30 | Keriuhan yang Saling Mengadakan, Baurkan! (Ending)
Kalau yang mau nanya-nanya tentang cerita ini atau ke tokohnya coba baca di author note ya gaes. Nanti pertanyaannya bakal dibikinin part khusus. Enjoy!
***
"Kalau kata aku sih dibikin konsepnya semacam Khan Academy gitu tapi lebih menyeluruh belajarnya dan ada strukturnya sama kalau yang eksak harus ada panduan nyelesaiin contoh soalnya. Di Indonesia udah ada yang menarik sih semacam Kok Bisa? sama Hujan Tanda Tanya gitu, tapi itu lebih ke fun fact in sciences. Kalau mau, kita arahin dulu proses belajarnya yang sistematis," ujar Aurora menggebu-gebu saking semangatnya di antara kemacetan setelah keluar dari tol. Diliriknya Antariksa yang duduk di sampingnya seperti sedang mendengarkan secara serius.
"Belajarmu udah sistematis emang, Dek?" tanya Bunda yang juga semangat menimpali.
Aurora berdecih kecil, "Bunda ini ya hobi banget kayaknya nyela-nyela aku. Proses Bun proses. Komitmen itu harus dibangun pelan-pelan. Aku ikut berproses bareng sama calon-calon klienku nanti."
"Alah... alah... alah bahasamu, Dek."
"Bunda ini sumbang ide kek, malah matahin semangat anak," Aurora bersungut-sungut.
Sebelum Bunda menjawab, Antariksa yang tadi diam (seperti biasanya) mulai mengeluarkan taringnya. Ini yang ditunggu Aurora. "Kayaknya Ruang Guru udah mengakomodasi itu semua, Ra. Konsepnya kurang orisinil."
Aurora protes, "Buset dah Mas, ini kan bukan buat komersil tujuannya. Emang semata mau ngasih cara belajar yang menyenangkan aja. Lagian kalau Ruang Guru juga kelasnya udah start-up begitu kejauhan lah buat kita. Mending sekarang yang bisa kita lakuin dulu. Gue kameramen sama editing, lo konseptor sama model videonya. Kita guncang anak-anak Indonesia dengan kegantengan lo."
Antariksa langsung menoleh dengan tatapan kesal, "Konseptor doang."
"Lah nanti modelnya siapa yang ngejelasin? Kan lo enak Mas ngejelasin kalau belajar gitu. Trus cuma lo yang bisa deliver materinya BookTrust dari UK itu dengan cara yang lebih masuk akal dan bisa mampir ke otak."
"Nggak mau. Tampil bukan hobi gue. Mending lo cari temen lo buat jadi model nanti biar gue yang ajarin konsepnya. Si Amara kan pinter tuh."
Aurora rolling eyes, "Mas buset dah. Pasar kita pasti banyakan cewek-cewek. Kita harus memanjakan visual mereka dulu baru memanjakan otak mereka. Ya sesekali Amara boleh lah buat memanjakan mata para lelaki, tapi lo itu wajib!"
"Ya Allah Dek, kamu itu mau ngapain sebenarnya kok memanjakan visual-visual segala? Mau bikin video belajar apa video aneh-aneh?"
Bunda nih, protes aja terus. "Plis deh Bunda, kalau mau menumbuhkan minat belajar itu harus dimulai dari mereka senang lalu timbul kebutuhan. Nah, kita fasilitasi mereka dengan melihat tampang Masku yang ganteng ini. Nanti, pasti mereka butuh buat pinter biar bisa dapet cowok semacam si Mas ini. Ngertilah aku Bun apa yang ada di otak anak-anak seusiaku."
"Bunda miris, kamu kaya jual Kakakmu sendiri."
Bunda ini lebay betul! Sok-sokan miris nanti kalau sudah mau eksekusi juga yang paling heboh semacam nyisirin rambut Antariksa biar kekinian. "Ck, Bunda nggak usah ikut rapat deh. Rusuh."
Dibalas decakan dari Bunda sebagai nada tak terima. Ayah yang daritadi sibuk menyetir dan sesekali tertawa dengan ide gila Aurora akhirnya menimpali, "Ayah setuju tentang memanjakan visual. Lagian kegantengan emang kadang membuka pintu rezeki kok. Kali aja karena wajah ganteng si Mas nanti bisa jadi Duta UNESCO. Lagipula sayang gen ganteng yang udah Ayah turunkan kalau nggak dimanfaatkan," jawaban Ayah dengan nada bercanda yang kentara.
