4 | X dan Y

Aurora mencari Antariksa setelah selesai dengan perkumpulan Nusapacita yang so damn annoying. Apa sebabnya kalau bukan kelakuan ketua Nusapacita yang kaya jelmaan iblis itu? Buru-buru Aurora mengucap istighfar, memang tak baik bagi emosinya kalau dia bertemu orang yang mengesalkannya setengah mati.

Ar-atau siapalah itu, sudah menjadi daftar hitam bagi Aurora semenjak tampang tak ada rasa bersalahnya seliweran di depannya selama memberikan sosialisasi tentang kegiatan kemah pra diklat minggu depan.

Begitu melihat tampang kakaknya yang menekuri buku, Aurora masuk ruangan klub Matematika dan langsung ngedeprok di depannya. Antariksa tak repot-repot mengalihkan pandangan dari buku. Aurora memijit pelipisnya frustrasi, "Mas, temenin gue yuk."

Tak juga mengalihkan pandangan, Antariksa menjawab, "Kemana?"

"Sudirman, ambil honor gue," kata Aurora lagi.

"Biasanya juga sendiri."

"Tadi izin sama Bunda trus disuruh nemenin lo. Takut pulang kemaleman. Naik KRL malem minggu 'kan rawan. Bunda ngga ngebolehin kalo sendiri."

"Traktir gue sushi nanti," kata Antariksa.

"Yaelah, kayaan juga lo. Perhitungan banget, sih," Aurora cemberut karna Antariksa berpotensi mengurangi duit honornya.

"Bercanda," kata Antariksa tersenyum sambil mengacak rambut adiknya dan berdiri. Aurora cemberut dan merapikan lagi rambutnya.

Antariksa naik sepeda ke stasiun dan Aurora naik gojek mengikutinya dari belakang. Begitu sampai di stasiun, mereka langsung membeli tiket. Tak lama, sekitar 5 menit, ada kereta datang dan mereka naik. Kereta tak begitu ramai, mereka menyusuri gerbong demi gerbong untuk mencari peruntungan tempat duduk kosong. Lumayan perjalanan 30 menit. Aurora tak mau disuruh ke gerbong wanita oleh Antariksa. Dia mau bareng kakaknya.

Begitu masuk tadi dan sepanjang berjalan di gerbong, Aurora merasakan kasak kusuk semua orang yang dia lewati. Tak hanya satu dua orang, banyak. Seperti lebah yang sarangnya dilempar batu. Satu keluar, yang lain ikut-ikutan. Aurora tetap tenang tak salah tingkah, begitu tahu kalau yang mereka ributkan adalah dia dan kakaknya yang -menurut yang Aurora dengar- memesona. Aurora geli sendiri, kelakuan mereka ini kaya ngga pernah lihat manusia saja.

Terutama kaum wanita, tak ada yang tak memandangi Antariksa. Dari yang terang-terangan sampai sekali pandang-nunduk-pandang lagi dan tak nunduk-nunduk. Dari anak SMP sampai ibu-ibu. Whoa, masnya ini memang pesonanya luar biasa sekali.

Akhirnya mereka berhenti di gerbong ke empat dan mendapatkan tempat duduk. Tapi, baru sebentar mereka duduk, pemberhentian di stasiun selanjutnya banyak yang naik. Saat ada seorang ibu yang sebenarnya masih cukup muda berdiri di depan Antariksa, belum sampai beliau memegang pegangan, Antariksa langsung sigap dan mempersilakan ibu itu untuk duduk. Langsung, serentak ucapan 'subhanallah' terdengar. Ya ampun lebay betul, Aurora sampai pengin ngakak.

