26. 2D

Lily tertidur dengan kualitas yang sangat bagus. Dia tahu dirinya hanya bangun satu kali untuk memastikan ASI untuk putranya masih mencukupi dan tidak terbangun lagi. Padahal biasanya Dimi akan bangun tengah malam dan meminta jatah ASI. Tapi malam ini anak itu bersikap sangat baik dan tidak menyulitkan Lily sama sekali. Entah apa yang sudah terjadi dengan anak itu, yang jelas Lily merasa sangat bersyukur karena bisa istirahat dengan baik.

Niatan dirinya bangun pagi juga untuk memastikan apakah putranya rewel atau tidak. Dia sempat lupa bahwa semalam memang Demoz memindahkan putra mereka untuk tidur bersama. Dia terkejut ketika tidak merasakan tubuh Dimi saat meraba. Ketika dirinya berbalik, barulah dia ketahui posisi tidur Dimi yang tidak biasa.

Lily tidak tahu harus menyikapi pemandangan saat ini dengan bagaimana. Dimi menaruh kepalanya di dada sang papa, pipi kanannya menempel di kulit dada Demoz yang tidak tahu kapan sudah tidak dibalut dengan kaus. Botol susu masih digigit oleh Dimi, padahal isinya sudah habis. Yang lebih membuat Lily tidak bisa menahan senyumnya sepagi ini adalah tangan mungil Dimi yang berada di puting Demoz. 

Sepertinya sudah banyak yang Lily lewatkan dalam waktu singkat. Kelelahan melayani Demoz membuatnya tidak mengerti bagaimana bisa semua ini didapati oleh matanya. Lily tidak yakin dirinya masih waras karena sangat bahagia dengan pemandangan semacam ini. Dibanding pernyataan cinta dari mulut Demoz, kegiatan tanpa bicara seperti ini malah membuat hati Lily tersentuh dengan mudahnya.

"Aku mungkin terlalu terbawa perasaan karena hormon." Lily mencoba menyangkal sesuatu yang muncul dari dalam hatinya. 

Sulit bagi Lily untuk bisa berharap pada Demoz. Harapan mereka mungkin terlalu berlebihan untuk bisa bahagia sebagai keluarga kecil. Mengingat bagaimana masing-maisng dari mereka memiliki kesakitan tersendiri mengenai keluarga. Bahkan semalam pria itu tidak benar-benar bisa merasakan emosinya sendiri. Tangisan yang Lily usap, menunjukkan betapa Demoz sudah terbiasa dengan luka masa lalu dan sulit untuk mengurai emosinya sendiri. 

Lily memikirkan sesuatu yang mungkin lebih masuk akal bagi mereka sebagai keluarga. Mungkin mereka harus memastikan cinta yang utuh untuk diberikan kepada anak-anak mereka. Mengenai perasaan mereka ... itu bukanlah hal yang lebih penting dan anak-anak. Jangan sampai anak-anak mereka merasa dicampakan oleh orang tuanya sendiri. Itu adalah perasaan yang sangat mengerikan.

Ketukan pintu yang Lily yakini adalah ulah dari Atri membuat langkah kakinya bergerak lebih cepat. Lily mendadak tak mau membuat papa dan anak itu merasa terganggu dalam tidurnya. Dengan segera Lily membuka pintu dan mendapati wajah cemas dari pengasuh anaknya.

"Kamu kenapa, Atri?"

"Bu ... Dek Dimi hilang lagi. Saya udah cari ke seluruh ruangan, bahkan saya udah ke rumah Oma, tapi dek Dimi nggak ada, Bu." 

Atri terlihat takut hingga menggosokkan kedua telapak tangannya sebagai gestur bersalah dan meminta diampuni karena kecerobohannya sepagi ini.

"Saya minta maaf, Bu. Saya nggak mau bikin Ibu cemas, tapi--"

"Ssttt!" Lily menyela ucapan Atri.

Lily mendorong pengasuh Dimi itu untuk mundur dari pintu kamarnya dan memastikan kedua laki-laki di kamarnya tidak terbangun saat menutup pintu. 

"Dimi ada di kamar saya, Atri. Kamu memangnya nggak tahu?"

"Di kamar Ibu?" Atri melebarkan matanya terkejut. Gelengan kepala Atri menjawab pertanyaan Lily. 

"Suami saya yang mindahin Dimi ke kamar saya. Berarti kamu udah tidur pulas waktu Dimi dibawa ke kamar saya."

