29 | Perjumpaan Dengan Apa yang Imajiner
Isinya masih seputar nasehat-nasehat untuk Aurora. Maafkan saya yang nggak kreatif ini sampai harus bikin jadi part khusus dan jadi panjang lebar. Semoga bermanfaat dan maaf kalau ada yang merasa ini membosankan dan terlalu menggurui. Saya nggak ada maksud sama sekali ciyuuuus 😉
***
Meja makan itu terlalu hening. Hanya bunyi denting sendok beradu dengan piring yang seakan menjadi orkestra pagi itu. Serius, lebih sunyi daripada kamar anak kosan yang lagi iseng main jelangkung.
Tidak ada Aurora yang mengoceh dan kadang nasinya muncrat-muncrat. Tidak ada Bunda yang nyubitin atau ngegelitikin (?) pinggang Aurora karena ngegodain Bunda terus-terusan. Tidak ada hela napas dari Antariksa karena frontalnya Aurora. Dan, tidak ada geleng-geleng dari Ayah karena bingung Aurora ini manusia apa Burung Jalak Suren yang hobinya mengoceh.
Lalu, Aurora akan mulai bertanya-tanya sampai kapankah keterdiaman ini akan berlangsung?
Aurora benci saat menyadari bahwa dia adalah penyebab semuanya. Aurora mau sarapannya ramai dan makan malamnya gaduh. Aurora suka rutinitas mereka saat makan bersama.
Suapan terakhir dan Aurora sudah ingin menangis lagi, rasa-rasanya dia harus segera pergi dari meja makan. Diletakannya peralatan makan, "Aku pamit ke kamar ya," katanya entah pada siapa. Aurora biasanya selalu menggunakan obyek saat berbicara, Bun, Yah, An atau Mas.
"Dek, bantuin Bunda beres-beres gudang yuk. Kapan coba itu terakhir di beresin? Kali aja kamu nemu peralatan lagi buat DIY, ya? Masa mau tidur lagi kamu? Nanti Bunda bikinin smoothies strawberry sama pisang goreng."
Aurora mengangguk, "Itu melulu Bun sogokannya."
Grrr... semua yang ada di meja makan menahan tawa. Terlebih Bunda yang tertawa sambil berdecak, "Yang ikhlas kamu biar banyak pahala."
Aurora mencibir, "Kuy lah Bun biar cepat kelar. Aku pengen main ke sungai habis itu."
Bunda lalu bangkit dan bersiap membereskan peralatan makan, "Kuy lah. Bantuin Bunda cuci piring biar cepat."
Aurora cemberut lagi, "Gitu tuh kalau bisnis sama Emak-emak sukanya nambah obyekan nggak ada bonusan." Aurora tetap bangkit sambil mengangkat piring ke dapur.
Aurora sadar betul kalau Bundanya hanya ingin mengajaknya berbicara. Dia ingat kalau gudang mereka baik-baik saja. Maksudnya, sejak terakhir mereka ke sini, gudang itu juga tak luput dari sentuhan Bundanya yang keranjingan beberes. Betul kan yang dibilang Aurora, tidak ada barang berserakan karena semuanya tertutup kain putih meskipun kebanyakan barang bekas. Atap juga tidak bocor.
"Dek ini nih masih banyak buku hard cover punya Ayah pakai aja. Ayah kayaknya udah punya ebooknya. Buat sculpture art lumayan nih." Bunda mulai menyisiri ruangan untuk mengalihkan kecanggungan yang lumayan nampak, "Tuh banyak bookpaper kosong juga bisa kamu pakai buat apa tuh yang berlekuk-lekuk?"
"Accordion book Bun," jawab Aurora sembari mendekat pada Bundanya, lalu dipeluknya tubuh itu dari belakang. "Bunda kaya ketemu sama Benedict Cumberbatch aja sih pakai canggung segala."