Dia juga akhirnya ikut berdiri di samping kakaknya dan meraih lengan kakaknya untuk dia kalungkan dengan lengannya. Lagi, suara desah dan decakan terdengar. Aurora puas sekali. Melihat lengannya yang di pegang sang adik, Antariksa menoleh dan Aurora nyengir sambil membuat pertunjukan lebih panas, dia dekatkan mulutnya ke kuping Antariksa, "Takut digondol," kata Aurora singkat. Antariksa hanya mengerutkan keningnya dan tak ambil pusing. Aurora merasakan kuduknya merinding karena kentara sekali pandangan menusuk dari para kaum wanita di gerbong itu.

***

Aurora senang sekali setelah menerima honornya. Dia tak jadi kesal karena harus jauh-jauh datang ke sini. Selain mengambil honor yang tumben-tumbennya harus diambil langsung, ternyata dia dapat tambahan pekerjaan.

Aurora bekerja sebagai freelance untuk BdB Indonesian Audio News. Aplikasi pembaca berita berbasis audio. Aurora sudah tiga bulan ini bekerja di BdB menjadi seorang narrator membacakan berita kategori life style dan art culture. Kini, dia mendapatkan jobdesc baru untuk kategori movie dan music karena berita yang dibacakan oleh Aurora meraih likes tinggi.

Aurora senang-senang saja, selain bisa dikerjakan di rumah, honor yang diterima juga cukup besar. Karena dia senang, dia menraktir kakaknya makan sushi. Antariksa makan banyak dan Aurora manyun.

Mereka pulang baru menjelang jam 7 malam. Kereta masih ramai. Mereka tak dapat tempat duduk lagi dan terpaksa berdiri. Kali ini Aurora tak ambil pusing dengan pandangan kagum orang-orang padanya atau kakaknya. Antariksa juga cuek-cuek saja mendengarkan music melalui earphone-nya.

Aurora melihat pemandangan Jakarta malam hari melalui dinding kaca kereta. Pikirannya berkelana, betapa dia tak suka sekali dengan tempat ini, kota ini. Rasanya, kalau bukan karena keluarganya ada di sini, Aurora tak mau tinggal di sini. Jakarta masih menjadi kota dengan overpopulated, high crimes, un employees dan langganan banjir.

Rasanya, infrastruktur tak pernah memadai walaupun saat ini, kereta yang Aurora naiki ini adalah kereta tercanggih yang bisa diberikan negara ini, tetap saja, masih tak mengurangi kemacetan. Aurora juga tak suka individualitas orang-orangnya. Rasanya, bukan Indonesia saja kalau ada di Jakarta ini. Bukan Indonesia dengan semboyan sapta pesonanya yang salah satunya adalah keramahtamahan.

Aurora masih tak habis pikir, kakaknya yang bahkan bisa masuk sekolah di mana pun di belahan dunia ini, menyukai negeri yang bagi Aurora sudah tak nyaman ditinggali ini. Aurora jadi ingat pelajaran sejarah beberapa hari lalu tentang Perjanjian Helsinki yang menjelaskan nota kesepakatan Indonesia dan GAM. Bahkan mengurus wilayahya saja, Indonesia harus meminta bantuan pada Pemerintah Finlandia.

Ngomong-ngomong Finlandia, Aurora menyenggol lengan kakaknya, Antariksa melepaskan earphone-nya dan memandang Aurora dengan tanya.

"Mas, seriusan lo sedikit aja ngga nyesel nolak sekolah di Finland?" tanya Aurora. Aurora suka sekali dengan negara itu, sekali dia ke sana dan tak susah untuk jatuh cinta. Kecuali pada musim dinginnya yang terlalu ekstrim. Aurora diajak jalan-jalan ke sekolah ayahnya dulu dan dia langsung kagum dengan sistem pendidikan di sana.

Memang wajar kenapa Finland masih menjadi role model pendidikan di dunia hingga sekarang. Finlandia dengan high qualified dari semua aspek. Rasio guru dan murid 1:12, nyaris tak pernah ada ujian, tak ada PR, profesi guru sama bergengsinya dengan dokter dan hanya yang berkualitas yang dapat diterima, semua sekolah bermutu sama dan tak ada yang lebih unggul atau lebih jelek dan yang paling penting makan siangnya gratis, enak dan istirahatnya lama.

