11. Calon Menantu

Berita utama di koran pagi itu masih membahas tentang Kaum Berbakat. Kemarin, Valaria yang menjadi topik perbincangan karena ia sudah menjabat posisi penting di usia muda. Hari ini, yang kembali menjadi sorotan adalah Pemimpin Kaum Berbakat.

Artikel berita saat ini bukan lagi soal program dan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintahan Kaum Berbakat. Sekarang yang dibahas adalah kehidupan pribadi Katharina sehingga Clarine malas membaca keseluruhan artikel.

Clarine baru saja ingin meletakan koran ke atas meja ketika ia sekilas seperti melihat namanya. Buru-buru Clarine mengecek ulang.

Kedua alis Clarine sontak terangkat tinggi. Tak hanya nama lengkapnya yang tercetak jelas, Katharina juga memberikannya predikat sebagai calon menantu. Clarine mengucak mata dan membaca lagi. Berita itu tetap sama.

Hal ini jelas sulit untuk dipercaya. Apapun rencana Katharina, Clarine sama sekali tak mengerti. Namun satu hal yang pasti, begitu Clarine melangkahkan kaki di area sekolah, bisik-bisik langsung menyertainya. Bahkan beberapa orang dengan terang-terangan menyindir dengan suara keras.

"Waktu lalu ia dengan Dazt, sekarang dia dengan Zoenoel?" seru seorang siswa. "Jangan bilang dia nanti akan mengincar Evert juga."

"Tidak mungkin," bantah siswa lain. "Aku bahkan meragukan berita di koran pagi ini. Bagaimana mungkin seorang Zoenoel meninggalkan Valaria demi gadis seperti dia?"

Beberapa siswa mengangguk setuju. Salah satunya bahkan berseru cukup keras, "Benar sekali. Dia bahkan bukan Kaum Berbakat. Kalaupun Zoenoel tertarik padanya, kujamin itu karena dia menggunakan ilmu hitam. Dasar perebut pacar teman."

"Kudengar perusahaan ayahnya juga terancam bangkrut. Mungkin ia mencari—"

"Jangan bicara sembarangan," sergah Maery yang tiba-tiba saja muncul. Ia tampak akan memulai omelannya kepada kerumunan gadis yang menghina Clarine, jadi buru-buru Clarine menarik Maery menjauh.

"Mereka menyebalkan," gerutu Maery. "Pagi-pagi sudah membuatku emosi. Apa kau punya sesuatu yang bisa membuatku tertawa? Aku tak mau merusak hari ini dengan suasana hati buruk."

"Queena mengatai Eucharistia nenek-nenek?" ujar Clarine, ia tidak begitu yakin kalau hal itu lucu. Karena baginya memang tidak, hanya saja, biasanya Maery punya selera humor yang agak berbeda.

Langkah Maery sontak terhenti dan ia melotot selama beberapa detik sebelum tawanya pecah. "Maaf, ekspresi wajahmu benar-benar lucu. Kau tampak benar-benar tertekan. Ok, logikanya Eucharistia adalah sepupu Pak Razor dan almarhum Pak Raizer. Jadi, yah, besar kemungkinan umur mereka tidak berbeda jauh. Yang jelas Eucharistia tidak mungkin seorang ramaja seperti kita. Apa lagi yang Queena katakan?"

Clarine menceritakan percakapan Queena dan Dazt malam itu sebisa yang ia ingat. Termasuk soal rasa penasarannya dengan kata-kata Queena tentang identitas baru gadis itu.

"Untuk masalah ini, aku sudah menyelidikinya," ujar Maery bangga pada dirinya sendiri. "Queena bekerja sebagai relawan di bangsal anak-anak dan dikenal dengan nama si Ubur-ubur Bernyanyi. Ia mengaku sebagai pendatang dan sengaja sedikit mengubah wajahnya dengan ramuan. Saat bekerja, ia akan menggunakan jubah berjumbai yang membuatnya terlihat seperti ubur-ubur. Jangan membayangkan sebuah pakaian yang aneh, karena sejujurnya kostum itu unik dalam pengertian yang baik, bahkan mendekati kata keren. Queena juga mengubah suaranya sedikit, tetapi ia tetap bernyanyi dengan sangat baik.