Digesek-gesekannya pipi Aurora di kain baju Bundanya yang lembut dan wangi kaya parfum paris, kata salah satu iklan pewangi pakaian. Bunda lalu mengangkup kedua tangan Aurora yang melingkari pinggangnya. Pelan membalikkan tubuh, "Bunda sayang banget sama kamu, Dek. Sayang banget."
Dan kedua perempuan itu dengan gemilang sudah mengeluarkan kristal bening. Lalu keduanya merendahkan tubuh dan mengambil posisi duduk. Aurora dibawa ke pelukan Bundanya. "Bunda rasanya nggak pernah siap lihat kamu tumbuh dewasa dan pelan-pelan akan ninggalin Bunda."
"Harusnya dulu aku nggak pernah pergi ya Bun. Dua tahun pun kayaknya bakal banyak hal yang bisa kita lalui cuma berdua tapi aku malah nyia-nyiain. Kalau waktu bisa diputar... tapi dulu rasanya hal paling bener yang bisa aku lakuin ya cuma pergi. Aku egois ya Bun?"
"Nggak apa-apa Dek, yang penting yang kamu cari kalau nggak bisa tidur ya Bunda kan bukan Om Arius? Bagus juga sih, kalau Om Arius bagian yang susahnya aja."
Grrr... rusak sudah semua suasana sendu melagu yang tadi sempat terbangun. Aurora heran, Bundanya ini sebenarnya bisa apa enggak diajak serius. Tadi aja sok-sok canggung kaya kembang desa mau dilamar.
"Abis si Om nggak pelit sih...."
"Oh jadi Bunda pelit ya...," sahut Bundanya sambil manggut-manggut penuh ancaman.
"Bunda setiap nitip martabak sama molen ketan hitam di deket sekolah aku nggak pernah diganti uangnya."
Bunda langsung mencibir, "Perhitungan kamu ya Dek. Kan uangmu banyak."
Aurora menggeleng tak terima, "Bunda, setiap sen itu harus dihemat demi masa depan yang gemilang. Jadi mending uangnya masuk reksadana Bun."
Bunda berdecak bangga, antara bangga beneran atau meremehkan, "Subhanallah... diajarin siapa kamu jadi bener begini?"
"Si Om."
"Oh gitu... jadi besok-besok kalau mau minta uang buat nonton JavaJazz kamu minta sama si Om aja ya."
Aurora protes, "Bunda mah ngancemnya masalah duit melulu. Anak muda perlu entertaiment buat aktualisasi diri Bun!"
"Pinter kamu ngeles kalau udah urusan uang ya. Lagian jatah entertainment kamu itu udah ditanggung sama Ayah, liburan dua minggu sekali sama liburan semester sama lebaran. Yang lain-lain harusnya pakai uangmu sendiri."
Aurora mendecak, "Kan uang Bunda banyak. Beramal sama anak. Uang emak, uang anak. Uang anak, uang anak."
"Bunda juga nabung tau, buat S3 nanti."
Aurora lalu diam sebentar, bukan lagi masalah uang. "Bunda... kenapa nunda lama banget buat S3-nya? Gara-gara aku masih manja ya Bun? Padahal nggak apa-apa Bunda S3 aja. Kan dulu juga pernah ditawarin beasiswa lagi di IPB."
"Bunda aja yang nggak rela kalau kalian nanti prioritasnya terganggu karena kesibukan Bunda. Bunda mau mastiin semuanya terpenuhi untuk kamu sama Mas, juga Ayah. Bunda pasti S3 Dek, nanti kalau kamu sudah kuliah."
"Masih lama banget Bun. Bunda mau nggak mau jadi dosen? Lagian seneng banget sih belajar. Aku ngadepin ulangan Fisika aja udah mau tuker kepala di kaki."
Bunda ketawa, "Nggak ah, Bunda mau bantuin Ayah aja. Bunda kangen sih Dek belajar formal gitu, udah lama banget rasanya sejak terakhir kali tesis di antara excited-nya hamil kalian."
"Dulu berat ya Bun hamil anak kembar?"
