3. CHAMELEON

Chameleon

| A small constellation in the southern sky. It is named after the chameleon, a kind of lizard |


Altair memasuki kamar Auriga yang letaknya berada di depan kamar Altair. Sebenarnya Altair sudah mengincar kamar yang ditempati Auriga saat ini, karena kamar Auriga langsung terhubung dengan balkon yang menghadap jalan di depan rumah, sementara kamar Altair hanya ada jendela yang menghadap taman belakang rumahnya. Kemarin mereka melakukan suit untuk menentukan kamar dan Altair harus ikhlas menerima kekalahannya untuk mendapatkan kamar tidur di depan.

Altair mengedarkan pandangan keseluruh ruang. Ada tempat tidur dengan bed cover berwarna biru di sisi kiri Altair, di sebelah kanan berjajar lemari pakaian, dan sebuah lemari kecil setinggi pinggang, diatasnya ada rakitan mesin dan alat-alat elektronik. Selanjutnya masih dibagian kanan dekat dengan pintu kaca penghubung kamar dengan balkon, terdapat meja dengan 2 PC dan sebuah laptop.

Auriga terlihat sibuk duduk di balik kursi, ia menghadap meja dengan dua PC di depannya. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, sementara itu layar kedua PC menampilkan bahasa pemrograman.

Auriga lebih tua dua tahun dari Altair. Seharusnya Auriga masih menjadi mahasiswa tingkat dua, tapi karena mereka pindah bukan di tahun ajaran baru di Indonesia, Auriga merasa akan sangat merepotkan jika harus mengurusi transfer mahasiswa. Jadi dia memilih tidak usah kuliah saja.

Sementara itu Altair yang harusnya duduk di bangku kelas sebelas juga mengalami hal yang sama, ia harus berhenti sekolah untuk sementara. Padahal Rene dan Steve―dua orang yang menjadi orang tua Altair dan Auriga selama mereka di Indonesia―, sempat mengusulkan agar Altair tetap berangkat sekolah seperti remaja lainya. Altair pindah ke Indonesia saat mendekati berakhirnya semester genap. Jadi sangat disayangakan jika Altair mendaftar masuk sekolah di Indonesia karena sebentar lagi ujian kenaikan kelas akan dilangsungkan.

Altair merasa senang,toh mereka tak akan lama berada di Indonesia.

"Bagaimana perkembangannya?" Tanya Altair begitu dia sampai di samping Auriga. Altair mengamati layar laptop di depannya.

"Sedang tahap pencarian. Rene dan Steve sedang menuju tempat yang aku curigai." Altair mengangguk-angguk. Ia berjalan menuju pintu balkon, ia mengeser pintu kaca didepannya.

"If Rene and Steve handle all of this. What is our role here?" Auriga menghentikan kegiatannya mengetik di atas keyboard. Dia menoleh ke arah Altair yang sudah berada di balkon. Auriga menghela napas, dia beranjak dari kursi kebesarannya lalu berjalan menyusul Altair.

Semilir angin menerpa rambut kecoklatan Auriga begitu ia menginjakkan kaki di balkon. Balkon kamar Auriga tidak terlalu besar hanya berukuran 2x4 meter. Disisi kiri terdapat sofa berwarna moka. Auriga bersandar pada pintu kaca sambil melipat tangan didepan dada. Ia menatap Altair yang sedang menumpukan kedua tangan di pagar pembatas balkon, kepalanya tertunduk mengamati lingkungan sekitar rumah baru mereka.

"We have talked about it, right?" Altair mendengus lalu mengangkat bahunya.

"Seriously, I have feeling you'll spend your time at home rather than go outside. Please, Rig don't do that." ucap Altair sambil terkekeh, Auriga tahu Altair berusaha mengalihkan topik.