"Ah, bicara soal kostum mengagumkan, aku hampir lupa memberitahukanmu sebuah berita besar." Maery tersenyum misterius sebelum berseru dengan sangat bersemangat, "Kita akan mengikuti peragaan busana di acara penutupan festival nanti. Kau, sebagai Clarine, diminta mengenakan baju yang akan dirancang oleh Faithy dan dibubuhi Ramuan oleh Drina. Ini permintaan langsung dari Valaria. Sekarang, sahabat kita yang satu itu sudah menjadi idola yang lebih dikagumi dari sebelumnya. Aku punya firasat ia akan semakin sibuk nanti. Jadi kita harus menghabiskan banyak waktu dengannya setiap ada kesempatan."

***

Dengan adanya berita soal peragaan busana, Clarine jadi memiliki hal lain untuk dipikirkan selain masalah status hubungannya dengan Zoenoel. Namun sayangnya, Clarine tetap harus menghadapi berbagai pertanyaan yang menyinggung privasi setiap kali ada jam lowong di sela-sela pelajaran, sepanjang jam istirahat, serta saat pulang sekolah.

Beberapa orang bahkan sengaja menunggu Maery pulang sebelum mereka mengerumuni Clarine dan mendesaknya dengan berbagai pertanyaan.

"Bisakah kalian bubar?"

Clarine bisa mendengar suara tegas Zoenoel dari balik kerumunan. Begitu para gadis di sekitarnya membukakan jalan, ia bisa melihat sosok Zoenoel.

Tanpa berkata apapun lagi, Zoenoel segera meraih tangan Clarine dan menariknya menjauh. Zoenoel sama sekali tidak mengkonfirmasi apapun, ia mengabaikan semua pertanyaan yang diajukan oleh para gadis nekat yang terus saja mengejar mereka. Zoenoel membiarkan mereka menyimpulkan sendiri hubungan seperti apa yang terjalin di antara dirinya dan Clarine.

"Kau sudah memprediksi ini, bukan?" tanya Clarine sambil mengatur nafas yang memburu setelah berjalan cukup lama. "Saat membawaku ke rumahmu, kau sudah tahu ini akan terjadi. Itulah kenapa kau ingin bertemu orang tuaku terlebih dahulu?"

"Hmm," gumam Zoenoel mengiyakan.

"A—"

"Wah, selamat." Dazt tiba-tiba saja muncul dan memotong perkataan Clarine. "Akhirnya kalian tidak sembunyi-sembunyi lagi."

"Pergilah Dazt, aku sedang tidak dalam suasana hati yang bagus untuk meladenimu," usir Clarine.

"Ya, itu tampak jelas di wajahmu," ujar Dazt. "Masalahnya, kau dipanggil Bu Allure ke ruang kepala sekolah."

"Ada apa?" tanya Clarine.

"Bukan urusanku, pergilah tanya sendiri. Aku masih harus mencari Pak Krav." Dazt berjalan pergi, tetapi baru beberapa langkah, ia kembali berjalan mundur untuk berbicara dengan Zoenoel. "Kau dicari Valaria. Ups, apa aku harusnya berbisik?" Dengan senyum jail, Dazt meninggalkan mereka.

***

Clarine tak tahu harus merespons bagaimana saat melihat sosok Katharina yang sedang duduk bersama Bu Allure di kantor kepala sekolah. Ia lebih bingung lagi saat Bu Allure mengatakan bahwa Katharina datang untuk mencarinya.

"Clarine, apa kau punya waktu hari ini?" tanya Katharina dengan senyuman yang merekah lebar.

"Saya...."

Suara ketukan pintu menyela jawaban Clarine. Begitu Bu Allure mempersilahkan sang pengetuk untuk masuk, sosok Pak Krav muncul dari balik pintu.

"Maaf mengganggu waktumu Krav, tetapi aku membutuhkan bantuan Clarine, jadi bisakah aku meminjamnya sebentar?" tanya Katharina tanpa banyak berbasa-basi.

"Kenapa kau meminta izin pada Krav? Itu menggelikan." Bu Allure tertawa singkat.

