07 - Rooftop dan Segala Kisah

Mobil hitam sudah terparkir lebih dulu di halaman rumah minimalis serba putih, sebelum Vario milik Irza. Soraya lebih dulu melenggang masuk sambil menenteng kresek putih berisikan empat es krim hasil memeras dompet Irza.

Jika dulu rumah terasa hangat, tetapi sekarang baru sampai ruang tamu pun terasa hampa.

"Ma! Soraya pulang!" teriaknya sambil berlalu ke dapur, bermaksud menyimpan es krim ke kulkas. Sayang 'kan kalau mencair, dimakannya nanti saat dia ingin menikmati pemandangan langit.

"Mama di kamar, Ray. Kamu sama Irza, 'kan? Suruh dia makan, ada cumi di meja. Kamu ke sini samperin Mama," sahut Dian, sama berteriak dari kamarnya di sayap kanan rumah.

Setengah badan Soraya memutar ke belakang. Dia membulatkan mata saat melihat Irza tengah mengupil, lalu cowok itu malah nyengir tak berdosa. Dia jadi berpikir, seperti ini kelakuan cowok yang lumayan banyak digandrungi kaum hawa di Cakrawala? Sok jaga image di sekolah, kalau di depannya nyaris semua aib dibuka.

"Kenapa lihatin kayak gitu?" tanya Irza. Ujung jari bekas mengupil dia serbetkan pada ujung jaketnya, membuat Soraya bergidik, lalu kepala menggeleng pelan.

"Barusan denger apa kata Mama, 'kan?" Irza mengangguk. "Aku ke atas dulu, Kak Igu makan aja. Ngobrol yang katanya mau dibahas itu, nanti kalau udah selesai."

Usai mengatakan itu, kaki Soraya baru sampai di anak tangga kedua, terdengar bunyi bom lokal meledak yang teredam kursi saat bokong Irza baru saja menempel di atasnya. Sontak Soraya menjerit, "Jorok banget, Kak!"

Irza nyengir. "Ini juga salah lo, sih."

"Kok salah gue?"

"Kalau lo nggak misuh-misuh kayak tadi pagi, pasti gue nggak ngambil sambal lima sendok pas di kantin. Akibatnya gini, nih. Perut gue mules, mana bau lagi."

Irza sedikit mengibas-ngibas sekitarnya agar aroma mencekik itu bisa hilang.

"Gue nggak tanggung jawab kalau makanan di balik tudung saji jadi ikutan bau juga."

"Ya, nyokap lo pasti beliin buat gue. Lo kan udah makan."

"Terserah, terserah," ujar Soraya, lalu melanjutkan niat menuju kamar sang mama di lantai dua.

Rumahnya memang tak sebesar milik sang ayah. Hanya ada dua kamar di lantai atas, milik Soraya dan Mama, satu kamar tamu di bawah, ruang keluarga menyatu dengan dapur dan ruang tamu. Cukuplah untung penghuni dua orang.

"Iya, terserah gue. Orang ganteng bebas."

Mendengar sahutan Irza yang agak keras itu, Soraya hanya menggelengkan kepalanya pelan seraya mengelus dada agar bisa memperbanyak stok sabar kalau berhadapan dengan Irza dan berujung rasa percaya cowok itu keluar. Bikin kepala pening, lalu menyusul perut bergejolakan, sesuatu minta dikeluarkan.

***

"Za, Tante titip Soraya, ya," pesan Dian.

"Astaga, Ma. Raya bukan anak kecil lagi dan Mama besok juga pulang. Nggak usah berlebihan, deh."

Bersikap sok peduli, lanjut Soraya dalam hati.

Tangan sang mama pun kembali terkulai ke samping saat hendak memeluk Soraya, tetapi sang anak malah menghindar dan bergeser ke dekat Irza. Seolah, gadis itu enggan untuk sekadar di sentuh barang sejengkal.

"Iya, deh. Percaya, anak Mama yang cantik ini sudah besar. Kalian pasti mau lihat bintang, 'kan?" Kepala Dian mendongak, lantas tersenyum menyadari kegemaran sang anak sedang terukir di atas sana. "Jangan kemalaman dan jangan lupakan belajar biologinya."

