32. Berita buruk

[Yuhuuu! Yang mau baca duluan dan baca special chapter langsung aja mampir ke Karyakarsa kataromchick, yups.]

Kepindahan Demoz dan Lily membuat keduanya tidak bisa sering berkabar dan mengunjungi Demoonel seperti biasanya. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Lily untuk menghabiskan waktu dengan Demoonel. Selain jarak rumah baru yang jauh, juga pekerjaan sudah menyita waktu Lily. Ketika sampai rumah juga Lily sudah sepenuhnya fokus pada Dimi. Dia mengganti waktu untuk dihabiskan bersama Dimi setelah seharian bekerja.

"Wajah kamu pagi ini keliatan murung. Harusnya sebelum berangkat kerja suasana hati kamu bagus." Demoz mengangkat Dimi ke pangkuannya dan mengecup pipi anak itu.

"Apa kabarnya Oma, ya?"

Demoz mengalihkan tatapannya dari Dimi yang tertawa senang karena digelitik oleh papanya.

"Kangen sama Oma?" tanya Demoz.

"Kepikiran aja, sih. Kayaknya udah lama nggak ketemu."

"Baru juga seminggu. Mungkin karena kamu terbiasa tinggal dekat rumahnya Oma."

"Bisa jadi."

Lily kembali dalam mode serius untuk berangkat bekerja. Untuk sejenak dia akan menempatkan insting yang merongrong dirinya untuk mengetahui kabar Demoonel. Sedangkan Demoz, yang notabene memang cucu kandung Demoonel malah bisa bersantai tanpa memiliki firasat apa pun. Entah mungkin Lily yang terlalu merasakan hal yang tidak seharusnya dikarenakan efek kehamilannya saja. 

"Dimi, mau ke mana?" tanya Demoz pada putranya yang memaksa turun dari pangkuan papanya.

Lily tidak membantu Demoz untuk mengejar anak mereka karena bersiap untuk masuk kerja. Perempuan itu memanfaatkan kehadiran Demoz untuk mengurus Dimi. Ketimbang nantinya Lily mendapatkan protes dari pria itu karena terlalu membatasi kesempatan antara papa dan anak yang terpisah sejak dari kandungan, maka Lily biarkan Demoz merasakan bagaimana aktifnya kaki Dimi meski mulutnya tak mau aktif bicara.

"Ly! Lily!"

Teriakan dari arah depan membuat Lily tersentak dan tentu saja menghampiri suara suaminya yang menyebutkan namanya.

"Kenapa? Ada apa, sih?" sahut Lily saat sudah sampai di teras depan.

"Dimi bikin anak orang nangis!"

Wajah Demoz kini sudah panik dan bingung harus bagaimana. 

"Kok, bisa? Kamu ikutin dia, kan?"

"Iya. Tapi anak itu langkahnya cepet banget, tahu-tahu udah ke depan gerbang dan lihat anjing peliharaan orang. Dia tarik anjingnya dan bikin anak orang yang pelihara itu anjing nangis. Dikira Dimi nyiksa anjing mereka."

Lily menepuk jidatnya. "Ya, udah, kamu bawa anaknya pulang! Kenapa kamu malah teriak-teriak panggil aku???"

Demoz memelas sembari berkata, "Bantuin."

Nggak papanya nggak anaknya, dua-duanya biang masalah. 

***

Dimi adalah anak yang sangat aktif dalam urusan pergerakan. Anak itu tidak cepat bicara, tapi urusan melangkahkan kaki, jangan ditanya keajaibannya. Lily sebagai mamanya saja tidak tahu sihir apa yang anak itu punya hingga orang dewasa yang menjaganya selalu kalah cepat dari gerakan anak itu. 

"Dimi, lepas anjingnya, Nak." Lily mendekati putranya dengan mensejajarkan tubuh dengan tinggi anak itu.

Dengan perlahan Lily menggunakan kesempatan untuk mengendurkan cengkeraman Dimi pada si anjing peliharaan yang terlihat tertekan. Dimi yang mendapati mata sang mama langsung memeluk lehernya.

"Maaa."

Dimi memang anak yang unik. Lily tidak mengatakan apa-apa, tapi dengan tatapan matanya saja Dimi langsung menciut. Berbeda hal ketika anak itu melihat Demoz yang memerintahkannya melepaskan si anjing. Dimi hanya melirik pada Demoz dan akhirnya pria itu meminta bantuan Lily yang sudah mengerti kebiasaan anak mereka.

"Oke, minta maaf sama Om, Tante, sama kakaknya, Nak." Lily menarik tangan Dimi di lehernya untuk meminta maaf pada keluarga yang hanya bisa memaklumi tingkah Dimi.

"Ma a," ucap Dimi yang tak jelas.

