23 | Pretensi Bergema

Aurora : om lau ga kesini in 15 minutes kita kelar

Om Arius : kalau perusahaan bangkrut gue pasti dipecat jd adik bapak lo

Aurora : oh come on cupu boy. buruan!

Om Aurius : iya bebi devil cimit cimit iye. anything for u kan?

Aurora yang baru turun dari uber setelah tiga puluh menit sejak mengirimkan iMessage tersebut sudah dihadang tangan bersedekap milik omnya. Sayangnya Aurora lagi ngga bisa diajak cengengesan dan Arius sangat tahu itu. Untungnya dia tak cari perkara dengan datang telat. Helm abang gojek cukup kooperatif membuat tatanan rambut dari barbeshop langganannya amburadul. Kuningan ke Kelapa Gading yang lumayan jauhnya disambut kedatangan telat keponakan cantiknya. Cakep bener!

Aurora langsung melewati Arius tanpa sepatah katapun. Begitu sampai di meja registrasi, Aurora dengan jempolnya menunjuk Arius pada petugas dan dia sudah ngacir ke dalam.

Mengikuti Aurora yang sudah menunggunya di depan kamar ganti, Arius lalu menyerahkan celana training midi dan kaos yang dipesan Aurora. Yah sampai segitunya sih perjuangan Om Arius, masuk mall dulu beli pesanan dadakan Aurora. Sungguh keponakan keji.

Begitu Aurora selesai ganti baju, begitu pun dengan Arius. Mereka berdua lalu memakai kaos kaki lalu mengikuti instruksi dari petugas melakukan pemanasan dan penjelasan mengenai durasi dan tata cara 'menikmati' tempat ini. Setelah selesai, Aurora langsung menuju tempat incarannya sejak tadi. Dengan sekuat tenaga dia langsung berlari dan loncat memantul di papan trampoline sampai dia bisa melonjak tinggi dengan energi berlebihnya. Atau energi negatif berlebihnya.

Kalau sudah begini Aurora tak akan mau diusik. Biarkan dia bagai orang kesurupan loncat-loncat dari main court ke wallrunner lalu wallclimbing. Arius akhirnya menuju ke basketball area dan bermain sendirian kaya jomblo ngenes. Emang jomblo sih. Jomblo dan babu. Cakep bener! Mending Arius ke tempat ini pas malam yang alih fungsi jadi bounce night yang ada lampu disko dan live DJ music.

Aurora itu tipikal sekali, kalau sudah diam dan tak mau bicara berarti sedang ada yang mengusik pikirannya. Selain itu, dia pasti beser. Ngga ada elit-elitnya. Tapi ini masih mending, dulu Arius pernah ditelepon jam satu dini hari dan disuruh ke Yogyakarta secepatnya karena dia stres UN. Alih-alih merepotkan emak bapaknya. Selalu om-nya yang ganteng itu yang jadi korban. Cakep bener!

Akhirnya setelah dua jam kemudian --yah, Arius harus bayar lagi untuk durasi tambahan-- Aurora merebahkan diri di foampit dan matanya menerawang ke langit-langit. Untung tempatnya sedang sepi dan hanya ada beberapa ibu-ibu kelebihan lemak yang sedang loncat-loncat sambil ngerumpi apa sebaliknya (?. Biasanya kalau rame foampit adalah favorit anak kecil dan pasti Aurora bakal keinjek-injek kalau rebahan di sana. Arius mendekati Aurora yang menunjukan wajah datar tanpa emosi sedikitpun. Hanya terlihat tetesan keringat yang mengalir di wajahnya.

"Udah puas fucking hormon release-nya?" Tanya Arius yang mencoba duduk tegak di antara busa-busa kubus.

"Bakal lebih puas kalau pas mumbal-mumbal tadi gue ngomong ABB-words, Om," jawab Aurora tanpa menoleh sedikitpun.

