25 | Teduh Saat Subuh Menguarkan Kegelisahan
Teduh selepas Subuh masih menguarkan kegelisahan untuk keluarga Antariksa. Selesai mengaji, mereka masih berdiam diri di tempat masing-masing dengan posisi berhadapan. Kealfaan Ayahnya semalam membawa Aurora pulang menjadi bukti nyata kalau masalah kali ini tidak sederhana sama sekali. Meskipun lain anggapan Ayahnya.
"Mas, coba ajak si Ara bicara. Hadapi aja kalau dia meluap. Semalam Ayah memang nggak ngajak pulang, cuma mastiin keadaannya aja. Katanya dia mau di rumah eyang dulu. Mas coba pikirkan gimana cara efektifnya." Kata Ayah membuka percakapan pagi itu.
Antariksa mengangguk, "Iya, Yah. Mas coba. Bunda jangan sedih ya. Mas ngga mau Bunda ikut merasa bersalah. Di sini semuanya salah Mas."
"Iya Mas, Bunda bantu doa ya. Memang lagi masanya kalian cari jati diri. Semoga setelah ini kalian bisa rekat selayaknya Om sama Tante kalian, yang kembar tapi beda. Kembar tapi kompak. Kembar tapi akrab melebihi siapapun."
"Iya, Bunda. Maafin Mas yang belum bisa bikin Ara nyaman di rumah. Mas bingung harus bersikap gimana. Mas ya gini kan Bun? Mas sama Ara itu sama-sama mengalah untuk hal yang tidak tahu apa yang harus kita perjuangkan."
Ayah memilih menjawab, "Mas dengar Ayah. Dalam fase keputusasaan ada denial, anger, bargaining, depression dan acceptance. Mas tahu adikmu ada di fase mana. Cukup tiga tahun kita memenuhi egonya untuk jauh dari kita. Dan sekarang Ayah minta sama Mas buat nunjukin ke Ara kalau kalian berdua itu sama. Spesial dengan caranya masing-masing. Jangan ada mengalah lagi."
"Iya, Yah."
***
"Idih An, lo ngapa dah bikin sepeda lo ada boncengan begitu? Geli amat!"
"Ya mau boncengin lo, biar gue tunggu di perpustakaan sampai kelas lo kelar jadi bisa balik bareng."
"Ehm An... gimana kalau kita ngga usah buka identitas aja? Maksudnya yaudah gitu biar ngga ada yang tahu kalau kita sodaraan, kembar pula."
"Kenapa?"
"Ya... nggapapa. Gue males aja kalau ditanya ini itu sama cewek-cewek yang naksir lo."
*
"Aurora, kamu menghitung keliling lingkaran sederhana begini saja tidak bisa? Main terus ya jarang belajar? Kembarannya aja pinter kok, masa kamu kalah. Yasudah, kembali ke tempat. Antariksa, coba maju dan kerjaan soal di papan."
*
Ara nanti siang kita main ya ke rumahmu. Nanti kamu bilang Anta suruh ajari kita IPA ya."
"Wah, pialanya banyak. Ini pasti punya Anta semua ya? Aurora sih ngga pernah ikut lomba."
"Aurora mau lomba apa? Lomba main egrang?"
"HAHAHAHAHA...."
*
"Bun, kenapa si Mas jarang ikut lomba lagi? Padahal kan ada seleksi lomba nasional kok bukan Mas yang maju malah si Patrick? Emang bisa menang?"
"Mas ngga ikut lomba karena aku suka diejek temen-temen ya Bun?"
"Bun, aku mau ke Yogya aja ya ke rumah eyang. Aku ngga ada temen di sini. Di sana kan aku ada Anika. Aku ngga mau masuk SMP sama kaya Mas. Ya Bun ya... aku ke Yogya ya Bun? Amara udah pergi, aku ngga ada temen. Ya Bun ya?"
"Bun, nanti bilang sama Mas suruh lomba lagi ya. Kan aku udah jauh jadi ngga usah ngalah lagi kan udah ngga ada yang ngejek aku."
"Bun, semester depan biar aku aja yang ambil rapor sendiri atau Eyang aja yang ambil. Atau kalau Bunda mau ngambilin ngga usah ajak Mas ke sekolah ya. Aku males ditanyain temen-temen."
