33. Tetangga
"Aku nggak suka tetangga baru itu!" ucap Kartini.
Adidarya, sang suami, hanya menarik napas panjang dengan apa yang istrinya katakan. Dia tidak lagi peduli dengan sikap istrinya yang begitu sensitif jika ada tetangga baru dimana pun tempat mereka tinggal.
"Sudah empat kali kita pindah, dan kamu selalu punya permasalahan yang sama, Kar."
"Kamu, tuh, selalu nggak ngerti aku, Di! Kapan, sih, kamu itu paham kalo aku nggak bisa tinggal dengan ligkungan yang toksik?!"
Adidarya menatap istrinya dengan lelah. Bukan lingkungannya yang toksik, melainkan Kartini sendiri yang toksik. Selama menikahi wanita itu selama kurang lebih tujuh tahun ini, dia paham betapa toksiknya sang istri. Banyak mau, tidak pernah cocok dengan siapa pun, orang lain selalu salah dan Kartini saja yang benar apa pun masalahnya. Sama seperti saat ini, bagi Kartini yang menyebalkan adalah tetangga mereka. Padahal wanita itu sendiri yang menyebabkan banyak pemikiran toksik di dalam kepalanya sendiri.
"Oke, aku paham. Tapi namanya hidup nggak semudah itu sesuai dengan apa yang kamu inginkan, Kar. Kalo kamu mau serba sendiri, menjadi orang yang paling berkuasa, kamu tahu apa yang harus kita punya. Uang yang lebih banyak."
Kartini mendengkus mendengar ucapan suaminya itu. "Iya! Aku udah tahu kita memang memerlukan banyak uang lebih dari sekarang dan aku udah berulang kali nyuruh kamu buat cari nenek kamu yang kaya raya itu, kan? Tapi kamu nggak mau! Kalo kamu bisa meraih hatinya, kamu pasti dapat bagian yang nggak sedikit."
"Dan berapa kali aku harus bilang kalo aku nggak akan melakukannya karena aku bukan bagian resmi dari keluarga itu?!"
Kartini mendekati suaminya dengan kedua alis yang mengerut. "Adi, kamu harus sadar kalo kamu adalah anak yang lahir dari keluarga itu. Kamu adalah calon penerusnya! Kamu--"
"Aku hanya anak hasil dari perselingkuhan. Apa kamu nggak paham maknanya?"
Mencoba untuk lebih tenang dengan perdebatan ini, Kartini menyentuh dada suaminya agar Adidarya bisa mengubah pikirannya secara perlahan. Apa pun alasannya, Kartini tidak akan berhenti mempengaruhi suaminya agar mau untuk pergi mencari neneknya yang kaya raya dan mendapatkan kekuasan yang harusnya sudah didapatkan pria itu.
"Oke. Maafin aku, ya? Aku nggak bermaksud buat mengingatkan latar belakang kamu, aku hanya ... terlalu pusing karena gangguan dari tetangga baru kita aja. Maafin aku, ya, Adi? Hm? Maafin istri kamu yang jauh dari kata sempurna ini, ya?"
Adidarya menghela napasnya dan mengangguk. Dia mencintai Kartini yang apa adanya, mereka memiliki cinta yang begitu besar satu sama lain. Meski Adidarya tahu istrinya terhitung materialistis, tapi itu tidak mengurangi dukungan sangat besar yang wanita itu berikan pada Adidarya untuk sukses dalam bekerja, memakmurkan keluarga.
Sebenarnya, Adidarya tidak mengatakan fakta bahwa diam-diam selama ini hidupnya disokong oleh neneknya. Adidarya merahasiakan hal tersebut dari istrinya karena tak mau Kartini lebih serakah jika tahu mereka bisa mendapatkan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Membeli tanah dan membangun rumah di lingkungan yang baru ini saja sudah memakan banyak biaya, Adidarya mengaku itu semua karena gaji dan kebiasan mengiritnya. Namun, sebenarnya dibalik uang tabungannya selalu ada pasokan dari neneknya yang luar biasa. Sayangnya, sudah mendapakan kehidupan serba cukup begini saja masih tidak menyenangkan bagi Kartini. Bagaimana bila wanita itu tahu bahwa nenek Adidarya diam-diam memberikan banyak uang untuk mereka selama ini?
***
"Apa yang kamu lakukan sampai Oma dalam kondisi begini dan kamu baru mengabari saya!!??" murka Demoz pada Gatara yang selama ini memang mengurus neneknya dengan baik.
Mendapatkan kabar bahwa Demoonel masuk rumah sakit dan keadaannya sudah begitu drop, Demoz memaki keberadaan Gatara yang seharusnya mengabarinya lebih awal. Dia memastikan bahwa seluruh kabar neneknya sampai padanya karena sekarang ada Lily yang sangat mencemaskan Demoonel layaknya cucu kandung. Demoz bisa saja mendapatkan kemarahan Lily padanya karena memberitahu istrinya itu ketika Demoonel sudah masuk ke rumah sakit.