"Kudengar Clarine memiliki tugas sehabis jam sekolah," jelas Katharina.

"Ah, aku mengerti sekarang," celetuk Bu Allure. "Kau ingin menyelamatkan calon menantumu dari hukuman kedisiplinan dari Krav, huh? Bisa diatur, bukan begitu Krav?" Bu Allure melemparkan senyum sekilas kepada Pak Krav sebelum kembali mengarahkan fokusnya kepada Katharina.

"Kalau begitu saya permisi, Kepala Sekolah, Bu Katharina." Pak Krav melangkah pergi. Tampaknya tidak penting apakah Pak Krav menyetujui atau tidak pernyataan bu Allure.

"Jadi apa kalian akan pergi sekarang?" rengek Bu Allure kepada Katharina. "Kau jarang menemuiku, dan sekalinya kita bertemu, kau justru memiliki urusan lain."

"Maaf Al, lain kali kita akan mengobrol panjang sambil minum teh," ujar Katharina.

Bu Allure mengembuskan nafas berat. "Baiklah, nyonya sibuk. Kali ini kau kuizinkan pergi. Namun, ingat baik-baik, aku menantikan acara minum teh yang kau bicarakan."

Clarine tak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tetapi sekarang Katharina sudah merangkul bahunya dan memandunya keluar dari ruangan Bu Allure, terus ke parkiran hingga masuk ke mobil.

"Maaf bu Katharina, apa yang membuat Anda mencari saya?" Clarine akhirnya menemukan suara serta keberanian untuk bertanya.

"Ah, Clarine, jangan panggil tante dengan formal seperti itu," ujar Katharina. "Kau bahkan bisa menyapaku dengan sapaan mama, kalau kau mau."

"Saya...."

"Kau sudah tante anggap menjadi bagian keluarga, jadi jangan sungkan begitu. Apa tante menakutimu? Santai saja sayang, tante tidak akan memakanmu hidup-hidup."

Clarine hanya memasang senyum kaku sebagai respons. "Kita akan ke mana?" tanya Clarine mengalihkan pembicaraan.

"Butik. Tante ingin membelikanmu sesuatu."

"Ha?—maaf, maksud saya, Anda tidak perlu melakukannya. Saya—"

"Ayolah Clarine, ini pertama kalinya tante memiliki calon menantu. Tante hanya ingin kita menghabiskan waktu bersama. Untuk beberapa hari ke depan, ada banyak hal yang harus tante kerjakan, jadi maaf kalau tante sedikit memaksakan acara kita saat ini. Tolonglah."

Clarine tidak punya pilihan lain, otaknya tidak mau menghasilkan alasan bagus agar dirinya bisa kabur. Tidak ada yang tahu, apakah Katharina hanya bepura-pura baik dan sedang merencanakan sesuatu, ataukah memang ia hanya mengekspresikan kebahagiaan memiliki calon menantu. Yang pasti, sebagian diri Clarine, entah bagaimana, merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama seseorang yang telah melahirkan pemuda yang ia sayangi.

"Ada sesuatu yang ingin tante tunjukan padamu," kata Katharina saat mereka akhirnya selesai dengan urusan berbelanja. Setelah menyerahkan semua belanjaan kepada supirnya, Katharina mengajak Clarine kembali menaiki mobil. "Ayo kita pulang ke rumah."

Clarine tahu rumah yang dimaksud Katharina adalah rumah keluarga Woranz, tetapi seperti sebelumnya, ia tidak bisa memikirkan sebuah alasan bagus untuk menolak ajakan Katharina.

Begitu sampai di rumah, Katharina langsung memandu Clarine mamasuki sebuah ruangan di lantai dua. Clarine sudah sempat berpikir ini jebakan, tetapi ternyata ruangan itu hanya berisi lukisan-lukisan.

"Maaf yah, anak tante memang agak tertutup," ujar Katharina. "Harap dimaklumi kalau dia belum memberitahumu banyak hal, termasuk hobinya ini."

"Ini studio lukis Zoenoel?" tanya Clarine.

"Tentu saja."

