10 - Study Club

"Sheila, lo mau bawa gue ke mana, sih?" tanya Soraya.

Dia tetap menyamai langkah Sheila meskipun cewek itu tak menjawab pertanyaannya, sebatas menoleh dan menebar senyum.

Sekarang jam istirahat. Jika orang lain berbelok ke kanan menuju kantin, justru Soraya tetap ditarik Sheila ke arah kiri. Soraya tak bodoh, dia baru tahu ke mana tujuan mereka. Sampai di depan ruangan yang bersebelahan dengan perpustakaan, barulah mereka berhenti.

Sheila sengaja membuat dirinya dan Soraya saling berhadapan, lantas memegang kedua bahu sahabatnya seraya ditepuk tiga kali.

"Lo masuk ke sana, terus minta formulir pendaftaran." Soraya hendak protes, tetapi Sheila segera menyelanya lebih dulu. "Nggak ada acara protes. Nurut aja sama gue, ini yang terbaik. Lo harus percaya diri. Nggak mau kecewain gue, sahabat lo, 'kan?"

"Harus?" tanya Soraya, lirih.

"Iya, harus. Lo bakal kecewain gue kalau nggak masuk. Dan lo juga bakal kecewain gue seandainya nggak percaya sama potensi yang ada dalam diri lo. Soraya itu pinter matematika, banyak di sini yang lemah di bidang itu. Lo unggul daripada mereka yang tahunya bacot soal fisik," cerocos Sheila.

Sebelum Soraya membatantah atau mengatakan argumen yang membuat telinga Sheila bosan, karena pasti tentang ketidak percayaan diri, dia lebih dulu mendorong pintu abu di depan mereka berdua.

"Kak, ada yang mau daftar Study Club," ujar Sheila, sedangkan Soraya malah mematung. Titik fokus mata lansung tertuju pada dua orang di hadapannya.

"Eh." Sheila menangkap pemandangan yang sama. Dia tersenyum lebar, kemudian menarik paksa Soraya untuk masuk dan mendekati meja Kak Naresta, ketua Study Club. Namun, keduanya sempat melewati Gita dan Irza.

Jika Soraya mati-matian menahan napas karena hati bergemuruh melihat bagaimana tingkah Gita yang sengaja dibuat mesra bersama Irza, sedangkan Sheila dengan lantang berucap, "Kak, Soraya mau daftar Study Club dan ambil mata pelajaran matematika. Sekalian kalau beruntung, maju olimpiade. Masih ada slot kosong, 'kan?"

Semua mata tertuju padanya sekarang. Ada enam orang di sana, sebelum Soraya dan Sheila datang. Itu berarti sekarang berjumlah delapan orang.

Soraya menunduk, dagu sudah menempel ke dada. Dia bahkan tak berani menatap Irza, meskipun tahu bahwa pemuda itu menunggu dirinya untuk berbalik. Setelah itu, pasti melayangkan pertanyaan bertubi-tubi. Sebenarnya, dia bisa saja memutar tubuh agar matanya menjangkau Irza, hanya saja ada Gita. Enggan menatap cewek yang dia hadiahi nama nenek gambreng itu. Panas saja rasanya, bawaannya ingin menyemburkan kata-kata kasar. Kalau itu terjadi, dia lupa diri ada di mana, bisa-bisa Soraya kehilangan muka dan tak berani lagi menginjakkan kaki di Alam Raya. Cukup pertama kali sekolah jadi pusat perhatian, jangan lagi. Ah, mungkin nanti saat namanya dielukan karena meraih peringkat pertama di Olimpiade matematika. Doakan saja.

"Serius, Ray?" Pertanyaan Nares dijawab anggukan oleh Soraya. "Nggak lagi bercanda?"

"Kalau Kak Naresta kasih izin, aku nggak bercanda. Kalau nggak dikasih izin buat masuk ke Study Club, aku bakal bilang lelucon doang," balas Soraya. Dia menatap ketua Study Club itu serius, dan mengangguk dua kali bertanda kesungguhan atas niatnya.

Semula dia memang masih ragu, tetapi niatnya masuk ke Study Club sudah mantap dan tak bisa diganggu gugat. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang, karena Naresta menatap setiap anggotanya yang ada di sana. Semua orang mengangguk, meski kentara keraguan. Itu yang Soraya tangkap. Namun, matanya menatap nyalang saat Gita hampir menggelengkan kepala.

"Gita, lo setuju, 'kan?" seru Irza. Dia seolah berharap Gita mengangguk.

Apa lo? Mau nolak gue masuk sini? Mau nolak Kak Igu?

Meskipun berbicara dalam hati, tetapi seolah Soraya tengah berbicara lewat hati ke hati dengan Gita dan saling tatap menatap.

Tampak Gita mendengkus keras, lalu mengangguk lemah. Dia tak memiliki jawaban lain, tak bisa menolak. Semua orang sudah setuju. Mau menolak pun, bagaimana? Memang di antara mereka tengah mencari satu orang yang siap mengisi kursi di bidang matematika.

