04 - Nenek Gambreng
Nenek Gambreng
Bokap maksa kita balik bareng.
Soraya mendengkus keras. Beberapa detik turun dari ojol, satu langkah lagi sampai di batas gerbang, getaran ponsel mengagetkannya. Seakan memperburuk paginya, salah satu perempuan yang masuk daftar menyebalkan di hidup Soraya baru menyapa lagi.
Dia tak menghiraukan pesan tersebut. Memilih memasukkan ponsel ke saku lagi, kemudian melanjutkan langkah kaki yang sempat tertunda.
Terlintas lagi bagaimana hari pertama sebagai peserta MOS. Orang-orang menjadikannya titik fokus. Namun sekarang, Soraya bisa bernapas lega. Sejauh dia berjalan sekarang, tak satu pun dari mereka yang peduli dengan kehadirannya. Hingga tubuh Soraya nyaris tersungkur ke depan saat sebuah tangan melingkar di lehernya.
"Kalau jatuh, lo tanggung jawab." Soraya mendesis sambil mendelik. Lantas, mengibaskan tangan tersebut dari bahunya.
Si pelaku mengikuti jejak kaki Soraya, membersamainya berjalan ke kelas dari sisi kanan. Senyum melebar dan dua jari bak membentuk huruf V terangkat di udara.
"Galak amat, Neng. Masih pagi juga."
"Lagi mode on."
Dia, Sheila Hanum. Cewek satu-satunya yang mau berteman di hari pertama sampai sekarang. Entah ke depan. Soraya berharap bukan tipikal orang pengkhianat atau bermuka dua.
"Hah! Gue tadinya seneng, Ray. Tapi, pas lihat jadwal pelajaran kita di hari pertama resmi anak SMA, langsung sirna."
"Kenapa?" Sebelah alis Soraya otomatis terangkat.
"Jam pertama seudah upacara, ada matematika. Terus, jam terakhir kimia. Gue sebenarnya juga bingung. Alasan masuk MIPA daripada Sosial itu apa? Padahal nilai udah ketebak, pasti do-re-mi. Tapi, kalau di Sosial, gue malas ngitung ekonomi, terus hafalin geografi, belajar ilmu sosialologi. Eh, di MIPA juga bego pelajaran inti. Nyesel nggak milih bahasa." Dia berceloteh seraya pandangan menerawang ke depan.
Tawa Soraya sempat pecah, Sheila pun sama. Namun, tak lama. Dua orang gadis berlarian mendekati mereka. Dan entah sengaja, menyenggol bahu kanan Soraya sampai terjatuh. Sheila pun nyaris terbawa karena tangannya melingkar di lengan Soraya.
Mode ganasnya keluar. Dia menoleh, memasang tampang sangar bak singa menemukan mangsa. Dan betapa kesalnya Sheila sekarang. Kedua orang tersebut justru berkacak pinggang, menatap balik penuh keangkuhan. Seakan tak terlintas niat baik untuk meminta maaf.
"Heh! Lo pada sengaja, 'kan? Jalan masih luas juga, sampe nabrak temen gue," cerca Sheila.
"Idih! Gue nabrak si jerawat ini, bukan lo. Kenapa sewot?" sahut salah satu dari dua orang itu.
Hampir lupa membantu Soraya bangun. Saking emosinya, nada bicara spontan tinggi dan langsung menarik perhatian orang-orang. Lagi-lagi di depan mading dan Soraya ikut berada di TKP.
"Heh! Lo buta, hah? Barusan gue juga hampir jatuh! Minta maaf cepetan kalau lo manusia."
Sheila ingin tertawa, tetapi dia hanya bisa menahan bibir bawahnya saat melihat kegarangan Sheila meningkat dua kali lipat dan keangkuhan dua orang itu langsung hilang diterpa angin yang baru saja datang berembus. Bahkan, dia melihat kalau nyali mereka ciut. Sekarang, malah saling sikut, menentukan siapa yang mau membuka suara untuk minta maaf.
"Shei, udah biarin aja. Gue juga nggak apa-apa, kok," sela Soraya. Dia juga menarik tangan Sheila agar pergi dari sana. Matanya tak sengaja bertemu dengan milik Irza di antara penonton sewaktu menatap sekeliling dan orang-orang mulai berkerumun mengelili mereka.
