14 - Kunci Kehidupan Soraya

Otak lelah rasanya terus-menerus dituntut berpikir dari pagi sampai siang. Jam pertama matematika, dan terakhir ditutup dengan Kimia. Mana ulangan lagi. Wajah teman sekelas Soraya sudah kusut semua, pun kepala seperti ada beban yang menindih. Masih bisa diatasi kalau misal jumlah soal hanya 5, sedangkan ini dua puluh dalam waktu satu jam setengah. Dan lagi, soalnya tak bisa dianggap enteng. 

Kalau Soraya, Matematika masih bisa teratasi. Untuk Kimia, dia sendiri angkat tangan. Kalau bisa pun, ingin melambaikan tangan ke kamera saking tidak kuat. Sewaktu ulangan harian berlangsung pun, tak henti-hentinya kepala Soraya menempel di meja. Dia menatap lembaran kertas berisikan soal, otak dipaksa keras mencari jawabannya. Namun, sia-sia. Hanya beberapa yang dia tahu, itu pun bukan menghitung, tetapi ditanya pengertian dan hal lainnya. 

“Permisi! Ada Soraya?” tanya seseorang di ambang pintu. Dia bukan warga kelas Soraya. 

Kebetulan ketua kelas Soraya berada di dekat pemuda itu. Dia sengaja bergeser ke kanan, memperlihatkan Soraya yang kini sudah menegakkan badan di tempat duduknya. “Itu, Kak,” sahut si ketua kelas seraya menunjuk. 

“Ada apa, Kak?” Jarang-jarang ada kakak kelas yang datang mencarinya. Mungkin, bisa masuk keajaiban dalam hidup Soraya. 

“Lo disuruh ke ruang guru sama Pak Ratwa.”

Kakak kelas tersebut langsung keluar dari kelas. Wajahnya agak judes, Soraya saja sampai kikuk saat mata saling bertatapan. 

“Ray, kayaknya jadi, deh, ikutan olimpiade.” Tiba-tiba Sheila menyikut Soraya, mengalihkan tatapan cewek itu dari tempat di mana kakak kelas tadi berdiri. 

Soraya mengerjap. Dia tak bersuara, langsung bangkit dan menuju ruang kelas di lantai satu. Perasaannya mendadak tak keruan. Takut tak sesuai harapan. Takut apa yang selama ini telah dia rencakan, bisa gagal. Dan mungkin, kedepannya nanti kehidupan Soraya tak ada yang berubah. 

Lorong dan tangga yang Soraya lewati penuh dengan siswa yang tertawa riang karena bisa pulang. Saling bergurau, melontarkan candaan. Soraya mengulum senyum tipis saat mengamati mereka, meski kaki terus melangkah tanpa henti. 

Masa SMA yang kata orang banyak meninggalkan kenangan. Itu pun kalau orangnya menikmati waktu. Nggak kayak gue, yang pengen mengisolasi diri. 

Dia mengembuskan napas panjang saat sampai di batas pintu ruang guru. Meja-meja tersusun rapi, meski di atasnya banyak tumpukan buku-buku tebal dan kertas yang sampai menutupi wajah siapa pun yang duduk di sana. 

Dan kali ini, gue nggak mau menjauhkan diri dari orang-orang. Gue pengen menutup mulut para lambe pedes macem cabai sama apa yang mereka gak punya. 

Soraya melangkah dengan rasa percaya diri. Beberapa guru ada yang mengarahkan atensi padanya. Namun, dia tetap mendekati meja Pak Ratwa di sisi kanan, depan lemari khusus soal-soal ujian. 

“Siang, Pak,” sapanya. 

Tampak pria kurus yang rambutnya sudah penuh uban itu tengah sibuk membuka lembaran buku milik anak muridnya. Soraya mengamati sejenak. Membuka suara lagi takut mengganggu. Juga tak berani. Sorot mata Pak Ratwa seperti hewan buas yang siap menerkam. 

“Kamu lolos seleksi, Raya. Jadi, mulai besok sepulang sekolah kita bahas setiap materi yang nanti bisa jadi soal di olimpiade. Bisa, ‘kan?” Pak Ratwa menengadah, buku tadi sudah dia tutup kembali dan bergabung dengan tumpukan buku lain di sebelah kana meja. 

Bola mata Soraya membulat. Dia mengangguk semangat, tak percaya kalau harapannya benar-benar terwujud. 

Andai sekarang bukan di ruang guru, Soraya ingin berteriak sambil jingkrak-jingkrak seperti saat perilisan video musik boy band Korea favoritnya. Namun, dia sebatas menggigit bibir bawah. 

