38. Insting Buruk
Demoz dan Lily memang menjadi sosok orangtua yang sibuk bagi Dimi. Untungnya anak itu tidak lagi terlalu rewel mengenai apa pun. Proses menyapih Dimi juga berhasil dengan metode yang Demoz berikan—mengoleskan lipstick merah ke dada Lily. Mulanya Dimi masih tidak percaya dan terus menangis, tapi lama-lama anak itu mual jika mencium area dada ibunya yang berbau lipstick itu.
Empat belas minggu perjalanan kandungan Lily dan semuanya masih berjalan seperti biasa. Demoz juga senantiasa datang ke pihak ahli untuk bisa membuat emosinya lebih stabil. Lily mendengarkan apa pun yang Demoz ingin bagi, tidak menyelanya, dan kebanyakan adalah mengenai ketakutan Demoz belakangan ini mengenai kesehatan sang nenek.
Demoonel memang tidak terlihat akan membaik. Semakin hari semakin lemah, meski masih berusaha menimpali ucapan Demoz dengan sinis jika cucunya itu mengunjungi. Lily juga sering mendapatkan nasihat untuk tetap berjaga-jaga dengan emosi Demoz. Seolah tak percaya dengan kemampuan cucunya sendiri, wanita tua itu malah memberikan kepercayaan pada Lily untuk membantu Demoz jika kelak Demoonel tidak lagi bisa mengawasi sang cucu.
Ada satu rahasia juga yang dibagikan Demoonel pada Lily, mengenai nama cucu Demoonel yang lain itu. Adidarya Wirya. Itu adalah nama yang Lily rahasiakan dari Demoz. Menurut Demoonel, jika Demoz mengetahuinya maka kemungkinan besar akan dicari hingga menemukan orangnya. Demoonel dan Lily tahu apa yang bisa dilakukan oleh Demoz jika dia menemukan sasarannya. Adidarya sejauh ini tidak mengencam sama sekali, maka dari itu Demoonel tidak ingin Demoz menyakiti saudara satu ibunya itu. Semua hal yang Demoz miliki sekarang sudah jauh lebih baik, tidak ada kejahatan yang dilakukan Demoz. Jangan sampai karena rasa tak nyaman, Demoz malah menyakiti saudaranya yang tidak bersalah itu.
"Bu! Ibu! Dek Dimi, Bu!"
Atri masuk ke dalam rumah dengan panik.
"Ada apa??"
Tangan pengasuh Dimi itu bergetar, bukan hanya tangan tapi seluruh tubuhnya. Lily mengamati lebih lama dan mendapati baju Atri yang terdapat bercak merah. Darah? Darah siapa?
"Di mana Dimi?" Lily tidak bisa untuk tetap tenang dengan pemikirannya yang sudah diliputi ketakutan.
Dia berjalan cepat lebih dulu dari Atri, dia memaksa pengasuh anaknya itu untuk memberikan arahan. Saat berada di luar gerbang rumah, Lily mendapati putranya menangis dengan dahi yang berdarah.
"Dimi!"
"Maaa!"
Lily dengan cepat memeluk putranya dan berusaha setenang mungkin untuk segera membawa Dimi ke rumah sakit.
"Kita ke rumah sakit sekarang juga! Telepon suami saya, Atri."
Atri mengangguk dengan panik. "B-bu ... masalahnya bukan Dek Dimi aja, Bu."
"Apa lagi?!" sahut Lily dengan kesal.
"Itu, Bu ... anjingnya tetangga mati karena dorong Dek Dimi biar nggak ketabrak tadi."
Lily tidak peduli dengan hal itu sekarang. Sebab yang terpenting memang adalah putranya.
"Nanti. Kita urusin itu nanti. Sekarang ikutin apa yang saya bilang. Kita ke rumah sakit dan hubungi suami saya segera mungkin!"
***
Kepanikan itu bukan hanya Lily yang merasakan. Perempuan itu bahkan harus izin tidak masuk kerja karena memilih menunggui putranya yang masih menangis karena mendapatkan jahitan di dahinya. Anak kecil mana yang tidak akan menangis mendapati dirinya berdarah, bahkan dijahit dalam kondisi sadar? Bahkan jika tak sengaja terkena pecahan gelas, Dimi akan panik melihat darahnya sendiri. Untung saja Demoz langsung datang dan menjadi pihak yang memegangi tubuh Dimi selama dijahit. Anak itu benar-benar tidak bisa diam, dan pihak yang bisa menguasai tenaga Dimi adalah ayahnya sendiri.