Lily mengambil alih karena tahu putranya tidak bisa bicara dengan jelas. "Saya mewakili anak saya minta maaf, Pak, Bu. Saya akan lebih mengawasi anak saya dengan kejadian ini."

"Iya, Mbak. Saya maklumi, mungkin dia penasaran dengan anjing kami."

Untung saja pria yang diyakini sebagai suami dan ayah si anak membalas dengan sopan. Sedangkan istrinya sepertinya tidak begitu suka berhadapan dengan keluarga Lily, meski tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut perempuan itu gestur yang ditunjukkan sudah sangat jelas.

"Terima kasih pemaklumannya." Lily tidak berniat melakukan basa basi lebih panjang di pagi hari seperti ini.

"Atau keluarga Anda butuh ganti rugi?" Tiba-tiba saja Demoz mengucapkan tanya demikian.

Lily menatap suaminya ketika sudah kembali berdiri dan Dimi terdiam di dekat kaki mamanya. Pria itu tidak bersikap sopan jika melakukan ini, karena pertanyaan Demoz justru terdengar seperti meremehkan. Namun, Lily tahu bahwa Demoz memang berniat mengganti rugi dari kemungkinan si anjing peliharaan dikhawatirkan mengalami sesuatu karena Dimi menarik paksa binatang itu.

"Maaf, suami saya tidak bermaksud merendahkan. Maksud suami saya mungkin ada kemungkinan anjing peliharaan kalian--"

"Nggak perlu! Ayo, Mas kita pulang!"

Lily hanya bisa menarik napas dalam karena tak mau terpancing emosi pagi-pagi begini. Sedangkan Demoz mengeluarkan komentar yang membuat Lily menggeleng-gelengkan kepala. 

"Apa maksudnya langsung sewot begitu? Kasihan si suami dapat istri stres begitu."

Lily menepuk dada Demoz dan menyuruh pria itu pulang ketimbang mengomentari orang lain. Bagaimanapun, Lily berpikir bahwa mereka harus tetap bersikap baik karena mereka pasti menjadi tetangga. Memiliki tetangga yang standar hidupnya tinggi pasti membawa kelebihan dan kekurangan tersendiri. Intinya, Lily tidak mau bermasalah semakin jauh dengan keluarga itu.

***

Di kediaman Demoonel yang sepi dan luas, suasana menegang karena wanita tua itu merasa tubuhnya semakin tidak membaik dari hari ke hari. Begitu banyak pikiran yang bersarang di dalam kepala Demoonel saat ini, bukan mengenai harta yang dia miliki tapi ada hal lain yang membuat wanita itu kebingungan. 

"Apa Nyonya yakin tidak mau dirawat di rumah sakit?" tanya asisten Demoonel yang mengurusnya kini. 

Demoonel menggeleng. Wanita itu meminta dibawakan kacamata dan duduk di balik meja kerjanya dengan punggung yang sudah sulit tegak. Setua ini dan otak wanita itu masih saja diolah untuk hal yang tidak tahu sampai kapan bisa dikendalikannya.

"Beritahu pengacara Mikael untuk segera datang, tentukan jadwal khusus untuk mengurus sesuatu dengan saya."

"Tapi kondisi Anda--"

"Saya sudah terlalu tua untuk tetap hidup, Gatara. Saya harus mengurus semuanya sesegera mungkin sebelum waktu saya habis di dunia ini. Saya nggak mau kerusuhan terjadi dan tidak terkendali. Semua yang akan saya urus dengan Mikael akan menjadi hal yang paling penting setelah saya tiada."

"Nyonya harus berhenti membicarakan hal semacam itu. Umur tidak pernah ada yang tahu, Nyonya."

"Justru itu, Gatara! Semakin saya tidak tahu, maka saya harus menyelesaikannya dengan cepat."

Gatara hanya bisa menghela napasnya dan merasakan sesuatu yang besar akan terjadi dengan kecemasan Demoonel. Jika memang Demoonel akan tiada, maka Gatara yang akan menjadi saksi terkuat atas semua keputusan yang dilakukan oleh Demoonel. Sudah 35 tahun Gatara ikut bekerja dibawah tekanan Demoonel, banyak sekali rahasia yang Gatara ketahui hingga dalam posisi seperti ini dia hanya bisa diam dan menyaksikan.

"Gatara, saat semua hal menjadi kacau dan saya nggak ada. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, bukan?" tanya Demoonel dengan wajahnya yang semakin mengendur termakan usia.

Gatara mengangguk tanpa mengucapkan apa pun. Dia tahu apa yang harus dilakukannya berdasarkan pengalaman mengikuti Demoonel. Sekali lagi, kekacauan keluarga itu akan terjadi.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top