24. Move Out
[Yang mau baca duluan silakan mampir ke Karyakarsa 'kataromchick', ya. Ada paketnya juga jadi kalo update tinggal baca, deh. Happy reading 😁]
"Seneng banget kayaknya yang habis ngobrol berdua."
Lily hampir saja melemparkan ponselnya ke arah orang yang membuatnya terkejut. Untung saja dia masih waras ditengah kewaspadaannya. Refleks semacam itu membantu, tapi juga menyebalkan untuk dilakukan. Jika situasinya tidak memungkinkan, barang-barang pribadi Lily yang justru menjadi korbannya.
"Lain kali kamu ngagetin begini, aku pasti pukul muka kamu supaya nggak pasang rahang tajam begitu."
"Aku bahkan bisa pasang ekspresi yang lebih dari ini, karena seharusnya memang aku pasang ekspresi lebih untuk kamu yang berdekatan dengan pria lain yang mengaku terang-terangan menyukai kamu, istri orang."
Lily menghela napasnya mendengarkan ucapan-ucapan yang keluar dari bibir Demoz.
"Dia nggak tahu aku istri siapa. Lagian, ngapain kamu di depan sini? Kamu bukannya makan sama bos Kim?"
"Kami nggak makan di tempat lain, dia pulang dan aku juga nggak berniat untuk ikut dengannya."
Lily hanya mengangguk dan memilih melihat ponselnya kembali. Dia tidak akan pulang bersama Demoz karena membawa kendaraan masing-masing, Lily tidak tahu kenapa pria itu masih menunggunya yang sibuk melihat pesan masuk melalui e-mail. Tidak ada yang berniat memecah keheningan itu, dan Demoz juga tidak mau mengalah untuk lebih dulu pulang.
"Mau ke mana?" tanya Demoz yang melihat istrinya melenggang pergi tanpa berkata apa-apa..
"Pulang."
"Kita pulang bareng!" kata Demoz.
"Nggak bisa. Aku bawa mobil sendiri."
"Tinggalin aja mobilnya di sini. Besok aku akan suruh--"
Demoz langsung terdiam begitu Lily membalikkan badan dan menatap pria itu dengan tajam. "Jangan bersikap seenaknya terus menerus. Apa kamu nggak bisa berhenti melakukannya?"
Demoz menginginkan hubungan mereka berjalan dengan baik, tapi melihat Lily yang sangat kesal seperti ini Demoz sepertinya salah mengambil tindakan. Dia tak mau membuat Lily menolaknya lagi dan lebih baik menuruti apa yang diinginkan oleh ibunya Dimi itu.
"Oke, oke. Kita pulang pake mobil masing-masing. Tapi jangan larang aku untuk ikutin kamu dari belakang."
Wajah pria itu menunjukkan kesungguhan dan Lily tak mau memperlama waktu mereka di luar sana. Semakin lama mereka berdebat, akan besar kemungkinan ditemukan oleh rekan kerja Lily.
"Ya, terserahlah!"
***
Pada akhirnya mereka sammpai rumah bersamaan. Lily tidak tahu bagaimana bersikap baik kepada Demoz, karena memang dia masih tidak menyangka pernikahan adalah jalan yang akan mereka ambil. Dimi yang pastinya sudah tertidur membuat Lily juga kehilangan cara untuk menghindari pria itu.
Ketika ada tangan yang melingkar di pinggangnya, Lily otomatis berjengit dan menoleh kepada Demoz yang melakukan hal tersebut.
"Kenapa harus peluk pinggang segala buat masuk rumah? Kamu pikir pintunya bakalan muat buat dua orang masuk sekaligus? Apalagi badan kamu super besar begini."
Demoz menatap Lily dengan mata yang menyipit dan menaruh telunjuk di depan bibir perempuan itu.
"Kenapa kamu sangat cerewet, sih? Sejak kamu jadi mama, kamu punya mulut yang tajam."
"Kalo tajam ngapain kamu seneng banget buat cium aku?"
Demoz tersenyum dengan kalimat sindiran yang istrinya berikan padanya. Ide di kepala spontan muncul dengan sangat kuat.
"Ngapain kamu?" tanya Lily yang menyadari gerakan Demoz memajukan wajah.
Lily tak bisa melakukan apa-apa karena pinggangnya yang dikunci oleh pria itu. Demoz tidak pernah ragu untuk melakukan sentuhan fisik dimana pun tempatnya, tapi Lily tak mau ada adegan memalukan.
"Demoz, lepas!"
Bukannya menuruti apa yang Lily katakan, Demoz malah semakin memajukan dirinya. Bibir mereka hampir bersentuhan dan tergagalkan oleh gerakan Atri yang membuka pintu dan terkesiap.
"Astaghfirullah!" seru pengasuh Dimi itu yang langsung menutupi matanya dengan kedua tangan.
Benar saja, Lily memang tidak berbakat untuk memiliki nasib bagus ketika berduaan dengan Demoz. Belum apa-apa sudah dipergoki begini.