Bunda malah ketawa, "Berat pun yang Bunda salahin Ayah sih bukan kalian. Udah tahu Bunda lagi ambil magister. Masih dibikin hamil juga. Nggak mau nunda banget."
"E... e... e obrolan mulai berbahaya nih," gelak Aurora melihat ekspresi gemas Bundanya. "Lagian, dulu waktu kita kecil belum tahu apa-apa atau pas SD kenapa Bunda nggak lanjut kaya Ayah? Kan Bunda yang mau jadi dosen."
"Dek, menjadi seorang ibu itu tidak bisa diwakilkan apalagi mengundurkan diri karena merasa berat. Itu pekerjaan penuh dedikasi, jadi Bunda mau sebaik mungkin ngejalaninnya."
"Gitu aja aku masih banyak mau ya Bun," suara Aurora perlahan memelan seperti angin, "Bun, peluk aku dong."
Bunda memenuhi permintaan itu, dipeluknya Aurora dan diusapnya sayang kepala Aurora. "Kamu bau Dek. Kebiasaan males banget disuruh mandi."
"Yaelah Bun, kenapaan banget sih jago ngerusak suasana huh."
Tak pelak Bunda tertawa lagi, "Rasanya kaya baru kemarin Bunda nyusuin kamu sama Mas dengan berbagai posisi. Stress-nya Bunda waktu kalian lagi numbuh gigi trus Ayah lagi sibuk penelitian buat disertasi. Waktu kalian pertama kali tengkurap, pertama bisa angkat pantat buat ngerangkak, trus pelan-pelan mulai bisa berdiri. Gimana kalian manja banget sama Ayah trus ngelupain Bunda yang lagi nyuapin makan. Untung Ayah selalu ngingetin Bunda buat nggak senewen dan nikmatin aja moment-nya. Kalau nggak, mungkin di memori Bunda cuma ada kamu yang nggak bisa diam nangis melulu setiap diajak pergi. Kamu yang kerjaannya mainan lumpur trus bikin rumah kotor banget. Udah ada bibit-bibit bandelnya dari orok."
Aurora tidak tahu mau membalas apa. Sejujurnya sudah sering dia dan Bunda membahas tentang masa kecilnya. Karena Bundanya juga, memori masa kecilnya seolah terekam dengan resolusi 4K di otaknya. Bagaimana Bundanya dengan sangat jelas menggambarkan setiap detilnya.
"Dan semua momen itu nagih banget Dek. Gimana kesel-keselnya Bunda waktu kalian nangis malem barengan minta ASI padahal Bunda lagi stres tesis trus ASI-nya nggak keluar. Trus Bunda nangis. Labil banget. Trus dicengin Ayah trus Bunda makin kesel. Kalian umur 0 sampai 1 itu beneran masa struggle banget buat Bunda. Jauh lebih berat dari pas waktu hamil."
"Gitu nagih ya Bun tapinya?" tanya Aurora yang dibalas anggukan Bundanya, "dibilangin suruh bikin adik lagi nggak mau."
"Nggak usah mulai kayak Ayahmu deh, dua anak lebih baik tau. Lagian nanti Bunda lebih sayang sama adik ngerengek pula kamu sama Ayahmu itu. Emang rela bagi-bagi?"
Aurora ngakak.
"Dek...," suara Bundanya mulai merendah, "tadi udah dibilangin Ayah apa aja? Bunda mau mastiin nasehatnya nggak berulang nih. Gumoh kamu nanti kaya biasanya."
"Ya lagi Bunda mah nasehatin orang dijadiin hobi. Sekalian aja buka kelas ESQ biar kaya Brian Tracy."
"Hahaha... iya juga ya. Impulsif naluri ibu, Dek. Ya tapi kamu mah dikasih tahu juga mental mulu nasehatnya kaya bola tenis."
"Naluri ngasih duit kok enggak ya."
"Ya Allah, kamu matre banget sih. Kamu beneran investasi ke reksadana kan? Bukan ke poker online?"