Setelah selesai, Lily dan Demoz menunggu di ruang perawatan untuk beberapa saat. Memastikan tidak ada lagi yang bermasalah dengan anak mereka selain luka di dahi yang cukup dalam.
"Pak, Bu. Adek Dimitri boleh pulang, tidak perlu rawat inap. Hanya perlu rawat jalan saja."
Salah seorang perawat yang mengabarkan itu. Dokter mereka tentu saja sudah kembali sibuk mengurus pasien yang lain. Diberikanlah seluruh daftar obat yang diminta oleh Demoz jika nantinya obat dari rumah sakit habis dan anak mereka masih mengeluh. Namun, Demoz diberi pengertian bahwa proses penyembuhan anak kecil lebih cepat ketimbang orang dewasa, jadi obat tidak diperkenankan untuk dikonsumsi terlalu banyak. Mereka sebagai orangtua dianjurkan untuk memantau keaktifan Dimi setelah sampai di rumah.
"Terima kasih," ucap Lily mewakili suaminya.
Demoz yang tegang tidak memikirkan basa basi seperti itu. Dia sudah sibuk menggendong Dimi dan tertidur setelah lelah menangis.
"Aku akan menuntut orang yang melakukan hal ini ke anak kita!" ucap Demoz.
Langkah mereka cepat menuju lift dan turun dengan helaan napas yang luar biasa dipenuhi perasaan panik sebelumnya.
"Ada masalah lain, Atri bilang anjing tetangga mati karena dorong Dimi supaya nggak kena tabrak. Kita harus tanggung jawab—"
"Apa nyawa anjing lebih penting dari nyawa seorang balita? Lagi pula, kita mau tanggung jawab bagaimana? Itu insting melindungi dari si anjing untuk Dimi. Berarti anjingnya sayang kepada Dimi, dan Tuhan lebih sayang lagi sama anjing itu."
Kemarahan Demoz agaknya meledak karena pikiran pria itu yang tidak tenang. Lily menghentikan dirinya sendiri untuk tidak terlibat perdebatan dengan suaminya. Dia membiarkan Demoz untuk terus bergulat dengan pemikirannya sendiri. Sedangkan Lily merasa bahwa insting yang baik dari si anjing adalah awal dari insting buruk yang Lily punya sebagai seorang ibu sekaligus perempuan yang peka.
***
Dimi tentu saja berakhir dijaga oleh Atri di kamarnya sendiri. Dengan seluruh kemampuan yang dimiliki, Lily berusaha membujuk suaminya untuk mau ke rumah tetangga yang mengalami kehilangan binatang peliharaannya.
"Demz," panggil Lily yang melihat suaminya berganti pakaian.
"Kenapa?"
"Kita ke rumah tetangga, ya?"
"Mereka nggak datang ke sini juga. Kalo memang masalahnya sepelik itu, mereka akan datang minta tanggung jawab ke sini."
Demoz tampak tidak begitu peduli dengan apa yang dialami oleh tetangga. Disinilah tugas Lily yang tidak boleh menyerah untuk membantu Demoz memiliki personality yang lebih baik.
"Jadi kamu nggak mau nemenin aku ngomong sama tetangga?"
Terdengar helaan napas sang suami, tapi Lily tidak mau menyerah hingga suaminya itu bersedia.
"Kenapa, sih, kamu ngotot untuk datang ke mereka? Padahal mereka sendiri yang kehilangan nggak kenapa-napa."
Lily mendekati sang suami. Memberikan usapan lembut di punggung Demoz yang sudah berbalut kain. Dia peluk pria itu dari belakang dan memang cara tersebut agaknya berhasil untuk bisa menenangkan hati sang suami.
"Itu namanya etika, Demz. Kita bisa belajar sama-sama untuk memiliki etika yang baik. Iya, kan? Kamu sendiri yang bilang untuk belajar terus, kamu nggak akan bersikap keras kepala untuk ajakan aku dengan belajar sama-sama memperbaiki diri kita. Iya, kan?"