"Bisa dikutuk ibu-ibu yang lagi ngerumpi di sebelah sana lo ntar." Arius ngeri, kalau sudah bawa-bawa ABB words berarti Aurora sedang marah. Ngga perlu tahulah apa ABB words itu, bikin tambah dosa kalau tahu.

Arius melirik lagi Aurora, "Kenapa lo ngga kaya orang normal lainnya yang kalo lagi kesel lampiasin aja ke orang yang bikin lo marah secara langsung. Seneng amat babuin gue."

Aurora akhirnya melihat Arius lalu berdecak, "Oh come on. Being mainstream is not my way."

Arius sontak mencibir, "So, being antimainstream is a new sexy?"

"Now you know," tukas Aurora.

Arius makin mencibir, "Ngga dengan ngebabuin gue juga, Bocah!"

Aurora mengerling masih dengan wajah datar, "Di situ letak sexy-nya."

Arius mendesis, "Untung sayang. Jadi kenapa? Si cowok yang lo suka siapa itu namanya masih merajuk kaya bayi minta kempeng?"

Ada yang berdesir dalam diri Aurora saat menyadari siapa 'cowok' yang dimaksud oleh om-nya. Yah, selain pada Amara, Aurora juga menceritakan perihal Arlo kepada Arius. Sudah sejak dulu begitu kalau om-nya ini adalah penampungan sampahnya.

Aurora menggeleng, "Gue kesel sama si ANTAr Kota ANTAr Provinsi keponakan kesayangan lo itu, Om." Jawab Aurora ngegas.

Arius mengernyit, sudah sekian lama sejak terakhir kali dia mendengar Aurora ada masalah dengan kembarannya itu. "Kenapa sama dia?"

"Gue males cerita sama lo. Pasti lo belain dia. Ngerti banget lah gue," tukas Aurora dengan nada kesal.

Arius garuk-garuk kepala, "Denger ceritanya aja belum mana boleh ambil kesimpulan begitu. Gini-gini gue objektif lho."

Aurora berdiri, "Yaudah gue cerita. Tapi sambil makan. Jangan di kafetaria sini, makanannya vegetarian semua. Kita ke mall depan aja ya?"

"Bilang aja mau ditraktir makan. Gitu aja pake nyudutin segala."

"Ayo buruan!"

***


Kelar sudah hidup Arius hari ini. Tadi kakaknya a.k.a bapaknya Aurora sempat telepon dengan nada tak terlalu enak didengar karena dia mangkir dari meeting. Kalau aja kakaknya tahu anaknya yang bikin dia mangkir. Setelah makan siang yang sangat terlambat, Aurora minta muter-muter mall dan tak ada segan-segan masuk ke toko satu ke toko yang lain dan membeli sesuatu. Arius yang suruh bayarin. Arius membatin, ternyata cewek di mana-mana sama aja. Kalau lagi stres pelampiasannya belanja. Kurang ajarnya, udah dibabuin, diporotin pula dia. Untung keponakan.

Begitu Aurora ada gelagat masuk lowepro camere shop dan meilirik-lirik lensa wide yang harganya ngga karuan, Arius langsung menarik Aurora keluar. Dengan iming-iming es krim sepuasnya. Demilah, mending habis beberapa ratus ribu untuk es krim daripada beberapa juta buat lensa. Cukup sudah sneakers dan alat gambar yang dibeli Aurora tadi.

Aurora makan es krim dengan lahap. Bisa-bisanya masih muat perutnya. Dan dia belum ada cerita apapun tentang masalahnya dengan Antariksa. Arius sudah mulai kesal menunggu. Dia masih harus balik kantor dan lembur untuk presentasi ke klien besok.

"Heh Bocah, lo ada niat cerita ngga sih sebenernya?"

Aurora mengangkat kepalanya, "Lo mau balik Om? Balik aja gih. Temen gue lagi on the way ke sini, kok. Gue cerita sama dia aja ntar."