Keahlian Auriga adalah yang berhubungan dengan PC dan internet, seperti hacker atau mencari info yang dibutuhkan klien melalui jaringan internet. Mereka berdua berasal dari keluarga yang berkerja di balik layar. Keluarga bernama Devries yang memiliki perusahaan besar di Eropa yang berpusat di Belanda. Tidak banyak yang tahu jika dibalik perusahaan besar tersebut Devries memiliki organisasi yang bertugas seperti mata-mata, yang banyak membantu polisi Belanda dalam memecahkan kasus dunia hitam.

"Yuhuu... Cassie. Cassieee, woyyy. Are you there?"

Altair dan Auriga menoleh ke sumber suara tersebut. Mereka mendapati Lista tengah berada di balkon samping rumah Auriga dan Altair. Ia bertriak memanggil nama Cassie sambil menatap lurus ke depan. Altair dan Auriga saling berpandangan. Altair melihat ke arah tatapan Lista, di sebrang rumah mereka ada sebuah rumah dua lantai dengan cat tembok berwarna putih. Seorang perempuan muncul di balkon lantai atas rumah tersebut. Altair tersenyum melihat sosok itu, si pemilik sepeda yang bocor tadi pagi.

"Temenin beli ice cream yuk, gue suntuk banget nih." triak Lista. Altair beralih menatap Lista lalu berpindah ke Cassie. Cassie menggerakkan tangan tanda bahwa dia menolak. Lista cemberut.

"Ihhh... Kok lo gitu sih. Tega banget ......" Lista mengomel sambil bertriak. Membuat Auriga mengrinyit dahi. Dia merasa heran, bagaimana bisa cewek itu bertriak tanpa beban, tanpa merasa mengganggu tetangganya.

Cassie menutup ke dua telinganya dengan telapak tangan. Dia sudah berulang kali bicara ke Lista jika dia ada perlu cukup kirim pesan melalui ponsel, bukan bertriak ke arah balkon kamar Cassie dari balkon kamar Lista sendiri. Lista sudah pernah ditegur karena kebiasaannya memanggil Cassie melalui balkon kamarnya. Tapi dasar Lista keras kepala, dia sama sekali tidak menghentikan kebiasaan gilanya.

Cassie menyerah jangan sampai tetangganya kembali memarahi dia dan Lista. Cassie mengangkat tangan kanannya, membuat Lista berhenti mengomel. Cassie mengarahkan telunjuknya ke arah bawah, tanda bahwa dia akan menunggu di bawah. Lista tersenyum senang. Dia membentuk tanda 'ok' dengan jarinya lalu masuk kembali ke kamarnya. Cassie menghela napas.

Saat Cassie ingin masuk ke kamarnya, matanya menatap seseorang yang berada di balkon rumah Darian. Cassie terteguh mendapati Altair tersenyum kepadanya sambil melambaikan tangan. Cassie tidak membalas lambaian tangan Altair, dia langsung berbalik masuk ke dalam kamarnya. Seketika senyum di wajah Altair menghilang.

"Hem... interesting." Guma Altair, membuat Auriga menatap Altair dengan sebelah alis terangkat.

Altair mengalihkan pandangannya ke bawah, ia melihat Lista keluar rumahnya lalu diikuti Cassie yang mendorong sepedanya dari rumahnya. Sepeda Cassie diambil dari tukang tambal ban setelah dia pulang sekolah. Mereka sempat berdebat siapa yang akan mengayuh sepeda di depan.

"Gue boleh nitip beliin ice cream juga gak?" triak Altair, mengganggu pertengkaran Cassie dan Lista. Kedua cewek itu menatap Altair dan Auriga di balkon. Lista terkesiap, dia lupa kalau sudah ada orang yang menempati rumah Darian.

"Idihh... Ogah beli aja sendiri." triak Lista. Altair terkekeh, pada akhirnya Lista membiarkan Cassie yang mengayuh sepeda. Begitu melewati rumah Altair, Altair kembali bertriak.

"Gue tunggu titipan gue ya, jangan lupa." Lista yang belum begitu jauh mengangkat tangan tinggi-tinggi. Altair tertawa.

"You look so kind to them."