"Idih, narsis banget sih kamu, Kak." Bunda.
"Bapak Auriga mana tangannya? Mari kita tos dulu." Aurora.
***
Begitu keluarga Aurora turun dari mobil, ada tamu tak disangka-sangka sudah menunggu di kursi teras. Mengetahui ada mobil yang masuk, tamu tak diundang itu menghampiri mobil sampai sang empunya turun satu per satu.
Ada Alyn dan Amara yang langsung menyongsong kedua orangtua Aurora untuk bersalaman. Amara melakukannya dengan cepat dan disusul Alyn yang cukup lama berbincang setelah cipika cipiki dengan Bundanya. "Udah jarang main kamu, Lyn. Nanti main dulu ya, Tante masakin Aglio Olio."
Dan pembicaraan lain yang tak begitu didengar Aurora karena terhalang badan Ayahnya yang menutupi Alyn. Aurora bengong sejenak, merasa ada yang aneh dengan semua ini. Apa aja sih yang udah gue lewatin?
Dipandangnya Antariksa yang sama mematungnya di sisi lain mobil. Melihat pemandangan Alyn yang sesekali tertawa menimpali banyolan Bundanya. Entah kenapa, Aurora tak begitu suka pemandangan itu.
Perhatiannya dialihkan oleh Amara yang sudah ada di depannya. Dengan wajah yang tak bisa tertebak. "Gue mau ngomong sama lo."
Mungkin juga saatnya Aurora memberikan berita bombastis yang akan diterima Amara. "Bentar lagi lo bakal jadian sama si Anta, Sam. Ya... seneng kan lo?" ujar Aurora nyengir. Tapi tak ada tawa sama sekali atau minimal wajah antusias dari Amara. Yang ada justru wajah lo pikir lo lucu?
Belum juga membuka suara lagi, ada kehadiran Alyn di tengah mereka. "Amara mau ngomong duluan sama Aurora?"
"Nggak Kak nanti aja. Kakak duluan aja," tukas Amara yang langsung mundur teratur menghampiri Antariksa yang masih ada di sekitar sana, memerhatikan setiap detil apa yang mungkin akan dilakukan Alyn.
"Aurora... gue boleh ngobrol bentar?" tanya Alyn dengan suara lembut dan sunggingan senyum manis di bibirnya. Tapi tak cukup manis untuk membuat Aurora berlaku manis.
Aurora tak menjawab satu kata pun. Justru otaknya bekerja lebih cepat memutar rentetan kejadian yang disebabkan oleh satu wanita ini. Mungkin saja kalau tidak ada dia, semuanya tidak akan serumit ini. Dan melihat semua orang sepertinya berpihak pada wanita ini, entah kenapa diri Aurora tidak rela.
"Nggak boleh ya? Tapi gue beneran perlu ngomong," Alyn lagi.
Aurora masih bergeming. Dan melihat itu Alyn cukup merasa beruntung karena setidaknya Aurora tidak menghindar. Mungkin dalam diamnya Aurora memberikan Alyn kesempatan.
"Ra... udah dari lama banget gue pengen kenal sama lo. Pengen minta maaf juga. Mungkin sampai sekarang lo masih kesel karena kejadian MOS dulu. Antariksa bilang lo nggak suka ada di pusat perhatian dan terintimidasi. Gue minta maaf kalau dulu hukuman yang anak-anak OSIS kasih nyisain malu buat lo. Itu yang pertama."
Ada kegelisahan yang nampak di wajah Alyn. Aurora berhasil menangkapnya. Tangan yang saling berpilin dan keringat yang ada di dahinya. Padahal tak ada matahari menyengat. "Kedua, maaf untuk gue yang udah jadian sama Antariksa. Gue nggak tahu apa dia cerita sama lo apa enggak, tapi, gue udah suka sama dia selama setahun lebih, Ra. Bukan perjuangan yang mudah buat akhirnya Antariksa mau nerima gue. Dan ini mungkin terdengar apa banget buat lo... tapi gue harus ngomong... kalau gue... gue beneran butuh abang lo."