Clarine memandang takjub ke sekelilingnya, terutama pada lukisan-lukisan yang ditata memenuhi separuh permukaan dinding ruangan. Lukisan-lukisan itu disusun tanpa ada cela, diletakan dari lantai hingga ke langit-langit. Susunan lukisan tersebut menutupi dinding di belakangnya dengan sempurna dan membentuk suatu kesatuan gambar baru, seakan setiap lukisan adalah kepingan puzzle dari sebuah gambaran besar perjalanan kehidupan seorang Zoenoel.

Sayangnya semua lukisan di tempat itu bertema gelap. Jika saja pencahayaan di ruangan ini tidak baik, Clarine sudah pasti bergidik ngeri.

Jemari Clarine bergerak menyusuri beberapa lukisan. Mulai dari lukisan berisi dua siluet pria yang berdiri di bawah langit biru tua berbintang, ke lukisan dua anak kecil yang saling berpegangan tangan dan dikelilingi oleh ratusan jenis senjata mematikan. Terus melalui lukisan gadis berkepala ular yang bercabang dua, siluet kecil yang dibebat sulur berduri, hingga pada lukisan dua siluet bertanduk yang mengenakan gaun.

Clarine yakin semua lukisan ini menggambarkan masa kecil Zoenoel, dan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kasihan.

"Ia tumbuh tanpa sosok ayah," ucap Katharina sendu. "Bahkan tante sering terlalu sibuk untuk menemaninya. Jadi seperti yang kau lihat, sebagian besar lukisannya menggambarkan hal-hal seram.

"Dari sekian lama ia melukis, tak satu kalipun ia membuat gambar wajah seseorang" lanjut Katharina. "Namun, dengan kehadiranmu, tante yakin sebentar lagi Zoenoel akan memajang sebuah lukisan gadis cantik di ruangan ini. Anak muda selalu seperti itu bukan, penuh dengan hal-hal romantis?"

Belum sempat Clarine mengatakan apapun, pintu tiba-tiba terbuka.

Zoenoel melangkah masuk, "Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Mama hanya membantu Clarine untuk lebih mengenalmu sayang. Oh ia, sepertinya mama ada pekerjaan, bisakah kau mengantarkan Clarine pulang?"

Zoenoel bergumam samar.

"Kalau begitu mama akan meninggalkan kalian berdua." Katharina segera bangkit dan berjalan pergi.

Begitu Katharina menutup pintu di belakangnya, suasana jadi hening.

Semakin lama, Clarine semakin merasa tidak enak. Karena itu ia pun berkata, "Maaf aku tidak bermaksud untuk—"

"Sebisa mungkin hindari dia," sergah Zoenoel.

"Akan aku usahakan." Clarine tak yakin ia bisa menjauhi Katharina dan ia tahu ini bukan kali terakhir Katharina akan mencoba mendekatinya. "Sejak kapan kau suka melukis?" tanya Clarine untuk mengubah suasana.

"Umur tujuh tahun."

Jawaban singkat Zoenoel membuat Clarine semakin gugup dan pusing sendiri mencari bahan pembicaraan. Pada akhirnya ia hanya bergumam, "Lukisanmu menarik," dan hening.

Clarine berusaha menghilangkan rasa canggung dengan menyibukkan diri menatap lukisan-lukisan yang berbaris di dinding. Masalahnya, setelah menghabiskan waktu bersama Katharina, kaki Clarine kini tak lagi kuat untuk dipakai berdiri lama. Di sisi lain, Clarine tidak berani mendekati satu-satunya sofa yang berada di dekat Zoenoel.

"Duduklah," ujar Zoenoel.

Selama beberapa detik, Clarine terperangah heran. Apalagi saat ia mendapati sosok Zoenoel sudah menduduki setengah bagian sofa dan tengah menepuk tempat kosong di sisinya.

Clarine jelas tidak bisa menolak. Dengan senyuman yang susah ditahan, Clarine mendudukan dirinya di samping Zoenoel.

"Ini adalah tempat pribadiku," gumam Zoenoel, "Kau gadis pertama yang kubiarkan berada di tempat ini."

Pandangan Zoenoel menerawang ke arah lukisan-lukisannya. Sementara Clarine dengan bebas menatap sosok Zoenoel. Tak ada yang bicara selama beberapa saat, bahkan tidak ada yang melakukan pergerakan yang berarti.