"Oke, besok siang lo bisa ke sini buat tes pertama. Kalau lolos, pertemuan kita setiap selasa sama jumat. Pembimbing matematika ada Pak Ratwa. Lo pasti udah tahu gimana dia, mengingat lo anak IPA?"

Penjelasan Naresta mengalihkan atensi Soraya. Cewek itu tersenyum lebar sebagai jawabannya.

"Makasih banyak, Kak. Nanti aku ke sini lagi."

"Ya udah, lo boleh pergi."

"Makasih banyak, ya, Kak Naresta yang ganteng," seru Sheila, lalu menyusul Soraya yang lebih dulu melangkah.

***

"Lo mesti juara satu. Oke? Gimana pun caranya, gue bakal bantu lo sampai akhir."

Soraya terkekeh melihat antusiasnya Sheila. Dia terus saja nyerocos, padahal es teh manisnya sudah tak sedingin tadi, bakso pun minya pada melar sebesar cacing. Punya Soraya malah sudah hilang ditelan mulut, lalu menumpuk di perut.

"Kalau lo butuh buku buat belajar, gue anterin ke gramedia."

"Dibeliin atau gue beli sendiri?" tanya Soraya, bermaksud menggoda saja.

Bibir Sheila bungkam, matanya bermain-main, melirik kanan kiri hingga akhirnya melihat objek yang bisa jadi jawabannya. Dia nyengir lebar, lalu mencodongkan badannnya sampai dada menempel ke meja. "Dibeliin, tapi bukan sama gue."

Soraya ikut mencondongkan badan. Agak penasaran, soalnya ekpresi Sheila mencurigakan sekarang.

"Siapa?"

"Tuh!" Telunjuk Sheila mengarah ke belakang Soraya. Spontan Soraya pun menoleh dan mendapati gerombolan Irza di sana.

"Gila lo!" seru Soraya, lantas duduk posisi semula.

Sheila terkekeh. "Dia ada nanya nggak? Kan tadi lihat kita di sana. Sama si Gita lagi."

Ah, Soraya lupa! Sejak tadi memang ponselnya bergetar terus di saku. Dia urung melihatnya karena sudah menebak ada Gita di antara pesan yang masuk.

Dia segera merogoh saku, mengeluarkan ponsel dan memilah pesan mana yang harus dibuka lebih dulu. Pesan Irza memang selalu dia sematkan agar tampil paling atas, tak tenggelam pesan yang lain.

Nenek Gambreng

Heh, ngapain lo masuk ke Study Club?

Padahal jari jemari Soraya masih menekan-nekan papan ketik, tetapi balasan datang lagi dari Gita.

Keluar atau gue yang usir!

Soraya mengembangkan senyum sinis. Dia menoleh ke segala arah, tetapi tak ada Gita sejauh matanya menjelajah setiap sudut kantin. Sampai di tempat di mana Irza duduk, barulah matanya memicing. Ada seorang perempuan di sana, di samping Irza. Sesaat mata Soraya dan milik Gita beradu.

Anda siapa sok atur-atur saya?

Urusin aja urusan lo, kalau nggak mau ketahuan punya adek tiri macem gue!

Pesan berhasil Soraya kirim. Ponsel sengaja dia telungkup kan, lalu sebuah senyum mengembang dan menjadi penutup keberadaannya.

"Pasti chat dari Kak Irza, ya?" tanya Sheila, dia mencolek dagu Soraya sambil terus mengedipkan mata kanannya.

Soraya mengernyitkan dahi. Kelakuan Sheila mirip orang cacingan. Ingin memukulnya menggunakan tissu, sayang tissunya. Tidak punya dosa apa-apa.

"Bukan, dari nenek gambreng," sahut Soraya, nada bicaranya malas.

"Gue jadi penasaran sama muka dia. Segarang apa, sih?" Usai mengajukan pertanyaan itu, sedotan di gelas es teh manis itu baru Sheila sentuh. Dia aduk-aduk dua kali, padahal esnya sudah meleleh. Barulah dia seruput sambil menatap Soraya. Yang ditatap bergidik ngeri.

"Nggak usah kepo. Dia punya tanduk kalau lagi marah. Ngeri banget dah, pokoknya."

Kedua tergelak membicarakan seseorang yang mereka sebut nenek gambreng. Separuh kisah hidup Soraya memang diketahui Sheila, termasuk keluarga keduanya. Namun, dia tak pernah menyebutkan atau memperlihatkan siapa-siapanya. Pun kepada Irza. Dua orang tersebut hanya tahu dari cerita dan selalu ikut marah setiap kali kisah tentang menyebalkannya seorang kakak tiri terlontar dari bibir Soraya

Omong-omong, pesan dari Irza sengaja Soraya tak balas, biar saja nanti saat mereka bertemu dan dia menjelaskan secara langsung. Capek kalau harus dia ketik, karena seorang Irzaldi tak pernah menerima jawaban singkat, inginnya yang runtut dan panjang. Setelah itu, pertanyaan pasti berbuntut panjang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top