Ada jeda sejenak yang dipakai Alyn untuk menilai reaksi Aurora. Masih datar. Dan Alyn sudah merasa kalah. "Mungkin terdengar bullshit buat lo, tapi itu yang gue rasain buat Antariksa. Dan yang ketiga, gue sama sekali udah nggak ada hubungan sama Arlo. Kita dulu teman masa kecil. Kita emang sempat dekat sampai SMP. Tapi setelah itu beneran udah nggak ada apapun lagi. Dan apapun motif Arlo deket sama lo, gue nggak tahu apa-apa, Ra. Gue merasa nggak adil aja kalau untuk hal yang satu itu gue juga harus disalahkan."
Perlahan matahari sore dengan anginnya yang lembut meriakkan rambut mereka berdua. Dua gadis yang saling berhadapan untuk memberi dan menerima penjelasan. Ada gelisah yang tidak tersalurkan.
"Pertama, kedua, ketiga dan seterusnya gue nggak peduli. Nggak suka nggak harus punya alasan. Dan gue nggak suka ada lo. Itu aja." Dan Aurora menyuarakan isi kepalanya secara tegas. Selesai bibirnya berucap, ada tohokan halus yang menyakiti hatinya. Terlebih sebelum dia berlalu melihat bagaimana darah seolah surut dari wajah Alyn sampai dia sedikit limbung dan mundur dua langkah sampai harus berpegangan pada badan mobil untuk menahan tubuhnya.
Amara yang mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Aurora langsung menghampiri mereka berdua. Ada kemarahan yang sarat dari wajahnya. Lalu dihampirinya Alyn dan dipegang lengan kirinya. "Udah Kak, nanti biar gue yang ngomong sama Aurora," kata Amara memperingatkan.
Kedatangan Amara mengurungkan niat Aurora untuk beranjak. Dan ketidakberanjakan Aurora dimanfaatkan oleh Alyn melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Alyn berlutut.
Ada pekikan Amara dan belalak mata tak percaya dari Aurora.
"Gue nggak ngerti harus gimana, Ra. Kalau Antariksa nggak sepenting itu buat gue, gue nggak akan ngelakuin ini. Dan Antariksa itu satu paket sama lo, gue setuju. Kalau boleh gue memohon, nggak ada alasan yang lo bilang tadi ubah jadi nggak ada alasan untuk nggak memaafkan. Kalau gue harus ngelakuin hal lain untuk apapun yang membuat lo yakin, akan gue lakuin."
"Kak... jangan kaya gini Kak," ujar Amara yang mencoba membawa Alyn bangkit.
Aurora sudah gemetar di tempatnya. Tohokan di hatinya semakin nyata terasa. Bibirnya kelu ingin mengucap walaupun hanya satu kata. Tatapannya nanar memandang tubuh bersimpuh di depannya.
Lama hanya ada isak kecil Alyn, dan Amara yang akhirnya membawa Alyn dalam pelukannya dan Aurora yang masih berdiri mematung. Sampai ada tangan halus Antariksa membawa Aurora kembali pada kesadarannya. Antariksa membawa Aurora melangkah pergi dari tempat yang seolah menjadi tempat persidangan Alyn itu.
Baru lima langkah, Antariksa melepaskan tangan Aurora yang lemas seperti tak bertulang itu. Dipegangnya kedua pipi Aurora untuk menghadapnya. "Gue anterin Alyn balik dulu ya. Nanti gue jelasin semuanya. Lo masuk sana, istirahat." Dan hanya begitu, Antariksa mengacak pelan rambut Aurora dan beranjak pergi dari hadapannya.
Masih dalam pandangan jelas Aurora bagaimana Antariksa ikut terduduk di samping Alyn dan membawanya bangkit. Lalu membukakan pintu penumpang mobil agar Alyn masuk. Dan mobil itu berlalu dari hadapan Aurora. Menyisakan Amara yang berdiri tegak memandang Aurora penuh amarah.
"Ternyata percuma gue ngomong ke lo tentang hal terbaik dan terindah adalah yang bisa dirasakan oleh hati. Lo nggak punya hati, Ra." Amara tiba di depan Aurora dan langsung memberondong dengan wajah jauh dari kata santai seperti yang biasanya ditujukan Amara.