"Ya Allah Bunda, kurang-kurangi suudzon sama anak."
Bunda ngakak nggak kontrol. Aurora membatin ini emak-emak nyaris 40 tahun nggak ada anggun-anggunnya. Aurora hanya bisa pasrah. Harap bersabar, ini ujian.
"Dek...." panggil Bundanya saat tawanya mulai mereda setelah tiga menit. "Maafin buat semua kelalaian Bunda ya. Harusnya Bunda yang pasang tameng biar kamu nggak disakitin siapapun. Maafin Bunda ya, Dek?"
Here we go....
"Kenapa Bunda nyalahin diri terus sih? Kan di sini aku yang salah karena terlalu lemah. Karena aku, udah berapa kali coba Bunda nangis? Tiba-tiba aja dateng ke Jogja malem-malem tanpa pemberitahuan trus minta bobok sama aku dan selalu aja nangis sendirian waktu Bunda pikir aku udah tidur. Aku yang heran Bun, kenapa di antara semua kesempurnaan aku memiliki kalian, aku harus merasa selalu rendah diri kaya gini. Mungkin karena kalian terlalu bersinar dan aku pikir aku nggak bisa jadi kebanggaan. Kenapa ya Bun dulu aku kayak gitu, cupu banget."
"Bunda yakin setiap orang akan mengalami fase itu Dek. Bunda dulu juga gitu walaupun di usia yang berbeda sama kamu sekarang. Dulu Bunda insecure ada di dekat Ayahmu. Yah sisanya kamu udah tau kan gimana kisah Bunda sama Ayah. Akan ada fase-fase tertentu dalam hidup sampai kita akhirnya bisa memutuskan harus mengambil sikap apa."
"Kalau aku bukan bagian dari keluarga ini aku nggak yakin bakalan menjalani proses ini dengan baik."
"Kalau kamu harus jadi rebel pun Bunda yang akan memastikan kamu jadi rebel bermartabat." Bunda ketawa lagi. Kenapa pula bawa-bawa rebel. Ck.
"Biar nggak sesat kaya si Om ya Bun? Rebelnya nanggung, nakal tapi salatnya nggak pernah bolong. Wah, generasi fake tuh."
Hahahaha... Bunda ketawa kenceng banget.
"Kamu nanti kalau bandel jangan nanggung."
"Ada ya ibu nyuruh anaknya bandel."
"Karena nggak mungkin, jadi Bunda enteng aja ngomong haha. Bandel aja kalau berani, nggak Bunda kasih uang jajan. Bunda kan punya kuasa ngebekuin semua rekening kamu."
"Makannya aku nggak nakal tapi Bunda kasih duit yang banyak dong buat beli lensa sama peralatan gambar kan bisa buat bisnis."
"Duit melulu...."
"Serius lagi yuk?" ajak Bundanya. "Kalau ngobrol sama kamu jadinya kemana-mana ih Bunda sebel."
"Idih, aku pula yang disalahin padahal dari tadi siapa yang nggak fokus. Kurang-kurangin Bun mendzalimi anak."
Bunda tertawa sebentar, lalu memasang wajah serius, "Dek, dulu, sekarang atau mungkin nanti ada masa di mana saat kita sudah mencoba menjaga perasaan sendiri dan mencoba menjaga perasaan orang lain tapi masih tetap dienyahkan. Mungkin dulu, sekarang atau nanti hidup kita adalah rentetan-rentetan penolakan dari sekitar. Apa yang harus kita lakuin? Bangun rasa simpati, empati dan rasa cinta kamu karena itu yang akan menolong kamu di situasi apapun.
Terlalu banyak hal di dunia ini yang berada di luar kontrol kita. Jadi satu hal yang pasti, berhenti bandingin hidup kita dengan orang lain. Cukup bersyukur dan mencoba menjadi bermanfaat buat orang lain. Bunda senang sekali lihat potretnya Gandhi. Dan Bunda ingin kamu bisa senyum setulus itu karena energi kamu yang habis untuk membantu sekelilingmu."