"Heemm... I don't know I just feel like I'm normal person if I talk to them." Auriga menatap Altair dengan tatapan menerawang.

"Oh..." Auriga Nampak tak acuh, "Come here, I have something to discuss with you," Auriga berjalan masuk ke kamarnya namun dia menghentikan langkah begitu sampai di depan pintu kaca, "and this is the reason why we up here." lanjutnya,

Altair tersenyum kecil, lalu ia menatap pohon di samping rumahnya, daun-daunnya bergerak karena tertiup angin. Altair tidak tahu banyak tentang Indonesia, yang dia tahu hanya dia lahir di Indonesia. Dia diberitahu jika setengah darahnya adalah Asia, lebih tepatnya Indonesia dan hal itu ia dapat dari sang Ibu yang Altair tidak ketahui identitasnya. Sementara itu Auriga murni keturunan orang Belanda. Altair hanya ingat dia tumbuh di keluarga Devries. Keluarga besar dan Ayah angkatnya sama sekali tidak memberitahu siapa Ibu Altair yang sebenarnya, Altairpun enggan bertanya.

Sekarang dia berada di negara ini, tempat dia dilahirkan dan mungkin tempat dimana dia bisa mengetahui siapa Ibunya. Altair menghela napas, sekarang prioritasnya adalah menyelesaikan misinya sehingga dia bisa kembali ke Belanda.

"I don't like this country." ucap Altair begitu dia masuk ke dalam kamar Auriga.

☆☆☆☆

"Gue beliin dia ice cream aja kali ya, dia udah ngasih tumpangan ke kita tadi."

Perhatian Cassie sepenuhnya teralihkan ke Lista. Cassie dan Lista sedang berada di salah satu kursi yang disediakan sebuah mini market dekat komplek rumah Cassie dan Lista. Lista sudah menghabiskan satu ice cream cone sementara Cassie memilih ice cream dalam gelas.

"Tumben lo mau berbagi ice cream ke orang asing."

"Sie, mereka bukan orang asing. Mereka tetangga kita, mereka juga udah bantu kita tadi. Coba kalau nggak."

"Lo nggak ngrasa aneh, Lis? Mereka baru pindah kemarin kan? Terus bisa semudah itu bantuin kita tadi. Lagipula tanpa bantuan mereka tadi gue yakin kita bisa berangkat sekolah tepat waktu."

"Aneh gimana sih. Lo terlalu curigaan deh. Ya kita emang gak bakal telat sampai sekolah kalaupun Altair nggak nawarin tumpangan. Apa salahnya sih, menerima kebaikan orang lain. Udah ah... Gue beliin dia ice cream dulu." Lista beranjak dari kursinya lalu berjalan masuk ke dalam mini market.

Cassie menatap langkah Lista sampai dia masuk ke dalam. Cassie melemparkan pandangan ke jalan raya depan mini market dan sekitarnya. Perasaan itu kembali muncul, dia berusaha mengsungesti dirinya bahwa perasaannya hanya sebuah kekhawatiran tidak nyata. Cassie memejamkan mata, ia berjengit kaget ketika merasa seseorang menepuk pundaknya. Cassie bernapas lega begitu mendapati Lista lah yang menepuk pundaknya. Sebelah alis Lista terangkat, ia hendak bertanya sesuatu namun di dahului Cassie.

"Udah kan? Balik yuk." Tanpa menunggu jawaban Lista, Cassie melangkah menuju sepedanya yang terparkir.

Lista mengikuti di belakang. Tiba-tiba Cassie merasa bulu di sekitar leher belakangnya meremang. Dia menoleh kebelakang tepat ke sebrang jalan dimana banyak mobil berjajar di depan ruko dan orang berjalan disekitar sana.

"Kenapa?" Lista bertanya, Cassie menggeleng.

"Nggak kenapa-kenapa." Cassie kembali menggelengkan kepalanya. Mereka segera menaiki sepeda dan pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan Cassie terus-terusan bertanya dalam hati, apakah dia harus menceritakan kekhawatirannya pada Lista atau tidak. Tak ada percakapan di antara mereka, hingga mereka sampai di depan rumah Cassie, Lista segera turun dari boncengan sepeda sambil mengucapkan terimakasih pada Cassie lalu dia berlari menuju rumah Altair.