"Apa di sini cuma gue, nyokap sama bokap lo yang bisa lihat gimana aura Antariksa jadi makin kuat setelah sama Alyn? Lo harusnya bisa ngerasain itu. Oh... gue lupa. Selama ini lo kan sibuk sama diri lo sendiri! Aurora yang maha mulia! Semua harus tunduk dan patuh pada perintahnya."
Amara menarik napas dengan keras. Mencoba membuang kekesalannya. Tapi gagal. "Turunin itu tinggi hati lo, turunin! Katanya sering ikut acara amal, nolongin orang susah. Tapi ada orang yang jelas butuh ditolong dan butuh empati aja lo nggak bisa nekan ego lo. Percuma Rang, percuma!"
Aurora nggak ngerti omongan Amara. Orang yang jelas butuh ditolong? Apasih? Siapa? Alyn? Alhasil Aurora hanya memandang Amara dengan seraut wajah penuh tanya.
"Kejengkelan lo yang nggak beralasan itu beneran ngejengkelin, Rang!"
Aurora ingin membuka mulut, tapi sulit, yang keluar hanya gumaman tak jelas, "Ta... pi lo... gue...."
"Apa? Lo mau bilang ini semua buat gue? Antariksa sama gue? Yaelah Rang, lo kaya nggak tahu gue aja sih. Segala macam percintaan kaya gitu bukan prioritas di hidup gue. Sesukanya gue sama si Anta dulu, gue bisa ngeredamnya dengan mudah. Gue udah ikhlas. Karena apa? Karena bagi gue persahabatan itu lebih dari segalanya.
Masih terlalu banyak mimpi gue, mimpi kita yang perlu diwujudin tanpa harus kebanyakan halu mikirin galau-galauan. Sebagaimana mau gue atau si Anta, ada Yang Lebih Kuasa membolak-balik hati manusia. Dan kalau ditanya apa gue masih ada rasa sama Anta? Jawabannya nggak ada. Prosesnya emang panjang, tapi itu beneran terjadi. Cuma ada rasa sayang sebagai sahabat selayaknya gue sayang sama lo. Dan gue yakin begitupun si Anta ke gue. Masalah perasaan, nggak semuanya murni campur tangan manusia, Rang."
Aurora merasa tertohok. Amara mengungkapkan semuanya dengan nada setegas pidato Bung Karno. Tidak ada keraguan, tidak ada keterpaksaan. Lalu, satu permintaan Aurora untuk Antariksa sudah terhempas entah kemana. Aurora yang awalnya meminta Antariksa untuk jadian dengan Amara, karena dia merasa dua orang ini harus bersatu ternyata pergeserannya sudah sejauh ini.
Amara masih berniat menyiksa perasaan Aurora sampai darah penghabisan. Di saat Aurora sudah sama pucatnya dengan wajah Alyn tadi, Amara masih semangat membombardirnya, "Lo pikir Antariksa dongo apa mau berkorban sejauh ini kalau emang dia nggak dapat keuntungan apa-apa? Sebaiknya-baiknya Antariksa dia tetap bukan malaikat yang mau segitunya berkorban buat orang lain.
Apa di sini cuma gue yang bisa lihat seberapa sayangnya Antariksa sama Kak Alyn? Apa di sini cuma gue yang bisa lihat kalau Antariksa senang dapat keuntungan karena disukai sama Kak Alyn sampai segitunya? Apa cuma Antariksa yang bisa ngerasain kalau disayangi rasanya emang semenyenangkan itu Aurora?"
Telak. Telak. Telak. Kerongkongan Aurora rasanya sakit sekali. Dia kalah yang sebenar-benarnya.
"Mereka berdua itu saling berkorban, Rang. Saling menguatkan satu sama lain. Alyn yang bertahan segitu lamanya suka sama Antariksa dan Antariksa yang bersabar buat dysthimia Kak Alyn."
Alyn? Dysthimia? Serius? Sejak kapan? Karena apa? Kok bisa? Dan berbagai pertanyaan lain di kepala Aurora yang semakin menenggelamkan Aurora di pusaran tak tahu arah.