"Nggak bisa, Ray. Mereka berdua ini mesti dikasih pelajaran, kalau manusia itu nggak usah ada acara gengsi buat minta maaf. Kalau salah, harus minta maaf. Biar hati nggak makin keras kayak batu, terus jadi sarang setan. Makin angkuh, songong nggak ketulungan nanti." Mata Sheila sontak mendelik tajam kepada mereka berdua. Padahal, dia tak tahu dua orang itu satu angkatan atau kakak kelas. Tak peduli sama sekali.
"I-iya, kami berdua minta maaf."
Belum juga Sheila melanjutkan celotehan yang akan berbuntut panjang, dua orang tersebut sudah berlari menuju anak tangga sambil menunduk. Mungkin, punya rasa malu juga. Kerumunan yang mengelilingi mereka semakin bertambah banyak. Bahkan, anak-anak yang sudah di kelas pun datang berhamburan.
Barulah Sheila sadar sekarang, setelah emosi hilang sirna. Dia memedarkan pandangan, menatap mereka yang masih berdiri mengelilingi.
Spontan, bibir tertarik lebar dan kepala menunduk berkali-kali.
"Maaf atas ketidak nyamannya, ya. Udah selesai, kok, pertunjukan pagi ini. Kalian bisa balik ke kelas." Dia melihat jam tangan berbahan stainless. Sudah pukul tujuh kurang lima menit. Senyumnya masih tertahan lebar. "Bentar lagi bel," serunya.
***
Sheila berulang kali memijit pelipis menggunakan ibu jari dan telunjuknya. Membuat gerakan memutar selama dua menit. Rasanya, seperti ada beban di kepala yang menindih setelah disodorkan pelajaran dari jam pertama sampai istirahat. Bukannya perkenalan dulu, Bapak Ratwa yang terhormat tanpa basa-basi langsung bahas materi dan memberikan PR untuk besok. Iya, besok pun hari selasa ada matematika lagi di jam pertama. Ingin menangis saja rasanya dia sekarang. Ditambah si bapaknya tegas, mata tajam dan suara menggelegar padahal badan kurus dan tidak terlalu tinggi.
Melihat betapa loyonya Sheila, Soraya terkekeh pelan. Dia juga merasa heran pada teman sekelas yang lain, tak jauh berbeda kondisinya seperti Sheila. Meski, sebagian dari mereka sudah keluar kelas.
Sambil membereskan tumpukan buku di meja, lalu dipindahkan ke laci, Soraya sengaja menyikut Sheila. "Kantin, yuk," ajaknya, merasa iba.
Spontan Sheila menegakkan badan. "Ayo. Kebetulan perut keroncongan dari tadi. Ternyata, matematika bukan nguras otak doang, tapi energi. Tapi, omong-omong, gue lihatin dari tadi lo kayak biasa aja gitu."
"Maksudnya?" Sengaja Soraya menyadarkan punggung sambil bersidekap.
"Lo kayak santai aja pas Pak Ratwa jelasin. Beda sama gue, frustrasi minta ampun. Dari tadi juga cuma manggut doang, ngerti nggak."
Soraya terkekeh pelan. "Gue cinta sama angka."
Cukup itu yang dia katakan. Lantas bangkit dan disusul Sheila di belakang. Mereka bersisian sewaktu melangkah ke kantin. Beruntungnya kelas mereka tepat di ruang kedua sebelum belok ke kanan menuju koridor dekat kantin. Untung juga karena banyak bangku kosong, sehingga bisa langsung mendapatkan tempat duduk tanpa harus bingung.
"Ini baksonya, Neng," ujar Mas tukang bakso yang tadi sempat Sheila datangi.
"Makasih, Mas," jawab barengan kedua gadis itu.
Dua mangkuk bakso sudah terjadi di hadapan masing-masing. Pesanan Sheila baksonya kecil semua, sedang milik Soraya seperti biasa ditambah dua sendok sambal, saus dan sedikit cuka sebagai pelengkap. Agak bergidik Sheila dibuatnya. Dia bukan penggila pedas, lebih suka yang manis.
"Sakit perut, gue nggak tanggung jawab," seloroh Sheila. Tangannya sibuk menggenggam sendok dan garpu, asyik mengaduk bakso.
