13 - Birhday Party
Lampu-lampu menyala terang, tergantung di udara, membentang di antara tiang-tiang di masing masing penjuru. Membelah rooftop berbentuk persegi panjang dari sudut ke sudut. Di tengah ada bangku setinggi dengkul telah penuh makanan dan minuman, mengelelili kue ulang tahun dibalut krim putih bagian tengahnya sedangkan seluruh sisiannya ditaburi butiran kecil warna warni. Tertancap lilin merah dengan angka 1 dan enam, pun tulisan Happy Birthday menambah kesan cantik di kue yang mamanya Soraya pesan.
Tadi, sepulang dari mal memberi segala keperluan untuk malam ini, Sheila dan Irza mampir ke toko kue untuk mengambil pesanan kue atas nama Dian.
Terlalu klise kalau harus mengatakan semuanya adalah kejutan. Karena kenyataannya, mereka ketahuan Soraya sewaktu dia pulang dari sekolah diantar ojek online. Tampak kedua orang yang menjadi sahabat Soraya turun dari atap. Dan setelah itu, Soraya ikut bergabung bersama mereka mempersiapkan acara yang diperuntukkan dirinya.
“Ray, sorry, ya,” kata Sheila. Tubuhnya berbalik menghadap Raya yang duduk di tepian kasur, sedangkan dirinya membelakangi kaca rias berbingkai putih di kamar Soraya.
Soraya yang sedari tadi asyik membaca novel yang dia dapat dari perpustakaan tadi pagi, tak mengangkat kepala untuk menoleh, cukup berdeham saja.
“Pokoknya gue minta maaf, deh. Ntar lo tahu sendiri kenapa. Bukan maksud bibir gue ember bocor apa gimana, nih, ya. Cuma ya, lo tahu sendiri kalau gue udah mencak-mencak pasti nggak kekentotrol, nggak ke-rem kalau ngobrol.”
Soraya mengehela napas panjang. “Apa pun yang lo lakuin, selagi itu nggak fatal banget, gue akan selalu maafin. Kenapa?” Dia menatap dalam kedua mata Sheila. Lalu, menilai cewek itu dari atas bawah. Senyum tak lupa terbit di bibirnya. “Karena lo sahabat sekaligus malaikat pelindung buat gue, selain Kak Igu. Lo sama berharganya kayak dia dan kehilangan lo adalah mimpi terburuk juga buat gue. Udah terlalu banyak kehilangan, gak mau ngerasain hal sama lagi.”
“Dan itu alasan lo memendam perasaan ke Kak Irza, takut dia pergi karena dia berharga banget?”
“Dia pergi, sih, kayaknya nggak mungkin. Cuma, ya, pasti ada yang berubah antara gue sama dia kalau sampai tahu tentang perasaan yang seharusnya jangan ada. Biarkan Tuhan dengan skenario yang Dia buat tentang bagaimana perasaan ini akan berujung. Akan bertahan selamanya, atau berakhir seiring berjalannya waktu. Sedekat apa pun gue sama lo, Kak Igu, takdir bisa memisahkan dan memutuskan.”
Sheila mendadak tergelak, mengundang rasa heran Soraya.
“Gila! Lo bijak juga, Ray.”
Soraya mendelik kesal.
Perbincangan mereka langsung berakhir ketika suara ketikan pintu diketuk tiga kali. Sheila mendahului langkah Soraya, membukakan pintu dan terlihat Irza suda berdiri di sana sambil menenteng keresek putih berisikan minuman bersoda satu liter.
Tampangnya lebih baik sekarang. Lebih segar, pun penampilan lebih menawan daripada saat sekolah tadi. Kemeja hitam polos lengan panjang sengaja tak di kancingkan, memperlihatkan kau putih polos yang dipadukan jeans. Lebih memukau lagi saat Soraya menatapnya, rambut disisir rapi dan dioles krim rambut sehingga terlihat mengkilap. Ah, jangan lupakan senyum menawan yang memperlihatkan dua gigi taring di masing-masing sisi.
