Hope you

Iman merasa resah, gelisah dan kesal. Dia keluar dari prinsip hidupnya selama ini. Dia jatuh cinta pada gadis yang tidak sesuai dengan impiannya selama ini.

Iman selalu memimpikan seorang gadis berwajah timur dengan gamis atau tunik dan rok lebarnya dan juga hijab menjuntai. Gadis itu pandai, rajin puasa, pintar mengaji dan tidak pernah lupa untuk sholat. Lebih keren lagi kalau gadis itu mampu sedikit berbahasa asing.

" Dengan bodohnya aku malah mengajaknya pacaran, ini saja sudah salah. Aku pasti sudah gila."

Iman mendesah putus asa. Dia membawa langkahnya menuju ruangan Syaiful.

" Ada apa?"

Syaiful menyambutnya dengan pertanyaan itu sambil mengulum senyum. Sepertinya gadis itu sudah memberitahukan tentang pembicarannya kemarin itu.

" Kenapa wajahmu memerah?"

Pertanyaan Syaiful tak dihiraukannya. Iman hanya menggeleng dan menunduk. Lalu dia menatap wajah Syaiful dan beranjak dari hadapannya.

" Tolong titip kelasku." Ucap Iman sambil menoleh ke sahabatnya itu. Syaiful tersenyum lalu mengacungkan ibu jarinya.

Iman membawa perasaan gusarnya dengan mencari gadis itu. Dia juga bingung harus mencari kemana. Dia tidak tahu dimana gadis itu sekarang. Jadinya Iman memarkirkan kendaraannya di depan rumah mungil, dimana kemarin dia mengantar gadis itu.

Dia teringat pembicaraannya dengan Afifah ketika dia bertanya alamat gadis itu. Ternyata gadis itu seorang yatim piatu. Tinggal di panti asuhan sejak berusia balita sampai lulus sekolah menengah pertama. Lalu melanjutkan ke Sekolah menengah atas dengan biaya sendiri. Gadis itu bekerja di sebuah rumah makan sepulang sekolah dan setiap hari Sabtu Minggu, ketika teman temannya asik berlibur. Dia akan bekerja di rumahan, sebelum memulai bekerja di rumah makan.

Gadis itu mendapatkan beasiswa ketika memasuki universitas. Dia menjadi pengajar lepas tambahan pembelajaran untuk beberapa siswa sekolah. Uang itu mampu membuatnya bertahan hidup hingga saat ini.

Kagum, ya. Iman kagum dengan gadis itu. Dia sudah banyak memohon dan berdoa untuk meyakinkan hatinya. Meminta nasehat Ibunya yang baik itu tadi malam. Hasilnya, sepertinya sama dengan kata hatinya. Sedikit perasaan bimbang memang masih mewarnainya.

" Aku harus berani memutuskan. Aku harus yakin." Ucapnya dengan mata terpejam.

Sebuah ketukan di kaca jendela kendaraannya menyentakkannya. Seraut wajah menatapnya dengan mata menyelidik.

" Iya kang, ada apa?" Tanya Iman setelah membuka kaca jendelanya.

" Mau bertemu gadis cantik?" Pria tinggi kurus itu balik bertanya.

" Aku menunggunya." Ucapnya datar. Karena masih terlalu siang kalau dia sudah pulang dari kampus, pikir Iman.

" Dia sakit, seharian ini tidak pergi kemana pun. Tadi pagi istriku membawakannya bubur."

Ucapan pria itu membuat Iman terkesiap. Dia bergegas keluar dari kendaraannya.

" Kenapa tidak bilang dari tadi, kang." Gerutunya.

Iman tidak menghiraukan cengiran kang Jaka yang seolah mengejeknya.

Setelah mengetuk beberapa kali dan mengucap salam. Seraut wajah kuyu muncul dihadapannya. Senyumnya samar terlihat. Matanya terlihat sangat lelah.

" Kau sakit?" Tanya Iman begitu mereka duduk. Gadis itu menggeleng sambil mengulas senyum.

" Hanya kelelahan, aku rasa. Acara kemarin itu begitu menyita waktu, aku kurang istirahat." Ucapnya ringan.

Dia berdiri dan beranjak ke dalam, tidak lama kembali dengan dua botol air mineral di tangannya.

" Aku hanya punya ini, maaf."

Shanum menyodorkan botol itu ke hadapan Iman. Pria itu tersenyum.

" Terima kasih."

Lama mereka terdiam. Sesekali meneguk air mineral dalam botol lalu saling melirik.

" Ada apa datang kemari?"

Shanum akhirnya bersuara. Gadis itu sepertinya kesal melihat Iman hanya terdiam. Gadis itu mana tahu, sebenarnya pria itu sedang meredakan debaran jantungnya. Mengatur napasnya dan memilih kata yang akan diucapkannya.

" Hhmm, Hanifa. Aku kemarin telah berbuat bodoh, maafkan aku."

Akhirnya kata itu keluar dari mulut Iman. Gadis itu menatapnya dengan senyum.

" Aku tahu. Kau pasti bercanda atau karena gugup, atau karena kasihan hingga berkata seperti itu." Ucap Shanum tenang. Iman menarik napas berat.

" Aku sadar, tidak mungkin pria sepertimu menyukaiku. Aku tahu dari Afifah tentang gadis idamanmu itu. Aku juga tahu, kau bukan tipe orang yang mau berpacaran. Aku tahu kemarin itu kau hanya menolongku dari Kang Jaka. Aku berterima kasih." Ucap gadis itu dengan nada sedikit kecewa.

Iman menangkap kilat bening di mata sipitnya. Sebelum pria itu berkata kata, Shanum sudah berdiri dari duduknya.

" Kalau sudah selesai, maaf aku mohon pulanglah, aku akan istirahat lagi." Ucapnya lirih.

Gadis itu sudah mengayun langkahnya dan hendak menutup pintu jika saja Iman tidak menahannya.

" Tunggu, dengarkan aku dulu. Aku datang ke sini hendak meminta maaf atas kekeliruanku kemarin. Aku salah."

Iman menghela napasnya lalu menghembuskan perlahan. Tangannya masih menahan pintu yang sudah setengah tertutup.

" Aku salah memintamu untuk menjadi kekasihku. Seharusnya aku, ehm..aku seharusnya memintamu untuk menjadi istriku. Menikah denganku."

Ucapan Iman membuat Shanum menegang. Gadis itu terpaku dan tak mampu menjawab.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top