Know you

Iman melangkah gontai memasuki kamarnya. Dia menyelesaikan makan malamnya dengan perasaan tak bernapsu. Dia bergabung di meja makan besar itu hanya karena menghormati Ayah dan Ibunya juga tamu yang hadir. Ibunya kembali menghadirkan calon yang menurutnya pantas dan Iman kembali menolak dengan halus, seperti biasanya.

" Bu, aku masih menunggu gadis pujaan hatiku yang belum menjawabku." Bisiknya di telinga Ibunya.

Ibunya menatapnya penuh tanya, tapi Iman meyakinkannya dengan mengulas senyum. Kemudian memohon ijin menuju kamarnya.

Disinilah dia kini. Di kamarnya, tempat ternyaman yang ada di dunia ini. Bibirnya mengulas senyum. Matanya menerawang jauh, membuka kejadian tadi siang.

" Jawablah Hanifa."

Suara yang Iman keluarkan tadi siang bernada penuh harap. Gadis itu menggeleng. Mata beningnya terlihat berkaca kaca.

" Pulanglah."

Jawaban gadis itulah yang membuat saat ini Iman gundah. Hatinya terasa sakit dan kecewa. Dia merasa sangat kacau. Dia terus saja menarik napas berat. Lalu mendesah kesal. Lama dia terdiam.

Ketika ponselnya berdering dan menampakkan nama Syaiful dia menjawab malas.

" Assalamualaikum, ada apa Syaiful?"

" Waalaikumsalam, kamu sakit Man?"

Syaiful di sebrang sana malah balik bertanya. Iman mendengus.

" Cuma lelah, ada apa malam malam begini menghubungiku?"

" Tidak, sudah istirahat saja kalau kau lelah."

Ucapan Syaiful malah membuat Iman penasaran. Dia merubah posisinya. Bangkit dari tidurnya lalu duduk di sofa yang ada di kamarnya.

" Tidak, katakan ada apa. Jangan membuatku penasaran." Ucapnya cepat. Syaiful lama terdiam.

" Syaiful, ada apa?"

Iman mulai merasa ada sesuatu yang serius terjadi, apalagi dia mendengar suara ramai di sekitar Syaiful.

" Syaiful, please.." Ucapnya lagi.

" Eh, iya. Maaf, Man. Aku di Rumah sakit." Jawab Syaiful pelan.

" Kenapa Afifah?"

Iman bangkit dari duduknya. Lalu menuju lemari dia berniat mengganti pakaiannya setelah nanti sambungan terputus dan menyusul Syaiful ke Rumah sakit.

" Bukan istriku yang sakit tapi Shanum."

Jawaban Syaiful membuat Iman bergeming. Dia diam tanpa suara. Pikirannya langsung mengingat wajah kuyu gadis yang ditemuinya tadi siang. Dia menutup sambungan dengan Syaiful begitu saja.

" Ya Allah..kenapa dia.." Gumamnya. Matanya terpejam.

Iman segera berganti pakaian lalu bergegas keluar kamar, dimana sebelumnya menyambar cepat kunci kendaraannya yang ada di atas meja.

" Mau kemana, Man?"

Iman menatap Ibunya yang sedang berbincang dengan sepasang suami istri, tamu yang tadi ikut makan malam. Begitu juga Ayahnya.

" Calon istriku sakit bu." Jawabnya asal.

Dia menghampiri Ibunya yang menatapnya tak percaya lalu mencium punggung tangannya. Dia juga melakukan hal yang sama kepada Ayahnya.

" Sampaikan salam Ibu untuknya, Man." Ucap Ibunya setelah melihat senyum Iman dan isyarat Ayah untuk tidak bertanya lebih jauh.

Iman mengangguk lalu membawa langkahnya meuju pintu.

" Assalamualaikum. Aku pergi, Bu." Ucap Iman santun.

" Waalaikumsalam." Jawab mereka serempak.

" Hati hati, Man." Suara lembut Ibu sedikit berteriak.

Sepanjang perjalanan hati Iman merasa tidak tenang. Wajah oriental itu terus membayanginya. Rasa sakit dan kecewa atas jawaban gadis itu tadi siang terkalahkan oleh rasa khawatirnya terhadap gadis itu. Maka dia pun mempercepat laju kendaraannya.

Tiba di parkiran Rumah sakit, pria itu bergegas mendial ponselnya untuk menghubungi Syaiful. Dia keluar dari kendaraannya dan memasuki lobby Rumah sakit.

" Assalamualaikum, aku di lobby Rumah sakit. Kau dimana, baik aku ke sana."

Langkahnya tergesa menuju ruang rawat yang tadi sudah diberitahukan oleh Syaiful. Lalu terhenti di depan ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Ragu dia akan memasuki ruangan itu.

" Seharusnya kalian tidak usah membawaku ke Rumah Sakit ini."

Suara serak dan lemah Shanum terdengar. Iman merasakan hatinya bergetar.

" Kau tadi pingsan, Shanum. Tekanan darahmu rendah sekali. Aku rasa kau kurang makan." Afifah menjawabnya dengan lembut.

" Aku harus mengatur keuanganku, Fah. Aku bulan ini harus membayar semesteran. Beasiswaku tidak membayarkan penuh, kau tahu itu dan aku juga harus memperpanjang kontrakan rumahku." Suara lirih Shanum masih bisa di dengar oleh Iman.

" Tapi tidak harus menahan lapar seperti itu, Shanum. Lihatlah penyakitmu kambuh dan kau kan biasanya bicara denganku." Suara Afifah terdengar kecewa.

" Tidak, Fah. Kau terlalu baik, kau selalu membantuku. Kau sekarang sedang mengandung, kau harus menabung untuk bayimu. Aku baik baik saja, Fah. Lagi pula kalau pun aku sampai pergi tidak akan ada yang menangisiku, Fah. Paling kau, tapi aku tidak terlalu khawatir kini. Kau sudah punya Syaiful dan sebentar lagi akan menjadi Ibu."

Jawaban Shanum membuat Iman memejamkan matanya. Ada rasa perih terasa menoreh hatinya. Rasa yang lebih sakit dia rasakan dari rasa ketika tadi mendapat jawaban gadis itu. Dia yakin kini, jawaban gadis itu mempunyai alasan tersendiri. 

Sedemikian hebatnya perjuangan hidup gadis ini, batin Iman. Dia semakin masuk dalam rasa ingin memiliki gadis ini. Membantu meringankan beban hidupnya dan menghadirkan bahagia disetiap waktu.

" Man, kenapa tidak masuk?"

Suara Syaiful mengagetkan Iman. Pria itu mengulas senyum. Dia kemudian mengikuti Iman memasuki kamar yang ternyata memiliki empat ruang yang disekat oleh tirai berwarna hijau tua. Syaiful menyibak tirai itu dan menampakkan wajah pucat dan kuyu gadis yang selalu membayang di pelupuk mata Iman.

" Assalamualaikum, Hanifa."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top