Aurora saja mau kalau negara Nordik itu hanya selemparan batu dari Indonesia. Sayangnya jauh betul. Diukur pakai penggaris di peta saja jauh. Ck.

"Lo jangan ngebandingin sini sama di sana. Karakter SDM-nya beda. Di sini banyak yang cerdas tapi silau sama kekuasaan."

Satu yang Aurora tahu, kakaknya ini suka Indonesia tapi dia benci birokrasinya.

"Makannya lo jadi birokrat dong, Mas. Perbaiki sistemnya."

"Susah, Indonesia ini udah terlalu lama punya mental gerobak," nada suara Antariksa lugas sekali. Aurora geleng-geleng, betul apa kata bunda, kalau sudah urusan yang tak beres tentang negara ini, Antariksa pasti sensitif.

"Mental gerobak?" Aurora tak ngerti masnya bicara apa. Yah, pengetahuan Aurora memang tak seluas kakaknya. Maunya, dia diadu soal anime. Kalo yang itu, dia pasti juara.

"Teori X sama Y, Douglas," tukas Antariksa.

Aurora garuk-garuk kening, tak paham. "Apa hubungannya Douglass sama gerobak?"

"Lo oon jangan dipelihara apa?" sinis Antariksa. Jahatnya.

Aurora langsung cemberut dikatain oon, apa salahnya dengan tidak tahu? Mulut masnya ini barokah bener.

"Tahu namanya doang," balas Aurora. "Douglas McGregor 'kan? Emang dia matematikawan? Kok X sama Y?"

Antariksa langsung memandang tajam Aurora. Yang dipandang cuma meringis dan siul-siul tak jelas. Antariksa sabar menjawab, "Teori Douglas tentang kepemimpinan efektif menggunakan konsep manajemen partisipasi. Lo katanya mau pegang perusahaan, buruan belajar," kata Antariksa sebelum menambahkan, "konsepnya pakai asumsi sifat dasar manusia, pemimpin teori X cenderung otoriter dan sebaliknya, pemimpin teori Y suka gaya kepemimpinan demokratik. Kalau tipe karyawan, X ini harus diperintah dulu baru jalan. Kalau Y, inisiatifnya besar. Indonesia, pekerjanya masuk tipe X."

"Oh gitu, pantesan sebutnya mental gerobak. Gerobak harus didorong dulu gitu ya? Kalo ngga didorong ngga jalan? I see," Aurora senang sendiri. Merasa pintar beberapa level. Padahal kalau mau tanya Antariksa, banyak orang yang tahu tentang teori ini. Adiknya norak sekali.

"Tapi ngga semuanya. Ada juga pemimpin yang perlu diapresiasi pemikirannya, dia kerja emang buat rakyat. Ya contohnya MRT yang lagi dibangun."

"Halah, ini juga over target. Harusnya udah jalan lama kan? Nah ini masih ngebangun stasiun transitnya."

"Susah pengkondisian jalan untuk proses pembangunan stasiun layangnya. Jalur Barat-Timur juga lama proses studi kelayakannya."

"Iyalah, udah terlanjur crowded begini."

"Lo jangan gitu, ini juga udah pencapaian pelayanan publik yang baik. Standard Urban Railway System for Asia-nya juga bisa lebih dari estimasi jumlah penumpang sebelumnya."

Aurora manggut-manggut, masih tak puas walaupun masnya sudah menjelaskan banyak tentang 'lumayan'-nya ibu kota ini. "Tapi, Mas ..." Aurora mau membantah tapi tak jadi melihat wajah kakaknya yang seolah bilang just-obey-me.

"Peter Sange pernah bilang kalau today's problems come from yesterday's solution. Setidaknya MRT ini keberhasilan yang perlu diapresiasi. Automatic Train Operation selama proses controlling juga belum ada masalah ...."