"Atri? Kamu nggak jagain Dimi?" tanya Lily setelah menenangkan diri sendiri.
Atri yang masih belum melepaskan tangannya yang berada di depan mata menjawab. "Dek Dimi lagi tidur, Bu. Tadi saya buka pintu karena denger suara mobil. Saya kira Ibu pulang sendiri."
"Saya suaminya, kenapa majikan kamu harus pulang sendiri disaat udah nggak sendiri?"
Lily mengerti betapa Atri itu lugu. Dia tidak akan melawan Demoz meski diberikan kata-kata yang tidak menyenangkan.
"Udah, udah. Atri kamu bisa masuk, saya nanti lihat Dimi begitu selesai bersih-bersih."
Atri memilih untuk menyingkir setelah mengiyakan melalui anggukan. Dia tidak yakin bisa tetap waras jika melihat kemesraan majikannya.
"Kita harus pindah."
Demoz memberikan kalimat yang tentu saja membuat Lily mengernyit. Belum selesai ketegangan karena ketahuan, pria itu malah menambahkan topik yang berat untuk dibahas.
"Kita pindah? Kamu aja kali!" balas Lily sembari meninggalkan Demoz.
"Kita keluarga sekarang, Lily. Mana bisa aku yang pindah sendirian? Lagi pula aku memang mau hidup di rumah untuk keluarga kecil kita."
Lily tidak menggubris. Di dalam pikiran Lily, dia tidak bisa meninggalkan rumah tersebut karena Demoonel yang memberikan semua fasilitas ini. Rasa tak rela untuk meninggalkan Demoonel berkecamuk dan Lily memilih diam ketimbang berujung pada perdebatan disaat tubuhnya sudah lelah.
"Kamu yang pindah ke sini, apa susahnya, Demoz?"
"Di sini terlalu kecil. Anak-anak kita nggak akan memiliki fasilitas yang mumpuni dalam tumbuh kembangnya."
"Berapa banyak anak yang mau kamu besarkan sampai rumah ini nggak cukup?"
"Sepuluh!"
Lily tersedak dengan ludahnya sendiri karena jawaban Demoz yang terdengar salah di telinga perempuan itu.
"Kamu yang hamil sendiri sana!"
Lily membersihkan wajahnya dan beranjak menuju kamar mandi. Dia tak mau peduli apa yang akan Demoz lakukan setelah Lily menyuruh pria itu hamil sendiri.
"Lily, kamu harusnya bisa melihat betapa aku ingin hidup bersama kamu dan anak-anak kita. Aku nggak mau cuma memiliki dua anak, aku udah merasa sangat sendirian dengan menjadi satu-satunya anak dalam keluarga yang hancur. Nggak ada saudara yang bisa aku ajak saling menguatkan, dan itu nggak nyaman."
Lily menatap suaminya di cermin di dalam kamar mandi. Demoz terlihat serius dengan penjelasannya. Lily menjadi ingat bahwa dirinya juga tidak akan menjadi apa-apa jika tidak dibawa oleh Demoonel. Menjadi anak tunggal memang tidak menyenangkan bagi mereka berdua.
"Tapi bukan berarti sepuluh anak. Itu namanya kamu berniat membuat aku mempertaruhkan nyawa berulang kali di ruang persalinan. Kamu nggak merasakan sakitnya."
Demoz mendekat dan memeluk tubuh Lily dari belakang. Pria itu menyampaikan permintaan maaf dalam pelukan yang erat itu.
"Maaf karena nggak ada disaat kamu membutuhkan. Aku harusnya bisa menjaga kamu dan Dimi."
Lily tak mau terbawa suasana dengan ucapan Demoz yang menyentuh hati perempuan itu. Dengan cepat Lily melepaskan tangan Demoz dan berkomentar dengan berusaha sesinis yang ia bisa. "Kamu nggak pantes ngomong manis, karena mulut kamu beracun!"
Demoz yang gemas langsung membalikkan tubuh perempuan itu dan mereka kembali saling berhadapan.
"Kenapa kamu mau aja aku cium kalo mulutku beracun, hm?"
Lily melebarkan matanya karena pria itu membalas Lily dengan kalimat balasan yang tadi digunakan sebelum ketahuan oleh Atri.
"Apa?"
Demoz tidak menunggu lagi, dia memajukan tubuh dan mencium bibir istrinya karena sudah ditunda dengan kehadiran Atri tadi. Dia tidak akan membiarkan kesempatan kali ini gagal.
"Jadi, kamu mau untuk pindah, kan?" tanya Demoz setelah dua kali gerakan bibirnya untuk membuai Lily.
Dengan pengaruh ciuman pria itu, tentu saja Lily mengangguk dan setelah mendapatkan ciuman yang lebih lama dari Demoz. Pria itu mengangkat tubuh Lily dan meremas bokong sang istri.
"Di kamar mandi lagi?" tanya Lily dengan terengah.
Demoz hanya menyeringai dan membawa tubuh Lily di bawah pancuran air.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top