Walaupun sering memberikan nasehat, Bundanya tidak pernah seimplisit ini. Seringnya adalah nasehat eksplisit semacam tuh Dek bikin program kayak gitu biar generasimu jadi rajin baca buku, Dek jangan lupa sedekah, Dek bikin planning harian gitu biar enak kamunya dan sebagainya. Seringnya juga cuma Aurora iya-iyakan saja karena sebagian memang sudah dilakukan.
Yang Aurora banggakan adalah dari sekian banyak nasehat default yang biasanya diberikan oleh orangtua kepada anak, bagi orangtua Aurora, tak pernah terlewat satu nasehat pun tanpa 'menjadi bermanfaat untuk orang lain'.
"Iya Bunda. Tapi Bun, jujur aja aku masih sulit buat ngendaliin rasa marah ini. Dulu mungkin Mas emang nggak salah. Tapi sekarang, ada banyak kesempatan yang dia punya tapi dia milih buat bohongin aku Bun. Aku nggak bisa ngendaliin diri buat nggak kecewa. Amara juga. Arlo juga. Bukannya mereka semua yang paling tahu seberapa aku selalu hati-hati sama namanya kepercayaan karena ada hal di masa lalu yang nggak pengen aku ulang. Gimana aku sampai sekarang mencoba menahan diri buat nggak terlalu banyak terlibat secara personal sama teman-temanku di saat aku pengen banget."
"Dek, kayak yang Bunda bilang tadi, kontrol ada di diri kamu sendiri. Kalau kamu takut mencoba, kamu nggak akan kemana-mana. Hal yang kamu takutkan itu membuang energi positif kamu dan memupuk energi negatif kamu. Jadinya hanya ada rasa takut dikecewakan. Seiring rasa itu semakin besar, nyatanya kamu nggak pernah kemana-mana. Percaya sama Bunda Dek, kalau masalah kamu ini bisa diselesaikan kalau kamu berani memulai."
Aurora terdiam. Dia merefleksi semua rasa sakit yang ada di dalam hatinya. Benar semua apa yang dikatakan Bundanya bahwa dia hanya takut. Takut dikecewakan lagi. Padahal dia hanya perlu mencoba cara lain. Sudah terlalu banyak momen yang Aurora sia-siakan karena dia hanya berkubang dalam sakit hatinya sendiri. Antariksa pasti punya alasan yang masuk akal dari semua yang dia lakukan. Aurora tahu, kalau Antariksa tidak mungkin akan dengan sengaja menyakiti dia. Dia selalu tahu. Antariksa yang selalu memilih untuk mengalah, walau terkadang justru jadi salah di mata Aurora, tapi semata itu hanya agak Aurora merasa baik-baik saja.
Dan, apa yang Aurora bilang semalam tentang mengurusi hidup masing-masing? Aurora nggak mau! Dia selalu mau Antariksa dan keluarganya ambil peran dalam setiap keputusan di hidupnya. Dan terlalu banyak cita-cita mereka berdua yang perlu untuk direalisasikan. Cita-cita yang selalu keluarganya tak pernah lelah untuk mengingatkan, menjadi bermanfaat untuk orang lain.
Aurora dalam diamnya jadi terpikir bahwa dia terlalu mendramatisir keadaan di saat begitu banyak anak seusianya memiliki masalah yang jauh lebih pelik. Aurora jadi merasa terlalu tinggi hati bahwa masalahnya harus menjadi masalah semua orang. Bahwa apa yang dia alami membuat dunia harus ikut menanggung. Aurora langsung istighfar dalam hati.
"Dek, Bunda selalu berharap akan ada Aleta Baun atau Chanee Kalaweit lain dari generasimu. Di saat semua serba mudah sekarang Bunda berangan-angan kalau kamu sama Mas menyatukan potensi dan membuat perubahan buat bangsa ini. Mungkin kamu sebagai creativepreneur dan Mas dibidang leadership-nya. Dek... ngobrol ya sama Mas?"