*
Aurora terbangun dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Saat begitu banyak orang bermimpi random seperti bisa menjadi pacar Cho Kyuhyun, Charlie Puth, bisa keliling dunia bareng Alliando atau Dono sama Kasino hidup lagi trus bikin film Maju Mundur Nyungsep. Entah kenapa Aurora malah bermimpi tentang beban-beban yang menjelma menjadi masa lalu yang buruk.
Mungkin karena dia tidur sore-sore. Pamali kan kata Eyangnya dulu.
Aurora lalu bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk mandi dan menunggu salat Maghrib. Setelah mandi, dia duduk diam di depan jendela yang masih terbuka. Tampak di depannya taman-taman dengan bunga yang didominasi warna merah. Warna kesukaan Bundanya... dan kakaknya. Entah kenapa rasanya damai sekali setiap memandang taman buatan ayahnya itu. Taman khusus buat Bunda. Juga ruang rahasia di kamar Ayahnya yang banyak berisi foto Bunda waktu muda. Aurora sering tak habis pikir kalau Ayahnya dulu norak sekali. Bisa-bisanya segitu cintanya sama Bunda yang sudah berumur saja masih banyak polah apalagi waktu mudanya, kan? Tuhan memang Maha Adil.
Dan ruangan itu sudah bertambah dengan foto-foto masa kecil hingga anak-anak Aurora dan Antariksa. Masa polos-polosnya saat semua masih terasa baik saja.
Saat terdengar adzan berkumandang, Aurora keluar dari kamar Ayahnya sebelum beliau menikah. Lalu berjalan ke arah mushola yang sudah ada neneknya. Si Om Arius sama Kakek ke masjid. Subhanallah ya si Arius.
Makan malam di hari ketiga saat di rumah kakek neneknya ini, Ayah datang lagi. Tiga hari berturut-turut Ayah datang. Ngga ngajak pulang, cuma nemenin belajar. Ya kemungkinannya Ayah sudah tahu konfliknya dengan Antariksa. Tapi Ayah ngga pernah bahas juga. Jadi Aurora juga diam saja.
"Dek, proyek Ayah yang di Australia udah selesai. Weekend kita ke Bandung mau? Ayah pengen petik stroberi deh."
"Boleh," jawab Aurora singkat karena masih sibuk dengan Aritmatikanya.
"Berempat aja ya, kamu jangan ngajak si Om. Nanti Bunda dimonopoli sama dia. Ayah ngga mau ah."
Aurora tertawa, "Ayah... Ayah. Plis deh." Ayah ikut tertawa.
Habis menemani Aurora belajar, Ayah akan pulang sekitar pukul sembilan. Pasti sampai rumah nanti sekitar pukul sebelas karena perjalanan Bogor dan Jakarta lumayan juga. Aurora sudah mau bilang Ayah tidak perlu datang, tapi Aurora senang juga ada Ayah. Bundanya juga ingin datang sebenarnya, tapi dilarang Aurora. Kalau Bunda datang pasti pasang wajah melas menyuruh dia pulang. Aurora kan lemah!
*
Suara EDM masih menghentak dengan lampu kelap-kelip yang membuat suasana terlihat remang tapi riuh. Dua anak muda berjenis kelamin laki-laki sedang duduk di meja bar dengan sloki gin ketiga. Keduanya masih saling diam menikmati minum masing-masing.
"Ar, lo lagi berantem sama si Sylvester?" Tanya si Kenzo ke Arlo.
Sylvester adalah sebutan teman geng Arlo yang berisi anak-anak yang mengaku diri mereka nakal, tampan tapi berbudaya untuk Aurora. Kenapa bisa Sylvester karena bagi mereka, Aurora itu mirip kucing hitam, galak di Looney Tunes. Mana sejak Arlo dekat sama Aurora jadi ngga seseru dulu lagi. Udah ngga mau diajak sebat lagi, nongkrong apalagi minum. Kalau ketahuan mereka nyamperin Arlo, pasti sama Aurora langsung dijewerin kuping mereka satu-satu. Tapi mereka semua sayang Aurora. Walaupun bagai kucing garong, Aurora di mata mereka itu tetap lucu dan menggemaskan. Sayangnya ngga bisa dicengin biar nangis. Yang ada kalau bikin kesal, kelar hidup mereka.
