» So that you won't need to lie

Danganronpa V3 © Spike Chunsoft
This fanfiction © Cordisylum

Saihara Shūichi x Reader
Platonic? Romantic? Karena saya sendiri ragu, jadi silakan menganggapnya seperti apa.

Alternative Universe | Post-War!AU
Angst | Death!Chara Implied
Reader is Akamatsu Kaede's little sister

.

.

So That You Won't Need to Lie

.

.

"Sudah berapa kali kamu datang kembali?"

Mungkin yang ke delapan kalinya.

Atau … entahlah. Aku tidak pernah menghitungnya dengan benar. Pada wajah cerah yang menatapku dalam binar penasaran tersirat di netra [eye colour] miliknya, hanya kusunggingkan senyuman kecil---canggung, jika harus kukatakan.

Bila mana setelah ini ia cukup kerepotan untuk menerimaku sebagai tamunya, kupastikan untuk mencatatnya dalam memori untuk tidak sering-sering tunjukkan rupaku. Setidaknya, kiriman buah dan beberapa pakaian baru sepertinya dapat mengisi keabsenanku kala itu terjadi.

"Hei, kenapa melamun?" Kristal [eye colour] itu lagi-lagi bergerak memperhatikanku. Tampak cemas, mungkin ia menganggap diamku sebagai sebuah pertanda buruk? Aku cepat-cepat menggeleng---seolah dengan itu dapat mengusir sisa khawatir yang menggerogoti hatinya. Kemudian, berusaha untuk tidak terlalu lama memperhatikannya, kuarahkan fokusku pada sepatu dan kaus kaki yang tengah dalam usahaku melepasnya.

"Ketika berkata seperti tadi, sebenarnya bukan berarti aku mengusirmu, oke?" Dibaluti rasa sungkan, kutaruh sepatuku menepi pada rak kecil di dekat sana. Menatapnya lagi untuk sekedar menahan diri pada sejumput rasa bersalah bersarang pada hatinya.

"Aku tahu. Lagi-lagi, maaf merepotkan," sembari berkata begitu kuanggukkan pelan kepalaku. Di seberang sana, Akamatsu [Name] menampilkan senyuman manisnya.

Tapi, aku mungkin tidak pantas untuk menerima kebaikan itu.

"Aku baru saja membuat bubur. Apa kau sudah makan? Kita bisa makan bersama." Sekali lagi, mungkin karena telah terbiasa dengan gelagatku yang mendatanginya pada setiap sabtu siang, ia bertingkah teramat biasa. Sungguh biasa baginya untuk membagikan makanannya dan berbicara santai denganku. Bukannya aku keberatan dengan itu, namun terkadang waswas hati selalu datang menyertai kelegaanku tiap kali mendapatinya.

Seolah … untuk tatapan polos yang ia berikan, pada setiap kalimat penenang yang kujabarkan padanya---kalimat bertabur gula yang kian kental akan keraguanku---menusukku kian mendalam. Hatiku yang waswas jika ia tersakiti atas kebenaran yang tidak pernah kuungkapkan.

"Hm? Kau membawa apa lagi sekarang?" Kali ini, tangannya berusaha mengambil beberapa barang dalam keranjang yang kubawa. Aku tertegun. Dengan bodohnya, sembari memikirkan banyak hal, aku melupakan apa yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam kunjunganku ini.

"Um … beberapa buah dan juga buku baru." Mengusap tengkukku yang sama sekali tak gatal. Kulirik ekspresinya kala itu; sama sekali luput atas kecurigaan. Ia menerima dengan riang---bibir yang sedikit terbuka akibat rasa terkejutnya, ditambah netra yang membulat bahagia. Aku tahu kali ini aku membawakan barang yang sedang dibutuhkannya, jadi dia tidak mungkin akan menolak.

Menahan senyum simpulku yang menyadari itu, mengucap permisi teramat pelan sembari jejakkan kaki mendarat pada ruang dapur yang sebenarnya hanya berjarak beberapa langkah. Mata menyapu sekitar. Kemudian, temukan sebuah panci agak besar di atas meja makan. Di dekatnya, sebuah mangkuk berisi makanan yang kuperkirakan sama tengah tersiapkan.

Apa aku baru saja mengganggu waktu makannya?

"Oh! Bodohnya aku." Kudengar langkah kaki mungilnya mengejarku saat kalimat itu terlontar. Entah kemana dia menaruh barang yang kubawa, karena ketika sampai dirinya di belakangku, dia mendorongku pelan mendekati salah satu kursi dengan kedua tangannya. Tapi saat kepalaku menoleh kepadanya, dapat kutangkap dirinya telah membawa satu buah mangkuk dan sendok tambahan. Duduk di hadapanku, gadis itu menyendok beberapa kali pada panci buburnya sembari berkata, "Silakan. Kita bisa makan bersama-sama. Kurasa Shūichi-san pasti akan menyukainya!"

Lagi, dia memanggil nama depanku dengan nada akrab seperti itu. Perlakuan yang mungkin terlalu ramah, di luar batasnya, pada orang yang baru kau kenal selama dua bulan ini.

"Selamat makan." Setelah menuruti permintaannya, aku menyendok satu kali dan mengecap rasa pada masakan itu. Ini adalah rasa rumahan yang pasti akan dirindukan oleh Akamatsu-san---adalah apa yang seketika kupahami detik itu. Ketika aku memikirkannya lagi, [Name] tengah menatapku seolah menunggu sesuatu. Dan itu pastinya, membuatku agak tergagap karena baru saja sadar membuatnya menunggu.