Aurora mengangguk bersemangat. Dia cium pipi Bundanya lalu bangkit keluar gudang.
Ada yang membuncah dalam hatinya. Dia berada di satu titik di mana semua rasa sakit itu hancur lebur tanpa sisa. Dan perasaan lega luar biasa menghampirinya.
Aurora setengah berlari menyusuri ruang tengah mencari keberadaan kembarannya. Setiap langkahnya Aurora mengutuk diri sendiri untuk setiap waktu yang dia sia-siakan. Coba kalau ini, coba kalau begini. Tapi semua sudah terjadi. Berada di satu titik bahwa dia merasa terlalu sayang pada kembarannya yang selama ini seringnya dia anggap sebagai kakaknya itu dan dia tidak mau menyiakan lebih banyak lagi waktu. Aurora rindu semua polah iseng mereka, rindu debat tanpa ujung mereka, rindu jalan berdua, rindu bikin indomie tengah malam, rindu nonton Lord of The Ring lagi. Dan rindu semuanya.
Tidak menemukan Antariksa di ruang keluarga, Aurora menuju halaman belakang. Dilihatnya Antariksa dan ayahnya sedang main catur di gazebo. Aurora langsung berlari naik ke atas gazebo dan menyenggol papan catur sampai bidaknya berjatuhan. Baru saat Ayah dan Antariksa mendongak, Aurora langsung menghambur ke pelukan Antariksa.
Masih antara gerutuan Ayahnya yang sempat terdengar 'yah... yah... yah... lagi seru' saat ada interupsi dadakan. Tapi, lalu semua hening.
Dieratkannya pelukan Aurora di leher Antariksa yang masih juga bergeming dengan tubuh kaku. Baru saat ada pergerakan dari sang Ayah yang pelan-pelan meninggalkan gazebo, Antariksa baru tersadar dan dengan pelan membalas pelukan Aurora.
Ada lega yang benar-benar tidak terlukiskan oleh kata-kata.
Setelah beberapa saat tidak ada yang saling bicara dan hanya saling berkomunikasi lewat isyarat, Aurora membuka suara, "Udah ya An nggak usah ada maaf-maafan lagi. Dan yang terpenting nggak usah ada mengalah-mengalah lagi. Gue salah, lo salah. Gue sama lo nggak boleh punya sekat apapun lagi. Gue mau jadi orang pertama yang lo cari kalau lo lagi seneng ataupun susah. Orang pertama yang lo cari kalau lo mau transfer isi kepala lo yang ajaib itu dan ngajak brainstorming. Dan gue udah nggak sabar buat lepas ngebego-begoin atau ngampret-ngampretin lo."
Ada tawa tertahan dari Antariksa. Pelan diurai pelukan itu oleh keduanya. Diacak-acaknya rambut Aurora oleh Antariksa yang jelas sekali dengan mata berbinarnya menyampaikan kelegaan.
"Dari dulu Ra gue udah nunggu momen ini. Bukan gue yang bego, tapi otak lo yang nggak nyampe kalau gue ajak brainstroming."
"Ada kesempatan langsung bisa nyela lo ya! Capek ya An hidup dengerin apa kata orang. Anjirlah, ngapain amat coba dari SD, SMP, SMA gue ngedengerin bacot-bacot nggak penting itu. Harusnya kalau kuping gue panas, gue ajak berantem aja semuanya."
"Iya capek. Harusnya masih sibuk main-main, yang kita lakuin malah sibuk kucing-kucingan perasaan. Hidup emang kampret sih!"
Aurora tertawa. Memang begini seharusnya. Dari dulu dia saja yang bodoh. Harusnya ikatan darah memang tidak bisa dipisahkan oleh apapun. Memangnya kalau Aurora kehabisan duit jajan, temen-temen SD-nya yang pada nyinyir itu apa yang mau dipinjem duitnya? Ya pinjemnya pasti ke Antariksa. Kalau ada PR juga pasti nyonteknya ke Antariksa, bukan ke mereka.