Atri mengembuskan napas lega setelah mendengar penjelasan dari majikannya itu. Atri mengira akan mendapatkan masalah baru sepagi ini, tapi rupanya tidak. Majikannya yang baru ternyata pembuat ulah hingga jantung Atri hampir copot dengan tindakan pria itu yang tidak terdengar.

"Harusnya si Bapak nggak bersikap sembarangan, dong, Bu! Saya jadi takut banget, loh. Bangun-bangun dek Dimi nggak ada di kasur. Kan, pikiran saya jadi kemana-mana."

Lily tertawa pelan melihat betapa polosnya Atri ketika memprotes. "Lain kali saya bakalan bilangin ke dia untuk nggak sembarangan ambil Dimi supaya kamu nggak panik cariin anak saya."

Atri mengangguk dengan puas dengan jawaban Lily. 

"Tolong bikinin sarapan buat Dimi, sama saya minta tolong pesenin bubur ayam, ya." Lily memberikan uang pecahan kecil yang selalu dia letakkan di kotak dekat rak televisi. 

"Buburnya mau pedes, Bu?"

"Pisahin aja sambalnya. Yang satu nggak pake kacang sama emping. Saya nggak suka itu."

Atri mengangguk paham dan segera bergerak untuk bekerja. Untung saja Atri bukan tipikal pekerja yang bergerak lambat, Atri memang cepat dalam urusan pekerjaan dan sedikit bebal untuk sesuatu yang mengandalkan pemikiran tinggi. Lily merasa terbantu dengan adanya Atri sebagai pengasuh sekaligus terkadang menjadi asisten rumah tangga. 

Lily membuka pintu dan mendapati kedua manusia yang memiliki nama berawalan D itu tidak ada di ranjang.

"Ke mana mereka?" tanya Lily pada dirinya sendiri.

Dia tidak ambil pusing dan menuju lemari untuk menyiapkan pakaian kerja. Dia baru sadar bahwa pakaian dan kebutuhan dasar suaminya tidak ada di sana. Hal seperti ini membuat Lily merasa tak nyaman karena Demoz memang harus bekerja dua kali ketika akan berangkat kerja. Pria itu harus pulang ke rumahnya sendiri untuk bersiap berangkat kerja. 

"Dah pa."

Lily bisa mendengar samar-samar suara Dimi. Pintu kamar mandi yang terbuka membuat Lily melongok dan mendapati keduanya sedang sibuk di sana. 

"Kalian ngapain?" tanya Lily. 

Demoz menggendong Dimi dengan mata yang masih tidak sepenuhnya terbuka lebar. Rambut pria itu berantakan, sama seperti milik Dimi. Ketika melihat kepala keduanya hampir sejajar begini, Lily terkejut bukan main bahwa kemiripan mereka membuat detak jantungnya berdegup lebih keras. 

"Dimi kencing, aku juga."

Untung saja Demoz tidak sadar sudah diperhatikan oleh Lily. Pria itu berjalan menuju ranjang dan tengkurap hingga Dimi terjepit oleh tubuh pria itu. 

"Paaaa paaaaa." Dimi meneriaki papanya karena tak suka dijepit. 

"Hm? Kenapa, Dim?" tanya Demoz pada putranya yang menepuk-nepuk bahu pria itu dengan tangan yang mungil.

"Paaa aaa paaa."

Demoz tertawa kecil. "Makanya ngomong yang bener, Dim. Papa mana ngerti kamu minta dilepasin kalo cuma teriak pa pa pa doang?"

Lily tidak mengerti kenapa dirinya tersentuh dengan kegiatan keduanya. 

"Coba bilang, 'papa lepas', gitu!" Demoz ingin sekali mendengar Dimi bicara lebih banyak. 

"Paa pa aaa."

Demoz menghela napas karena belum berhasil mendengar Dimi berceloteh. 

"Yaudah, papa nggak akan paksa kamu ngomong. Papa pengen tidur lagi, Dim."

Demoz memejamkan matanya lagi dan Dimi yang sudah sepenuhnya bangun tidak mengizinkan papanya kembali tidur. Wajah Demoz dipukuli dengan tangan bocah itu. Tentu saja Demoz tidak bisa kembali tidur dan berakhir membuat gestur menggigit perut Dimi hingga anak itu terpingkal kegeliaan. 

Oh, ya ampun! Ini terlalu manis! Lily mungkin akan tidak baik-baik saja untuk menerima semua serangan manis dari interaksi Demoz dan Dimi. Jika seperti ini terus, cinta milik Lily akan semakin besar untuk pria itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top