08 - Tentang Bintang dan Keindahannya
Kantung kresek berisikan camilan, cokelat, es krim sudah tersimpan di antara Soraya dan Irza. Mereka duduk sila, berhadapan satu sama lain. Suasana kembali seperti semula. Hati Soraya kembali menghangat, begitu pun pemuda itu cengar-cengir tidak jelas sambil terus menyugar dan menyisir rambut agar rapi karena terus berantakan terkena embusan angin malam.
"Buat gue aja semuanya," cetus Soraya. Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu makanan.
Sontak mata Irza melotot. Masalah makanan tidak bisa tidak dia makanan.
"Enak aja. Kalau lo makan semuanya, yang ada makin lebar pipinya, Ray. Mau?"
Raya menggeleng cepat. "Becanda doang, ih. Nggak seru, ah, bawa-bawa pipi."
Eh, Soraya malah mengembungkan pipi secara spontan, memancing tangan Irza terjulur dan mencapit kedua hidungnya. Pemuda itu memang gemas terhadap Soraya, tetapi sang hidung yang imut melebihi boneka–kata Irza–selalalu jadi sasarannya.
Bibir boleh saja meringis, mengaduh, lain dengan hati yang bersorak kegirangan sekarang ini. Debaran di jantung masih tetap sama setiap kali mereka tertawa bersama.
Satu per satu camilan mereka buka. Hanya bunyi dari kunyahan mulut seperti menjadi pengiring yang syahdu. Soraya asyik memandangi langit, sesekali tersenyum simpul.
"Kenapa suka bintang?"
Soraya mendengkus. Lelah saja kalau harus mendengarkan pertanyaan tersebut berulang kali, pun menjawabnya. Dia mendelik dan mendapati Irza terkekeh.
"Iya, gue tahu. Karena nama lo yang berarti bintang juga, makanya demen banget lihatin bintang. Bukan bintang juga, sih, tapi tentang angkasa, langit, antariksa dan sebagainya selalu jadi objek menarik buat lo." Irza menjawab pertanyaannya sendiri.
"Tapi, meskipun Mama nggak mempermasalahkan itu, dia tetep aja maksa gue buat jadi dokter bedah. Hah, padahal nonton drama tentang kedokteran aja, terus ada adegan bedah di ruang operasi gitu, bikin bulu remang berdiri. Ngeri yang ada. Nggak tahu, deh, kalau Tuhan emang udah takdirin Soraya jadi dokter, bisa sanggup apa nggak pegang pisau bedah dan kawan-kawannya," ungkap Soraya.
Usai menelan satu kripik kentangnya, Soraya menoleh ke samping. Irza asyik tersenyum sendiri. Ah, perasaan bersalah tiba-tiba menyusup hatinya. Dia mempermasalahkan kenapa tak pernah menyadari sorot mata lelah pemuda itu? Bahkan, tawanya pun sekarang tampak penuh kepalsuan. Pun rasa ngilu ikut bersarang di hati.
Entah keberanian dari mana. Tangan kiri yang sudah bebas tak menggenggam bungkus kripik lagi, tiba-tiba menepuk-nepuk punggung tangan Irza beberapa kali.
Soraya berujar lirih, "Maaf, Kak. Selama ini gue selalu egois, nggak pernah merhatiin lo dan memandangkan kalau semua baik-baik aja. Padahal, di dunia ini selalu ada kepalsuan. Termasuk keceriaan Kak Igu yang ternyata sebatas penutup luka."
"Gue baik-baik aja, Soraya. Lagian, gue juga ngelakuin ini rela, ikhlas dan ngerasa menebus kesalahan sama Bang Mirza. Lo tahu sendiri 'kan, dulu sering iri banget sama dia karena mengambil banyak perhatian orang rumah yang ternyata ... ternyata umur dia nggak lama daripada gue."
Perasaan Soraya bercampur aduk tak keruan. Dia bisa saja salah tingkah ditatap intens oleh Irza, tetapi yang Soraya lakukan cukup menarik napas dalam-dalam dan mengukir senyum tipis.
"Kenapa nggak pernah jujur tentang perasaan Kak Irza ke Om sama Tante?"
Irza menggeleng. "Gue terlalu pengecut, Ray. Membayangkan mereka kecewa karena nggak nurut apa yang mereka mau, rasanya kayak dihantam batuan besar. Sakit banget. Itu cuma bayangin aja, loh, bisa aja kejadian lebih parah daripada itu."
"Tapi, terkadang yang terjadi di luar ekspektasi. Dalam bayangan buruk, pada nyatanya nggak seburuk itu. Jutru melegakan, Kak. Jangan dulu menyimpulkan masa depan seolah lebih tahu daripada Tuhan."
"Ray, gue ...."
