Touch you
Ragu, tidak. Iman tidak merasakan keraguan sedikit pun untuk menyentuh istrinya. Wanita yang kini terlelap dalam dekapannya. Deru napasnya yang teratur dan raut wajahnya yang tenang membuat Iman tersenyum.
" Alhamdulillah, Ya Allah. Diujung penantianku kau telah memberikan wanita terbaik ini untukku. Berikan juga keturunan terbaik untuk kami, aku memohon pada-Mu. Aamiin."
Lirih Iman berucap sambil menatap wanita dalam dekapannya. Kemudian tangannya menyusuri tubuh tertutup selimut itu. Berhenti diperutnya dan mengusap lama di sana. Mulut Iman mulai mengecupi kepala, kening, pipi lalu mencium lama bibirnya.
" Aku akan selalu menyentuhmu, menciumimu, memanjakanmu. Rasakan dan nikmatilah sentuhan penuh cinta kasihku. Aku begitu menyayangi dan mencintaimu. Aku tidak akan.."
Ucapan Iman menggantung diudara ketika mata sipit nan bening itu terbuka dan menatapnya. Iman menatap takjub wajah cantik bangun tidur di hadapannya.
" Tidak akan apa?" Suara serak itu terdengar begitu menggoda di telinga Iman. Hati pria itu bergetar. Dia menatap sayu istrinya. Kecupan sayang mengenai pipi putih mulus istrinya.
" Tidak akan pernah menyakiti dan menduakanmu." Lirih Iman dihadapan wajah yang kini menghadirkan senyum.
" Walaupun itu Halimah yang datang padamu?"
Suara serak Shanum membuat Iman terjengit. Dia menatap lekat wajah istrinya. Tampak Iman menelan salivanya.
" Kau mengenal Halimah?" Tanya Iman dengan dahi berkerut. Shanum mengangguk dengan senyum.
" Kau serius. Dimana, dimana kau mengenalnya?" Tanya Iman sedikit gusar. Dia sampai membenarkan posisinya. Sedikit mengangkat tubuhnya.
" Kenapa Abang seperti merasa ketakutan begitu?"
Shanum balik bertanya dan membuat Iman memejamkan matanya. Dia terus terang tidak tenang. Dia tahu bagaimana sifat Halimah.
" Sayang, jawab saja. Dimana kau mengenal dia?" Tanya Iman dengan suara lembut.
Shanum tersenyum dengan jari jarinya yang nakal menyentuh dada suaminya. Iman merasakan seolah ada yang memanggil hasratnya. Tubuhnya serasa dipenuhi gelenyar hangat. Dia menggeram.
" Sayang, jangan membangunkan macan tidur."
Wanita itu terkekeh. Tanpa ragu dia menyurukkan wajahnya ke dada Iman. Bibirnya bersentuhan dengan dada suaminya yang tadi diberikan sentuhan sentuhan kecil. Pria itu semakin nelangsa dengan gairahnya.
" Sayang, setelah aku menyentuhmu. Aku tidak akan pernah berhenti." Iman mengerang. Shanum tersenyum menggoda. Matanya sedikit mendelik mendapatkan ciuman bertubi tubi dari suaminya.
" Sebentar lagi Adzan Subuh." Ucap Shanum sedikit kelabakan.
" Ini masih setengah tiga." Desis Iman.
Lalu ketika tubuh kecil Shanum berada di bawahnya, Iman tidak sepenuhnya menindihnya. Kedua tangannya menumpu tubuhnya. Iman menatap sayang wanita itu.
" Dimana istriku bertemu Halimah?" Tanyanya dengan ciuman ciuman mengenai seluruh wajah istrinya yang terkikik kegelian.
" Kenapa, penasaran ya?" Shanum kembali balik bertanya. Iman berdecak.
" Aku hanya khawatir." Ucapnya ringan.
" Takut aku kabur lagi?"
Ucapan Shanum membuat Iman menatapnya lekat. Shanum cepat menutup mulutnya.
" Jadi dia yang membuatmu pergi waktu itu, apa yang dikatakannya sehingga kau pergi?" Tanya Iman.
Dia beranjak dari atas tubuh Shanum dan menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur. Dengan manja wanita itu merubah posisinya, menjadi tengkurap. Lalu mengangkat tubuhnya mensejajarkan dengan Iman. Wajahnya tepat berada di dada pria itu. Lalu wajahnya menengadah menatap suaminya.
" Dia tidak bicara banyak, hanya mengingatkan siapa aku."
Ada nada sedih dalam ucapan pelan Shanum. Wajahnya menunduk. Tangannya masih menempel di dada Iman. Pria itu mengangkat wajah itu dengan memegang lembut dagunya.
" Mengingatkan siapa dirimu, siapa memangnya dirimu? Dengar, kau istriku. Wanita yang membuatku jatuh cinta. Wanita yang membuatku untuk pertama kali merasa merindu. Wanita yang membuatku keluar dari prinsip hidupku. Wanita yang membuatku susah tidur dan sekaligus malas makan karena ketidakadaan akan kehadirannya di sisiku. Wanita yang membuatku merasakan ketakutan akan kehilangannya. Kau istriku Hanifa. Istriku. Itulah dirimu dan jika ada orang yang berkata selain itu, jangan kau dengarkan."
Ucapan lembut Iman menggulirkan butiran bening dari pelupuk mata bening Shanum. Butiran bening itu membasahi dada telanjang pria itu. Tangan Iman menghapus butiran bening itu dengan rasa sayang. Lalu pria itu menunduk, diciumnya dengan lembut bibir yang kini terlihat teramat menggoda itu. Iman mengulumnya sekejap. Tangannya menyentuh bibir itu dan matanya sayu menatap istrinya.
" Aku memilihmu karena kaulah yang terbaik untukku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top