25. Yeah!
[Seperti biasa, silakan yang mau baca langsung di Karyakarsa kataromchick, ya. Happy reading semuanya!]
Tidak ada yang lebih baik dari make up sex. Mereka bisa dikatakan berdebat secara ketat sebelum akhirnya menjebak diri satu sama lain di dalam kamar mandi. Kegiatan yang Lily selalu tolak diawalnya dan menjadi linglung pada akhirnya terjadi dengan sangat pekat. Suara air yang turun membasahi tubuh mereka menjadi sarana yang menyenangkan. Jika sebelumnya mereka hanya melakukannya di kamar mandi tanpa membasahi tubuh, maka saat ini mereka menggunakan air untuk mencegah suara yang terlalu kacau.
Lily memundurkan wajahnya ketika air begitu kencang turun dan membuatnya sulit bernapas ditengah ciuman mereka. Sebenarnya Lily tidak bisa sepenuhnya mengeluarkan apa yang ingin dirinya keluarkan karena aliran air membuatnya tak benar-benar fokus menangkap wajah suaminya. Wajah mereka basah secara brutal dan Lily kesulitan berdiri karena lantai licin.
Meski tahu bahwa Lily tak nyaman, Demoz tetap melakukan tugas untuk terus membuat percintaan mereka di bawah air berhasil dilakukan.
"Aku nggak bisa," ucap Lily yang merasa kewalahan dengan tubuh bersandar ke dinding.
Demoz menggeleng, mengurangi derasnya air membasahi mereka. "Bukan nggak bisa, hanya belum bisa. Kita bisa mencobanya sebagai pengalaman pertama."
Pria itu mengusap pipi Lily dengan begitu lembut dan menjepit dagu istrinya untuk mengecup bibir Lily yang memerah dan membengkak karena intensitas lumatan mereka.
"Terlalu banyak pengalaman pertamaku dengan kamu."
Balasan dari Lily mengejutkan Demoz yang menangkap kalimat itu dengan berbeda.
"Jadi kamu mau melakukan pengalaman pertama dengan pria lain? Kamu mau melakukannya dengan sekretaris bos Kim itu?"
Tiba-tiba saja suasana kembali menjadi kacau. Lily tidak bermaksud mengatakan hal semacam itu. Dia hanya merasa terlalu banyak gaya bercinta dan tempat pertama kali yang mereka lakukan.
"Siapa yang mau melakukannya sama Yasa? Kamu salah paham sama omonganku."
"Lalu apa maksudnya tadi? Terlalu banyak pengalaman pertamaku dengan kamu? Apa maksudmu?!"
Demoz terlalu panik dan berpikiran buruk jika Lily pergi dari sisi pria itu. Demoz selalu menanggapi hal tersebut dengan rasa marah yang kadang membuat Lily malah sama kesalnya.
"Maksudnya adalah kita udah terlalu banyak mencoba untuk pertama kali selama kita bertemu lagi. Dan jelas aja aku cuma melakukan semua hal pertama kali sama kamu! Kenapa pikiranmu itu terlalu negatif, sih?"
Demoz mengusap wajahnya untuk membubarkan air yang mengganggu pemandangannya pada Lily.
"Kamu harus tahu aku memang memiliki rasa kepemilikan yang tinggi. Aku nggak menolerir kedekatan pasanganku dengan pria lain sebelumnya, tapi untuk kamu, aku mengubah sikap itu perlahan. Asal kamu nggak macam-macam, aku nggak akan kehilangan kendali."
"Aku nggak akan memaafkan kamu dengan mudah, kalo kamu kehilangan kendali."
Itu juga yang menjadi ketakutan Demoz. Jika Lily tidak memaafkannya, besar kemungkinan Demoz akan kembali ditinggalkan oleh perempuan yang dicintainya. Pengalaman di dalam rumahnya dulu, dan perginya Siri karena tak tahan dengan kondisi yang mengekang membuat semuanya pergi.
Demoz membenci kesendiriannya. Dia benci ditinggalkan. Tidak lagi! Lily tidak boleh meninggalkannya seperti yang pernah meninggalkan Demoz.
"Bersikaplah tegas dengan pria yang berusaha mendekati kamu kalo begitu." Demoz memberikan konklusi versi dirinya.
"Aturlah emosi kamu dengan lebih baik lagi supaya nggak mudah salah paham denganku yang bicara dengan pria lain yang nggak ada di hatiku."
Kali ini tangan Demoz tertarik untuk mematikan air yang mengalir. Tidak ada lagi penghalang untuk menatap satu sama lain. Dia ingin mendengar sesuatu dari bibir Lily, dan membaca reaksi yang diberikan sang istri.
"Memangnya siapa yang ada di hatimu?" tanya Demoz.
Lily terkunci dalam tatapan Demoz dan sulit mengeluarkan dirinya lagi. Dia seperti dipancing dengan umpan yang paling menarik hingga terjebak dan tak bisa keluar dari situasi ini jika tidak mencari siasat yang tepat. Dia hanya memiliki satu jalan keluar untuk tidak menjawab secara lisan dan menghentikan dirinya dari pojokan pertanyaan Demoz.