"Mungkin ini bisa sedikit membungkam lo dan angan lo buat nyatuin gue sama si Anta. Gue, semalem, udah jadian sama Om lo, si Arius. He's too cute to ignore. Dan gue mau nyoba karena emang gue tahu kualitas dia. Sayang sama dia juga nggak sulit. Dan kalau lo masih mau tinggi hati, terserah!"
Tepat setelah itu, Amara melewati Aurora dan mengambil tasnya yang ada di kursi teras.
Sayup-sayup kumandang adzan Maghrib terdengar merasuk di sanubari.
Amara sengaja menyenggol pelan lengan Aurora saat melewatinya, "Malu lo sama Tuhan."
Dan menyisakan Aurora yang ganti berlutut memohon ampun.
***
Ada yang perlahan mendekat pada gadis yang sedang menangis dalam diam itu. Bersamaan dengan suara adzan yang sudah selesai, tapi tubuh itu tak kunjung bergerak dari posisi berlututnya. Rambut panjangnya menggerai menutupi kedua sisi wajahnya. Arlo, yang sedari awal memerhatikan dari jarak aman tahu apa yang mengguncang gadis di depannya ini.
"Aurora...," panggilnya lirih tapi cukup tegas sampai yang dipanggil merasa perlu mendongak.
Aurora cepat-cepat menyeka air mata yang tumpah tak terlalu banyak. Lalu memandang aneh Arlo yang tak ada hujan hanya ada angin sudah berdiri di depannya.
Melihat Aurora yang menatapnya penuh tanya, Arlo salah tingkah. "Ehm... gue...."
Belum sempat Arlo melanjutkan ucapannya. Aurora langsung bangkit dan setengah menyeret tangan Arlo. "Eh... eh mau kemana ini?"
"Nggak usah bacot. Temenin gue. Lo tahu alamat si Alyn kan?"
Busyet! Belum apa-apa udah galak aja si Aurora. Arlo sampai takjub. Lalu tanpa bisa ditahan bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Ini cewek super ajaib emang. Pantes gue suka!
Ditahannya sebentar tangan Aurora sampai menghadapnya. Melihat Aurora menyiratkan wajah bertanya, Arlo berkata, "Nanti ada kan gantian kesempatan gue buat ngomong?"
Aurora mengernyitkan dahi, "Iya bawel amat sih. Buruan!"
Arlo menghela napas pasrah. Jaman sudah benar berubah, perempuan sudah pintar menjajah.
Kini Aurora dan Arlo ada di depan apartemen bernomor 239. Aurora mencoba peruntungan dengan membuka handle pintu dan ternyata memang tidak dikunci dari dalam. Bertaruh dengan kesopanan, Aurora mencoba menyusuri apartemen yang mengeluarkan bau citrus ini. Dan sayup-sayup mendengar suara Antariksa ada di dalam kamar yang pintunya tidak tertutup.
Dan pemandangan di dalam kamar lagi-lagi membuat Aurora memejamkan mata miris. Ada Alyn yang sedang terduduk di pojokan kamar. Dan Antariksa yang berdiri menjulang yang untungnya terlihat lebih tenang. Kondisi Alyn terlihat kacau. Jejak-jejak air mata nampak mengering di pipinya. Bahkan pada jarak pandang yang lumayan jauh, Aurora bisa melihat dari mata Alyn yang mencekung.
"Apa yang diajarkan sama Kafka sekarang kebukti ya Sa, bahwa keberadaan orang lain untuk diajak bicara dan jatuh cinta juga nggak bisa menjamin kebahagiaan kita. Aku nggak ngerti kenapa Tuhan belum juga mengizinkan aku buat bahagia. Accept your symptoms, don't complain of them; immerse yourself in your suffering. Gitu aja terus. Kaya usaha kerasku selama ini juga bakalan berakhir dengan kesakitan yang lain."
"To gain relationship there must be both parties consent and mutual respect and if you're lucky, mutual feeling exist. Dan kamu beruntung, aku beruntung."
Jawaban Antariksa sepertinya tidak memuaskan Alyn. "And that mutual feeling in three, two, one should be gone."
"Kamu pikir aku nggak akan berjuang buat kamu?" tanya Antariksa kemudian.
Alyn menggeleng, "Aku nggak akan bisa ngejalanin ini dengan tenang kalau nggak ada izin Aurora, Sa."