Boleh tidak kalau Soraya pingsan sekarang? Jantungnya seketika menggila. Bahkan, pipi Soraya sampai memanas. Dia sengaja menyembunyikan kedua tangan di punggung, bisa salah tingkah kalau sampai ketahuan dirinya tengah dilanda rasa gugup. Kepalan tangannya kian menguat, padahal sudah dibanjiri keringat. Tatapan mata seolah terkunci di satu titik.
“Woy!” seru Sheila, sambil menepuk tangan di depan wajah Soraya. Kemudian, terkekeh kecil melihat Soraya mencebikkan pipinya karena kesal. “Kalian kayaknya saling terpukau sama perasaan masing-masing Ray. Lo juga cantik malam ini. Nggak sia-sia ‘kan, gue make over lo jadi putri cantik gini?” bisik Sheila. Ujung jari telunjuknya mencolek dagu Soraya dengan gemas.
“Berisik lo!” desis Soraya.
“Udah gue bilangin berapa kali, Ray. Gue emang ganteng, biasa aja kali lihatinnya,”ujar Irza. Dia menggaruk tengkuknya karena salah tingkah. Malam ini, Raya pangling. Cewek itu jarang menggunakan riasan karena takut semakin memberikan efek buruk untuk kulit wajahnya, tetapi malam ini, dipaksa Sheila, berhasi disulap menjadi seorang putri cantik.
Irza tetaplah Irza. Cowok paling narsis sedunia menurut Soraya. Dan Sheila, menyteujui itu.
***
Malam gelap dihiasi bintang dan awan putih yang tampak kelabu di atas sana, menaungi ketiga insan manusia tengah berbincang ria sambil duduk dan menikmati segala makanan yang sengaja dibawa.
Canda tawa menjadi pengiring, seolah alunan merdu masuk ke telinga, mengahangatkan hati di kala gundah kerap melanda. Beban seakan terangkat sejenak, menguap seperti terbawa embusan angin malam yang sejuk di tengah hawa ibu kota yang panas menyengat.
Soraya, mungkin paling bahagia di antara mereka bertiga. Suara tawanya terdengar renyah, sesekali lelucon keluar dari bibirnya. Dia duduk sila, di tengah-tengah antara Irza dan Sheila. Ada meja kecil di depannya, menjadi alas kue ulang tahun khusus untuknya yang belum dia tiup. Kata Irza, sih, menunggu tepat di mana pukul 12 malam dan hari berganti. Pun hari ulang tahun Soraya berlalu. Katanya lagi, mereka berdua ingin menjadi orang terakhir yang mengucapkan selamat untuk Soraya.
“Eh, sepuluh menit lagi,” seru Sheila tiba-tiba, menghentikan tawa Irza juga Soraya yang menguar karena cerita lucu tentang dirinya.
Baik Irza maupun Soraya, kompak mengambil ponsel yang sedari tadi diabaikan. Sengaja dalam mode diam agar tak ada sesuatu yang menggangu.
Tombol power telah Soraya tekan, terpampampang jelas wallpaper ponsel foto dirinya juga yang diambil secara jauh beberapa hari lalu sewaktu mengunjungi taman di akhir pekan bersama Sheila.
“Ray, lo kenapa?” tanya Sheila. Dia menyadari lebih dulu perubahan ekspresi Soraya, sedangkan Irza sempat sibuk sejenak dan terpaku pada ponsel. Cowok itu lantas menoleh dan turut memfokuskan mata pada Soraya.
Soraya terus memandangi layar ponsel. Tadi memang niatnya melihat jam saja, tetapi beberapa pesan masuk dari orang yang sama menarik perhatian. Sehingga, ibu jari tergerak untuk membuka pesan tersebut dan usai membacanya sebuah perasaan sesal juga bersalah menelusup ke hati.
“Are you okay?” tanya Irza, lembut. Dia mengelus bahu kanan Soraya pelan, dan tepat saat itu satu teteas air mata jatuh di atas rok peach selutut Soraya.
Soraya mengangguk lemah. Kepala sengaja menengadah ke langit sembari memejamkan mata. Dia tak ingin ada air mata di hari bahagia, meski harus menjadi orang egois. Tak apa, bukan?
“Kita bukan orang asing lagi buat lo. Sebagian kisah hidup masing-masing udah pada tahu. Kecuali gue ke Kak Irza, gitu juga sebaliknya.” Sheila berujar lirih.