Dan Arlo minum lagi, bro. Pasti lagi ada kasus kan? Sudah tiga hari Arraz, Diaz dan Kenzo bergantian menemai Arlo di bar hotel miliknya ini.
"Jangan berisik lo Gondes. Diem aja kaya yang lain."
Kenzo menimpuk kepala Arlo pakai kacang kulit. "Lo ngga usah ikutan si Aurora manggil gue gondes, Kampret!" Kenzo lalu misuh-misuh ingat panggilan nista dari Aurora untuk dirinya. Gondes --gondrong ndeso-- karena rambut Kenzo yang agak gondrong, tapi dia ngga ndeso. Dia ganteng, kata emak bapak sama pacarnya.
"Kalau mau jadi nokip lagi jangan jackpot ya, Bos. Masa iya lo lupa cara nakal," kata Kenzo lagi.
"Lo ngompreng sekali lagi gue jejelin asbak lo," Arlo menjawab kesal.
Kenzo tertawa, "Maunya dijejelin yang enak-enak ah Bos."
Arlo tak menanggapi lagi.
Beginilah kehidupan Arlo setiap malam pasca konflik hatinya dengan Aurora dan Alyn. Cielah. Arlo mumet sendiri dan akhirnya memutuskan nyebat lagi, minum lagi. Kalau Aurora tahu, bisa dijambak sampai rontok dia. Itu sekelebat kesadaran sebelum dia mengambil gelas pertamanya. Lalu dia akan tertawa dalam hati atas reaksi dari bahasa kalbunya yang bilang 'kaya yang dia peduli aja, njir.' Dan Arlo bakal mulai minum sampai teler. Hari pertama dulu sampai harus Shafira yang menjemput. Seperti masa kelamnya dulu.
Paginya dia sampai malu sendiri di depan adiknya yang mengantarkan segelas susu ke kamarnya dan dia masih dengan sisa-sisa hangover-nya. Lalu malam berikutnya dia meminta temannya untuk menjemputnya. Gobloknya mereka bawa pulang ke apartemen, padahal Arlo minta dibawa ke rumah mereka. Gantian Arlo yang digoblokin, kan teman-temannya tinggal bareng orangtuanya. Bisa ada penyembelihan massal kalau mereka juga ketahuan minum.
Ya akhirnya tiga hari dia berakhir terus-terusan malu di depan Shafira. Tapi kalau ngga minum, beneran otaknya ruwet sekali dan kepalanya terasa mau pecah. Aurora, Alyn berkelebatan dalam kepalanya tak ada jeda.
Lalu isi gelas-gelas selanjutnya yang akan meredakan isi kepalanya yang sudah tegangan tinggi kaya sutet-sutet ruwet di Jakarta.
"Ar, udah Ar. Kelas lo bukannya besok ada ulangan ekonomi Pak Rangga?" Tahan Kenzo begitu Arlo akan menuang gin ke gelasnya. Dan Arlo menepis tangannya.
Sampai saat akan menahan Arlo entah untuk gelas yang keberapa, ponselnya di meja berbunyi tanda panggilan masuk. Ibunya. Kenzo panik antara melarang Arlo menuang minuman, angkat telepon dan melihat jam. Akhirnya Kenzo memilih mengangkat telepon di rest room.
Kenzo kembali dengan wajah bersalah, "Bro, gue disuruh balik nyokap Bro. Kalau ngga balik dalam waktu sejam mobil gue ditarik Bro."
"Ngghhh..." Arlo hanya menanggapi dengan gumaman ngga jelas.
"Balik kuy Ar. Gue beneran ngga bisa nemenin lo lama-lama," katanya lagi sambil menarik sebelah tangan Arlo yang dibalas sentakan Arlo dan tatapan matanya yang tajam.
Kenzo gregetan akhirnya bilang ke bartender untuk menjaga Arlo karena dia betulan harus segera pulang. Dia minta biar Arlo diinapkan di hotel saja.
*
"Kak Ara... aku lagi sakit... uhuk... uhuk... tapi Kak Alo ngga di rumah. Aku takut sendirian, Kak Ara mau jemput... uhuk... uhuk... Kak Alo ngga? Bantuin Shafi ya Kak... uhuk... uhuk. Kak Alo... uhuk... kayaknya di hotel."