Lily bergerak untuk mencium Demoz lebih dulu. Gerakan yang tak menggebu, lembut, dan dalam. Itu adalah ciuman yang menjawab pertanyaan Demoz, entah pria itu akan mengerti atau tidak. Lily tak peduli apakah suaminya paham atau tidak, yang terpenting adalah Lily mendapatkan jalan keluar.
Demoz mengeratkan kedua tangan di pinggang perempuan itu dan melepaskan ciuman mereka.
"Siapa? Kenapa kamu nggak menjawabnya dan malah menciumku?"
"Karena itulah jawabanya."
Demoz membuat alisnya mengeriting. "Aku nggak ngerti."
Lily mengalungkan lengannya di leher pria itu dan membuat hidung mereka bersentuhan untuk menjawab. "Itu masalah kamu sendiri. Kenapa kamu nggak mengerti saat jawabannya sudah jelas sejak awal?"
Demoz sungguh terlihat bodoh di depan Lily yang menyeringai untuk menertawakan pria itu. Terus cari jawabannya yang jelas-jelas ada di depanmu, Demoz.
***
Demoz yang merasa begitu 'kenyang' dengan percintaannya dengan Lily tak langsung bisa tertidur. Dia menginginkan satu hal lagi untuk ada dan bisa membuatnya tidur nyenyak.
"Kamu mau ke mana?" tanya Lily yang matanya sudah berat dan merasakan pergerakan di ranjang.
"Sebentar," jawab Demoz yang tidak memberikan jawaban sama sekali.
Lily memilih tidak peduli dan memejamkan matanya kembali. Dia sebentar lagi akan masuk dalam alam mimpi jika saja tidak terganggu oleh pergerakan di ranjang lagi.
"Demoz??"
Lily terkejut karena mendapati Dimi digendong oleh pria itu dan tidur ditengah mereka berdua.
"Kenapa Dimi kamu pindahin? Kalo dia bangun gimana?" Lily memprotes.
Perempuan itu langsung bergerak untuk mendekati putranya dan memastikan Dimi tidak bangun karena ulah Demoz.
"Aku mendadak nggak bisa merem dan kebayang muka Dimi. Kemaren-kemaren dia manja banget sama kamu, tapi malam ini dia udah tidur waktu kita pulang."
Lily tidak akan pernah bisa membaca apa yang diinginkan pria itu. Terlalu banyak keinginan acak yang Demoz tunjukkan dan Lily seringkali dibuat terkejut.
"Kenapa? Apa yang bikin kamu tiba-tiba kangen Dimi?"
Demoz menatap istrinya dan menaruh tangan di bokong Dimi yang kini membelakangi Demoz dan menghadap dada Lily.
"Hanya nggak mau suatu saat dia berpikir dia nggak lebih penting ketimbang kamu dalam hidupku."
Lily mendadak kehilangan rasa kantuk mendengar kalimat suaminya. Apa yang keluar dari mulut Demoz kini adalah kisah pria itu sendiri di masa lalu. Lily yakin Demoz sedang tak sepenuhnya mengendalikan diri untuk mengungkapkan cerita masa kecilnya yang tak menyenangkan.
"Aku memang menginginkan kamu, tapi aku nggak ingin Dimi merasa dibuang karena bukan pihak yang bisa memuaskan kebutuhan fisikku. Aku nggak ingin bersikap memuja kamu terlalu berlebihan dan mengabaikan Dimi. Anak-anak kita kelak akan menjadi anak yang merasa diperhatikan, bukan hadir karena risiko bercinta aja."
Lily tidak mengganggu Demoz untuk bicara. Pria itu berhak mengungkapkan cerita mengenai masa lalunya kepada Lily jika memang pria itu merasa nyaman dan siap. Lily juga merasa lega karena dia kembali menjadi teman sekaligus pendengar bagi Demoz yang banyak memiliki luka hingga menjadi pribadi yang bisa dikatakan rusak.
"Akan sangat menyakitkan kalo anak-anak seperti Dimi merasa papanya hanya menginginkan mamanya aja. Padahal, anak-anak membutuhkan perhatian dan tak mau disingkirkan. Dimi bisa cemburu kalo papa dan mamanya hanya mementingkan satu sama lain."
Lily terkejut, tapi tak bisa berkata apa-apa saat melihat air mata yang mengalir dan membasahi pipi suaminya. Tangan Lily-lah yang berinisiatif untuk mengusap pipi Demoz yang sepertinya tak sadar sudah menangis.
"Kenapa?" tanya Demoz yang tidak paham kenapa Lily mengusap pipinya.
"Nothing. Cuma air aja."
Malam itu, Lily melihat Demoz yang menangis ditengah ceritanya. Namun, pria itu tak sadar sedang mengeluarkan emosinya. Lily menjadi tak bisa menghentikan perasaannya dengan kondisi yang pria itu tunjukkan secara tak sengaja. Saat itulah Lily berdoa agar Demoz bisa menyembuhkan dirinya sendiri dari luka batin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top