11 - Kado Ulang Tahun

Jika pagi biasanya hanya ada satu piring kosong tersaji di meja, lain dengan sekarang. Di hari rabu, Soraya duduk berdua bersama mama di meja makan. Namun, dia tetap merasa seorang diri meskipun suara denting sendok beradu dengan piring menjadi pengiring, terdengar nyaring di antara ruang hampa yang kini menyesakkan dadanya.

Andai sang mama tak mengeluarkan satu patah yang membuat Soraya menjeda beberapa detik kunyahan di mulutnya, suapan terakhir nasib goreng pasti terasa enak. Namun, semua berubah hambar.

"Kamu udah ikutin saran Mama, 'kan?" Piring di hadapannya telah kosong dan digeser ke depan sedikit, agar kedua sikutnya leluasa bertumpu di meja makan beralaskan kaca dan dilapisi kayu jati di bawahnya.

Soraya tak bodoh. Dia paham ke mana arah pembicara mamanya.

Menyesakkan dadanya. Sebatas menghirup napas pun, rasanya Soraya kesulitan sekarang. Dia berusaha menahan diri, tak ingin lepas kontrol, termasuk meneteskan air mata. Dia tak ingin segalanya jadi runyam dan dunia tenang yang selama ini dibuatnya, dijaga dengan baik hancur lebur karena salah menjawab yang melibatkan emosi sesaat.

Dia terus bermain-bermain mata, tanpa menetapkan atensi kedua bola mata yang kerap menatap intens.

"Ray?" Panggilan mamanya menghentikan Soraya, lantas menundukkan pandangan ke meja. Terpantul bayangan dirinya sendiri, tampak begitu kacau. Dia menyunggingkan senyum, tak lama mengangguk lemah.

"Mama dengar, mau ada olimpiade? Iya?"

"Iya." Ah, akhirnya dia menghela napas setelah tadi rasanya kesulitan karena ada sesuatu yang menghimpit dadanya.

"Kamu butuh biologi berapa banyak? Biar nanti Mama suruh orang cari, terus anterin ke sini."

"Harus banget Raya ikut biologi, Ma? Nggak boleh yang lain? Misal matematika kayak yang aku suka gitu?" tanya Raya, lirih.

Satu ... dua ... tiga detik berlalu. Telinga Soraya sudah siap mendengarkan amukan sang Mama pagi ini.

Salah. Iya, dia mengajukan pertanyaan yang salah. Seharusnya tetap diam saja dan mengikuti peraturan sang Mama untuknya. Hancur sudah dunia tenangnya beberapa hari ini.

Sial!

Dia mendesis saat terdengar bunyi decitan kaki meja yang didorong ke belakang.

"Ma!"

Prang!

Nah, kan! Kali ini, piring menjadi korbannya. Dulu, sebelum Soraya masuk SMA kejadian serupa terjadi saat dia salah bicara, mengutarakan keinginannya mengambil jurusan matematika saat kuliah nanti dan gelas menjadi korban.

Pecahan-pecahan itu tercecer di wastafel. Masih untung, tak berserakan di lantai dan berujung dirinya yang membersihkan karena bibi pengurus rumah pasti dicegah mamanya untuk mengurus pecahan itu. Katanya, sebagai hukuman untuk Soraya.

"Apa kita harus bahas ini, Ray?" tanya Mamanya. Dan saat Sorang mengangkat kepala, perempuan berusia 40an itu sudah berbalik menghadapnya seraya pinggang bersandar di sisi wastafel. Kedua tangan terlipat di depan dada, sorot mata berubah nyalang seolah ada amarah yang tiba-tiba meluap.

Lalu, Soraya harus bagaimana sekarang?

Terlanjur, Ray. Lo terlanjur ngomong, terusin aja. Yang penting dada lo nggak sesek gini, batin Soraya.

Dia turut berdiri, meski tak melangkah. Kedua kepalan tangan Soraya tersembunyi di bawah meja, seakan menjadi kekuatan yang dia kumpulkan berada di sana. Beruntung kegugupan dan rasa takutnya tak membuat kaki bergetar atau bibirnya sampai kesulitan berbicara.

"Ma, bisa nggak kalau sekarang ambil matematika aja dulu? Nanti kuliahnya baru jurusan biologi?"

