelakang. Di tambah kejadian tadi malam, membuat kepalaku serasa mau pecah.

Mataku menangkap sesuatu diatas meja, secarik kertas dengan beberapa huruf tersusun rapi yang sudah kuhafal siapa penulisnya.

"Aku kembali ke apartemenku. Terima kasih untuk semuanya. Jangan cari aku"

Aku meremas kasar kertas putih tak bersalah itu. Mataku terasa panas, menengadahkan pandanganku ke atas, berharap rintik hujan itu tidak turun. Tapi aku kalah, air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Aku pun merasa tergamang ditinggalkan olehnya.

"Kenapa, La.. Kenapa?" ucapku lirih.

***

Sudah dua bulan ini aku tidak bertemu dengan Laifka. Bukan aku tidak memperdulikannya lagi, aku masih sangat peduli padanya, bahkan sekalipun dia sudah pergi meninggalkanku sendirian di apartemen.

Aku kembali menyibukan diriku dengan tugas-tugas kuliah dan bertemu teman-temanku, sebagai bentuk pelarian agar tak terlalu memikirkannya.

Dadaku selalu saja sesak mengingat bagaimana dengan mesranya Figo memeluk erat tubuh Laifka. Tidak. Bukan hanya tubuh Laifka yang ia peluk, gadis lainpun ia perlakukan sama.

Bayangan hal-hal negatif lain mulai menggerayangi pikiranku. Laifka sangat polos, bagaimana jika ia diperdaya oleh laki-laki itu nantinya. Membayangkan Laifka yang hanya akan menjadi korban permainan Figo, Laifka menangis sementara Figo melenggang bebas mencari gadis lain.

Setelah keluar dari kampus, aku berjalan menuju taman tempat biasa Laifka 'manggung' bersama teman musisinya. Barangkali ia ada disana menonton teman-temannya, jadi aku bisa melihatnya lagi.

Sebelumnya aku sangat sering duduk di taman ini, menemani Laifka dengan suguhan musik klasik. Aku yang tadinya tidak menyukai musik klasik, kini malah sangat menyukainya. Sebelum akhirnya aku menghentikan aktifitasku itu karena adanya laki-laki berengsek, bernama Figo.

Biasanya, Figo selalu menunggu Laifka disini. Mengumbar senyum pada gadis-gadis, kala sang pacar sibuk menghibur orang lain. Lalu dengan sok manis menawarkan bantuan untuk membawakan kotak bioalanya, sementara tangan satunya menggenggam erat tangan Laifka. Cih, dasar buaya.

Tapi tidak dengan sore itu. Aku tidak berhasil melihat Laifka disana. Sengaja aku menunggu teman-teman Laifka untuk menanyakan keberadaanya, mereka bilang Laifka sudah seminggu ini tidak masuk kampus. Dan yang membuatku terkejut adalah kabar bahwa Laifka dan Figo putus.

***

Kini aku berdiri tepat pada pintu apartemen milik Laifka. Aku mencoba mengetuk pintu di depanku.

"La.. Ini aku, Kenny. Kalau kamu ada di dalam, tolong buka pintunya" berharap sepenuh hati ada Laifka di dalamnya.

Tak ada jawaban. Aku berbalik, menyenderkan punggungku pada pintu itu. Tapi, lamat-lamat aku mendengar suara langkah kaki dari dalam. Suara gerendel pintu terbuka, badanku secara otomatis berbalik untuk meyakinkan jika itu Laifka.

"La..?" suaraku parau.

Sosok di hadapanku sangatlah berbeda dengan sosok yang kutemui beberapa minggu yang lalu. Wajahnya kuyu, terlihat tubuhnya makin kurus bersama senyum yang dipaksakan.

"Hai, apa kabar?" jawabnya. Bukankah aku yang seharusnya bertanya?

Lidahku keluh, kerongkonganku kering seperti bertahun-tahun tidak minum, aku tidak mampu berucap. Aku mengikuti Laifka memasuki apartemennya.

Gadis itu duduk di sofa panjang yang terletak di ruang tamu, aku mengambil tempat duduk di samping kanannya. Laifka duduk sambil menunduk, rambutnya yang mulai panjang ia biarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya.

"Beberapa hari ini aku ingin bertemu denganmu. Tapi aku tidak pernah melihatmu. Aku ingin menghubungimu, tapi aku malu. Aku terlalu jahat sudah mencampakanmu, Ken" suaranya terdengar putus asa. Laifka masih menunduk, menghindari kontak mata denganku.

"Ada apa?" tanyaku khawatir.

Aku bangkit, mengubah posisi menjadi berjongkok di hadapan Laifka. Kuselipkan rambutnya yang terurai kesisi telinganya. Laifka tidak langsung menjawab, ia menggigit bibirnya dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Hei.. Ada apa?" tanyaku lembut.

"A.. Aku.." suara Laifka seperti tersedak, tersangkut ditenggorokan, "Aku Hamil"

Seperti ada berton-ton batu menimpaku saat mendengar kata-kata itu. Kepalaku berdenyut hebat tepat sesaat Laifka menangis setelah mengatakan kata yang tak seharusnya kudengar.

"Figo?"

Laifka tidak mengangguk ataupun menggeleng, tangisnya pecah mengisi keheningan malam.

"Beginikah yang selalu dilakukan seorang wanita saat harga dirinya sudah hilang? Menangis? Menangis tidak akan mengembalikan apa-apa!" teriakku dalam hati.

"Lalu sekarang bagaimana? Apa Figo tahu"?

Laifka mengangguk, ia mengusap kasar air mata di pipinya. "Aku tidak tahu, Ken. Aku ketakutan. Aku harus bagaimana?"

"Dasar wanita. Bodoh!" aku hanya bisa merutuki dalam hati. Perasaan marah menguasaiku, aku tidak ingin memperkeruh keadaan.

Aku meraih ponsel Laifka diatas meja. Mencoba menghubungi laki-laki bajingan itu untuk meminta pertanggung jawaban.

Ternyata, malam saat aku dan Laifka bertengkar. Laifka sudah mengandung buah cintanya bersama Figo. Itulah sebabnya Laifka pergi dari apartemenku karena ia tidak ingin putus dari Figo dan ia ketakutan jika keluarganya sampai tahu.

Flashback Off


Aku menyenderkan kepalaku pada sandaran sofa. Mengingat lagi kejadian itu, seolah baru terjadi kemarin. Seperti sedang memonton DVD, Memori otakku memutar kembali kenangan beberapa hari setelah kejadian itu.

Figo akhirnya menikahi Laifka. Mereka memilih untuk mandiri dengan tinggal pada komplek perumahan di kawasan Jakarta Barat. Beberapa bulan setelah pernikahannya, Laifka dan Figo di karuniai seorang putri kecil cantik. Yang diberi nama Saura.

Di usianya yang masih terbilang belia. Laifka harus meninggalkan masa mudanya untuk mengurus keluarga kecilnya. Meninggalkan cita-citanya sebagai seorang violinist, meninggalkan pendidikannya yang sudah di tengah jalan.



To be continued..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top