"Oh, jadi biologi aja yang penting? Yang lainnya enggak, gitu?" Nada bicara Soraya sengaja dibuat datar.

Irza sedari tadi hanya menjadi penonton saja. Berdiri di samping Soraya sambil memsang senyum. Namun, dirasa Soraya mulai lemah dan menarik napas berkali-kali, dia mengambil tangan Soraya, kemudian digenggam erat.

"Tenang aja, Tan. Irza selalu jadi satpam dia, kok. Tante yang tenang aja hadirin acara seminar besok. Tapi, Irza pesen makanan dari sana, ya. Hehe."

"Sekali lagi makasih, ya, Za. Kalau gitu, Tante pergi dulu."

Dian mendekati Soraya, meraih kepala sang anak dan mengecup keningnya sebentar. Lantas, mengukir senyum sampai akhirnya masuk ke mobil.

Soraya lebih dulu beranjak, sedangkan Irza masih mematung, menatap mobil yang ditumpangi Dian perlahan menjauh dan semkain kecil di pandangannya. Langkah kaki terus menjauh, menapaki jalan setapak yang terhubung ke teras rumah. Namun, saat menginjak anak tangga pertama, Soraya malah berbalik ke kiri dan berjalan lagi ke samping rumah. Ada tangga yang hanya selebar badan orang dewasa terhubung ke rooftop.

Seakan mengerti, Irza ikut membuntuti tanpa bersuara. Hanya terdengar suara gesekan alas sandal dan tangga dari besi. Sesampainya mereka berdua di atas, angin malam berembus kencang, menggoyangkan helaian surai kehitaman.

Sejauh mata memandang, hanya terlihat atap-atap rumah perumahan yang rata-rata berlantai satu. Pun pepohonan menyamai tinggi atap menjadi penghias setiap halaman rumah.

Soraya mendekati sebuah bangku jati setinggi lutut. Dia mendaratkan bokong di sana, spontan menengadah ke langit dan menatap betapa indah langit kehitaman bertabur bintang mengelili rembulan.

"Ya."

Panggilan Irza pada Soraya kadang berubah-ubah, tergantung si bibir maunya berucap. Bisa Yaya, Soray, Ray, Raya, atau Soso. Cewek itu tak pernah ambil pusing, selagi masih enak didengar. Dan panggilan khusus darinya untuk Irza adalah Igu, Irzaldi Gunawan.

"Hmmm."

"Aku minta maaf, Ya. Gue baru sadar sekarang, betapa tajamnya omongan mereka sama lo." Irza berujar lirih. Dia sengaja duduk di sisi lain yang berseberangan dengan Soraya. Mereka saling memunggungi satu sama lain.

"Hidup Kak Igu enak, ya. Kayaknya nggak akan pernah ngerasain gimana dicibir orang secara terang-terangan, direndahkan, ditatap jijik kayak aku. Hidup Kak Igu terlalu sempurna, mulus kek pantat bayi."

"Tuhan nyiptain masalah setiap manusia itu berbeda-beda, Ya. Kalau semuanya sama, hidup nggak akan berwarna. Dan berat tidaknya suatu masalah, tergantung orang yang menjalani. Termasuk aku yang kata kamu punya hidup sempurna. Kamu tahu gimana keadaan keluarga gue sebenarnya gimana?"

Hening sejenak. Soraya masih asyik mengetuk-ngetuk ujung jari jemari di permukaan kayu. Barulah dia menjawab, "Yang aku lihat, Om Wisnu sama Tante Maya selama terlihat baik-baik aja."

"Mereka memang baik-baik aja, Ray. Terkadang aku bersyukur masih punya keluarga lengkap dan banyak orang yang sayang. Mungkin itu nilai plus dari Tuhan karena kegantengan mutlak ini. Tapi, ...."

Sengaja Irzaldi berbalik, menjadikan punggung gadis berbalut kaus hitam polos lengan pendek itu menjadi objek matanya. Tatapan mata berubah sendu, ada beban yang menyesakkan dada setiap kali teringat. Sebelah tangannya kini bertumpu, sedangkan satunya lagi sibuk bermain-main di atas paha.