"Rasanya enak, kok. Aku jadi sedikit bernostalgia." Kalimat itu tidak sepenuhnya salah, sebab pada pertama kali rasa dan tekstur masakan itu bertemu lidahku, untuk sesaat aku juga merindukan rumahku. Iya, rumah lamaku.

Terlalu lama tinggal di luar kota memang kadang menyakiti hatimu lewat cara yang berbeda.

"Hm~ hm~, sudah kubilang, bukan?" [Name], tampaknya lebih kenyang daripada aku yang bahkan baru menyendok tidak lebih dari tiga kali suapan. Dan mangkuknya masih penuh sementara ia lebih senang memperhatikan orang lain memakan masakannya. "Kakak juga selalu mengatakan itu tiap kali aku membuatkan ini untuknya. Syukurlah kau menyukainya juga."

Ah.

"…."

Pembicaraan seputar Akamatsu-san memang selalu membuat lidahku kelu dalam beberapa detiknya. Kontras sekali dengan bagaimana dia selalu menjadi alasanku datang kemari. Terkadang, aku ragu apakah gadis di hadapanku ini masih tidak curiga dengan bagaimana respons yang selalu sama. Apa dia benar-benar mempercayaiku?

"Akamatsu-san sangat sibuk sekarang. Korban pasca peperangan lebih banyak dari yang terkira." Lagi, untuk ke sekian kalinya aku menebar kebohongan yang sama. Dan kupastikan pula diriku tak menatapnya kala ucapkan hal yang mungkin selalu sama---entah untuk yang ke berapa kalinya. Aku tidak yakin ekspresi yang akan diperlihatkannya---bagaimanapun itu---akan membuatku lebih lega setelah mengatakan hal tersebut.

"Aku tahu, kok. Setiap kali diharapkan kepulangannya … selalu saja barang darinya yang datang, tanpa sang tuan."

Dan ia menyinggung pada topik berupa oleh-oleh yang kubawa.

Netra keemasan yang hampir tertutup rambut pada bagian depan---aku tidak sengaja memanjangkannya kali ini---bergerak kala anganku kembali ke bingkisan yang sempat terbawa. Selalu … selalu saja aku memberikan alasan yang serupa untuk setiap kesempatan barang dariku sampai pada tangannya; "kiriman dari Akamatsu-san. Dia merindukan adiknya, tapi belum bisa pulang".

"Tapi … untunglah kalian masih bisa selamat."

"Ah?" Pada kesempatan kali ini, aku memutuskan untuk memberanikan diri melihat bagaimana ia menunjukkan wajahnya. Namun aku mungkin terlalu bodoh jika berpikir semuanya akan baik-baik saja. Karena ekspresi [Name] jelas menunjukkan bagaimana kesepiannya; lewat pandangan yang turun lantaran memori penuh rasa di masa lalu menghampiri hatinya, ataukah bagaimana senyum dengan sudut bergetar menahan segala luapan emosi teraduk dalam hati yang sama. "Ketika berita bahwa kota dimana sekolah asrama kalian terkena dampak peperangan, aku benar-benar khawatir."

Akhirnya, aku menanggapi dengan anggukan. "Suatu keajaiban kami masih bisa hidup dan diamankan ke tempat pengungsian."

"Namun, Shūichi-san memutuskan untuk datang kemari, bukan?" Mungkin kejanggalan yang selama ini ditahannya, tersuarakan ketika ia cukup yakinkan diri. "Shūichi-san hebat sekali karena bisa selalu pergi berkunjung di tengah kesibukan."

Tidak juga.

Yang benar-benar terjadi adalah, tidak ada korban hidup yang harus kami rawat. Semua korban dengan luka fatal telah meninggal di tempat kejadian.

Tapi aku tidak mungkin mengatakan itu, bukan? Terlebih jika salah satu korban….

"Kalau itu sebuah sindiran, maaf saja karena aku tak begitu berguna di sana, ya," ucapku disertai senyuman samar. Memilih untuk mengalihkan pembicaraan dengan sebuah candaan daripada terus-menerus berhenti pada bagian yang menyakitkan. Sekilas merasa lebih baik, jujur, saat mendengar respons berupa tawa kecil darinya.

"Kau tahu, karena Shūichi-san menyukai masakanku…," ada jeda di antara kalimat tersampaikan. Dan itu mengundangku untuk sekali lagi memperhatikannya. Mengabaikan sesendok bubur yang baru saja kuambil, kala itu kudapati ia mengaduk pelan makanannya sendiri---tidak nafsu makan sekarang? Padahal ia yang mengajakku makan.

"Ya?" Aku merespons, lebih karena ingin pembicaraan ini segera berakhir dan membiarkannya makan.

"Aku selalu membuatkan bubur ini untuk Kakak. Jadi meski tak akan bisa membuatkan lagi untuknya, aku senang setidaknya bisa membuatkannya untukmu."

Kata yang selanjutnya mencekat tenggorokanku waktu itu, adalah 'tidak akan bisa' yang diungkapkannya dengan nada … seolah terlalu paham.

"[Name]…?" Panggilanku lemah. Dan aku sendiri seolah tak punya tenaga untuk sekadar menghalau kecurigaan yang datang dalam pikiranku.

Ia tersenyum padaku---senyuman lega yang juga diliputi kesedihan. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku. Kamu boleh datang tanpa membawakan apapun lagi."

"Kamu tidak perlu berbohong lagi."

.

.

» Story 01; End

Tanggal publikasi: 10 November 2020
Terakhir disunting: 13 November 2020

» See Next Story?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top