22. Pesan Oma

[Bab 38 dan special chapter 22 udah up di Karyakarsa, ya. Yang udah beli paket, sih, langsung tancap gas aja tinggal baca :) happy reading!]

Demoz tidak tahu kenapa neneknya begitu aneh dengan meminta jatah bicara berdua saja. Biasanya dia tidak mendapati neneknya seperti ini. Demoonel tidak suka banyak bicara dengan Demoz karena memang mereka tidak suka menunjukkan kedekatan satu sama lain. Keluarga mereka sudah kacau sejak awal, kedekatan hanya akan mengubah mereka menjadi canggung dan tidak leluasa bersikap tega jika memang itu yang diperlukan. Demoz hanya melakukan tugas kesopanan di depan Lily yang sekarang istrinya, Demoz tak mau Lily semakin marah karena Demoz menolak untuk bicara dengan Demoonel yang memang sangat disayangi oleh Lily.

"Kenapa Oma mau bicara sama aku?"

"Kamu sudah sering terapi untuk mengatur emosi kamu itu, kan?" 

Pertanyaan Demoonel langsung tertuju pada bagian tersebut. Demoz terkesan gila karena pertanyaan sang nenek.

"Ya."

"Lily menerima kamu dan tahu resiko dari menikahi pria yang seperti kamu, kan? Kamu benar-benar nggak memaksanya?"

Demoz menghela napasnya karena ulah sang nenek. "Aku memaksa menikahinya karena kehamilan kedua Lily. Nggak etis rasanya memiliki dua anak dan status kami masih nggak jelas. Tapi aku nggak memaksanya dengan kekerasan kalo itu yang Oma takutkan."

Tatapan Demoonel membuat Demoz mengingat sesuatu. Ingatan mengenai masa kecilnya yang tak sempurna hingga menyebabkannya menjadi seperti monster tanpa benar-benar menyadarinya. Tatapan neneknya itulah yang Demoz lihat saat kekacauan antar orang tuanya semakin tak karuan. Demoonel mengulurkan tangannya dan membawa Demoz tanpa bicara apa-apa. Demoz menjadi pendiam dan dingin sejak Demoonel membawanya pergi. 

"Jangan lihat aku dengan tatapan itu," ucap Demoz yang langsung memalingkan wajah karena tak suka dengan apa yang dirinya ingat.

"Kamu masih mengingatnya." Demoonel menyimpulkan.

"Nggak ada yang perlu diingat dari masa lalu yang menjijikkan itu!"

Demoonel selalu merasakan sakit luar biasa di dada ketika menyadari bahwa cucunya sangat rapuh. Demoz hanya mencoba terlihat bengis di luar, tapi di dalam diri pria itu penuh dengan luka. Sayatan pedang bernama broken home, tancapan anak panah bernama kekerasan dalam rumah tangga, dan lemparan tombak bernama pembunuhan berdarah. Sejak kecil Demoz merana, dibesarkan oleh orang tua yang gila. Tak sempurna mungkin bisa memberikan kesan normal, tapi keluarga yang gila adalah kesakitan luar biasa. 

"Mungkin kamu memang perlu berdamai, Ozza."

Demoz berdiri dan terlihat gusar. "Oma bukan pihak ahli untuk mengatakan atau berkomentar apa pun. Aku anggap Oma nggak berusaha mencabik-cabik isi kepalaku kali ini. Tolong, bersikaplah seperti biasanya, Oma. Berhenti mencoba menolongku dengan ketidakpahaman Oma mengenai diriku."

Betapa menyedihkannya dunia yang Demoz miliki. Hanya ini kesempatan Demoz untuk merasakan bahagia dari keluarga kecilnya. 

"Oma akan berikan sebagian saham untuk kamu," ucap Demoonel yang membuat Demoz terkejut.

"Secepat ini?" tanya pria itu.

"Harus menunggu apa lagi memangnya? Kamu sudah menikah, dan Oma memenuhi janji untuk memberikannya ketika kamu menikah."

Demoz sebenarnya agak lupa dengan janji yang neneknya berikan. Sebagian yang dimiliki wanita tua itu akan diberikan pada Demoz jika sudah menikah, dan itu adalah saat ini. Namun, memiliki Lily beserta anak-anak mereka membuat Demoz lupa dengan materi yang semula dirinya inginkan juga. 

"Apa Oma sedang buru-buru untuk bersiap pergi ke Inggris lagi?"

Demoonel menggelengkan kepalanya. "Nggak. Untuk apa Oma hidup di sana sendirian? Kamu harus mengurus Oma karena Oma sudah menjaga dan merawat Lily dan Dimi. Oma mau menghabiskan waktu untuk melihat Dimi dan adiknya nanti."

Demoz tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia merasakan serangan cemas dari apa yang neneknya ucapkan. 