"Nanti aku ngomong sama Aurora lagi ya?"
Lagi-lagi Alyn menggeleng, "Nggak mau. Aku nggak mau lihat Aurora terpaksa buat hubungan kita."
"Relationship isn't a goal. It consisted of two people sharing personal space like in a diagram venn which of their lives. Dan aku masih mau melanjutkan rutinitas kita yang saling berbagi banyak hal," kata Antariksa lagi yang membuat Aurora di luar kamar seperti tidak percaya apakah benar yang ada di dalam itu betulan sosok abangnya.
"Aku juga nggak mau, Sa. Aku nggak bisa ikhlas rasanya ngelepas kamu. Di sini rasanya sakit banget," Alyn menunjuk kerongkongan lalu ke jantungnya.
"Lyn...."
"Aurora nggak akan ikhlas, Sa. Satu-satunya cara ya kita temenan aja."
"Nggak mau! Gue mau jadi orang yang bisa mantau kondisi lo semau gue tanpa harus ada rasa rikuh. Gue juga mau nebus kesalahan gue buat semua waktu yang udah lo sia-siakan buat orang kaya gue," kata Antariksa tegas seolah titah yang tak terbantah.
Wow. Aurora takjub! Antariksa bisa posesif juga rupanya.
"Bawel ya kamu sekarang," sela Alyn sambil terkekeh kecil.
"Gimana kalau kita putus bentar, bentar banget tapi sambil gue bujuk Aurora lagi? Nggak suka gue ngelihat lo kaya gini, rambut berantakan gitu, jadi kaya sadako!" Antariksa coba melucu yang ditanggapi Alyn dengan delikan ringan.
"Kemana Antariksa yang cool sih. Kalau kamu ngegemesin gini kan aku jadi lemah nggak mau putus."
Antariksa duduk di depan Alyn dan merapikan riap rambut Alyn yang menutupi wajahnya. Diusapnya jejak air mata yang yang sudah mengering. "Bentar aja ya. Bentar banget!"
"Kamu udah berani pegang-pegang cewek. Awas ya kalau pacaran laginya nggak sama aku!"
Antariksa tertawa kecil, "Thank you for being you who give me bunch of respect in my imperfection."
"Sayang banget sama kamu, Mantan Pacar."
"Bentar aja ya...."
Aurora sudah tak tahan. Sudah menginterupsi duluan sebelum Antariksa melanjutkan bicaranya. "Nggak perlu, An. Gue cabut permintaan gue. Maafin gue ya."
Antariksa dan Alyn kompak menoleh ke belakang. Sudah ada Aurora berdiri dengan wajah tegas. Antariksa dan Alyn juga ikut-ikutan berdiri.
"Ra...." Alyn memanggil lirih.
Aurora mendekat sampai ke hadapan Alyn dan membawanya kepelukan. Alyn yang dipeluk tiba-tiba hanya bisa memberikan ekspresi bingung ke Antariksa yang dibalas dengan senyuman ringan dan anggukan kepala. Perlahan Alyn membalas pelukan Aurora.
"Maafin gue, Kak. Kayaknya tadi gue lagi kerasukan setan," ucap Aurora tak bermaksud bercanda yang justru dibalas Alyn dengan kekehan.
"Gue juga minta maaf, Ra. Lo pasti jengkel banget sama gue selama ini."
"Lumayan sih," jawab Aurora jujur.
"Lo kalau nyenengin orang dikit langsung bisulan, Ra?" tanya Alyn mencoba kasual.
Aurora berdecih, "Kalian harus pajak jadian ya. Kalian berdua patungan beliin gue Canon 5D Mark IV. Gue mau eksploitasi cowok lo biar wajah lumayan gantengnya itu bisa ngehasilin duit."
"Setuju! Ntar gue bagian marketingnya. Ngomong-ngomong berapa harga kameranya?"
"Murah, cuma sekitar 40 juta."
Alyn langsung melepas pelukan Aurora dan memandangnya dengan wajah tak percaya, "Mending kita musuhan seumur hidup, Ra. Lo minta pajak jadian apa ngerampok?"
Dan perdebatan masih berlanjut di selingi acakan rambut dari Antariksa untuk dua wanita yang disayanginya ini.