Yang diajakin jalan-jalan kalau lagi bosen atau pengen taichan tengah malem juga Antariksa. Yang kalau nonton di bioskop nraktir tiket sama beliin popcorn ya Antariksa. Yang ditanya teknik fotografi tapi bonus dijelasin mekanisme kerja lensa ya cuma Antariksa.
Gila ya, bisa gitu Aurora hidup seatap selama ini dan yang dia dengarkan adalah perkataan orang lain. Cuma omongan-omongan dangkal anak SD yang pipis kadang masih lupa cebok.
"Gue batu banget ya An. Kalau ada gue versi orang lain, gue juga pasti gemes pengen nampol sih."
"Banget! Terlalu ngandelin hormon sih lo."
"Sialan. Ternyata gue tetap cewek ya."
Dan di proses pendewasaannya ini, Aurora memang butuh Antariksa. Terlalu riuh isi kepala Aurora untuk melakakukan banyak hal. Bagaimana mereka berkompromi untuk kegiatan fundraising, bagaimana Aurora mencarikan koneksi untuk ruang belajar yang pernah dibangun Antariksa saat dia SMP untuk anak jalanan. Potensi abangnya yang ganteng ini memang nggak boleh dianggurkan.
"Gue juga mau dilibatkan dalam setiap hal di hidup lo yang biasanya selalu cuma lo diskusiin sama Ayah atau Bunda karena gue cuma bakal ngerecokin. Gue juga mau ngasih lo saran, nggak dipakai juga nggak apa-apa buat seru-seruan aja so called musyawarah keluarga."
"Dengan senang hati."
"Gue juga mau bonceng sepeda jelek lo itu. Nggak apa-apa panas-panasan asal lo mau gue ajak mampir beli es goyobod. Gue mau semua orang tahu kalau Antariksa idola Cakra Nusantara itu kembaran gue. Biar cowok-cowok mulai menyadari eksistensi gue."
"Iya, trus gue dihajar sama si Arlo."
Aurora langsung diam. Ups.
"Halah basi itu orang! Gue mau yang lebih ganteng. Siapa An temen lo yang ketua MPK itu? Kak Jordan bukan? Kenalin sih An."
"Belajar aja lo yang bener!"
Aurora mencibir. "Eh... An."
"Hmm...."
"Gue boleh minta satu hal nggak dari lo?"
"Anything."
"Putusin Alyn dan jadian sama Amara ya An."
***
Satu part lagi menujung ending! HAHAHAHA. Akhirnya Ya Allah.... Novel ini progressnya lama banget saking aku malesnya mau nulis. Hampir dua tahun dan beneran cuma dapet novel ini doang Ya Allah sedih ih :( kapan aku bisa produktif berkelanjutan gitu ya hm.
Dan buat semuanya yang masih setia sama cerita ini. TERIMA KASIH BANYAK, KALIAN LUAR BIASA :* mungkin ada di antara kalian yang udah greget banget dan kesel sendiri karena jalan ceritanya tapi masih mau tetap lanjut baca. Aku sangat menghargainya hehehe. Terbaeq lah kalian pokonya 😍
Oh iya, terimakasih juga buat reaksinya yang tak diduga-duga masih ada aja yang mau meluk Auriga. Semuanya masih dalam proses. Insyaallah nanti akan diinfokan untuk kelanjutannya 🙇
Dan, project tulisan setelah ini selesai yang akan aku garap adalah Chasing Echoes boleh kalau mau nengok haha. Semoga di sana aku bisa lebih produktif. Amin!
Kalau aku boleh nanya, kalian ada nggak sih cerita yang pengen banget ada yang ceritanya 'kalian' banget atau jenis cerita yang emang kalian sukai semua unsurnya? Coba kalau mau tulis cerita yang kalian mau di sini buat seru-seruan haha siapa tahu aku punya kesempatan buat bikin cerita dari ide cerita yang kalian mau hehe.
Maret, 18 2017 ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top