Sebenarnya, kedua orang tersebut paham situasi dan alasan kenapa Soraya mendadak sendu dan berusaha membendung air mata. Namun, ada kalanya hati bisa lebih tenang saat masalah bisa dibagikan kepada orang terpercaya. Baik Sheila maupun Irza, tak ingin Soraya terus larut dalam kesedihan, dan mereka siap mendengarkan setiap keluh kesah Soraya.
“Biasa,” balas Soraya, lirih. Dia tersenyum getir saat membayangkan kembali foto-foto yang dia lihat dan dapatkan dari Gita.
“Kenapa lagi kakak tiri lo? Mau ajakin berantem lagi? Sekali-kali lo harus lawan, biar dia tahu diri. Sok banget pengen narik banyak perhatian. Dih, gue gedek banget,” kelakar Sheila. Wajahnya tampak meyakinkan, seolah tahu saja yang mana orang yang tengah dia bicarakan. Sebatas tahu lewat cerita Soraya selama ini.
“Ray?” Panggilan Irza sedikit melegakan hati Soraya.
“Tadi, sih, dia ngasih tahu. Katanya Bunda udah capek-capek masak buat acara ulang tahun gue, tapi malah gak jadi. Kayaknya Ayah lupa ngasih tahu, kalau acaranya batal. Eh, dia malah ngotot gue yang salah, repoten Bunda. Selama ini, gue nggak pernah mau dia berbuat lebih atau bertindak seolah jadi ibu pengganti. Meskipun aku sadar, Bunda memang lebih lembut dan pengertian dari Mama.”
“Tapi, tetep aja. Ibu kandung lebih utama daripada ibu sambung,” lanjut Sheila.
Soraya menyetujui itu.
“Dan dia juga kirim foto Bunda ketiduran di meja makan, nungguin Ayah. Iya, banyak banget makanan yang udah siap. Sampe dingin kayaknya. Seenggaknya, gue merasa besalah, dong!” lanjut Soraya lagi. Dia melenguh pelan.
“Udah, nanti lagi lanjut omongin orangnya. Sekarang, udah pukul 12 lebih, loh. Kapan mau tiup lilinnya? Jujur, gue udah ngiler banget lihatin kue ulang tahun. Nggak pada kasihan sama perut gue, udah pada keroncongan minta diisi itu?” sela Irza. Dia nyengir sambil menyalakan korek api dan menyalakan lilin di atas kue yang sedari tadi ditunggu-tunggu.
“Happy birthday Raya, Happy birthday Raya. Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Ray!” Ketiganya serempak menyanyikan lagu ulang tahun sampai akhir.
Senyum cerah kembali terukir di bibir Soraya. Saat hendak meniup lilin, angin berembus agak kencang sampai bisa memadamkan lilin. Helaian rambut yang digerai pun ikut bergoyang beberapa saat, mengikuti arah angin pergi.
Mereka serempak tertawa dan Irza kembali menyalakan lilin sebelum angin berembus lagi.
“Ceper tiup, Ray! Takutnya angin jadi pengacau lagi,” kata Sheila, semangat.
Soraya tersenyum. Dia lantas membungkuk, kedua tangan memegangi rambut takut kena api dan tiupan angin dari mulutnya berembus lembut, tetapi berhasil memadamkan api lagi.
Semua bersorak girang. Soraya menerima pelukan Sheila, cewek itu terus mengelus punggungnya sambil mengatakan harapan-harapan untuk Soraya ke depannya setelah usia bertambah.
“Makasih, ya, Sheil. Lo udah belain ke sini. Meskipun gue percaya, lo dipaksa Kak Igu.”
“Eh, apaan? Dia datang suka rela, kok. Iya, ‘kan?” sela Irza. Dia bersungut-sungut meski tangan terbuka lebar dan mendekat Soraya, tetapi cewek itu segera menghindar dan mempersempit jarak dengan Sheila.
“Lo mau ngapain, Kak?” tanya Soraya.
“Gantian, lah. Barusan dipeluk Sheila, sekarang giliran gue yang lo peluk,” jawab Irza.
“Dih,” desis dua cewek di depan Irza kompak, “Tukang modus.”
