12 - Rahasia Kecil

Beberapa motor berjajar rapi di parkiran, dari mulai skuter biasa sampai ala-ala anak jalanan yang sedang hits. Dari mulai yang hitam, sampai berwarna-warni tak mirip pelangi, sih. Segelintir orang duduk di jok motor, bercanda ria dengan yang lain ataupun sibuk dengan ponsel dalam genggaman. Asyik scroll sana-sini, membuka halaman aplikasi yang sedang kekinian. Kadang, bibir ikut berkomentar saat mata memindai layar dan membaca setiap yang tertera di sana. 

Irza salah satu di antara orang-orang tersebut. Jika orang lain asal duduk di motor orang, dia duduk di motor Vario hitam kesayangan, yang telah menemaninya sejak kelas X. Sekitar satu tahun lalu dan masih mulus seperti keluaran toko. 

“Lo nunggu si cewek itu lagi, Za?” tanya seseorang dari belakang sambil menepuk bahu kanan Irza. Irza memutar kepala ke kanan, mengikuti arah si pelaku bergerak. 

Bel memang baru berbunyi, tapi dia sudah berada di area parkiran sejak lima belas menit lalu. Jam pelajaran terakhir kebetulan kosong. Daripada terus-menerus duduk di kelas dan dihantui rasa bosan, jenuh, Irza memilih mengambil tas dan nongkrong di kantin yang sepi. Setelah puas mengisi perut di sana, barulah dia ke parkiran. 

Kepala Irza menggeleng pelan. Dia menatap ke depan, mata meneliti setiap manusia yang berhamburan ke gerbang utama yang telah dibuka gemboknya oleh satpam. “Orang lain,” katanya, meski orang yang dia tunggu tak kunjung datang. Akhirnya, layar pesan dengan seseorang kembali dia buka dan pesan yang Irza kirim sudah centang biru. 

“Wih, Gita pasti.” Orang yang tadi masih berada di sana, merasa penasaran sosok cewek mana yang tengah ditunggu sang idola kaum hawa sejak tadi. 

“Bukan juga.” Irza spontan bangkit dan melambaikan tangan saat yang dia tunggu terlihat batang hidungnya dari persimpangan jalan yang menghubungkan lorong kelas, parkiran dan UKS. 

“Cantik juga, Za. Selera lo emang tinggi,” celetuk si pria tadi yang kini memilih berlalu karena Irza telah mengusirnya lewat isyarat tangan. 

Cewek berambut panjang agak pirang tergerai dan terkenan embusan angin siang itu kian dekat dengan tempat Irza duduk. Kentara dari wajahnya yang siap menyemburkan kata-kata pedas. Namun, mulutnya harus terbuka lebar lebih lama karena Irza menyela lebih dulu dengan menyerahkan helm hitam.

“Nggak usah banyak cing-cong. Kita pergi sekarang. Banyak banget yang harus kita persiapkan, mumpung Raya masih sibuk sama tesnya.”

Tertera nama Sheila Hanum di dada kanannya. Dia sahabat Raya. Semalam, Irza mengirimkannya pesan untuk bertemu pulang sekolah. Niatnya, ingin membuat pesta kecil-kecilan untuk Soraya. Yah, seperti yang dia katakan tadi pagi di depan orang tua Soraya. Bukan alasan semata untuk menghindar dari ajakan ayah Soraya, tetapi memang sudah direncakan sejak jauh-jauh hari.

“Kenapa mesti ketemu di parkiran, Kak? Kenapa nggak di halte atau supermarket depan aja kek Soraya biasanya? Harus, ya, narik perhatian orang? Sinting lo, Kak. Mata mereka lihat lo dadah-dadah ke gue, berasa ada cahaya laser merah dan siap membunuh nyawa tak bersalah juga tak berdosa ini.” Meski Sheila bersungut-sungut, tetapi helm hitam yang biasa Soraya kenakan tetap dia pakai. Lalu, duduk di jok belakang. 

“Orang ganteng mesti dapat perhatian,” sahut Irza enteng. Mesin motor sudah dia nyalakan, tetapi Irza merogoh ponselnya dulu karena alunan melodi yang khas dari benda pipih itu lebih menarik bagi tangannya. 

“Sial! Gue makin percaya sama apa yang diomongin Soraya tentang lo. Irzaldi yang super duper percaya diri dan menyebalkan.” Kekesalan Sheila belum berhenti di sana, meski lawan bicara yang hanya bisa dia lihat punggungnya itu diam saja seraya menggenggam ponsel dengan kedua tangan dan kedua ibu jari bermain di atas papan ketik. “Masih mending gue, mereka gak akan ngamuk semisal lo bersikap kayak tadi. Secara, gue juga cantik, tapi gak mau deket orang narsis kayak Kak Irza. Nah, Soraya? Kasihan, dia hampir tiap hari dapat teror karena tragedi lo bonceng dia di hari pertama, masih melekat di beberapa orang. Sampah di kolong meja, surat kaleng berisikan sumpah serapah, sampai dibanjur air pel di kamar mandi. Gila fans lo, Kak. Anarkis banget!” 