Begitulah rentetan kalimat Shafira begitu dia mengatakan 'halo' dari ganggang ponselnya. Setelah menutup telepon dari Shafira dan menyuruhnya untuk tidur, Aurora segera bangkit dari kasur dan melirik penunjuk waktu di ponselnya, 00.17 AM. Aurora mengambil jaket dari gantungan tanpa berganti baju dan segera menuju ke kamar Omnya. Di gedornya dengan sedikit keras kamar Om-nya. Arius membuka pintu dengan wajah gregetan.
"Naon deui, Nona Geulis?" Tanyanya dengan sindiran.
Arius menghela napas panjang, "Mau kemana? Beli bajigur lagi? Jam berapa ya Non sekarang?"
"Ke Jakarta. Ayo buruan."
Arius bengong sebentar, "Ngapain woi? Buku peer lo ketinggalan di rumah?"
Aurora tak menjawab dan masuk ke kamar Arius lalu mencari kunci mobil dan langsung menyerahkan padanya sambil menarik lengannya.
"Sabar, Bocah! Gue anterin tapi kasih tahu ukuran kaki Amara ya?" Bilangnya.
Aurora langsung berhenti dan menatap horor Om-nya. "Lo ada kelainan seksual Om?"
"MAU NGASIH SNEAKERS ADIDAS YANG DIA POSTING DI PATH-NYA ITU. KATANYA DIA PENGEN," kata Arius galak.
"Lah ngegas. Ya santai ngapa. Iya ntar sekalian gue kasih tau ukuran bra-nya."
"ASTAGHFIRULLAH... lo bisa baca pikiran gue ya?"
***
Aurora sesekali melirik orang di bangku belakang melalui kaca mobil. Dia dan Om-nya tadi yang sama-sama pakai piyama dipandang aneh oleh orang-orang di hotel hanya untuk menemukan si kampret Arlo itu telungkup di atas meja bar dengan kondisi mabuk berat.
Sesampainya di apartemen awalnya Aurora tak mau membantu memapah Arlo. Dia betul-betul malas. Tapi melihat Arius kewalahan memapahnya akhirnya Aurora mau membantu. Sesampainya di kamar, Aurora menyentakkan lengan Arlo dengan kasar dan dia kembali telungkup di kasur.
"Bantuin lepasin sepatunya sama jaketnya tuh," kata Arius yang melihat Aurora memandang Arlo dengen ekspresi marah.
"Ngga sudi," jawab Aurora ketus sambil berderap meninggalkan kamar Arlo menuju kamar Shafira.
Dilihatnya bocah itu tertidur dengan selimut yang tersingkap di bagian kaki. Aurora kembali menyelimuti Shafira dan pelan memegang keningnya. Tidak panas. Mungkin dia hanya batuk.
Dilihatnya kamar Shafira yang cukup familiar bagi Aurora. Sampai matanya menatap bungkusan kado di meja belajar Shafira dan menghampirinya. Bungkusan berwarna hijau dengan gambar mobil-mobil dan label di atasnya bertulis, 'Untuk Kak Alo tersayang. Happy 17 and always be happy.' Lalu tulisan nama Shafira di pojok kanan bawah.
Oh... hari ini ya.
Terasa ada sesuatu yang menyentak kesadaran Aurora dengan halus. Hari ini... Arlo ulang tahun.
Aurora terdiam sesaat sampai kesadaran membawanya kembali dan dia menghampiri Shafira yang tertidur lelap. Adik Arlo yang sudah sangat akrab dengannya ini juga sudah tidak ditemuinya beberapa hari. Dulu biasanya hampir setiap hari Aurora pasti bertemu dengan Shafira. Entah itu karena Shafira yang ada di Gemintang atau Aurora yang sering ke apartemennya.
Dipandanginya Shafira lekat-lekat. Wajahnya mirip sekali dengan Arlo. Garis bibirnya, hidungnya dan alisnya yang lebat serta bulu matanya yang tidak terlalu lentik.
Shafi... kalau Kakak ngga lagi berantem sama Kak Alo, kita bisa bikin kue bareng ya buat Kak Alo. Kamu beli ya kue buat Kak Alo? Kamu baik-baik ya, jangan sakit. Gelendotin aja Kak Alo-nya kalau dia mau pergi main. Jangan boleh.