“Oke. Itu saja dari saya. Anda bisa pergi.” 

Nada bicara Pak Ratwa memang terdengar datar, sedatar ekpresi wajahnya juga. Akan tetapi, bagi Soraya itu seperti melode merdu yang membuat dunianya berubah lebih indah. 

***

Sheila menyambut Soraya di pintu dengan ucapan selamat. Bibirnya ikut merekah melihat bagaimana Soraya tampak bahagia sampai matanya berkaca-kaca. Dia tahu, hari ini pasti terjadi. Usahanya untuk membantu si teman sebangku, berhasil. 

“Kata Pak Ratwa gimana aja?” tanya Sheila. Mereka melangkah pelan menjauhi ruang guru, lalu berhenti di persimpangan. 

Soraya memiringkan tubuhnya, menghadap Sheila. Senyum tak luntur sejak tadi. Hati dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Seperti mimpi. Dia tak pernah punya keberanian mengambil matematika di olimpiade, meskipun nilainya selalu tinggi. Tak jarang pula menentang keinginan mama di mata pelajaran Biologi, dan berujung Soraya mengalah. 

Mungkin, sementara ini akan menjadi rahasia sekolah dan besok Soraya berencana menemui wali kelasnya untuk memohon tak mengadukan perihal olimpiadi matematika pada sang mama. Biarlah nanti jika dia meraih juara. Optimis!

“Besok udah mulai latihan buat olimpiade sama Kak Gara,” balasnya, riang. 

Sheila memekik heboh. Beberapa orang yang mereka lalui tampak risi karena suara melengking Sheila. 

“Lo beruntung tahu, bisa deket-deket sama Kak Gara nantinya. Dia itu ganteng, baik, pinter, sopan. Ah, pacar idaman banget, deh.”

Soraya menyikut lengan Sheila. “Inget yang di Aceh, Sheila Hanum.”

Kali ini, tangan kanan Sheila telah berpindah ke bahu Soraya. “Itu lain cerita, Soraya. Meskipun gue punya pacar, tapi mata juga gak bisa bohong kalau masalah cowok ganteng.” 

“Ibarat, nih.” Mata Sheila menerawang ke depan. “Kak Gara itu kayak idol Korea. Sama-sama sulit digapai, sulit diraih. Kalau pacar gue, dia bucin banget. Lagian, dia lebih segalanya daripada Kak Igu lo itu. nggak tengil, nyebelin.”

“Terserah lo, Shei. Sana, lo bucinin Kak Gara. Gue tetep milih Kak Igu.” 

Sudahlah, Soraya tak ingin ambil pusing. 

Langkah mereka akhirnya tiba di depan supermarket. Tempat di mana biasanya Soraya menunggu Irza untuk pulang bersama. Bisa bahaya kalau kelihatan bersama di lingkungan sekolah. Belum ada tanda-tanda kedatangan cowok narsis itu selama lima menit mereka berdua menunggu. Sheila juga katanya masih ingin menemani Soraya di sana, sambil kepala bersandar di bahu Soraya. Padahal, dia sudah merasakan kebas, berkali-kali bahu digerakkan pun, beban berat di atasnya enggan diangkat si pemilik.

“Ray, gue mesti balik. Udah sore soalnya,” seru Sheila. Dia melirik jam tangannya, lalu teringat akan janji dengan seseorang dari agensi model. 

Soraya melenguh pelan. Pasti akan membosankan bila menunggu di bawah pohon mangga, di depan supermarket. Apalagi jalanan siang menuju sore hari ini tampak sibuk, kepulan asap yang terhirup menyesakkan dada. 

“Ya udah, deh.”

Sebuah tepukan dibahu menjadi hadiah dari Sheila. “Kalau lo butuh bantuan masalah matematika, atau mau nyari buku, gue siap bantu. Jangan sungkan bilang sama gue.”

“Satu lagi.” Soraya sampai harus menengadah karena Sheila telah berdiri. Tampak gadis di depannya membuka ransel, lalu mengambil sesuatu dan diserahkan pada Soraya. 

Soraya mengernyit. Paper bag cokelat tersebut membuatnya bingung hinggak tak langsung menerimanya. 

“Ini skin care supaya kulit wajah lo makin sehat. Seenggaknya, satu per satu yang lo anggap kelemahan kita perbaiki. Satu jalan udah terbuka, meski belum lebar. Kita buka jalan lain biar nggak buang-buang waktu. Langkah-langkah dari mulai apa aja dipakai pas pagi sama malam, gue udah tulisin di dalam. Gue gak bisa kasih yang mahal, Ray. Tapi, tenang aja. Itu semua aman, kok. Gue udah tanya sana-sini sama orang-orang yang paham masalah gituan. Sekarang, tinggal lo yang berusaha melawan malas merawat wajah. Selama ini, lo bersembunyi di balik rasa takut makin parah. Ditambah tangan lo yang gak bisa diem sama musuh terbesar cewek, yaitu jerawat.”