"Makan nggak pedes, berasa hambar. Kayak hidup gue, Shei."
Sheila berhasil menelan satu suapan, lalu berdecak.
"Kalau gue, yang hambar bukan hidup, tapi hati. Capek, Ray. Hubungan baru seumur jagung ditambah LDR. Gue di Jakarta, doi di Aceh. Yang ada cemburu terus, kebakaran jenggot kalau dia kelihatan dipepet sama cewek. Nasib punya pacar cakep gitu kali. Makanya, lo harus kuat mental, Ray."
Suapan kedua kalinya nyaris masuk ke mulut Soraya, andai ucapan Sheila tak menarik perhatiannya.
"Maksudnya? Gue harus kuat gimana, nih?"
"Ya, lo kan deket sama Kak Irza. Dia banyak ciwi-ciwi yang mepet. Gue jamin, deh, doi bukan tipikal orang yang suka nyeleweng," tutur Sheila dan langsung mendapat satu pukulan di tangan. Spontan meringis pelan.
"Lo kalau ngomong suka ngasal, Shei. Gue sama dia cuma teman doang, tetangga rumah. Dia nggak mungkin suka sama gue, kami beda kasta. Lagian, dia gosipnya dari dulu deket sama Kak Gita."
Hati Soraya mendadak seperti dicubit saat menyebut nama seorang perempuan di akhir kalimat. Apakah ini yang dinamakan kecemburuan, karena ada perempuan lain lagi dalam lingkaran kehidupan Irza, selain dirinya, Tante Alya dan adiknya, Namira? Bahkan, sekarang Soraya tersenyum pun sebuah kepalsuan semata.
"Heleh." Sheila memutar kepala sebentar, mengawasi sekitar. Kemudian, berujar lirih, "Lo nggak bisa bohong ke gue, Ray. Gue nggak buta, kok, gimana cara natap lo pas lihat doi dari kejauhan."
"Sok tahu lo," kilah Soraya.
"Kalau lo mau senyum, senyum aja, Ray. Pasti seneng 'kan, sekarang?"
Soraya menggeleng kuat, lalu meraih ponselnya yang sedari tadi bergetar. Pun layar turut menyala, menyela sang pemilik saat hendak menimpali racauan Sheila yang menurutnya tak berdasar itu. Namun, saat hendak meraih benda pipih itu, mata tak sengaja menemukan keberadaan Irzaldi di belakang Sheila, sejauh dua tiga meter dan terhalang tiga meja.
Soraya bersikap tak acuh, beralih ke ponsel dan membuka pesan WhatsAppnya.
Nenek Gambreng
Gue tunggu lo di depan mini market.
Awas! Jangan ada yang tahu.
Soraya berdecak pelan sambil memejamkan mata. Ingin berkata kasar, tetapi tak ada gunanya. Dia tak perlu mengetik balasan apa pun, cukup dibaca saja sudah cukup. Lanjut ke pesan selanjutnya yang datang dari Irzaldi.
Tertulis nama 'Kak Igu' di atasnya. Jika orang lain memanggil Irza, Zaldi, Soraya mempunyai panggilan tersendiri pada pemuda yang telah menemani masa kecil sampai sekarang. Satu nama yang jadi singkatan dari nama lengkapnya. Irzaldi Gumelar. Pun Irzaldi, memanggil sesuka hati. Bisa Yaya, Raya, Soray, dan semua terucap secara spontan dari bibirnya.
Kak Igu
Ya, kita harus bicara.
Haruskah dia balas?
Di sela-sela berpikir, muncul pesan lagi dari Irzaldi.
Kak Igu
Kalau nggak mau, gue ke sana. Mumpung kantin ramai.
"Gila!" pekik Soraya.
"Kenapa?" tanya Sheila penasaran dan Soraya menggeleng pelan.
Soraya
Kapan?
Kak Igu
Nanti pulang sekolah.
Soraya
Nggak bisa. Sopir Ayah mau jemput.
Kak Igu
Oke. Sepulang kamu dari rumah Om Damar.
Enggan mengetik lebih panjang, sebuah stiker bergambar anak ayam warna kuning membuat simbol ok sengaja Soraya kirim.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top