La la la la la. Tik tok tik tok. Bla bla bla. Zzzzz...

Aurora sudah tak mendengar lagi apa yang dikatakan oleh kakaknya. Kalau sudah bicara tentang sesuatu yang dia suka begini, kakaknya suka tak sadar tempat. Aurora malah memerhatikan sekitar, lagi-lagi dia meringis melihat pandangan orang pada Antariksa dengan definisi satu kata: memuja. Yang bisa dengar suara Antariksa daritadi cuma geleng-geleng takjub. Yang jadi obyek perhatian malah tak sadar situasi. Sudah bica ngalor ngidul, dari expected technology for ten years ago tentang fotosintesis artifisial sampai google glass sampai mandelbrot set. Aurora rasanya ingin mengeplak kepala kakaknya itu.

Cuma satu cara yang bisa menghentikannya, Aurora tarik jaketnya dan Antariksa menoleh masih sambil bicara. "Mas, lo ada hubungan apa sama Alyn?"

Antariksa diam seketika. Dan Aurora sudah mau dilempar tas ibu-ibu yang bikin pertunjukan menarik itu berakhir mendadak.

***

Turun dari kereta, Antariksa menunggu Aurora yang sedang berdebat dengan tukang ojek tentang ongkos. Pelitnya ngga ilang-ilang Aurora ini. Selisih seribu rupiah saja urusannya panjang.

"Bang ih, cuma lima menit nyampe masa 10 ribu sih?"

"Si Neng mah, cantik-cantik pelit bener," sahut abang tukang ojek tak mau kalah.

"Apa hubungannya cantik sama pelit? Udah ah, jadi Abang mau ngga nih 7 ribu?"

"Kok turun lagi, tadi udah sepakat 9 ribu."

"Eh iya ya?" Aurora pura-pura lupa. Belum sampai Aurora mau naik, lengannya ditarik oleh seseorang, Aurora balik badan dan seorang bapak-bapak yang nampak kepayahan karena memapah seseorang. "Ada apa ya, Pak?" tanya Aurora.

"Maaf Dek, boleh tukang ojeknya buat mas ini dulu ngga?"

Aurora mengernyit curiga, "Masnya kenapa, Pak?"

"Mabuk, Dek."

Cih, tak sudilah Aurora mengalah untuk orang mabuk. Kalau perlu lempar ke jalan saja itu orang. Mabuk-mabuk sendiri kok ujungnya nyusahin orang. Aurora bukan tak mau bantu, beda kasus kalau begini.

"Maaf Pak, kenapa ngga naik taksi aja? Nanti malah jatuh kalau naik ojek. Saya ngga mau nolong ah Pak, nanti dia kesenengan kalau tiap teler ada yang nolong. Sekali-kali tinggalin aja di pinggir jalan Pak. Kali diangkut sama orang Dinas Kebersihan."

Sampah dong?

"Ya Allah, kamu ini cantik-cantik kok jahat sih?" tanya bapak itu lagi.

"Apa hubungannya cantik sama jahat deh?" Aurora menggumam lebih pada diri sendiri. "Ah, tapi kalau ngga gitu ngga kapok ...."

Belum selesai Aurora menjawab, ada yang berseru, "Kakak jahat!"

Aurora kaget dan langsung mencari asal suara. Ada anak kecil yang muncul dari belakang orang yang sedang mabuk itu.

"Kakak ngga jahat ih," seru Aurora. "Kamu siapa?" Aurora bertanya. Dia pandangi anak yang kira-kira berusia SD tersebut. Aurora heran, anak itu pakai sarung tangan, masker dan topi. Tubuhnya juga tertutup dari atas sampai bawah kecuali bagian wajah dan rambut.

Antariksa datang dan mengedikkan dagu ke arah Aurora, bertanya ada apa. Aurora balas mengangkat bahu.

"Dia Kakak aku. Kakak aku ngga bisa naik taksi. Dia naik ojek aja."