***
Setelah segala urusannya selesai. Sekarang adalah giliran Arlo untuk menebus semuanya. Menjemput apa yang menurutnya harus menjadi hadiah untuk kesehariannya.
Sudah terlalu lama sejak terakhir dia merasa selega ini. Ternyata ada Aurora di sekitarnya benar-benar membuat sistem pernapasannya berjalan lancar. Udara menjadi lebih bersahabat saat dihirup.
Aurora sedang memandang jalanan di bawah sana yang tak pernah sepi. Klakson dan suara riuh rendah menjadi melodi yang cukup familiar di Jakarta. Juga tempat yang mereka pijak sekarang, rooftop yang dulu pernah menjadi saksi mode terlemah seorang Arlo Vidar Dewangga.
Mode lemah yang akhirnya mendapat suntikan energi sampai seratus persen dari seseorang yang menawarkan bahunya untuk disandari, Aurora Zainina Septario. Dan sekarang, jangan harap akan ada kebodohan sia-sia yang akan dilakukan oleh Arlo lagi.
Saatnya menjawab pertanyaan Aurora dulu tentang 'emang lo nggak mau jadi orang beruntung?' itu. Arlo mau. Dan harus.
"Gue mau jadi orang beruntung," kata Arlo dengan suara lantang memasuki gendang telinga Aurora.
Aurora menoleh ke arah Arlo, "Hah? Apaan? Oh!" Aurora perlahan mendekat ke Arlo, "um... gini Ar, sama seperti yang lainnya termasuk sama lo, gue juga mau berdamai. Tapi buat yang satu itu... kayaknya gue nggak bisa."
Seperti ada yang melempari dada Arlo dengan peluru logam seberat 7 kg untuk olahraga tolak peluru. "Kenapa? Segitu ilfeel-nya lo sama gue?"
"Serem aja menggantungkan perasaan ke playboy kambuhan macam lo."
Anjir! Sabar Ar sabar, ibu negara emang mulutnya suka barokah!
"Gue nggak ada apa-apa sama cewek yang dulu gue ajak pelukan itu. Murni biar lo kesel aja. Dan urusan sama Alyn beneran udah selesai. Gue ganteng dan gue jomblo, Aurora. Pengennya bentar lagi taken karena udah dimiliki Mbak Auroro."
"Alah Ar mulut lo kaya politisi negeri ini kebanyakan omong kosong. Udahlah kita temenan juga nggak akan bikin lo rugi."
"Tapi Mas Arlo inginnya dimiliki Mbak Aurora seutuhnya gimana dong?"
Sampah abis!
"Nggak ngerti lah Ar, kayaknya gue belum cukup percaya kalau lo bisa konsisten sama hidup lo sendiri."
Arlo mendesah frustrasi, "Apa karena gue minum lagi? Ngerokok lagi? Gue juga nggak menikmati itu, Ra. Anggaplah itu ketololan gue karena lagi mumet aja. Jangan hakimi gue kalau keseluruhan diri gue udah rusak serusak-rusaknya."
"Gue nggak menghakimi lo. Terserah aja lo mau ngelakuin apa."
"Itulah! Gue mau ada lo yang ngomelin gue dan ngajak debat ngotot sampai gue ngeiyain apa yang jadi kebenaran menurut versi lo. Gue nikmatin itu, Ra. Gue nggak mau itu ngilang gitu aja. Gue mau itu jadi rutinitas."
Di antara semua masalah yang menimpanya bertubi-tubi, masalah Arlo menempati posisi strategis dalam kepala dan hati Aurora. Selalu. Dan selalu ada nama Arlo yang ingin dia wujudkan sebagai cinta pertama. Tapi....
"Gue nggak bisa, Ar. Gue belum bisa yakin."
Arlo maju selangkah, dipandangnya Aurora dengan serius ke dalam manik matanya. "Apa gue harus berlutut di depan lo?"
Aurora mengalihkan pandangan, "Coba aja kalau berani. Gue ludahin lo."
Arlo melotot tak percaya dan melempar tawa seketika. "Gue sayang sama lo, Aurora. Berani sumpah!"
"Salat aja masih bolong-bolong sok-sok sumpah-sumpah lo. Sumpah atas nama siapa? Sumpah atas nama Jack Daniels? Sampah lo, Ar!"
