15 - Taruhan

“Heh! Lo gila, ya!” 

Soraya mendengkus. Dia baru saja menutup pintu kamar, tetapi suara Gita langsung mengurungkan niatnya untuk melangkah ke sisi ranjang. 

“Apa?” tanyanya, menantang Gita. Kentara sekali kalau kakak tirinya itu menahan emosi yang pasti sudah dipendam sejak kemarin. Soraya tahu itu. Dia memang sengaja mengabaikan pesan dari Gita.

“Lo sengaja ‘kan, bikin Bunda kecewa? Puas, hah?” 

“Gita, dengerin gue.” Soraya menghela napas panjang, sempat menunduk beberapa saat. “Pertama, gue udah bilang ke Ayah buat batalin rencana Bunda. Kedua, kalau lo pengen nyalahin orang, lampiasin kemarahan, bukan ke gue. Salah orang. Harusnya, protes ke Ayah. Berani?”

Pintu menjadi sandaran Soraya. Dia tersenyum sinis. Kaki sengaja disilangkan sambil terus memasang tampang angkuh. Kesenangan Soraya di rumah ayah adalah menang atas Gita, melihat gadis itu kebakaran jenggot karena kehilangan kata-kata. 

Perlahan, Soraya mendekati Gita dan memerhatikannya lekat. Duduk di tepian ranjang, kedua tangan mengepal kuat dan sorot mata penuh kebencian. 

“Lo harus tahu. Gue udah minta maaf seperti yang lo mau. Tapi, ini tulus, kok.” Kini, posisi Soraya saling berhadapan dengan Gita, meski dia membungkuk agar wajahnya bisa sejajar dan melihat jelas setiap ekspresi Gita.

“Ada yang mau lo omongin lagi? Gue mau balik. Kak Irzaldi udah nunggu. Katanya, sih, mau nemenin gue belajar buat persiapan olimpiade. Lo pasti tahu ‘kan, Pak Ratwa udah kasih izin?” 

“Jauhin Irza, juga keluar dari Study Club!” sentak Gita. 

Kamar mereka berdua memang satu-satunya ruangan di lantai atas. Orang-orang di bawah jarang mendengar perdebatan keduanya. Kalaupun dengar, Bunda selalu jadi orang pertama yang datang dan menjadi penengah. Katanya, perdebatan di antara kakak beradik tiri itu wajar. Namun, yang Soraya rasakan justru kebencian yang entah apa sebabnya dan dari mana mulainya. Karena yang dia tahu, sejak awal melihat Gita, cewek itu mengibarkan bendera peperangan. 

“Kalau gue gak mau, gimana?” tanya Soraya, datar. Tampangnya dingin. “Karena lo bukan Tuhan, keluarga, atau siapa pun yang berhak atur-atur hidup gue.”

“Soraya!” 

“Tenang, kok. Gue selalu berpura-pura gak kenal sama lo kalau di sekolah. Jadi, nggak perlu khawatir kalau sampai orang-orang tahu kalau kita ke-lu-ar-ga.”

“Stop!” Deru napas Gita tak beraturan, membuat Soraya tersenyum penuh kemenangan. “Lo nggak usah cari perhatian orang-orang Ray. Mereka udah pada benci sama lo.”

“Gue nggak merasa cari perhatian ke siapa pun. Cuma mau bantu sekolah aja biar namanya harum karena berhasil jadi juara 1. Salah? Kok, lo larang-larang niat gue yang baik, sih?”

“Alasan!” Gita mendesis. 

Satu ide terlintas di benak Soraya. Mungkin bisa sekalian memicu semangatnya bertambah kali-kali lipat, juga membuat mulut Gita diam dan tak lagi mengusirnya. 

“Gini aja.” Dia kembali mendekatkan wajah, membiarkan hidung dengan hidung berjarak satu jengkal tangan orang dewasa. Terlihat dengan jelas, di bawah sorot lampu kamar tepat di atas Gita, raut wajah Gita mulai gelisah meski berusaha terlihat angkuh. “Kita taruhan. Seandainya gue bisa jadi juara satu, lo berhenti ganggu hidup gue.”

“Kalau lo kalah ....” Gita bangkit dari duduk. Tinggi mereka yang sama tak membuat salah satu pihak harus menengadah atau sedikit menunduk. Dia menyeringai. “Lo mesti jauhin Irza dan keluar dari Study Club. Gimana?” 