"Maafkan saya, Tuan."
Demoz memaki Gatara sekali lagi dan mengusap wajahnya dengan frustrasi. Sejujurnya Demoz merasakan serangan panik membayangkan bahwa neneknya mungkin akan pergi dan tidak akan membantunya menyelesaikan permasalahan apa pun lagi jenisnya. Dia cemas karena tak ada sosok keluarga yang akan menjaganya dan mengertinya.
Meski dari luar Demoz terlihat tidak peduli dengan apa pun yang neneknya lakukan, kenyataannya dia sangat peduli dan takut kehilangan satu-satunya keluarga yang bisa menjaganya selama ini. Demoz tidak juga menyukai fakta bahwa apa yang dimiliki Demoonel sangatlah banyak hingga dia harus mengurusnya sebagai penerus nantinya. Sebelumnya dia memang mengatakan menginginkan kekuasaan yang dimiliki neneknya, tapi tidak lagi setelah memiliki Lily di sisinya.
Kesibukan akan membuatnya perlahan menjauh dari Lily dan Dimi. Semakin dia mengetahuinya semakin dia mengerti bahwa keluarganya hancur karena kesibukan kepala rumah tangga di rumahnya. Kesalahpahaman datang perlahan karena adanya ambisi yang tidak pernah berhenti terpuaskan. Keributan di dalam kamar orangtuanya mulai merebak dan perlahan sosok ibunya mencari kenyamanan karena cinta yang ayahnya miliki sangat kacau. Kekacauan itulah yang diturunkan pada Demoz saat ini dan dia berusaha menekan kuat iblis yang didapatkannya dari drama keluarga orangtuanya. Satu-satunya orang yang berusaha menyelamatkannya adalah Demoonel, nenek yang selalu diperlakukan Demoz dengan cuek. Karena hanya dengan itu Demoz tidak akan diperlakukan seperti anak yang lemah.
Demoz merasakan kepanikannya semakin naik dan dia tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak mengacaukan lorong ruangan itu. Gatara mendadak kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya, pandangan demi pandangan mengarah pada Demoz yang histeris dan jelas akan membuat pihak rumah sakit memberikan peringatan tegas.
"Tuan? Tuan Demoz?" Gatara tidak tahu harus melakukan apa saat ini.
Saat itulah seseorang dengan pakaian formal menghampiri mereka dan menanyakan pada Gatara mengenai apa yang terjadi.
"Mohon maaf, Pak. Tindakan Anda ini mengganggu--"
"Saya nggak peduli! Saya nggak akan mengganggu kalo kalian bisa menyelamatkan Oma saya!" potong Demoz dengan mata memerah yang sarat akan amarah.
Gatara segera mengambil inisiatif untuk menghubungi Lily. Demoz tidak akan bisa baik-baik saja tanpa ada orang yang mengerti bagaimana cara untuk menemani dan menenangkannya. Gatara hanya tahu dari Demoonel sebelumnya bahwa cucunya itu memang memiliki berbagai permasalahan di dalam dirinya sendiri. Lily adalah pawangnya, begitu kurang lebih Demoonel menjelaskan.
"Saya mohon maaf, Pak. Tuan saya ini sedang kalut karena neneknya berada di rumah sakit dengan kondisi yang tidak bisa dipastikan." Gatara menyampaikan permintaan maaf karena Demoz sudah mengganggu.
"Ya, saya tahu, tapi seharusnya--"
Demoz menyerang pria yang sudah pasti adalah pihak rumah sakit itu. Gatara berusaha menghentikannya tapi Demoz sedang tidak terkendali saat ini. Satu-satunya cara adalah menunggu Lily yang memang datang beberapa menit kemudian dengan wajah super tegang dan pucat.
"Demz! Demz, stop!"
Lily menahan tubuh suaminya yang seperti binatang buas. "Demz, tenang. Aku mohon tenang, Sayang. Oma baik-baik aja. Oma kuat, Demz. Kamu nggak sendirian menunggu Oma, ada aku. Kamu punya aku, Dimi, dan anak yang aku kandung. Tenang, ya? Tenang."
Lily menarik Demoz dalam pelukan setelah pria itu melepaskan seorang pria yang dipukulinya tadi. Demoz menangis dalam pelukan Lily yang sangat terkejut semuanya terjadi di depan mata tanpa jeda.
"Oma, Ly. Oma ...."
Lily mengangguk seraya mengusapi punggung pria itu. "Kita tunggu Oma sama-sama, ya. Jangan khawatir. Kamu dan aku bisa menghadapinya bersama."
Dengan mata terpejam sejenak, Lily merasakan betapa berat kekacauan yang suaminya alami. Demoz mungkin akan semakin kacau jika Demoonel tidak terbangun lagi. Tuhan, kuatkan aku dan Demoz.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top