09 - Buku Matematika
Satu menit jika pelajaran matematika berlangsung, seperti sejam lamanya. Mata pelajaran paling horor ditambah guru killer selalu menjadi ciri khas di tiap sekolah. Padahal, jika ingin menyukai satu materi, sukai dulu gurunya. Nah, ini. Mau suka bagaimana? Bertatapan mata saja bulu kuduk rasanya berdiri. Padahal, sosok di depan sana tampak sederhana. Kemeja selalu kebesaran di tubuh mungil, wajah yang terbilang lebih tua dibanding usia dan uban menutupi seluruh hitamnya rambut.
Panjang kali lebar sudah Pak Ratwa Hadi menjelaskan materi tentang Persamaan Linear Tiga Variabel, sampai ke contoh yang tak hanya satu. Namun sialnya, antara contoh yang diterangkan dan soal selalu berbeda cara.
"Baik. Ada yang mau menjawab di depan?" Pak Ratwa berbalik, membelakangi papan tulis dan menodongkan spidol ke arah wajah-wajah muridnya yang sudah kusut, kusam. Padahal masih pagi, jam kedua pelajaran.
Soraya turut mengedarkan pandangan, kepala memutar saat mengawasi seluruh teman sekelasnya saling menatap dan memberi kode untuk maju lewat bola mata isyarat anggota tubuh lain.
"Soraya, Pak!" seru Sheila. Tak lupa dia mengangkat tangan teman sebangkunya sebatas kepala.
Soraya terperangah. Dia nyaris tersedak ludah sendiri saat semua orang menatapnya dengan binar bahagia, seperti menemukan oase di tengah gurun pasir.
"Oke, Anda maju ke depan. Kalau benar, saya kasih poin. Kalau pun salah, untuk menghargai keberanian Anda, tetap ada poin."
Mau tak mau Soraya tetap menggerakkan kaki menjauh dari tempat dia duduk. Sebelah tangan sudah memegang buku paket Matematika. Langkahnya terus meragu sampai di depan papan tulis. Spidol pun sudah berpindah tangan padanya.
"Ayo, kerjakan nomor tiga!" titah Pak Ratwa.
Soraya melihat gurunya itu mengangguk sewaktu mundur tiga langkah menjauh darinya, kemudian duduk di kursi guru dengan posisi menyamping agar bisa meliat anak Soraya mengerjakan satu soal.
"Kamu bisa, Soraya. Mudah, kok," gumamnya saat spidol ujung sudah menempel di papan tulis.
Di awal, dia sempat menghirup napas panjang. Rasanya sesak di dada setiap kali jadi pusat perhatian. Tanpa menoleh pun, semua mata pasti tengah tertuju padanya. Mungkin saja terbagi jadi dua kubu. Ada yang yakin dia bisa mengerjakan dengan benar, ada yang tidak. Dan pasti, mayoritas berpendapat Soraya akan gagal.
Mata terus mengamati deretan angka yang dia tulis dengan tangannya. Seolah tak ada hambatan, tak berhenti sampai di angka terakhir yang menjadi sebuah jawaban. Dia tersenyum lega, lalu mundur dua langkah untuk memindai sekilas hasil kerjanya yang tak menghabiskan waktu lebih dari lima menit.
"Iya, bagus. Namanya Anda siapa?" tanya Pak Ratwa, meluruhkan senyum sesaat Soraya.
Ciri khas dari salah satu guru Matematika yang ada di SMA Alam Raya tersebut, selalu menyebut Anda sebagai kata ganti kamu pada anak didiknya.
"Jawabannya bener, Pak?" tanya Soraya, menegaskan.
Pak Ratwa pun mengangguk. Dia membuka buku absen dan bertanya nama lagi yang langsung dijawab dengan Soraya.
"Oke, Soraya. Anda berani menjelaskan dari mana mendapat jawaban itu?"
Dengan mantap, Soraya mengangguk. Lalu, menjabarkan langkah demi langkah jawaban soal nomor tiga. Kata demi kata dia pilih agar lebih mudah dimengerti orang-orang yang tengah menyimaknya. Dan Soraya pun menarik napas panjang mengakhiri sebuah penjelasan singkat padat dan jelas, kemudian disambut senyum bangga di bibir Pak Ratwa.
"Oke, Anda dapat nilai plus dari saya. Saya harap, setiap soal Anda mampu jawab."