Lalu Clarine menarik senyuman dan kembali menatap lukisan-lukisan di depannya. Clarine dengan senang hati menikmati satu lagi momen indah dalam hidupnya.

***

Dari kediaman keluarga Woranz, Clarine mampir ke tempat Faithy untuk jadwal pengepasan akhir. Baju yang akan ia kenakan di peragaan busana nanti hampir siap.

Clarine dan para peraga lain memang belum diperkenankan melihat baju yang akan mereka kenakan. Namun mereka semua yakin karya Faity pasti luar biasa. Karena itu, meski harus mengenakan penutup mata selama proses pengepasan, mereka tetap menikmati momen itu dengan canda tawa.

Pengalaman romantis bersama Zoenoel serta keseruan mencoba baju bersama yang lainnya membuat suasana hati Clarine benar-benar bahagia. Ia bahkan dengan senang hati mengiyakan permintaan tolong Faithy untuk mengantarkan paket kepada Dazt.

Sayangnya senyuman Clarine seketika luntur saat ia mendapati pemandangan yang tidak biasa saat berada di Arena Duel. Walaupun tak bisa mendengar satu suara pun dari dalam kurungan, Glassina jelas sekali sedang histeris sambil menyakiti dirinya sendiri.

Tanpa pikir panjang, Clarine berteleportasi ke dalam kurungan Glassina dan melemparkan segel pengunci gerak ke arah gadis itu. Clarine lalu meraih patahan sendok kayu yang digunakan Glassina untuk menusuk pergelangan tangannya sendiri.

Setelah diperhatikan lebih jauh, luka Glassina tidak hanya pada tangan. Beberapa titik pada kakinya juga mengeluarkan darah, jadi Clarine butuh waktu untuk membersihkan dan mengobati semua luka gadis itu.

Begitu selesai, Clarine terdiam bingung. Jika ia melepaskan segel pengunci gerak sekarang, Glassina pasti kembali mengamuk. Namun ia juga tidak tega membiarkan Glassina terkunci seperti ini. Clarine sudah pernah merasakan betapa tersiksanya tidak bisa menggerakkan badan saat ia benar-benar ingin melakukan sesuatu.

Tiba-tiba saja Zoenoel sudah ada di samping Clarine. "Apa yang kau lakukan?" tanya Zoenoel dengan nada menusuk.

Clarine tersentak kaget. Bahkan sosok transparan Glassina yang sedari tadi berusaha memukul Clarine dengan sia-sia, langsung terdiam.

Clarine tidak tahu kepada siapa pertanyaan Zoenoel ditujukan, tetapi ia tidak tahan dengan keheningan janggal yang tengah berlangsung. Jadi Clarine menjawab. "Glassina melukai diri sendiri. Kurasa mengurungnya seperti ini memberikan dampak buruk pada kondisi mentalnya."

"Biar aku yang mengurusnya. Pulanglah." Nada suara Zoenoel terdengar tak ingin dibantah. Jadi Clarine segera melangkah pulang.

Namun Clarine sama sekali tidak bisa tenang, ia tidak bisa tidur dan terus saja memikirkan tentang Glassina.

"Bagaimana Glassina?" tanya Clarine spontan begitu Zoenoel muncul di kamarnya.

"Tidurlah. Tak perlu kau pikirkan tentang dia." Zoenoel memanjat naik ke tempat tidur dan langsung berbaring memunggungi Clarine.

"Apa kau sudah melepaskan segel pengunci gerak darinya?" tanya Clarine penasaran.

"Tidak. Ia lebih baik diam."

"Kau tidak melepaskan segelnya?" Clarine tak bisa membayangkan bagaimana sengsaranya Glassina. "Ia butuh bergerak—"

"Tidurlah," tuntut Zoenoel.

"Te—"

"Apapun yang terjadi jangan masuk ke kotak itu lagi. Jangan mendekati Glassina maupun Katharina." Nada Zoenoel terdengar final dan Clarine tahu pemuda itu sudah memejamkan mata. Saat ini, kalaupun Clarine bicara, Zoenoel tidak akan menanggapinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top