Soraya seperti kehilangan kata-kata, lidah terasa kelu untuk sebatas mengatakan terima kasih. Pandangan mendadak kabur, ada cairan bening yang menghalangi penglihatan. 

Tepat di saat air mata tumpah, jatuh ke pipi, Soraya menghambur ke pelukan Sheila. Dia menangis lirih. Jauh dalam hati, merasa berterima kasih kepada Tuhan karena menghadiahi orang sebaik Sheila. Masa SMA yang dulu dia pikir akan buruk, kini pandangannya telah berubah. Lebih indah berkat seorang sahabat. 

“Lo cukup percaya sama diri sendiri, Ray. Gue sebatas bantu sebisanya.”

Pelukan mereka terlepas. Saat Soraya memandangi Sheila, mata cewek itu sudah memerah. 

“Lo kenapa baik sama gue, Shei? Sebelumnya kita ini orang asing. Juga, lo itu cantik, bentar lagi debut jadi model.” Akhirnya, satu pertanyaan yang selama ini bergelayutan di pikiran Soraya dia lontarakan juga. 

Sheila kembali duduk di sebelah Soraya. Dia merenung sejenak, ingatan di kepalanya seperti tengah memutar film lama, di mana dia belum seperti sekarang. Berubah drastis.  Total.

“Shei.”

Sheila menoleh, lalu tersenyum. “Dulu gue juga kayak lo pas SMP. Di-bully karena gendut. Mirip gajah, deh, pokoknya.”

“Serius?” Bola mata Soraya membulat sempurna. Mulut pun ikut menganga. Matanya lantas memindai Sheila dari atas hingga bawah. Tubuh ramping juga kaki jenjang ini, dulunya pernah gemuk? 

Sheila terkekeh. “Ini bukan lelucon, kok. Capek jadi bahan bully orang. Akhirnya, gue mati-matian ubah porsi makan, rajin olahraga setiap hari. Meskipun pada awalnya susah. Udah keluar-masuk dokter karena mag sering kambuh. Tapi, tekad kuat dan kegigihan gue pengen kurus, akhirnya berhasil. Jadilah Sheila yang lo lihat sekarang.”

“Dan alasan lo selama ini nolongin gue ... karena merasa di posisi yang sama?”

Tebakan Soraya tepat seratus persen. Kalau diizinkan, Sheila ingin menjadi duta anti bullying. Dia benci hal itu. Heran saja. Di zaman se-modern sekarang ini, masih banyak orang yang menilai orang lain lewat cangkang.

“Makanya, gue pengen banget lo keluar dari zona menyeramkan itu. Dengan lo berubah, pandangan orang lain juga bisa berubah.”

Soraya mengangguk paham. Ambisinya untuk meraih posisi satu di olimpiade nanti, kain menggebu-gebu. Masih banyak wakti tersisa. Dia tak ingin santai-santai lagi sampai menyia-nyiakan kesempatan yang hanya datang sekali seumur hidup. Di dunia, tak ada hal yang sama. Pasti selalu ada perbedaan, meski tak mencolok. 

“Dan setelah ini, gue mau lo jangan minder lagi. Lo pantas bersanding sama Kak Irza daripada orang-orang yang mulutnya nggak ada akhlak. Otak aja disekolahin, nggak sekalian sama akhlak.”

“Udah, ah. Tuh, ojol udah datang.” Soraya tersenyum tulus. Dagunya sempat mengarah pada orang berjas hitam-hijau khas tukang ojek online. 

“Ya udah, gue duluan, ya. Kalau setengah jam pangeran lo yang tengil itu gak datang, pulang sendiri aja. Terus, kalau nanti ketemu, marahin, deh. Seenaknya aja nyuruh anak perawan nunggu sendirian. Mana telepon gak aktif lagi. dasar!” 

Soraya terkekeh saja mendengar sungutan Sheila. Bahkan, sampai cewek itu memakai helm dan duduk di boncengan pun, masih terdengar samar bagaimana bibirnya mengeluarkan umpatan. 

Seberlalunya Sheila di sana, Soraya menatap beberapa skin care rutin di dalam paper bag. 

“Lo bakal jadi pembuka pintu kehidupan gue yang selama ini kekunci.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top