"Apa?" Irza mengangguk. "Kak, mereka udah kehilangan anak pertama dan pasti nggak mau kehilangan lagi, yaitu lo yang sekarang satu-satunya. Kalau mereka tahu selama ini anaknya nggak bahagia, masa depan hancur karena memaksaan diri jadi orang lain, apa mereka nggak kecewa, menyesal? Pasti, Kak. Mereka merasa jadi orang tua gagal yang selama ini selalu bicara maunya apa tanpa bertanya. Pun Kak Igu selalu diam tak pernah bicara apa mau Kak Igu. Seenggaknya itu lebih baik daripada terus dipendam. Kita nggak akan pernah tahu hasilnya kalau belum dicoba."
"Lo juga, Ray. Bicarain baik-baik sama Tante Dian tentang cita-cita ...."
"Mulut gue udah capek ngomongin itu, Kak. Kita lihat ke depannya aja. Yang jelas, gue mau berjuang dulu tanpa diketahui Mama."
"Caranya?" Sebelah alis Irza terangkat, bersamaan embusan angin menerbangkan setiap helaian rambutnya.
Soraya tersenyum. Sisi wajahnya terkena sorot lampu jalanan juga terpaan angin malam. Dia menatap dalam Irza, lalu menjawab, "Kak Igu lihat aja nanti. Cuma yang aku mau, kita berbagi semangat dan keluh kesah. Persahabatan itu saling, Kak, bukan cuma pacaran doang yang kayak gitu. Gue merasa orang paling bodoh karena nggak pernah peka."
Pemuda itu terkekeh pelan mendengar kata-kata Soraya yang menurutnya sok bijak itu. Dia kembali menyampingi Soraya, melanjutkan gerakan mengunyah kripik yang sempat tertunda karena pembicaraan serius mereka.
"Ya, pokoknya gitu. Bukan cuma lo yang tahu tentang masalah gue, tapi gue juga mau tahu tentang masalah lo."
"Setiap hal ada batasannya, Ray. Dan gue cowok. Wajarlah kalau nanggung semuanya sendiri, harus kuat."
"Dan asal lo tahu, Kak. Cowok juga manusia, punya hati, bia tertekan, punya titik lelah dan butuh sandaran juga. Nggak usah sok kuat karena itu sama aja menyiksa diri."
Tangan kanan Irza sengaja mengusak kepala Soraya, membuat cewek itu memekik dan segera menepisnya.
"Lo jorok, Kak. Tangannya kotor, masa pegang rambut gue yang baru sampoan tadi pagi, sih. Sumpah!"
"Hahaha ... sampai kapan pun, gue debat sama Soraya nggak akan pernah menang. Jadi, manut aja biar mulut yang sering nyeroscos itu diem."
Dan tanpa permisi, dia malah mencomot bibir manyun Soraya dengan tangan kanannya. Masih ada sisa-sisa bumbu kripik kentang di setiap jari-jarinya. Cewek itu spontan melotot dan memukul-mukul lengan kekar Irza. Yang dipukul malah kegirangan, tetawa puas tanpa beban.
Melihat Irza seperti itu, sejenak Soraya terdiam dan mengulum senyum tipis.. Dia berharap, Tuhan selalu memberikan momen keduanya seperti ini. Tak peduli orang lain selalu mencemooh, selagi Irza di sampingnya Soraya merasa aman dan baik-baik saja. Lelaki itu seperti penyalur energi terbesar ketika dia merasa di titik lemah.
"Iya, Irzaldi Gumelar itu ganteng sejak lahir. Wajar kok kalau dilihatin terus. Sampai puas, ya, Ray." Dia tertawa jenaka, bermaksud menggoda Soraya yang mulai memeragakan orang muntah ke sisi kanan.
"Sumpah. Kenapa Tuhan ngirimin gue tetangga yang percaya dirinya nggak bisa dikurangin, justru nambah terus?"
"Harusnya bersyukur, dong. Jadi, tiap hari lihat yang bening terus. Di sekolah malah cewek-cewek pada ngejar, minta foto segala kek artis ke gue. Nah lo, bisa deket kayak gini. Nggak mau sungkem, nih, sama organ?"
"Apaan organ?" Kening Soraya sedikit mengerut.
"Orang ganteng."
"Dih, ganteng. Gangguan telinga kali." Soraya mencibir.
Dan malam itu, menjadi malam panjang keduanya melepas tawa di roooftop. Sebuah tempat ternyaman kedua setelah kamar di rumah yang Soraya tinggali sejak kecil. Dan bersama seseorang yang dia anggap berharga dalam hidup, orang penting yang mengukir sejarah setiap hari bersama dan orang yang dia harapkan Tuhan kirim untuk menjadi malaikat pelindung, penjaga.
Dia, Irzaldi Gumelar. Pria yang sudah menjadi raja di kerajaan hati Soraya. Dan entah sampai kapan, rasa itu akan dipendam tanpa ada yang tahu. Cukup topeng persahabatan menjadi benteng sebuah rahasia hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top