05 - Rumah Kedua
Sesuai pesan yang diterimanya tadi pas di kantin, Soraya melangkah seorang diri. Melewati lorong demi lorong, kelas demi kelas, parkiran, menyusuri trotoar hingga sampai di depan mini market.
Sebuah mobil HR-V hitam sudah terparkir di sana dan dia hafal itu milik siapa, terlihat dari plat nomor. Soraya sempat mengamati sekitar, tak ada siswa sekolahnya yang berkeliaran. Itu aman untuk dia masuk di kursi penumpang. Duduk seorang diri, sedang kursi samping sopir sudah terisi.
"Ngapain Ayah mau ketemu gue?" tanya Soraya, memecah keheningan.
Seorang perempuan yang duduk di depan, sekadar melirik sebentar.
"Tanya aja langsung, jangan ke gue," jawabnya ketus. "Gue penasaran. Kok bisa kenal sama Irza?"
Soraya terang-terangan mendengkus. Jangan tanyakan lagi betapa sakit hatinya sekarang, mengingat tentang perempuan itu dan Irza bagaimana. Otak langsung menilai diri, membandingkan dengan seorang perempuan Brigita Andini Putri, kakak tirinya.
"Dia tetangga rumah."
"Kok, gue baru tahu?"
"Lo nggak pernah menginjakkan kaki di rumah gue. Dan satu hal lagi. Apa kita sedekat itu sampai harus tahu segalanya?"
Bungkam. Bibir Gita seperti ada lem yang membuatnya menempel rapat. Seakan tertohok akan hubungan di antara saudara tiri itu, jauh dari kata akur. Sebatas akting saja beramah taman di depan orang dewasa. Selebihnya, bagaikan orang asing di khalayak umum.
Ah, Soraya jadi teringat pesan dari kakak tirinya itu sehari sebelum masuk ke Cakrawala. Menegaskan agar tak mengatakan pada siapa pun tentang hubungan kekerabatan mereka, atau sesumbar bahwa mereka saling kenal. Padahal, dia masa bodoh juga dengan hal itu. Cukup sadar diri saja untuk tidak terlihat bagi orang lain. Beruntung saja ada gadis baik mau jadi teman satu-satunya Soraya di kelas.
Keheningan terjadi selama perjalanan ke sebuah rumah yang hanya disinggahi Soraya sebulan sekali. Itu pun kalau ayahnya yang memanggil untuk datang. Spontan Soraya menoleh ke jendela kaca, lebih menarik pemandangan di luar yang dilalui mobil mereka daripada melihat Mang Anas-sopr pribadi sang ayah-menatap penuh rasa iba akan hubungan dirinya dan Gita.
***
Sebuah rumah dua kali lebih luas dari tempat tinggalnya, sudah ada di depan mata. Gita lebih dulu masuk, sedangkan kaki Soraya melangkah ke halaman. Ada ayunan dari rotan, di bawah pohon rambutan. Daunnnya berguguran, berserakan di sekelilingnya.
Kebiasannya memang seperti itu. Duduk seorang diri sambil melamun beberapa menit. Setelah sang hati siap, barulah berbaur di antara keluarga ... barunya. Kalau disuruh jujur, dia masih belum bisa ikhlas menerima keluarga berisikan bunda dan kakak tiri juga anak seayah.
"Hah ... tak asing, tapi merasa asing."
Dirasa hati telah siap melihat adegan apa saja nanti di dalam, Soraya melangkah mantap masuk ke rumah yang didominasi warna putih dan abu. Menapaki setiap batu pijakan, tiga anak tangga di pelataran sampai terhenti di ruang tengah. Seseorang menyerukan namanya, melebarkan senyum di sela kesibukan di dapur.
"Kamu mandi dulu, Ray. Bunda belum selesai masak. Ayah kamu katanya masih di jalan. Hampir tiap hari nanyain terus anaknya yang cantik ini."
Di tempat Soraya berdiri, di celah antara meja dengan televisi yang hanya satu meter, bibirnya tersenyum kaku. Lalu, mengangguk singkat dan berlalu dari sana.
Dia mendengkus pelan saat menginjak satu per satu tangga menuju kamarnya di rumah kedua. Haruskah dia sebut rumah kedua, di saat batinnya selalu bergemuruh dan tangis selalu ingin tumpah? Ah, tunggu. Di rumah pertama pun, dia pun hampir merasakan hal sama, tak menemukan ketenangan.
