02-Gosip Panas di Cakrawala

Tadinya memang niat Irza mengantarkan Soraya sampai masuk kelas, termasuk mencarikan tempat duduk. Tetapi, ayolah! Soraya bukan anak kecil lagi. Terlebih seseorang bernama Gita menyela, terus mengajak Irza pergi dan ingin berduaan. Dan setelah mereka hilang dari pandangan, dua menit lamanya Soraya berdiri mematung di luar.

Setiap Soraya maju satu langkah, dia akan mundur dua langkah. Terus saja begitu sampai suara dua orang perempuan yang membuat dirinya mematung. Air mata spontan menumpuk ingin dikeluarkan, tetapi masih bisa ditahan.

“Sumpah, ya! Pertama kali gue lihat Kak Irza itu tahun lalu, pas datang ke sekolah ini buat ikutan lomba. Dia ganteng parah. Banyak, deh, berita tentang Kak Irza di luaran sana. Tapi, nggak nyangka banget bisa kenal cewek tadi.”

“Sama. Lo tadi lihat wajahnya, ‘kan? Penuh banget sama jerawat. Gue ada benalu satu itu di muka, udah keder minta ampun.”

Buru-buru Soraya berbalik menghadap tembok. Terlalu malu untuk memperlihatkan  wajah yang jadi bahan gunjingan itu. Bukannya merasa lebih tenang setelah menarik napas panjang, dia malah melihat pantulan keningnya yang penuh dengan benjolan-benjolan merah.

“Wajah gue buruk rupa banget, ya.” Dia tersenyum sinis saat berjinjit agar keseluruhan wajahnya terlihat. “Andai dulu tangan gue nggak gatel buat mainin jerawat. Mungkin, semua ini nggak akan terjadi.”

“Aku kuat,” serunya seraya menarik bibir secara paksa.

Meski ragu, kaki Soraya tetap berjalan ke kelas dan berhenti sejauh tiga langkah dari ambang pintu. Suasana yang semula riuh bak pasar, para penghuni asyik berkenalan satu sama lain, langsung senyap dan menitik fokuskan mata mereka pada Soraya.

Soraya memilih pura-pura tak peduli dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas guna mencari tempat duduk. Di barisan keempat dari pintu, kedua dari depan, seseorang melambaikan tangan sambil menyengir, sebelah tangan lagi menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Cukup jadi isyarat bagi Soraya agar dia mendekat.

Langkahnya pelan, melewati meja satu per satu. Tatapan merendahkan turut menjadi pengiring Soraya sampai di meja tujuan dan duduk. Dia sempat agak sungkan sampai orang di sebelahnya menyapa ramah.

“Gue tahu yang lo rasain, kok. Biarin aja, mereka cuma iri karena nggak bisa seberuntung lo.”

Spontan alis Soraya terangkat.
“Lo cewek di foto ini, ‘kan?” Cewek itu menyerahkan ponselnya sendiri, terbuka halaman instagram dan postingan akun Gosip Cakrawala di bagian teratas. “Nggak perlu minder sama fisik yang Tuhan kasih. Oh, iya. Kita belum kenalan. Gue Sheila Hanum. Lo, Soraya, ‘kan?”

Tangan seputih susu itu terulur di hadapan Soraya. Awalnya sempat ragu, tetapi akhirnya dia menyambut dengan suka ria karena tampaknya cewek bernama Sheila [tampaknya] tulus ingin berteman.

“Makasih karena udah mau ajak ngobrol gue,” ujar Soraya usai duduk di kursi. Tas dari kardus dan dibungkus kertas putih sudah tersimpan rapi di meja, alih-alih di punggung seperti tadi.

“Santai aja. Gue berteman sama siapa aja, sih. Asalkan dia bukan tukang nyinyir atau menilai seseorang sebelah mata. Terlebih kenal juga nggak, sok ngasih penilai buruk. Lo tahu? Cangkang buah aja bisa jelek, tapi dalamnya manis. Sebaliknya, ada yang kulit buah bagus, mulus, eh, pas dikupas malah busuk.”

Tampaknya Sheila sengaja mengeraskan suaranya, menyindir seisi kelas dan berhasil. Semua langsung diam dan mengunci mulut rapat-rapat.

Tak berselang lama, bel menggema tepat pukul tujuh. Ada dua orang panitia OSIS masuk kelas dan memberikan arahan. Namun, tatapan mereka sesekali melirik Soraya. Apalagi alasannya kalau bukan ingin tahu sosok Soraya yang namanya langsung melambung di hari pertama, hanya karena terlihat datang bersama Irzaldi Gunawan.

“Kita ke lapangan sekarang dan HP kalian semua dimasukkan ke kotak di depan.” Cewek berambut sebahu yang memegang kotak dibungkus kertas kado batik cokelat berujar.