Gue pasti menang. Bibir Soraya turut menyunggingkan satu sudut bibirnya, kemudian mengangguk. 

“Oke, gue mau pulang dulu. Kak Igu udah janji mau nemenin gue belajar di atap. Permisi!”

***

“Lo belum makan, Ray. Nih, gue bawain makanan kesukaan lo dari rumah. Ayam kecap, sambal terasi, timun sama nasi.” 

Suara kayu berderit memecah keheningan di atap saat Irza duduk di bangku tersebut. Soraya masih fokus pada kertas soal-soal dan lembar kosong yang telah terisikan jawaban. Obsesinya adalah menjadi juara. Bagaimanpun dia akan berusaha semaksimal mungkin, memanfaatkan waktu luang sebentar untuk mengasah otak. Jika tidak, dia tak ingin kehilangan dua hal yang menjadi impiannya. Matematika kegemaran secak TK dan Irza yang Soraya angkat sebagai malaikat pelindung sejak kecil. 

“Ray.” Irza suka gemas sendiri kalau Raya sudah lupa waktu sampai melewatkan jam makan. Katanya, cewek di depannya ini, yang jaraknya terhalang meja kecil dan sudah penuh buku-buku itu, tidak sayang diri sendiri. Sudah tahu punya mag kronis, urusan makan selalu terlupakan, menjadi urutan ke sekian dalam kesehariannya. 

Lembaran soal sengaja Irza rebut. Ketika Soraya menghadapkan wajah padanya, dagu Irza spontan mengedik ke sisi kanan, dekat kaki meja kecil yang dipakai Soraya. Ada rantang makanan kecil yang Irza bawa tadi.

“Nyokap masakin ini buat lo. Makan dulu sekarang!” Perintah Irza seolah paksaan yang tak bisa Soraya negosiasikan. Dia menurut. Meletakkan pensil beralih menggenggam sendok. Pun badan telah menyamping dari meja dan memangku salah satu rantang berisikan nasi. 

“Tahu nggak, Kak, kalau sekarang gue lagi mempertaruhkan sesuatu yang penting di antara yang penting dalam hidup gue.” Soraya berujar di antara kunyahannya, di suapan pertama. 

“Gue tahu itu karena lo kasih tahu barusan. Apa itu?”

“Ya, pokoknya sesuatu. Lo ... mau bantu gue ‘kan, biar gue nggak kehilangan hal berharga itu?” 

Urung menjawab, Irza malah meraih sendok dari tangan Soraya. Kemudian, menaruh satu suapan di depan bibir cewek itu. 

“Apa pun itu, gue bantu.” Irza tersenyum tulus. 

“Tapi ....” Soraya menerima suapan dari Irza disertai degup jantung yang menggila sejak tadi. Dia sebenarnya bingung. Berdekatan dengan Irza sudah biasa sejak dulu, bahkan senyuman hangat itu juga sudah ratusan ribu kali dilihat, kenapa masih belum terbiasa juga? 

“Tapi?” 

Soraya melenguh pelan. “Mama gimana kalau tahu aku nggak manut?” 

“Itu urusan nanti aja, Ray. Yang penting, lo harus berusaha buat menang dulu. Siapa tahu aja, dengan lo menang, Tante Dian bisa terbuka mata lebar-lebar kalau anaknya yang gemesin ini berbakat di matematika, bukan biologi.” Satu cubitan di hidung dihadiahkan Irza. 

Juga cantik, Ray, batin Irza. 

“Lo lanjut belajar, biar gue suapin.” 

Tawaran yang tak bisa Soraya menolak. Munafik kalau Soraya berkata tak ingin diperlakukan istimewa oleh Irza. Maka dari itu, Soraya langsung kembali ke posisi semula, dan Irza dengan senang hati menyuapi cewek itu. 

Dari tempat Irza duduk, dia bisa leluasa mengamati Soraya. Setiap lekuk wajah tak luput dari penglihatannya. Dan senyum selalu mengiringi. Akan tetapi, kala Soraya hampir memergokinya, bibir seketika kaku, bola mata bergerak gelisah. 

Lo harus bahagia, Ray. Gimana pun caranya, gue bakal usahain. Bahagia lo. Bahagia gue juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top