"Berlutut nih gue berlutut...," kata Arlo sambil menekuk satu kakinya.
Aurora justru menyedekapkan tangannya dan dengan wajah diangkat menantang. Dan perlahan yang dilakukan Arlo tak pernah diantisipasinya.
Arlo memeluknya. Dengan sangat erat!
"Sini gue peluk dan kalau lo masih nggak ngerasain apa-apa yaudah kita temenan."
Arlo melakukannya dengan sangat sadar. Aurora yang dari dulu selalu dia tarik ulur hatinya kini tidak akan pernah dilepaskannya lagi. Aurora yang menjadi pahlawan untuk hidupnya. Aurora yang selalu berbagi hobi dengannya. Aurora yang saat jam session dan menyaksikan Danilla membawakan lagu Junko Furota dan dia menangis. Kadang hati Aurora memang selembut itu. Dan dengan pelukan ini, Arlo berharap hati Aurora melembut.
Dan benar saja, tangan Aurora yang tadi bersedekap perlahan meluruh. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak membalas pelukan Arlo. Tapi dia kalah. Kata hatinya menang. Perlahan dibalasnya pelukan Arlo. Satu dari sekian hal yang ingin diwujudkan Aurora, ada Arlo di dalamnya. Dan langit malam Jakarta yang pekat menyaksikan satu kejadian yang indah dari manifestasi perasaan manusia bernama cinta.
"Gue terima lo lagi. Tapi inget ya Nyong ini hati bukan keset yang kalau lo injek ratusan kali bakalan tetap bilang welcome."
Tubuh Arlo terguncang karena tawa. Sedap, Aurora-nya sudah kembali!
"Iya, Manisku. Janji nggak bakal nyakitin lo lagi dan diri gue bertanggung jawab sepenuhnya buat menjamin kebahagiaan lo."
Aurora pengen muntah! Arlo alay, ih. Najis banget omongannya. Aurora langsung melepaskan pelukannya dan buru-buru mencari tisu di tas selempangnya. Setelah ditemukannya, diangsurkan tisu itu ke hadapan Arlo.
"Buat apa?" tanya Arlo bingung.
"Ngelap bullshit di mulut lo!"
Arlo ketawa lagi dan semakin kencang sampai perutnya sakit. Aurora ngeri Arlo kesurupan.
"Cinta banget gue sama lo, Aurora!"
Aurora merinding. Sensasi senang dan karena menahan muntah. "Kontrol Ar kontrol. Di sini yang cewek gue bukan lo."
Perlahan tawa Arlo mereda. Dipandangnya wajah Aurora dengan lembut. Ini adalah sebentuk nyata kebahagiaan untuk Arlo. "Terima kasih untuk semuanya, Auroro."
Kendati hatinya sudah berbunga-bunga, apa yang ditunjukkan wajahnya adalah sunggingan senyum meremehkan. "Thanks are good. But money way much better."
Arlo kembali tertawa dan dicubitnya kedua pipi Aurora gemas. "Matrenya nggak ilang-ilang kamu ya!"
"NGGAK USAH KAMU-KAMUAN!"
* S E L E S A I *
Alhamdulillah akhirnya cerita ini selesai juga. Di antara orang lagi hype sama Coldplay, aku malah nulis cerita huhu naseeeeb.
Pengen ngomong banyak tapi mungkin nanti setelah epilog aja kali ya. Pokonya selalu makasih dan makasih sama kalian yang masih mau baca cerita ini hehe. Semoga puas sama endingnya. Dan kalau ada yang kurang puas apalah daya saya hanya manusia biasa bukan teller bank BCA yang selalu memuaskan nasabah (HAHAHA garing lo, Nau!)
Dan sebelum epilog aku rencana mau bikin satu part Q&A gitu buat seru-seruan. Bakal jawabin pertanyaan kalian kalau ada yang mau nanya. Silakan bagi yang mau nanya langsung tulis aja pertanyaannya di inline berikut:
A. Aurora
B. Antariksa
C. Alyn
D. Arlo
E. Amara
F. Arius
G. Auriga
H. Alfa
I. Nau
Hahaha insyaallah akan diusahakan kejawab semua. Yaudah gitu aja. Sayang kalian :* byeeeee~
Maret, 31 2017 ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top