"Kamu ngga punya uang?" tanya Aurora lagi.

"Punya. Banyak," jawab anak itu lugas.

Songong betul anak ini. Aurora mengangkat dagu tinggi, "Trus kenapa?"

"Kakak ngga suka ruang sempit."

"Aduh, kok kamu bisa di sini? Kamu tadi pergi sama Kakakmu?"

Anak itu menggeleng.

"Jadi?" desak Aurora tak sabar.

"Jadi anak ini tadi jemput kakaknya di bar. Dia naik taksi sendirian. Waktu Bapak tanya kemana orangtuanya, dia malah nangis," jelas bapak itu lirih. Hati-hati supaya anak itu tak mendengar.

"Jemput di bar?" Aurora kaget. Tak habis pikir dengan orang gila macam apa yang membiarkan adiknya ini pergi ke bar. SENDIRIAN!

"Waktu saya mau cegat taksi, anak ini malah nangis kenceng bilang kakaknya ngga bisa naik taksi. Yaudah saya bantu cariin ojek. Tadi juga teman saya mau bantu gendong anak ini, dianya malah jerit-jerit ngga mau dipegang."

Aurora makin bingung. Kenapa dia jadi dicurhati panjang lebar macam begini? Lebih bingung lagi pada orang gila mabuk ini.

"Kak, boleh ya Kak?" lalu anak itu bertanya lagi. Mirip sebuah rengekan. Aurora tak bisa melihat jelas ekspresinya karena tertutup masker.

"Mas?" tanya Aurora pada Antariksa. Bukan tanya boleh atau tidak, tapi mau bantu atau tidak. Antariksa mengangguk mantap lalu berjalan ke pinggir jalan menyetop taksi.

"Pak, biar saya yang anterin orang ini sama adiknya pulang." Aurora menoleh pada tukang ojek, "Bang, bantuin naik ke motor dong."

Antariksa kembali dan memberi isyarat pada Aurora. Aurora mengangguk dan mendekati anak itu. "Dek, Kakak antar ya? Kita naik taksi. Kakak kamu biar dijagain sama Kakak itu," tunjuk Aurora pada Antariksa yang sudah naik ke motor dengan orang mabuk itu di tengahnya.

Anak itu mengangguk dan mendahului Aurora naik ke taksi. "Rumah kamu dimana, Dek?" tanya Aurora.

"Di Apartemen Taman Rasuna, Kak."

"Oke," Aurora ingin menepuk kepala anak itu tetapi anak itu justru beringsut menjauhinya. Aurora reflek membolak-balik telapak tangannya lalu menciuminya. Tak ada yang aneh. Tidak bau juga.

"Aku ngga suka disentuh."

"Hah?" Aurora melongo. Dia bertemu anak ajaib!

***

"Dia minum cognac, gue rasa ngga bakal bisa bangun sampai besok siang. Dan begitu bangun pasti kepalanya mau pecah saking sakitnya."

Aurora meringis mendengar penjelasan Antariksa. Dia pandangi laki-laki yang berbalut jaket hitam dan mengenakan topi dan masker itu. Kata adiknya tadi, dia yang memakaikannya. Dia bilang biar kakaknya ngga dibilang anak nakal. Dibilang nakal karena suka mabuk begitu? Hah, memang kakaknya ini nakal!

Begitu sampai di kamar nomor 113, Aurora merasakan udara kosong menamparnya. Tempat ini dingin karena sunyi. Aurora langsung tak suka.

Lampu dinyalakan dan anak itu menunjukkan kamar di mana laki-laki itu harus diletakkan. Kalau Aurora yang memapah, sudah pasti diletakkan di bawah shower dan disiram pakai air dingin sampai sadar.

Begitu diletakkan, anak kecil itu langsung sigap melepasi sepatu kakaknya. Dia buka kancing jaketnya dan melepas topi kakaknya. Aurora yang sudah berdiri memerhatikan rasanya terharu luar biasa. Rasanya ada yang meremas hatinya sampai rasanya nyeri, melihat bagaimana cekatannya anak itu mengurusi kakaknya. Hal yang menunjukkan bahwa kejadian itu bukan hanya terjadi sekali.