Aurora mengecup sekilas pipi Shafira dan melangkah keluar dari kamarnya.
Aurora kembali ke kamar Arlo yang sudah dalam posisi telentang dengan sepatu dan jaketnya yang sudah dibuka. Aurora benci sekali melihat keadaan Arlo yang begini. Demi apapun, Arlo sudah lama tidak pernah menyentuh alkohol lagi selama ini. Kenapa sekarang kumat lagi? Gara-gara Alyn?
Anjir. Aurora nyesek sendiri memikirkan kenyataan itu.
Udah seneng-seneng ketemu lo yang pengen gue percaya kenapa lo giniin gue sih Ar? Lo bikin gue susah lagi percaya sama orang. Lo kalau mau nyakitin orang kenapa harus gue ya? Kalau cuma mau bikin sakit kenapa mesti dateng? Kalau ngga bisa tanggung jawab sama perasaan gue, kenapa harus bikin gue jatuh cinta?
Aurora kangen. Kangen sekali.
***
Di dalam mimpi Arlo melihat matahari terbit dari arah timur yang perlahan membuat tubuhnya menghangat. Arlo melihat padang edelweis yang menggerumbul di Lembah Mandalawangi.
Arlo menguarkan pandangan, dan matanya menangkap sesosok gadis manis berjaket deuter berwarna abu-abu dengan garis biru sedang berada di balik lensa kamera. Nampaknya dia baru saja selesai mengabadikan kejayaan sang surya. Kabut-kabut tipis menyamarkan bayanganya. Sekelebat lalu bayangan itu hilang berganti menjadi anak kecil bergigi ompong sedang melambai ke arahnya. Selangkah dia maju, anak kecil itu hilang disapu kabut.
Arlo berjalan menuju bayang-bayang kedua sosok tadi nampak. Tak ditemukan siapa-siapa. Sampai ada sentuhan hangat dari tangan halus yang menutupi kedua matanya.
"Alyn...." kata Arlo lirih.
Dan sentuhan itu melenyap tak berbekas. Bersama lembah itu yang menjadi malam lagi. Tak ada hangat sinar matahari.
Arlo salah memilih jalan. Seharusnya jelas siapa sosok yang bisa menjangkau kedua matanya. Karena tubuh remajanya pasti tak mungkin bisa dijangkau gadis kecil bergigi ompong itu.
Pasti gadis berkamera tadi yang menyentuhnya hangat. Kehangatan yang ditawarkan dengan cuma-cuma dan ditolaknya dengan semena-mena.
*
Jantung Aurora rasanya merosot saat mendengar Arlo dengan mata terpejam menggumamkan sebuah nama dengan lirih tapi cukup jelas bagi Aurora yang sedang berdiri di sampingnya, memandangnya yang tertidur dengan damai.
Setetes air mata Aurora jatuh.
Kenapa lelaki ini jahat sekali?
Aurora mengalihkan pandangannya dan menyeka bulir air matanya yang terlanjur jatuh. Dengan kaki yang agak tergetar dan bahu yang jatuh, Aurora keluar dari kamar Arlo, kamar dengan nuansa putih khas lelaki dengan koleksi gundam memenuhi lemari kaca dan beberapa hot wheels serta race track-nya.
Aurora memanggil Arius yang duduk diam di sofa dengan wajah mulai mengantuk. Mendengar panggilan Aurora, dia bangkit menghampiri Aurora dan mengikuti langkahnya yang kembali ke kamar Arlo.
"Bantuin gue bopong Om," kata Aurora.
"Hah? Bopong kemana?" Tanya Arius bingung.
"Kamar mandi."
"Hah? Dia ngompol? Apa mimpi basah?"
Aurora berdecak, "Otak lo isinya sampah. Buruan ih bantuin. Mau pulang ngga?"
Akhirnya pasrah Arius mengikuti perintah aneh ponakannya. Dipapahnya tubuh Arlo menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Aurora mengisyaratkan untuk membawanya ke bathup. Posisi Arlo dibuat sedemikian rupa dengan seluruh tubuh dari kaki sampai kepala berada di dalam bathup.