Semoga saja, Pak, batinnya mengiringi kaki kembali berjalan ke tempat duduk. Di sebelahnya, Sheila menyambut dengan rasa haru. Dia merasa, suasana di kelas tidak horor lagi sesudah senyum terbit dari Pak Ratwa, itu karena Soraya.
Soraya segera menepis kedua ibu jari Sheila yang terangkat setinggi dadanya. Dia mendesis, pula mendelik meski hati terasa senang juga lega karena beberapa orang di belakangnya berbisik terima kasih karena menyelamatkan mereka semua dari amukan Pak Ratwa.
"Nggak usah berlebihan, Shei. Gue cuma lagi beruntung aja bisa jawab," bisik Soraya.
"Lo bukan lagi beruntung, tapi emang otaknya encer. Lihat aja buku catatan lengkap gitu. Terus juga buku latihan. Sejak pertemuan pertama, emang belum Pak Ratwa tagih aja tugas-tugas kita. Tapi, nih, dari sekian anak di sini, cuma punya lo yang setiap soal ada jawabannya. Cerdas banget temen sebangku gue," ungkap Sheila, tak lupa alis tebal menyaingi ulat bulu hitam dinaik turunkan tiga kali.
Soraya tak menimpali lagi. Dia kembali fokus ke depan karena masih ada sisa lima belas menit sampai bel pergantian pelajaran berbunyi.
Namun, di tengah-tengah kekhusuan, tiba-tiba telinganya terasa panas karena seseorang berbisik di sana, "Nanti gue pinjam buku catatan lo, ya."
Soraya cukup berdeham saja sudah membuat Sheila cengengesan.
***
Hari berikutnya, tak ada yang istimewa untuk Soraya. Sarapan sendiri karena mamanya masih di Bandung. Saat membuka pintu rumah pun, Irza sudah berdiri di halaman rumah.
"Nih." Sebotol minuman kemasan rasa teh susu dilemparkan Irza pada Soray setelah menutup pintu kembali. Cewek itu dengan tanggap menerimanya. Dia keheranan.
"Imbalan karena tadi malam udah mau jadi tutor Matematika. Di dunia ini nggak ada yang serba gratis, 'kan? Termasuk waktu lo yang gue ambil. Ya, uang nggak bisa gue kasih, makanya minuman kesukaan itu jadi penggantinya," terang Irza.
Soraya tersenyum usai mendengarnya. Dia tak banyak bicara, langsung naik ke boncengan motor Irza dan mereka pun pergi ke sekolah. Di hari selasa ini, Soraya berharap tak ada kejadian aneh yang membuat dunianya terusik lagi.
Seperti biasa. Dia selalu turun sejauh dua puluh meter sebelum gerbang sekolah. Tak ada teman satu sekolahnya yang berkeliaran di sana, jadi dia aman. Punggung Irza semakin mengecil di mata Soraya, lalu menghilang di belokan. Barulah dia melangkahkan kaki dengan riang sambil menggumamkan bait-bait lagu yang didengarnya lewat earphone. Setidaknya dengan itu, dia tak mendengar apa pun yang orang-orang katakan saat dia lewat. Masa bodoh mau membicarakannya atau tidak. Dan sepertinya, saat sesekali mengamati lorong-lorong kelas, ada beberapa anak yang lalu-lalang pun tampak tak acuh akan kehadirannya.
Sampai tiba kakinya menginjak ambang pitu kelasnya. Dia mengedarkan pandangan, tampak semua siswa sibuk dengan buku dan alas tulis. Dia tersenyum tipis. Ah, mereka semua tengah sibuk mengerjakan lima nomor soal Matematika yang beranak cucu.
Hari senin dan selasa di jam pertama dan kedua memang palinga horor selama seminggu. Karena, Pak Ratwa tercinta akan masuk dan diakhiri tugas setiap kali pertemuan. Mau berkeluh kesah pun percuma bagi mereka, tak akan membuat soal mendadak terjawab semua.
"Kenapa senyam-senyum sendiri, Shei?" tanya Soraya. Dia sudah menempelkan bokong di kursinya. Tas pun dia sampirkan ke sandaran kursi.
Sheila menggeleng pelan, meski tangannya menyodorkan buku catatan milik Soraya yang kemarin dia pinjam, sambil terus bertingkah aneh. Mata berkedip-kedip kayak orang cacingan, bibir tertarik lebar meski giginya tak kelihatan.
"Buka coba, Ray!" titah Sheila.