Kegiatan Irza membalas pesan Gita terhenti. Meski beberapa pesan telah dia kirim. Meski telinga tertutup helm, tetapi masih dengan jelas mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Sheila. Dia spontan turun dari motor usai mematikan mesin dan menurunkan standar.

“Coba lo jelasin lebih rinci, Shei!” titah Irza. 

Merasa kalau apa yang dia ucapkan terlalu banyak dan seharusnya tak diucapkan karena itu rahasia antara dirinya dan Soraya, bibir Sheila mengatup, terkunci rapat. Dia memainkan bola mata, terus bergerak ke kanan dan kiri saat mata Irza mengintimidasinya. 

“Apaan, sih, Kak? Emang barusan gue ngomong apaan? Lupa, deh.” Sheila berkata lirih. Setengah badannya mundur ke belakang, kedua tangan bertumpu ke pegangan di samping motor, takut terjatuh. Irza memang sengaja mempersempir jarak antara mereka sambil terus memasang wajah serius.

“Gue nggak tuli dan jelas banget denger tentang sikap mereka ke Soraya.”

Sheila mengerjap saat melihat kilat kemarahan di mata Irza. Boleh tidak jika dia menyimpulkan kalau Irza juga memiliki perasaan pada sahabatnya itu? Hubungan perteman pasti hanya sebuah kedok untuk menutupi perasaan. Dan bisa saja, Irza masih belum menyadari sejauh mana perasaannya untuk Soraya. Mungkin saja sadar, hanya saja memiliki pendapat yang sama seperti Soraya. Takut persahabatan hancur hanya karena rasa dan takut mendengar jawaban yang tak selaras dengan keinginan. Sebatas opini seorang Sheila. 

“Oke, gue bakal ceritain ke Kak Irza, tapi ....” Sheila menghentikan kata-katanya sambil mata melirik sekeliling. Posisi mereka terbilang tidak jelas. Irza yang mencondongkan badannya di depan Sheila, dan Sheila masih duduk di motor sambil mempertahankan diri dengan memundurkan tubuh. Karena itulah, orang-orang yang berlalu lalang melewati mereka menatap penuh antusias. Ada beberapa yang sengaja berhenti, ada juga yang sebatas lewat. 

“Tapi?” 

“Gak di sini, Kak. Lihat ke sekeliling coba!”

Irza menurut. Usai badannya menegak, barulah kepala menoleh ke kanan dan kiri masing-masing dua kali. Banyak pasang mata yang memerhatikan mereka sambil terus berbisik. Dia spontan menarik bibir lebar.

“Lo pada tahu ‘kan, kalau jok motor gue ini jarang ada cewek yang dudukin?” Bibirnya menyeringai saat melihat Sheila. “Dan dia ngotot banget pengen dianterin pulang. Awalnya sih, gue nolak. Tapi yah, kasihan anak orang ditelantarin.”

Lantas, tawanya terdengar sumbang. 

What?” pekik Sheila. Matanya sudah melotot dan kepalan tangan menggantung di udara, hendak melayangkan protes. Seenak jidat saja bicara yang tidak-tidak. Lihat saja sekarang! Orang-orang terutama kaum hawa seperti singa lapar yang menemukan mangsa saat menatap dirinya. 

Sheila tertawa kikuk sambil mengangkat tangan. “Maaf, ya, gue pinjem idol kalian sebentar. Dia agak gesrek, jadi omongannya gak perlu didengerin,” kata Sheila. Dia melakukan pembalasan, yaitu menarik rambut belakang Irza yang hanya sepuluh senti kira-kira panjangnya. Cowok itu mengaduh pun, Sheila tetap menjambak hingga terlepas sendirinya. 

“Sinting lo!” sungut Irza. Dia mengarahkan kaca spion ke dirinya, lalu merapikan rambut. 

“Lo lebih sinting, Kak!” sungut Sheila. Dia masih tertawa kikuk saat orang-orang yang menonton dirinya dan Irza mulai pergi, meski saat mereka pergi pun saling berbisik dan sesekali menoleh ke belakang. 

“Iya, orang ganteng bebas. Lo pasti mau ngomong itu, ‘kan? Udah ketebak.” Irza nyengir saja. Luntur sudah kesan pria tampan seorang Irza di mata Sheila. Yang dia tahu, Irzaldi itu tengil, nyebelin, narsis minta ampun. Menyesal dia terlibat dengan cowok itu.

“Udah, ah. Ayo, pergi. Katanya banyak yang harus dipersiapin, mengingat ini ulang tahun pertama Soraya yang dirayain sama dua orang teman. Bukan Kak Irza doang!” 

“Iya, bawel!”

“Lo yang bawel, Kak. Bukan gue, astaga! Tuhan, kenapa Engkau menciptakan makhluk seperti dia, sih?”

Bibir Sheila baru mengatup usai memelas diri pada Tuhan, motor Irza melaju secara tiba-tiba. Dia yang belum siap pun, badannya nyaris terjengkang andai tak sigap menegak. Beberapa pukulan di bahu Irza menjadi hadiah atas kekesalan yang menumpuk di ubun-ubun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top