About You

Siang ini Iman sengaja menemui Banu di sela sela kesibukannya mengajar. Banu yang baru keluar dari kelas sedikit kaget melihat Iman yang sudah menunggunya di depan kelas.

" Ada apa Ustadz?" Tanyanya sopan.

" Kita harus bicara Ban, ayo ikut ke ruanganku saja." Jawabnya tenang.

Iman berjalan sedikit cepat yang diikuti Banu di belakangnya. Sepanjang koridor banyak sekali yang menyapa mereka, terutama mencari perhatian Iman. Tapi dia tidak sedikit pun bersikap ramah pada perempuan. Dia hanya menarik sedikit ujung ujung bibirnya. Banu tersenyum menatapnya.

Begitu pintu ruangan terbuka, Iman mempersilahkan Banu untuk masuk.

" Duduklah." Ucapnya datar. Iman sendiri duduk di kursi di balik mejanya.

" Aku sambil mengoreksi tugas anak anak ya." Ucapnya kemudian.

Iman mengeluarkan setumpuk kertas dari laci mejanya. Dia mengambil pulpen dan siap mengoreksi. Banu menatapnya dengan senyum.

" Ada apa Abang memanggil saya?" Tanya Banu, yang jika sedang berdua atau tidak dihadapan santri dia biasa memanggil Iman dengan sebutan Abang.

" Kenapa kemarin kau meminta dia, eh tiga orang itu datang ke rumahku?" Tanyanya sambil matanya menatap kertas yang sedang di koreksi di hadapannya.

" Tiga orang, siapa?" Tanya Banu balik bertanya.

" Kau malah balik bertanya, tiga orang yang bertanya siapa yang menyanyi di pernikahan Syaiful kemarin." Ucap Iman sedikit kesal. Seolah tersadar Banu tertawa sambil menatap Iman.

" Kenapa ketawa, Ban. Tidak ada yang lucu aku rasa."

Iman menatap Banu yang kini menghentikan tawanya. Kemudian menatap Iman dengan senyum miringnya. Sedikit menyebalkan di mata Iman.

" Salah satu dari ketiga orang itu adalah temanku, yang berkemeja putih itu. Dia ingin berkenalan dengan Shanum, sahabat Teh Afifah. Aku tidak mau dia mengenal Shanum,  jadi aku mengerjainya untuk menanyakan Shanum kepada Abang. Aku pikir dia tidak akan berani. Eh, ternyata dia nekad juga.." Ucap Banu, ada tawa disela ucapannya.

" Sebentar..siapa Shanum itu?" Tanya Iman dengan kening berkerut.

" Shanum...dia gadis yang membuat Abang memandangnya dengan mata berbinar ketika bernyanyi." Ucap Banu dengan senyum dikulum.

" Apa, Ya Allah ...Banu kau keterlaluan." Iman menatap Banu, pria itu berjalan menghampirinya lalu berpindah duduk di hadapan Banu.

"  Siapa yang memandanginya, aku biasa saja." Lanjut Iman dengan nada sedikit kesal. Banu menatapnya dengan masih mengulum senyumnya. Terus terang Iman sudah terlihat kesal.

" Tidak bang, tidak seperti biasanya abang menatap lawan jenis seperti itu." Sanggah Banu yang membuat Iman sedikit gelagapan.

" Kau sok tahu sekali." Ucapnya ketus. Banu malah tertawa pelan.

" Aku melihatnya bang. Abang begitu terpesona menatap Shanum." Ucap Banu yang kini menatap raut wajah Iman yang sedikit memerah. Iman menggeleng.

" Jangan jadi peramal, Banu. Aku tidak seperti itu." Ucapnya pelan.

" Ya sudah kalau memang begitu. Tapi aku terus terang tidak suka kalau Dio yang playboy itu mendapatkannya." Ucap Banu sambil berdiri dan hendak melangkah keluar ruangan.

" Dio?" Suara tanya Iman menghentikan Banu. Pria itu kembali menghadap Iman.

" Iya, si pria berkemeja putih yang datang ke rumah Abang. Dio itu selalu bermain main dengan wanita dan aku tidak mau dia bermain main dengan Shanum." Ucapnya ringan.

" Mengapa tidak kau saja yang memacari ...Shanum ..itu." Ucap Iman sambil sedikit memalingkan mukanya menghindari tatapan Banu yang kini tersenyum menatap Iman.

" Aku sudah punya Anissa dan aku tidak ingin mendua, bagaimana kalau Abang saja." Jawaban Banu membuat Iman terhenyak. Dia menatap Banu tajam.

" Ah, kau ini. Kenal saja tidak aku dengan gadis itu."

Iman menggelengkan kepalanya menghilanglan rasa yang berkecambuk di dalam hatinya.

" Aku akan mengenalkannya. Aku akan mencari tahu tentang dia dari Teh Afifah." Ucap Banu kemudian. Iman kian terpojok dia tersenyum hambar.

" Sudah tidak usah repot repot. Dia bukan seperti gadis yang kuimpikan selama ini." Ucapnya lemah. Hatinya seolah menjerit karena bertentangan dengan ucapannya.

" Oh iya, mungkin. Tapi kalau aku rasa itulah gadis yang Abang mau selama ini. Hanya saja gadis itu belum berhijab. Abang kan bisa memintanya." Banu terus membuat Iman tak berkutik. Dia tidak tahu bahwa jantung Iman berdegup sangat kencang dan hatinya terus memuji Allah karena hadirnya rasa yang belum pernah menghampirinya selama ini.

" Berhijab itu harus keinginan dari dirinya. Kita tidak akan bisa memaksakannya. Lagi pula siapa aku. Bukan Ayahnya. Suaminya saja bukan." Ucap Iman miris. Banu tersenyum menatap sahabat Abangnya itu.

" Nah, jadilah suaminya Bang." Ucapan ringan Banu membuat Iman tersentak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top