“Ya udah, deh. Cuma, nih, gue nggak beli kado, Ray. Tapi, diri gue yang jadi kado buat lo.” Kali ini, senyum yang terpatri di bibir Irza benar-benar tulus. Soraya merasakannya.
Jangan tanyakan bagaimana degup jantung Soraya yang menggila sekarang ini. Andai dia memiliki sayap, Soraya ingin terbang ke angkasa sana. Tak tahu lagi bagaimana harus mendeskripsikan seorang Irza yang terlampaui manis. Lama-kelamaan, Soraya bisa terserang diabetes.
“Gombal terus,” celetuk Sheila, sambil menyenggol sisi badan Soraya. Dia memang sengaja mengganggu acara tatap-menatap sepasang insan manusia yang bersembunyi di balik topeng persahabatan.
“Dah, ah. Gue mau VC dulu sama ayang. Lanjut gibahnya besok aja, gue pacaran dulu. Kalian juga pacaran, ya.” Layar ponsel Sheila sengaja dia tunjukkan. Tampak ada panggilan video masuk. Di akhir nama kontak si penelepon, ada simbol hati berwarna merah. Kemudian, Sheila menepi ke dekat pagar. Katanya, biar lebih leluasa.
Saat asyik menatap Sheila, tangan Soraya tiba-tiba dibawa ke dalam genggaman. Terasa hangat dan pas, seolah Tuhan memang mencocokannya. Soraya sempat gugup, tetapi dia ssegera menyamarkannnya dengan berdeham dua kali.
Jangan-jangan dia mau nembak gue? Gimana, dong? Mampus aja, Ray. Raya menggeleng kuat, menepis khayalan yang terlalu tinggi itu. Mana mungkin juga dia suka sama gue. Jelas-jelas ada yang lebih cocok kata orang-orang, yaitu Gita.
“Ray, lo ada gue. Lo punya gue buat dijadiin tempat berlindung. Gue selalu ada buat lo. Okay?”
Sebelah alis Soraya terangkat, tak paham.
“Sheila udah cerita. Sejak insiden itu, lo sering dapat surat ancaman di loker, terus juga sampah di meja. Banyak hal lagi yang mereka lakuin ke lo. Aksi bully yang mereka lakuin ke lo, kenapa nggak lapor ke gue, hm?”
Soraya menghela napas. Dia paham sekarang kenapa Sheila meminta maaf tadi.
“Nggak perlu ngadu kek Kak Igu. Yang ada nanti Kak Igu murka, terus mereka makin menjadi kayak gitu. Diemin aja, kalau udah capek pasti berhenti, kok.” Kini, yang Soraya lihat tatapan kekhawatiran di mata Irza. “Gak perlu khawatir, Kak. Gue bukan anak SD lagi, nih, enam belas tahun malah. Oke? Percaya, deh, aku bisa atasin semuanya.”
Genggaman tangan keduanya kian erat. Tatapan khawatir yang tadi sempat dilihat Soraya telah menghilang. Soraya tak bisa mengartikan tatapan yang sekarang apa maskdunya. Lebih intens, dan ... sudahlah. Dia tak ingin banyak berandai-andai sebelum ada kejujuran dari yang bersangkutan.
Irza menghela napas panjang, sebelum kembali membuka suara. “Yang lo harus tahu dari gue, Ray. Apa pun yang lo punya, yang dikasih dari Tuhan, gue terima apa adanya. Gue nggak mandang seseorang dari cangkang, tapi isi. Paham, kok, apa yang lo hadapin di sekolah. Banyak orang munafik berkeliaran. Pesen gue, karena lo udah masuk Study Club, buktiin potensi yang Tuhan kasih. Lo bisa, lo pasti bisa.”
Rentetan kalimat dari Irza, seolah menjadi suntikan semangat yang mengalir dalam darah Soraya itu. Mengukir senyum senang. Banyak hal yang terlintas dan membuat Soraya tak sabat untuk melakukan satu per satu yang selama ini tak bisa dilakukan. Dia bertekad, ingin lepas menjadi boneka sang mama, demi cita-cita yang selama ini dia inginkan.
Karena mimpi akan tetap menjadi mimpi jika tak bertekad untuk diwujudkan. Dan hasil yang nanti dipetik, tak akan indah jika usaha belum sampai ke titik maksimal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top