16 - Lo Kalah!

Satu bulan berlalu. Otak sudah mengepul seperti mesin mobil mengeluarkan asap saat mogok. Selama satu bulan pula, Soraya dituntut untuk mengerjakan segala macam tingkat kesulitan soal matematika. Siang dan malam hanya itu yang dia pikirkan karena takut kalah menggelayuti benaknya.

Setiap hari nama Soraya tak lepas dari cacian, direndahkan sejak namanya tersebar sebagai salah satu utusan untuk olimpiade bidang matematika. Orang-orang berpikir kalau dirinya mana mungkin bisa menang, ditambah akan mempermalukan nama sekolah dengan tampangnya. Padahal, berkat skin care dari Sheila, wajah Soraya berangsur membaik. Bekas-bekas jerawat sedikit demi sedikit memudar, jerawat yang baru jadi pun mulai kempes.

Soraya tak peduli. Dia hanya membuka mata untuk melihat tujuan yang ingin digapai, bukan membuka telinga agar omongan mereka terdengar. Jangan sampai hal kecil tersebut mengacaukan segalanya. Perjuangan untuk sampai ke titik sekarang bukan perkara mudah.

Sheila
Semangat, Soraya. Lo pasti bisa, oke?

Dia kini telah duduk di bangku ruangan, di depan ruangan. Upacara pembukaan telah selesai sepuluh menit lalu. Sambil menatap ponsel, membaca dan membalasa beberapa pesan masuk ke ponsel.

Kak Igu
Nggak lupa sarapan, ‘kan?
Oh, iya. Gue inget banget dulu pas pertama kali ujian semester. Nyokap bilang, kerjain soal yang mudah dulu, terus yang sulit. Biar waktu nggak kebuang sia-sia.

Makasih sarannya, Kak. :).

T

ersisa satu pesan yang sengaja Soraya terakhirkan.

Nenek Gambreng
N

gaca dulu sebelum berharap bakal menang.

Sayangnya, gue nggak punya kacanya, tuh. Hati-hati, lo berpikir gue kalah, malah lo sendiri yang kalah.
Doa itu yang baik-baik, dong. Kalau jelek gitu, bisa aja kena ke sendirinya.

Keasyikan Soraya bermain ponsel sampai terdengar suara tepukan dari panitia. Seorang bapak-bapak keluar dari ruangan.

“Baiklah. Barang-barang yang kalian bawa bisa masukkan rak di depan kelas. Ada nama masing-masing di pintunya.” Suara si bapak-bapak tersebut terdengar seperti raksasa. Badannya, sih, memang tinggi besar.

“Mari kita berdoa bersama dulu sebelum masuk ke ruangan. Berdoa sesuai keyakinan masing-masing, di mulai.”
Soraya hanyut dalam doa. Dagunya menyentuh dada dan mata terpejam.
Doa kali ini, ingin melihat orang-orang baik yang membantuku sampai sejauh ini, tersenyum bangga karena Soraya menang.

Semua kembali mengangkat kepala usai merapalkan doa dalam hati. Panitia langsung mempersilakan para peserta untuk masuk ke ruangan. Tata tertib selama berlangsung pun dibacakan. Dan tepat pukul sembilan, soal telah di hadapan seluruh peserta, lomba dimulai.
Namun, sayang sekali. Soraya tak bisa mengikututi serangkaian acaranya sampai penutupuan di hari yang sama. Dia mendapat kabar dari rumah sakit kalau mamanya dirawat karena kelelahan tiga malam berturut-turut jaga malam. Tak memedulikan dia menang atau tidaknya. Ponsel pun lupa kehabisan kuota, tak sempat mengisi ulang. Biarlah besok hari senin dia tanyakan pada Pak Ratwa mengenai hasilnya.

***

Senin datang. Soraya berencana, selepas upacara rutin dia menemui Pak Ratwa atau guru Bk untuk menanyakan hasil. Dia penasaran setengah mati, takut harapannya tak dikabulkan Tuhan.

Dan hari ini, tumben mamanya menawarkan diri untuk mengantarnya sekolah sekalian pergi ke rumah sakit. Hampir satu semester berlalu, sang mama baru tahu letak sekolah Soraya. Kemarin, sudah diizinkan keluar, tetapi ngotot untuk tetap masuk kerja juga.

“Belajar yang rajin, Ray. Biar nilai kamu nggak anjlok dan lolos fakultas kedokteran nantinya. Mama percaya, kamu bisa dan nggak akan bikin kecewa nantinya.” Sang mama berpesan sebelum Soraya membanting pintu mobil agak kencang.

“Heh.” Sebuah rangkulan mengangetkan Soraya. Dia mendesis saat Sheila nyengir kuda. “Gimana hasilnya? Menang?”
Soraya mengedikkan bahu. “Gue kemarin langsung pulang. Mama masuk rumah sakit, tapi udah sehat sekarang. Makanya, nggak tahu pas pengumuman. Nanti mau nemuin Pak Ratwa dulu.”

“Terus, HP lo nggak aktif kenapa?”

“Habis paketan,” sahut Soraya, cuek.

“Kirain lo lagi nangis bombay karena kalah.”

“Kalah menang itu sudah biasa kalau lomba, Shei. Kecewa, sih, pasti. Tapi, bukan berarti dunia hancur.”

“Tapi, lo masih belum jelas menang apa nggaknya. Nanti, deh, gue anter ketemu Pak Ratwa. Penasaran juga soalnya.”