"Kenapa aku mendengarnya sebagai kalimat perpisahan?" tanya Demoz dengan kernyitan di keningnya.

Demoonel tertawa dan mengibaskan tangannya pada sang cucu. "Oma sudah mengatakan apa yang ingin Oma sampaikan. Kamu hanya perlu menunggu dokumen resminya dari kuasa hukum Oma segera."

***

Tidak ada yang lebih baik ketimbang memandangi Lily dan Dimi yang tertidur pulas berdua. Gaya tidur Lily yang tidak berbeda jauh sejak pertama kali mereka bersama, membuat Demoz mengingat betapa manisnya perempuan itu dari dulu. Dia jadi menyadari sudah banyak hal terlewati karena ambisinya saat itu. 

"Maaf baru menyadari betapa cantiknya kamu saat tertidur, Lily."

Demoz menggerakkan telunjuknya untuk mengitari wajah Lily. Dia merasakan betapa halus kulit perempuan itu dan menyimpannya dalam ingatan dengan baik rasa dari kulit wajah perempuan itu.

Telunjuk Demoz berada di bibir perempuan itu dan tanpa sengaja membuat kedua lapisnya terbuka. Matanya terlalu fokus di sana hingga tidak sadar bahwa Lily sudah membuka matanya karena terganggu.

"Ngapain kamu pegang-pegang bibirku?" 

Demoz terkejut dan langsung menarik tangannya. "Kamu udah bangun."

Lily bergerak dengan sangat hati-hati supaya Dimi juga tidak ikut terbangun. Anak itu menjadi semakin manja hari ini dan Lily menikmati saja tingkah putranya karena memang tidak ada yang salah untuk menuruti sisi manja Dimi.

"Kamu ngapain di sini?"

"Aku udah jadi suami kamu," balas Demoz.

Lily memutar matanya dengan malas. "Bukan itu maksudnya. Kamu ngapain di sini, padahal tadi Oma ngajakin kamu bicara, kan? Aku bukan usir kamu, sensi banget, sih!"

"Kalo aku udah di sini, itu tandanya pembicaraan kami udah selesai."

Lily menepuk jidatnya dan memilih tidak memperpanjanng bagian itu. 

"Oma bicara apa ke kamu? Oma menyampaikan rasa nggak setujunya di depan kamu karena kamu berani menikahi aku?"

"Kenapa juga Oma harus nggak setuju? Aku ini masih cucunya."

"Oma sering cerita ke aku kalo kamu suka membuat masalah dan aku diwanti-wanti supaya nggak jatuh ke perangkap kamu."

Demoz mendengkus tak suka dengan kalimat jujur Lily. Karena tidak bisa menyangkal dengan kalimat balasan, Demoz memilih untuk melakukan serangan yang mungkin bisa membuat Lily terdiam dan mengalah. 

"Kenapa kamu cium aku!?" Lily berusaha mendorong bahu Demoz.

"Aku suami kamu, ingat? Nggak ada kata keberatan atau kamu mau mengusir aku dari sini karena kita udah punya ikatan resmi. Aku bukan pria asing yang bisa kamu tendang untuk keluar dari sini."

Lily hampir terjungkal dengan kalimat Demoz yang memang benar dan panjang. Pria itu mendadak menjadi pandai bicara dan tidak bisa dihentikan. Apa pengaruh si bayi juga? 

"Lily," panggil Demoz seraya meraih tangan perempuan itu.

"Ngapain lagi? Kamu menyeramkan kalo berusaha romantis begini. Lepasin tanganku!"

Lily hanya berusaha untuk mengabaikan perasaannya yang terbawa suasana. Dia masih belum percaya sepenuhnya dengan perasaan Demoz. Jika pria itu mengorbankan seluruh hidupnya untuk Lily, mungkin saat itulah Lily bisa percaya bahwa Demoz memang mencintainya.

Demoz yang tidak berhasil membuat suasana romantis mulai menyerah dan kembali dalam mode garang. Bukan garang untuk menyiksa Lily, tapi kembali dalam mode mesumnya saja. 

Demoz segera menggendong tubuh Lily dan membawanya ke kamar mandi di kamar perempuan itu. Segera tangannya mengunci pintu dan membuat mereka berada dalam mode saling menghimpit di dinding.

"Kamu ngapain, sih, Demoz!!?"

"Ngapain? Kamu masih tanya? Bukannya kamu tahu kita akan melakukan apa?"

Lily menatap dengan ngeri pria itu dan berusaha mendorong tubuh Demoz yang tidak berhasil apa-apa. 

"Kegiatan kita gagal karena pembahasan yang membuat kamu nggak tertarik lagi bercinta denganku. Sekarang, aku nggak akan bicara apa pun untuk membuatnya berhasil. I want you, dan cara romantis nggak pernah berhasil untuk melancarkan keinginanku."

Jadi, malam pertama mereka akan terlaksana di kamar mandi!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top