"Sekarang kamu minta kayak gitu. Nanti pas mau kuliah, pasti negosiasi hal sama juga. Kamu nggak lupa 'kan, kalau Mama mau kamu jadi dokter? Penerus kita? Kamu ini generasi ketiga, Ray. Kakek kamu, Mama dan kamu harapan Mama satu-satunya. Mama nggak punya anak lain selain ...."

"Ya udah, Mama nikah lagi aja, terus buat anak, deh. Nanti dia yang Mama paksa jadi penerus generasi, bukan Raya," sela Soraya. Terdengar suaranya tampak putus asa, juga rasa lelah bercampur dalam ulu hatinya mengingat bagaimana dia selalu terkungkung dalam obsesi sang mama.

"Soraya!" bentak sang mama.

Nyali Soraya ciut, emosi dan segala yang dia pendam seakan terbawa dibawa angin. Dia tak suka dibentak, dia tak suka suara meninggi saat seseorang menyerukan namanya. Semua itu selalu memicu denyut jantung dua kali lebih cepat, keringat dingin keluar dari telapak tangan saat mengepal kuat, dan sakit menyergap kepala. Dia nyaris limbung, andai tak ada seseorang yang menahan bebannya dari belakang. Saat Soraya menoleh, tampak wajah sang ayah tertangkap indra penglihatannya meski sedikit berkunang-kunang.

"Kamu baik-baik aja, Sayang?" tanya sang ayah, kemudian diangguki Soraya. Dia lantas dibantu duduk kembali di kursi.

"Ayah ngapain ke sini?" Giliran Soraya yang mengajukan pertanyaan. Seteguk air putih telah mengalir di tenggorokan. Rasanya nyaman tenang saat ada sosok pelindungnya sejak kecil ada di sana, meskipun atmosfer di ruang makan masih menyesakkan dadanya. Meski begitu, dia merasa lebih baik sekarang.

Soraya lantas melirik sang mama yang tengah membalikkan badan. Kedua tangannya menggenggam sisian wastafel erat-erat, punggung pun tampak naik turun tak beraturan.

"Kalau kamu bisanya bentak Soraya, biar dia tinggal di rumah saya." Ayah Soraya berujar datar, tapi terdengar dingin.

Spontan Soraya menggeleng kuat. Dia memang memiliki dua rumah, tapi tak satu pun di antara kedua tempat itu yang pantas dia katakan rumah. Selalu membuat dirinya tertekan, emosi memuncak dan tak bisa tertuangkan, berujung dirinya hanya menangis seorang diri dalam keheningan malam. Jika di rumah ini dia ada tempat pelarian, seperti rooftop, tidak dengan rumah sang ayah. Terlebih di sana ada Gita, juga ibu tiri yang meskipun baik, tetapi suasana di sana tak lebih baik di rumah bersama mama.

"Aku ... aku di sini aja sama Mama, Yah. Lagian, ada Kak Itu juga, dia selalu jagain Raya. Ayah nggak usah khawatir. Lagian, Mama barusan marah karena Raya nggak nurut, kok. Raya yang salah, Yah. Udah, ya? Kasihan Mama, nggak ada niat marahin Raya. Iya, 'kan?"

Soraya tahu, sang ayah tak buta. Pasti sadar kalau dirinya menyimpan banyak luka. Padahal dirinya menjadi korban keegoisan orang dewasa yang dia sebut orang tua.  Segalanya dia simpan seorang diri, kentara dari sorot mata yang kini menatap sang ayah sendu.

Sang ayah tampak menghela napas panjang. Dia berkacak pinggang sewaktu menatap Soraya lamat-lamat. "Beneran nggak mau tinggal sama Ayah? Bunda kamu juga, pasti seneng banget kalau ada kamu di sana."

Benarkah dia akan senang? Soraya meringis dalam hati. Dia menggeleng lemah, lalu menunduk dalam. "Kalau aku sama Ayah, nanti Mama sama siapa? Sendirian?" Saat Soraya mengangkatkan kepalanya, air mata telah menggenang dan siap terjatuh andai tangan Ayah tak sigap menghapusnya. "Cukup Ayah yang tinggalin Mama, aku nggak akan."

"Raya," panggil mamanya, lirih. Soraya menoleh, seulas senyum tipis terukir di bibir yang hari ini sengaja dia olesi pelembap bibir tak berwarna, bening. Terlihat mimik muka penuh rasa penyesalan. Air mata nyata tak bisa dia bendung saat bibir Mama menggumamkan kata maaf, meski tak bersuara. Dan Soraya, mengangguk.