Upacara berlangsung dengan khidmat sebagaimana biasanya. Dan setelah pembubaran peserta oleh pemimpin upacara, terdengar suara guru BK dari speaker.

“Semuanya jangan dulu bubar. Ada pengumuman penting hari ini.”

Semua murid melenguh pelan. Sebagian dari mereka sudah merencakan untuk melipir ke kantin. Mengingat pagi ini matahari bersinar terik, tenggorokan jadi kering. Minuman kayaknya enak untuk mengairi sesuatu yang gersang, kering kerontang.

Tepian lapangan yang teduh sudah padat oleh gerombolan manusia berseragam.

“Baik. Pertama-tama, Bapak ucapkan terima kasih atas partisipasinya pada orang-orang yang telah bersedia menjadi perwakilan sekolah di ajang Olimpiade Sains tingkat Provinsi beberapa hari lalu. Menang atau kalau itu wajar. Tetapi, bersyukur Tuhan mentakdirkan satu orang dari sekolah kita menjadi juara pertama. Yang lainnya, mendapat juara kedua dan ketiga.”

Orang-orang langsung menyebutkan nama yang kiranya mendapat juara pertama. Akan tetapi, hanya sedikit yang mencetuskan nama Soraya.
Soraya sendiri merasa dia bukanlah orangnya. Rasa percaya diri yang beberapa hari lalu mendominasi, langsung menghilang dalam satu detik. Pupus sudah. Lenyap sudah segala yang dia miliki, yang ingin dia lindungi dan pertahankan.

Dia menunduk dalam. Perlahan, mundur dari kermaian karena cukup tahu diri dan malu menampakkan muka.

“Bener kata orang-orang. Mana bisa orang yang gak berbakat kayak gue menang? Selama ini bisa jawab soal di kelas aja, Cuma keberuntungan doang.”

“Satu orang tersebut ialah .... Soraya!”

Suara tepukan bukan berasal dari murid-murid, tetapi dari dewan guru yang telah mengetahui sebelumnya.

“Hah?” Merasa namanya disebutkan, kaki Soraya kaku di tempat. Dia bengong, pun orang-orang di lapangan. Merasa, hal itu jauh dari kata mungkin.

“Ada Soraya, ‘kan?” Orang-orang langsung menepi dan memberika Soraya jalan. “Sini, Nak. Ada penghargaan buat kamu.”

Beberapa detik Soraya mengamati semua ekpresi wajah orang-orang yang matanya lihat. Hingga bertatapan dengan Irza, cowok itu mengembangkan senyum bangganya. Dan lelaki itu juga yang pertama kali menggemakan tepuk tangan keras, disusul Sheila. Ah, teman sebangku Soraya malah sudah berkaca-kaca, menahan tangis haru.

Lama-kelamaan, suara tepuk tangan menjadi riuh, disusul teriakan gembira. Entah itu tulus, atau palsu.
Soraya melangkah pelan. Kali ini, dia menjadi perhatian publik lagi. Akan tetapi, semua orang memandangnya kagum, tak seperti dulu yang jijik. Wajahnya pun mulai membaik lagi. Mulai lebih bersih.

“Keren! Dia bisa kalahin Kak Gara. Jenius banget si Soraya!”

“Nggak nyangka. Gue kira dia bakal malu-maluin sekolah. Tapi, malah sebaliknya.”

“Fiks, gue mau deketin dia minta ajarin matematika. Kalau ke Kak Gara, yang ada mati di tempat lihat ketampanannya.”

“Yeee, kemarin-kemarin aja lo nyinyir banget.”

Bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Soraya saat melewati siswa lain.

“Selamat, ya, Soraya. Bapak bangga sama kamu.” Kepala sekolah mengulurkan tangannya, diirngi senyuman lebar. Segera Soraya menyambut tangan Pak Sabda.

“Terima kasih, Pak,” sahut Soraya. Senyum bahagia tak bisa dia senyumbunyikan.

“Dan ini, medali punya kamu.”

Sebuah kalung medali telang menggantung di leher Soraya. Kata-kata terima kasih terus terucap dari bibirnya.
“Dan untuk Brigita, Gara, kalian juara kedua, Naresta ketiga. Selamat untuk kalian semua yang menang juga para peserta lain.”

Tepuk tangan menjadi penutup perkumpulan di upacara. Semua murid dipersilakan mausk ke kelas masing-masing, mengingat jam pelajaran akan dimulai.

Soraya sempat menepi ke tempat bawah pohon ketapang dan duduk sendiri di sana. Medali terus dia pegang diiringi senyum lebar. Kemudian, teringat pada seseorang yang ingin dia kirimi pesan. Lantas merogoh ponsel dan memainkan jari di atas papan ketik.

Lo kalah, Git. Tepatin janji lo buat stop ganggu hidup gue.
Satu lagi. Gue minta jawaban sama lo. Kesalahan apa sampai lo benci banget sama gue?

Pesan telah terkirim dan centang dua abu-abu. Tak apa kalau pesannya lama dibalas. Yang penting sekarang hatinya telah puas juga lega.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, orang-orang yang dia lewati terus mengucapkan selamat dan ikut bangga, katanya. Dan di ambang pintu, Sheila menyambutnya dengan sebuah pelukan.

“Lo berhasil, Ray. Orang-orang nggak akan caci maki lo lagi,” bisik Sheila.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top