Padahal, rumah ini sudah dia sambangi sejak tiga tahun terakhir. Dulu, satu tahun setelah orang tuanya bercerai, tahun selanjutnya ayah datang dan memberikan undangan pernikahan dengan rekan sekantor yang sama-sama sendiri. Soraya pikir, saat itu ibunya akan sedih, minimal galau seperti anak muda. Namun, ternyata terlampau biasa. Entah mencoba untuk biasa saja.
"Astaga!" Mata Soraya melebar sewaktu melihat keadaan ranjang single-nya acak-acakan. Buku berserakan, pun seprai tak terpasang sempurna.
Lantas, dia mendelik pada satu-satunya penghuni di sana. Duduk selonjoran sambil bersandar di kepala ranjang, tak lupa laptop di pangkuannya.
"Beresin tempat tidur gue!" titahnya, suara terdengar datar.
Tanpa melirik, Gita menimpali, "Yang mau makai kasur itu kan, lo. Beresin sendiri aja."
"Ya, lo tanggung jawab. Terakhir gue di sini, semua rapi."
"Udah syukur, ya, itu kasur sering gue pakai. Makasih harusnya."
"Syukur gimana? Yang ada nambah kerjaan doang."
"Ya, itu. Lo datang ke rumah orang jadi ibadah, beres-beres. Bukan cuma numpang tidur, makan sama minta duit doang ke bokap."
Astaga! Rasanya darah Soraya mendidih dan berkumpul di ubun-ubun.
Tahan, Ray. Tahan! Tangan yang terkulai di masing-masing sisi, sudah mengepal kuat sejak tadi. Kalau emosi mengambil alih kesadaran, bisa saja sekarang sudah terjadi aksi jambak menjambak sewaktu pertama kali terjalin hubungan keluarga.
"Bener, 'kan? Lo datang ke sini cuma gitu doang." Gita sengaja mengulas senyum sinis di penghujung kalimatnya.
Usai menghela napas panjang, kalimat yang selalu jadi andalan Soraya, keluar dari bibirnya. "Maaf, nih. Wajar, dong, gue minta uang ke ayah. Beliau ini ayah kandung gue, loh, ada hubungan darah segala. Daripada yang minta uang ...."
"Berisik, lo!" sela Gita. Matanya sudah mendelik tajam.
Soraya menyeringai puas. "Makanya, lo juga sadar posisi. Lo kalau nggak suka sama gue, bilang aja."
"Gue udah sering bilang ke lo, ya, kalau sejak awal gue nggak suka. Lo bego apa gimana, sih?"
Buku-buku mulai Soraya ambil dan pindahkan ke nakas samping ranjang.
"Gue bingung sama lo. Sejak awal, kita nggak ada masalah apa-apa, tapi lo langsung aja benci sama gue. Kenapa? Salah apa, hah? Semua pasti ada sebab akibat. Capek kalau terus kayak gini. Lo pikir nggak akur sama orang, enak?"
Kini, laptop di pangkuan Gita sudah berpindah ke nakas, meski layarnya masih menyala. Dia lantas menatap Soraya lekat-lekat, sambil bersidekap di depan dada dan menyunggingkan senyum sinis.
"Pertama, karena lo udah hadir dalam hidup gue. Kedua, lo cuma benalu dalam hidup gue. Ketiga, karena lo cewek yang deket juga sama Irza. Gue mau, lo jauhin dia."
"Pertama." Soraya menjeda sewaktu kaki mendekati Gita dan berdiri di samping ranjangnya. Tak lupa, tampangnya tak kalah angkuh dari gadis itu. "Gue duluan deket, sejak kecil pula. Kedua, hak apa lo atur gue? Ketiga, lo siapanya dia, hah? Cuma deket, bukan pacar. Eh, pacar aja belum tentu, apalagi jadi istri sah yang berhak banget ngatur dia mau deket sama siapa pun."
"Heh! Lo ngaca, ya!" Emosi Gita terpancing. Dia sampai setengah berdiri di ranjang dan menunjuk hidung Soraya yang kalah mancung darinya.
"Gue ngaca, kok. Emang muka penuh jerawat, maka dari itu satu sekolah pada bully gue, ngobrolin yang aneh-aneh karena di hari pertama datang sama dia. Tapi, daripada lo yang di sekolah pakai topeng. Pencitraan banget, dih. Nenek gambreng juga."
Dia sengaja menjulurkan lidah, kemudian melenggang santai ke kamar mandi. Malas kalau bersih-bersih sekarang, hanya ingin cuci muka saja agar wajah dingin. Siapa tahu hati ikut dingin.
"Soraya!" pekik Gita.
Tepat setelah pintu kamar mandi ditutup, sebuah boneka kepala Doraemon dibantingnya. Soraya yang di dalam, sudah puas menguar tawa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top