Cassie menghela napas, pada akhirnya dia tidak jadi mengatakannya pada Lista. Dia segera turun dari sepedanya lalu mendorongnya masuk ke garasi rumahnya.

Lista memencet bel rumah Altair berkali-kali. Lalu pintu terbuka menampilkan sosok cowok berambut brunette dengan mata hazel. Lista mengerjab mata, di depannya bukan Altair tapi Auriga.

"Who are you looking for?" Tanya cowok itu dengan wajah datar. Lista kembali mengerjab mata.

"Em... Altair." jawabnya kaku. Auriga memincingkan matanya.

"Wait here. I'll call him." Lista mengangguk.

Auriga masuk ke dalam rumah. Sementara itu Lista sibuk berpikir tentang Auriga yang selalu terlihat tidak ramah. Tiba-tiba dia ingat sosok Auriga yang duduk di kursi kemudi mobil yang mengatarnya sekolah dengan Altair tadi pagi. Lista menepuk jidatnya, dia hanya membelikan Altair satu ice cream dengan harga paling murah, Lista merasa tidak sopan jika hanya membelikan ice cream untuk Altair. Haruskah dia memberikan ice cream conenya? Lista mengacak rambutnya frustasi.

"Lista, ada apa?" Lista berbalik, ia mendapati Altair dengan baju santainya, kaus berwarna hitam dan celana tiga perempat.

"Ini gue beliin ice cream. Sebagai ucapan terimakasih tadi udah nganterin gue sama Cassie." Lista menyodorkan plastik berlogo mini market yang ia kunjungi tadi dengan setengah hati. Altair menerima plastik tersebut lalu ia mengecek isinya.

"Wah... Makasih loh, padahal gue cuman bercanda tadi."

"Gak papa, anggap aja ucapan penyambutan dan terimakasih dari gue. Eh... Yang satunya buat kakak lo. Sorry beda bentuk, gue lupa kakak lo yang udah nganter kita tadi." sebelah alis Altair terangkat mendengar pernyataan Lista.

"Kakak? Auriga maksud lo?" Lista mengangguk.

"Dia bukan kakak gue, tapi sepupu." Lista kembali mengangguk.

"Yaudah, makan ice creamnya sebelum mencair. Gue balik dulu. Eh... Al."

"Ya?"

"Sepupu lo bisa Bahasa Indonesia gak sih?" Altair tertawa.

"Bisa kok, tapi agak kaku." Lista meringis kecil lalu dia berpamitan pergi untuk pulang.

☆☆☆☆

Setelah Maghrib Cassie keluar dari rumahnya. Dia berjalan menyebrang jalan di depan rumahnya menuju rumah Lista sambil mengusap lengan kanannya. Sampai di rumah Lista, Mama Lista menyuruh Cassie untuk naik ke atas kamar Lista. Cassie segera masuk ke kamar Lista. Begitu masuk ke dalam, dia mendapati si empunya kamar sedang menghadap layar komputer dengan drawing pad di atas meja, dikepala Lista terpasang earphone berwarna putih. Tangannya sibuk mengambar di atas drawing pad. Cassie berjalan mendekati Lista lalu menepuk pundak gadis itu

"Lis." Lista terlonjak.

"Ya...lord, duh, Sie, please udah keberapa kali sih lo ngagetin gue."

"Gak sebanyak lo." jawab Cassie dengan wajah datar. Lista nyengir, dia melepas earphonenya. Cassie memilih duduk di ujung tempat tidur Lista. Lista memutar kursinya menghadap Cassie.

"Tumben lo datang jam segini." Cassie mengigit bibir bawahnya.

"Lis, gue ngerasa beberapa hari ini ada yang ngikutin gue."

>>>>>>>>To be Continue<<<<<<<<<<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top