Untungnya memang Lily berhasil. Demoz berjalan bersama Lily untuk bicara baik-baik dengan tetangganya yang pasti merasakan kehilangan dengan binatang peliharaan mereka. Apalagi jika binatang peliharaan mereka itu adalah kesayangan, sudah pasti rasa kehilangan teramat dirasakan tetangga mereka tersebut.
"Ini anjing tetangga yang sama seperti yang Dimi pegang-pegang waktu kapan itu?" tanya Demoz.
"Iya. Tetangga baru yang sejak awal anjingnya memang menarik perhatian Dimi."
Mungkin memang Dimi suka dengan binatang peliharaan, makanya menyentuh anjing milik tetangga baru mereka. Namun, Demoz tidak suka jika ada binatang asing yang masuk ke rumahnya. Pria itu tak suka ada bulu-bulu dan aroma binatang di rumah yang sulit membuatnya tenang.
"Istrinya sangat menyebalkan. Aku punya insting buruk soal kedatangan kita ini."
Lily sebenarnya juga bisa merasakan hal tersebut. Dia tidak bisa berbohong bahwa perempuan yang terlihat begitu sinis ketika Dimi menyentuh anjing peliharaannya itu memang bukan sosok yang bisa dihadapi dengan baik-baik. Namun, apa pun respon yang diberikan, mereka tetap harus bersikap baik untuk menanyakan apa yang sekiranya dibutuhkan untuk meringankan kehilangan mereka. Juga berterima kasih karena tanpa gerakan anjing mereka, Dimi pastilah dalam bahaya besar.
Ketika gerbang rumah tersebut terbuka, penjaga rumah itu mempersilakan mereka masuk dan menunggu di teras depan. Demoz sibuk mengamati seluruh bangunan rumah yang jauh dari apa yang dimiliki pria itu. Jika Lily tidak buru-buru menutup mulut sang suami, Demoz pasti akan mengeluarkann kalimat sinisnya.
"Selamat malam," sapa pria yang memiliki rumah tersebut.
"Ah, selamat malam. Maaf mengganggu malam-malam seperti ini, kami tetangga Anda. Kami orangtua Dimi, balita yang tadi pagi mengalami insiden dan menurut pengasuh kami anjing peliharaan Anda—"
"Siapa itu, Di? Apa oran-orang sialan yang membuat kesayangan kita mati??!"
Pria itu langsung menutup pintu sepenuhnya, meredam teriakan wanita di dalamnya yang tampak tidak mengendalikan dirinya.
"Saya Adi, maaf dengan sikap istri saya. Dia merasa sangat kehilangan anjing kami, jadi agak sulit menerima hal ini."
"Kalau gitu, Mas Adi. Sekiranya apa yang bisa kami lakukan untuk bisa menebus hal ini?"
Pria itu menggelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu dilakukan. Saya sudah ikhlas. Memang istri saya yang belum bisa menerima ini. Tidak perlu khawatir, keadaan istri saya pasti bisa kembali."
Dari dalam, Lily dan Demoz mendengar pintu yang digedor dengan keras. Bahkan setelah itu jendela di dekatnya dirusak dengan benda berat.
"KALIAN SIALAN! KALIAN MEMBUAT KESAYANGAN SAYA PERGI! SIALAAANN!"
Teriakan itu mengejutkan bagi Lily. Suami dari wanita itu langsung meminta Lily dan Demoz pergi supaya tidak membuat kondisi menjadi lebih buruk.
"Maaf, ya, Mas Adi. Sekali lagi kami turut berduka."
"Iya, terima kasih."
Masalah itu tampaknya tidak terselesaikan dengan baik. Insting mereka mengenai sosok wanita tetangga baru itu memang benar. Tampaknya wanita itu bisa menimbulkan masalah lain yang tidak mereka sangka nantinya. Semoga saja tidak ada masalah berat karena hal ini. Semoga segalanya bisa berjalan baik-baik saja.
[Karena cerita ini sudah tamat, kalian bisa baca lengkap di Karyakarsa kataromhick atau ebooknya di google playstore dengan search 'Faitna YA']
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top