Masih menatap Sheila aneh, Soraya tetap menuruti perintah Sheila. Buku itu dia buka di halaman pertama. Tak ada yang aneh, isinya hanya catatan matematika biasa, rumus-rumus dan sampai di halaman terakhir bibir Soraya menganga. Dia spontan menoleh ke arah Sheila, lalu memeluk buku tersebut.
"Sheila!" teriaknya. Ingin marah, tetapi rasa malu mendominasi. Beberapa orang yang sudah hadir di kelas pun, spontan menoleh dan menatap aneh padanya. Namun, cewek itu tak meminta maaf, hanya menutup wajah dengan buku itu.
Soraya memang ceroboh juga pelupa. Dia menuliskan kata-kata yang mengungkapkan perasannya pada Irzaldi. Masih aman kalau saja nama pemuda itu tak terang-terangan tertulis di paragraf terakhir, atau minimal pakai inisial. Sedangkan ini? Saat Soraya mengintip isinya lagi pun, tertulis dengan jelas Irzaldi Gumelar.
"Lo nggak bisa ngelak, Soraya. Udah gue duga, 'kan? Hayo, mau alasan apa?" Sheila sengaja mencolek-colek ujung dagu Soraya, sambil terus mengedipkan sebelah matanya seperti orang cacingan. Dia pun tergelak saat teman sebangkunya merengek saking malu.
"Ah, Sheila. Lo kenapa tahu rahasia gue, sih?" tanya Soraya. Posisi duduknya tak tegak, agak melorot ke bawah. Dia rasanya lemas usai rahasianya diketahui Sheila.
"Takdir."
"Sesimpel itu lo jawab?"
"Iya, kayak perasaan lo ke ...."
"Nggak usah disebutin juga, Shei." Tangan Soraya segera membekap mulut Sheila, takut cewek itu keceplosan. "Lo bisa 'kan, jaga rahasia gue? Lo pasti paham posisi gue."
Sheila menatap Soraya dalam diam beberapa menit. Dia lantas mengambil kedua tangan Soraya yang tak kalah putih dengan miliknya, dan diletakkan ke pangkuannya. Perubahan wajah cewek itu kentara, semula semringah mendadak serius.
"Ray, dengerin gue. Cinta itu fitrah dari Tuhan dan hak lo mau suka ke siapa pun. Dan kata lo di belakang buku itu, si upik abu mencintai pangeran, emangnya salah?"
"Gue nggak mau jadi bahan gunjingan orang lain lagi karena ...."
"Wajah lo itu?" Sheila sengaja memotong kata-kata Soraya. Dia tersenyum sinis, sambil menunduk. "Lo itu kurang percaya diri buat tampil di depan orang-orang. Karena itu juga, mereka jadi gampang ngomong sesuka hati karena selama ini tanggapan lo cuma diam. Coba ubah opini mereka tentang lo, Ray. Percaya diri. Nggak susah kok."
"Susah, Shei." Soraya menunduk lesu.
"Tapi, gue punya ide." Seketika kepala Soraya terangkat. "Lo cukup perlu ikut olimpiade Matematika, Soraya, terus menang. Tapi sebelum itu, lo harus masuk dulu Study Club."
"Makin gak percaya diri," ujar Soraya lirih. Dia sampai menyimpan kepala di antara lipatan tangan di meja.
"Gue percaya lo bisa, kok, kenapa diri lo sendiri nggak? Dengan lo masuk ke sana, terus nanti nyabet juara, nama lo bakal harum dan opini mereka pasti berubah. Mereka pasti sadar, setiap orang itu punya kelebihan dan kekurangan. Dan kelebihan lo ada di otak, di matematika. Pasti banyak orang yang gak nyangka, takjub. Percaya sama gue."
"Tapi ...."
"Lo nanti siang gue antar ke ruangan Study Club, terus daftar. Nggak ada penolakan."
Tepat setelah mengatakan kata terakhir, Sheila menaruh telunjukanya di bibir Soraya dan menyuruhnya untuk tak berkomentar karena Pak Ratwa masuk bersamaan dengan bunyi bel.
Soraya sempat tercenung. Dia memang melihat pengumuman tentang olimpiade sekitar tiga hari lalu. Ada sedikit keinginan untuk ikut, tetapi dia dipenuhi keraguan. Terlebih, Gita pun termasuk anggota Study Club dan mengambil mata pelajaran Kimia. Dan Sheila, menyarankan dia untuk ikut. Haruskah jadi bagian dari Study Club?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top