Satu per satu murid mulai beranjak dari tempat duduk masing-masing. Tak lupa atribut dari ujung rambut sampai kaki diperiksa lebih oleh dua orang panitia tadi sebelum kaki keluar dari kelas. Di mulai dari topi dari besek bambu yang dipasang tali rafia wajib merah muda, gelang di tangan kanan terbuat dari biji pepaya, kalung daun singkong, dan tali sepatu dari rafia yang masing-masingnya harus berbeda warna. Kalau dilihat lebih saksama, faedahnya apa? Semua tampak seperti orang gila.

Soraya dan Sheila Sengaja ke luar paling akhir, malas kalau harus antre di pintu. Namun, langkah mereka dihentikan oleh dua panitia itu. Soraya lebih dulu menoleh karena senior tersebut tepat di sisinya.

“Lo Soraya, ‘kan? Coba ngaca, dong, kalau mau deketin orang. Apa nggak punya kaca di rumah?”

“Atau ... lo mau gue kasih saran dokter kecantikan? Biar bagusan dikit wajahnya, kan nanti makin enak dipandang. Kali aja, Oppa  Korea jadi ngejar-ngerjar lo sampai ke Indo.”
Pandangan Soraya mulai buram, nyaris menangis andai tak ada seseorang menggenggam tangannya erat dan membela dengan lantang.

“Maaf, nih, Kak. Sebenarnya nggak mau ikut campur. Mau mengkritik, itu hak kalian, tapi kan ada etikanya sendiri. Pasti belajar bahasa Indonesia, ‘kan? Diajarin tata cara kritik dan saran yang baik, ‘kan? Atau nggak tahu sama sekali, ya? Ke mana aja di kelas? Tidur atau sibuk lihat wajah di kaca, takut ada benjolan bernama jerawat di muka? Makanya, yang disekolahin itu bukan cuma otak doang biar pinter, mulut sama hati sekalian.”

Ingin rasanya Soraya tertawa puas sekarang. Ucapan Sheila berhasil menjadi batu hantaman untuk mereka. Wajah panitia itu tampak memerah dan siap memaki-maki kalau saja teman barunya itu tak lagi berceloteh.

“Satu hal lagi. Apa karena muka temen gue ini jerawatan, terus kalian vonis nggak pantas buat Kak Irza, ya? Maaf, nih. Kayaknya Kak Irza juga pilih-pilih cewek, deh. Mana mau sama kalian yang mulut sama hati nggak punya akhlak. Fisik bisa dipoles, beda sama akhlak yang udah mendarah daging.”

Sheila semakin mengeratkan genggaman tangannya. “Nama gue Sheila. Silakan lo sebarin aja, deh, ke komplotan yang lain buat balik serang. Nggak takut, kok. Yang gue omongin barusan itu demi kebaikan kalian. Kalau nama gue jadi tersebar, makasih ya. Nanti makin terkenal karena gue mau debut jadi model remaja. Permisi, Kakak Cantik Fisik, tapi busuk hatinya macem penyihir di cerita Disney.”

Entah kata apa yang harus Soraya ungkapkan. Teman barunya itu di luar dugaan. Padahal, ini pertemuan pertama, tetapi sudah menjadi pembelanya. Meskipun, banyak di luar sana yang bermuka dua, dia harap sosok Sheila bukan tipikal orang seperti itu.
Mereka berjalan beriringan ke lapangan sambil diiringi umpatan Sheila terkait prilaku orang-orang yang melayangkan hujatan seenak jidat. Bahkan, cewek itu sampai mengepalkan tangan di udara dan melayangkan tinjuan seolah-olah yang tengah dibicarakan menjadi sasarannya.

Sedangkan Soraya? Hatinya terasa lega, dan hanya menanggapi celotehan tak berujung Sheila dengan senyuman. Tak terpikirkan memberikan respons lebih, karena baru kali ini ada seseorang yang membelanya seperti tadi.

Usai berbelok di lorong dan menginjakkan kaki di lapangan, tampak semua peserta baru sudah berkumpul, termasuk seluruh siswa senior. Namun lagi-lagi, ada seorang pria yang menghadang. Kentara dari wajahnya yang sok garang sudah siap menyemburkan kata-kata kasar karena mereka berdua telat. Namun, kalah cepat karena Sheila sudah menyela. Tampangnya tak kalah ganas karena emosi masih mengumpul di ubun-ubun.

“Salahin aja teman Kakak yang datang ke kelas. Dia mancing aku buat ceramah panjang lebar. Kalau barusan nggak kayak gitu, kami berdua pasti tepat waktu, kok. Permisi!”

Muka kakak kelas satu itu sampai melongo. Bibirnya diam tak mampu membalas perkataan tersebut, sementara Soraya dan Sheila benar-benar berlalu dari hadapannya dan berbaris di barisan belakang.

“Sheila, gue bilang makasih kedua kalinya.”

“Santai aja. Gue kasih saran, ya. Tutup telinga aja dari cemoohan mereka, jangan mau lemah.”

***

Ah, akhirnya update bab 2 juga. :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top