Setelah dianggap sempurna posisinya, Aurora mulai menyalakan keran air dingin dengan nyala air kecil.
"Gila lo, Non. Mau bunuh orang lo?" Seru Arius kaget dengan kelakuan Aurora.
"Kaga elah. Tenang aja," sahut Aurora kalem. Arius bergidik ngeri.
"Lo kalau patah hati jangan begini amat kenapa? Rukyah aja mending biar hati adem."
"Harus ada yang ngajarin dia tentang menghargai hidup."
Aurora keluar dari kamar mandi, mengacak meja Arlo sebentar dan menemukan apa yang dia cari. Permanent boardmarker berwarna merah. Aurora memindai ruangan dan senyum sinis tersungging begitu menemukan tempat yang dirasa pas.
Aurora mulai menggoreskan tinta spidol itu di kaca lemari baju Arlo dengan membabi buta. Diiringi sholawat dan dzikir dari mulut Arius yang menganggap Aurora kesurupan.
Perlu ada yang mengajarkan pada Arlo menghargai hidup. Menghargai hidup yang berarti menghargai kesehatannya. Aurora marah dan benci melihat Arlo minum lagi walaupun itu bukan urusannya. Menghargai hidup yang berarti menghargai orang-orang yang sayang padanya, Shafira, teman-temannya, orangtuanya dan... dia.
*
Arlo megap-megap karena tak bisa bernapas. Mulut dan hidungnya kemasukan air sampai dadanya terasa sakit. Sontak dia bergerak liar dari dalam bathup sampai airnya berkecipak keras. Dia duduk dengan napas ngos-ngosan.
Dia terbatuk-batuk mengeluarkan air dari dalam tubuhnya dengan sakit kepala yang menyerangnya dengan kuat. Sambil memijat pelan pelipisnya, dia mencoba mengatur napasnya. Begitu dirasa sudah kembali normal dia keluar dari bathup dan mendapati dirinya yang sangat kacau dari pantulan kaca. Matanya merah dan wajahnya kuyu serta dari rambut serta dagunya masih meneteskan air.
Brengsek! Ini pasti kelakuan si Kenzo sama anak-anak.
Arlo tahu dirinya ulang tahun hari ini karena kemarin ada teman akrabnya waktu SMP yang mengucapkan terlalu cepat sehari. Dan dia yakin dirinya ada di bathub itu kerjaan gila teman-temannya. Dia mengambil handuk yang terlipat rapi dari lemari di bawah wastafel dan mengelap wajahnya.
Kepalanya masih berdenyut dengan hebat dan dia butuh aspirin segera. Dia harus segera sober atau dia akan membuat Shafira sedih lagi di hari ulangtahunnya.
Begitu dia keluar dari kamar mandi untuk mengambil baju bersih, tubuhnya mendadak kaku. Melihat tulisan berwarna merah dengan huruf kapital itu ada di kaca lemari bajunya.
Bukan teman-temannya yang melakukan ini semua. Tapi dia. Aurora. Arlo tahu betul itu hanya dari tulisan yang mengekspresikan kemarahan dengan banyak makna itu. Tulisan persis dengan kata yang dilontarkan saat dia berdebat dengan Aurora tentang rokok.
Suara adzan Subuh lamat-lamat terdengar membawa pikiran Arlo berkelana sejenak memikirkan kemungkinan yang dia hadapi semalam saat keadaan tak sadarnya.
Ada Aurora di sini semalam. Ada Aurora. Dipandanginya tulisan itu lekat-lekat. Subuh saat teduh itu membawa kegelisahan yang semakin menjadi dalam hatinya.
KALAU GOBLOK NGGA USAH HIDUP!!!
***
Astaga semoga ngga pada lupa sama cerita ini ya hehe. Terimakasih bagi yang masih setia menunggu. Terimakasih buat yang semangat nagih cerita lewat wall, message, askfm maupun komentar. Kalian awesome sekali! 😍
Semoga aku ngga males-malesan lagi lanjutinnya haha.
Oh iya yang ada di Bogor, Jakarta boleh loh kalau ada yang mau ngajak ketemu (trus nraktir) wkwk. Soalnya aku bakal di sana beberapa hari ayeyeye 🙆🙆🙆
September, 3 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top