"Ayah ada apa pagi-pagi ke sini? Tumben." Soraya sengaja mengalihkan pembicaraan. Itu lebih baik agar hatinya tak lagi dihujani ribuan batu sehingga terasa nyeri. Beberapa kali dipukul pun hanya sebuah kesia-siaan. Dia tetap menahannya, tak memperlihatkan di hadapan dua orang yang dia sayang.

Sang ayah mengusap wajah dengan kasar. Sebuah kursi di sebelah Soraya dia tarik dan duduk. Keduanya duduk saling berhadapan dan Ayah menggenggam tangan Soraya erat. Bibirnya tertarik lebar beberapa detik, merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuh, pun hatinya.

"Bunda bilang, hari ini ulang tahun kamu. Happy birthday, Soraya. Maaf, di hari ini kamu ... sudahlah." Tampak mata Ayah melirik ke sisi kanan, di mana mantan istri juga Mama Soraya masih berdiri di sana, di sisi wastafel. "Bunda mau bikin acara pesta kecil-kecilan di rumah. Kamu datang, ya? Nanti ...."

"Gak bisa, Om!" Seseorang menyela kalimat Ayah Soraya. Dia berdiri di ambang batas antara ruang keluarga dan ruang makan. Suaranya terdengar lantang saat berkata kembali, "Irza udah siapin pesta buat Soraya. Itu jadi agenda tahunan, Om. Nggak lupa, 'kan?"

Merasa jadi pusat perhatian karena ditatap semua orang, Soraya memilih memusatkan matanya pada sang mama. Seolah paham, perempuan itu menggeleng lemah sembari melangkah pelan mendekati kulkas.

"Mama udah nyiapin kue buat kamu, Raya. Tinggal ambil aja di toko langganan. Cuma ...." Kalimat Mama sengaja dipotong Soraya. Tadi dia sempat melihat rasa bersalah di wajah Mama. Sudah pasti jawabannya akan mengecewakan.

"Ada halangan. Gak apa, Ma. Nanti Kak Igu yang ambil kue ulang tahunnya, dan rayain berdua. Mama kerja aja, bantu nyembuhin orang."

Soraya melirik Irza sebentar. Pemuda itu masih di tempat yang sama, tak berpindah satu langkah pun. Sewaktu saling tatap meski tak lama, kentara sekali kekhawatiran di mata meneduhkan bagi Soraya. Dan seulas senyum sebagai tanda bahwa dirinya baik-baik saja.

Namun, percayakah Irza? Jawabannya tidak. Dia paham betul dari a-z permasalahan di keluarga Soraya dan tahu kapan tetangga rumahnya itu baik dan tidak baik-baik saja.

"Bilangin sama Bunda, nggak usah repot-repot." Tali tas telah berpindah ke bahunya. Dia lalu berdiri dan menatap satu per satu orang yang dulu katanya pernah saling mencintai dan berbuah dirinya. Ujung bibir tertarik beberapa detik, rasa perih itu masih ada, tetapi lebih baik karena kehadiran seseorang yang selalu jadi malaikat pelindungnya. Baik itu sang ayah juga Irza. "Raya sekolah dulu sama Kak Igu. Assalamualaikum."

Usai menyalami keduanya, disusul Irza, Soraya berjalan di depan meninggalkan rumahnya dengan senyum terukir di bibir.

"Lo boleh nangis, Ray." Irza tiba-tiba berujar di undakan tangga terakhir sebelum alas sepatunya menyentuh pijakan dari batu.

Langkah Soraya pun terhenti, lantas memutar badan hingga menghadap Irza. Dia menatap pemuda itu dari atas hingga bawah. Tak ada yang berubah, tetap sama. Tampan dan menawan. Tatanan rambut rapi, mengkilap. "Nggak untuk hari istimewa yang cuma datang satu kali seumur hidup."

"Dan jangan lupa, Ray. Umur emang tambah, tapi nyatanya berkurang. Iya, berkurang waktu lo di dunia ini."

"Maka dari itu, gue gak mau sia-siain waktu buat nangis mulai saat ini dan nikmati sebaik-baiknya."

"Karena itu, lo jadi masuk Study Club dan nekad ambil ...."

"Iya," jawab Soraya. "Udah, ah. Ayo, pergi! Kalau telat bisa bahaya, Kak!"

Alasan sebenarnya cuma mau buktiin ke orang-orang, Kak, kalau Soraya punya kelebihan dan pantas buat dibandingin sama lo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top