"Tapi, gue dituntut seperti almarhum Bang Mirza. Dari segala hal, gue harus mirip dia. Dituntut sempurna dan jangan ada kesalahan. Mama sama Papa terlalu menyayangi Abang karena selain anak pertama laki-laki, juga hasil menunggu selama lima tahun pernikahan. Sekarang gue harus menjadi penggantinya. Dari mulai sikap, kesukaan, prestasi harus sama. Sampai hal kecil pun. Lo pikir enak, Ray? Nggak. Meski kami beradik-kakak, gue dan almarhum berbeda dalam hal apa pun. Lo paham nggak gimana rasa tertekannya aku saat melakukannya yang gue nggak suka? Kalau gagal mengikuti kemauan mereka, Papa marah besar dan jatah makan malam selalu disita. Hanya satu hal yang bikin gue hidup sebagai Irza. Yaitu basket. Susah payah gue memohon sama mereka supaya dikasih izin gabung tim dan membuktikan bahwa dengan kelebihan yang Tuhan beri, bisa membuat mereka bangga dan meraih prestasi. Selebihnya, gue kayak Mirzaldi Gumelar."

"Ke-kenapa nggak pernah cerita sama gue kalau Kak Igu ternyata selama ini ...." Pandangan Soraya buram, tetapi lewat telinga dia bisa tahu kalau tetangganya itu terisak perlahan.

"Gue ragu buat cerita sama lo, Ray. Selain itu, nggak mau bikin lo khawatir. Sudah cukup lo tersiksa dengan masalah keluarga sendiri, nggak mau nambah-nambah. Lagian ...." Irza menjeda sejenak. Sengaja dia menengadah, berharap tangisnya bisa berhenti. "Gue cowok, Ray. Masa lemah, sih, kayak lo yang selalu butuh sandaran."

"Seenggaknya cerita sama gue, Kak. Jangan pendam sendiri, itu sakit buat hati sendiri."

Entah sejak kapan, Irza tak menyadari kehadiran Soraya di sampingnya. Gadis itu menatap penuh rasa iba, sedih beserta air mata mengalir deras di pipi. Dia bahkan telah menggenggam erat tangan Irza yang terkulai bebas.

"Maaf," ujar Soraya kemudian.

"Atas?" Sebelah alis Irza terangkat.

"Selama ini selalu cerita masalah ke Kak Irza, merasa paling menderita padahal Kak Igu sendiri punya masalah yang nggak kalah berat. Egois banget, 'kan? Dan kayaknya gue belum pernah nanya, baik-baik aja atau nggak. Dan maaf, kurang peka sama hidup Kak Igu padahal kita berteman bukan satu hari ini aja. Bertahun-tahun malah."

Irza kemudian mengukir senyum lembut seraya mengelus kepala belakang Soraya menggunakan tangan lainnya yang tak berada dalam genggaman cewek itu. Dia menggeleng pelan.

"Kamu nggak perlu minta maaf, Ray. Nggak ada salah apa-apa."

"Gue jahat banget, Kak. Selalu mau didengarkan tanpa pernah mendengarkan."

"Sssttt! Udah, ya, jangan nangis. Kita saling menguatkan, oke? Lo kuat dengan masalah itu, begitu juga gue. Pesen gue selalu sama. Nggak perlu dengerin cibiran orang. Jangan pernah menunduk, tegakkan kepala. Buktikan kelebihan lo, dan ubah opini buruk mereka selama ini jadi pujian. Bukan berarti lo gila disanjung, tapi agar mereka sadar bahwa kekuraan selalu beriringan dengan kelebihan."

"Terus juga, Kak Igu bicara sama Om dan Tante tentang perasaan selama ini. Gue yakin, orang tua mana pun pasti ingin melihat anaknya bahagia. Meski cara mereka terkadang selalu dipandang salah oleh sang anak karena beda pendapat. Itulah mengapa gue masih belum paham kenapa mama sama papa cerai. Mereka dulu saling mencintai, lalu kenapa berpisah di saat buah hati mereka masih butuh kasih sayang keduanya? Mungkin, gue akan tahu jawabannya setelah dewasa nanti."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top