Kalau boleh bilang, Aurora benci sekali laki-laki itu. Bagaimana mungkin dia tega pada adiknya sampai harus melihatnya mabuk dan mengurusnya begini?

"Dek, maskernya kok ngga dibuka?" tanya Aurora sambil beringsut mendekati ranjang.

Anak itu menggeleng. Dia juga tidak membuka maskernya. Hanya membuka topinya dan nampak rambutnya yang sepanjang bahu dikuncir kuda.

"Kenapa?"

"Aku ngga mau kalau kakak dibilang nakal. Kakak ngga nakal," jawab polos anak itu.

Aurora tersenyum dan mengulurkan tangan ingin menyentuh anak itu, anak itu beringsut mundur. Aurora meringis, dia lupa kalau anak itu tak suka disentuh.

"Iya, Kakak kamu ngga jahat kok, Sayang. Nama kamu siapa?"

"Shafira."

"Ih cantik banget namanya. Iya, kakaknya Shafira ngga nakal kok. Tapi nanti kalau ngga dibuka maskernya, kakaknya kegerahan. Nanti susah nafas. Dibuka ya?"

Shafira mengangguk. Dia lepaskan sarung tangannya dan mulai membuka masker kakaknya.

Aurora penasaran sekali wajahnya. Kalau tak ada Shafira di sini, sudah dibekap pakai bantal sampai mampus orang ini. Orang kok ngga ada berguna-bergunanya.

Begitu maskernya dibuka, Aurora bisa melihat wajah itu dengan sangat jelas. Otaknya seperti tersengat listrik.

Arlo!

Manusia kampret yang sedang terkapar tak sadarkan diri ini adalah orang yang memenangkan rekor tercepat menjadi orang yang tak disukai Aurora dalam kurun waktu kurang dari tiga hari. Hebat sekali!

Melihat Aurora yang ternganga, Antariksa lantas menarik adiknya untuk bangkit keluar dari kamar.

"Lo ada hubungan sama dia?" tanya Antariksa tak pakai basa-basi.

"Dia ketua Nusapacita," jawab Aurora yang belum mampu memulihkan kekagetannya.

"Gue tahu. Lo ada hubungan sama dia?"

Aurora heran, tak biasanya Antariksa kepo begini. "Ngga ada. Kenapa lo panik?"

"Besok, lo keluar dari Nusapacita." Peringatan Antariksa sebelum dia keluar dari apartemen ini tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

***

Tadinya udah mau update dari tadi, tapi paketnya habis :(

Oh iya, MRT itu Mass Rapid Transit. Yang orang Jakarta pasti tau. Semoga cepat kelar ya pembangunannya :D, juga kereta cepat Jakarta - Bandung hehe

Ini seriusan pada ngga mau move on dari Auriga? Ngga aku keluarin tau dia di part ini, blew :p Biar kalian pada bisa pindah ke lain hati. Besok-besok, kubuat Auriga kelelep di laut trus dimakan paus haha :D

Oh iya (lagi), aku bikin cerita ini nyoba pakai sudut pandang orang ketiga. Aneh ngga? Aku pengen coba sesuatu yang baru. Bilang aja ya kalau ada yang aneh. Sementara masih fokus ke Aurora, kesananya bakal dipukul rata sama Anta juga.

Mengenai omongan ngaco tentang statement yang agak serius di atas jangan dipikir berat-berat ya. Aku cuma pengen cerita ini ada nilainya selain romance-nya. Jadi, boleh kalau mau komentar selain tentang jalan cerita ataupun tokohnya. Ini juga suka-suka Nau banget bikin judulnya wkwkwk :D

Udah ah, ngomong apa aku ini. Enjoy and thank you for reading! :D

28102015-


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top