Sumpah serapah nyaris keluar dari mulut Arius. Ya Allah untung ponakan. Arius istighfar dalam hati.

"Eh, tapi tungguin aja deh Om mendingan. Gue males nunggu sendiri."

"Iya," jawab Arius pasrah lalu melahap es krimnya dengan tak bernafsu.

Tak berapa lama kemudian, ada yang memutus kegiatan Aurora dan Arius menikmati es krim saat ada panggilan untuk Aurora. "Ra!"

Aurora dan Arius sontak menoleh ke sumber suara. Aurora melambaikan tangan pelan. Arius?

"Subhanallah," ucapnya lirih yang masih mampu didengar Aurora. Radar playboy om-nya langsung siaga satu. Arius tak segan mengikuti langkah Amara sampai dia duduk di samping Aurora.

Melihat Arius yang masih diam mencuri pandang, Aurora menegur. "Kedip kali. Gitu cara kerja playboy? Kaga elit amat. Disapa Amara tuh Om belum lo jawab."

Arius berdeham pelan dan memasang senyum terbaiknya, "Halo temennya Aurora. Siapa tadi namanya?"

Amara tersenyum, "Om Arius lupa sama aku? Aku Amara, Om. Anaknya Papa Ziko."

"Lah lo anaknya Om Ziko? Buset udah gede aja. Lah iya ya gede kan lo seumuran sama si kembar yak. Apa kabar Amara?" Tanya Arius sok kenal. Dia memang tahu Amara, tapi hanya tahu sebatas dia sahabat keponakan kembarnya. Juga anak dari sahabat kakaknya.

"Baik Om. Om apa kabar? Kak Aquila apa kabar?" Tanya Amara kemudian.

"Baik, gue baik. Aila juga baik. Dia lagi di Makassar sekarang," jawab Arius mencoba cool. Amara ini kenapa cantik sama imutnya begini banget sih, bikin Arius gemas! Mau dibawa pulang trus ditimang-timang sayang sama dikecup-kecup lucu. Arius langsung istighfar, ingat kalau Amara masih bocah.

Amara mengangguk sekilas sambil senyum lalu mengalihkan perhatian ke Aurora. "Cakep banget ini anak manusia bolos kelas trus nyangsang di sini. Balik yuk Rang, capek banget gue." Tanpa banyak penjelasan, begitu Antariksa mengirimkan pesan padanya untuk menemani Aurora, dia tahu ada yang tidak beres. Terlebih Aurora bolos kelas sejak istirahat terakhir. Dan pesan dari Antariksa juga mengisyaratkan kalau mungkin saja masalahnya ada kaitannya dengan Antariksa juga. Apa dia sudah jujur?

"Ke rumah lo aja ya. Gue lagi males balik," jawab Aurora.

Amara mengangguk. "Iya yaudah. Gue ke toilet bentar ya."

Begitu Amara menghilang, pipi Aurora langsung ditarik gemas sama Arius. "Apaan sih, Om? Sakit tahu!"

"Itu temen lo kenapa cantiknya begitu banget sih. Jomblo kan? Bagi nomernya, Dek!" Kata Arius semangat.

Aurora mendegus, "Ada maunya aja lo pake Dek! Mana mau si Amara sama lo, playboy ngga verified ala-ala."

"Siapa sih yang playboy, Ponakan? Gue masih virgin ini. Polos kaya dedek gemes."

"Cuma playboy ngga verified yang bilang dirinya dedek gemes. Inget umur Om. Lagian Amara ngga akan bisa lo mainin," tukas Aurora. Baginya yang sudah tahu 'anti komitmen' om-nya, menjauhkan Amara darinya adalah hal yang harus dilakukan. Lagian, Amara juga sudah kebal modus-modus kacangan begitu.

"Demi Amara gue rela tobat, Ponakan. Demi Amara, gue rela berkomitmen."

"Idih geli lo ah. Jago lo kalau bisa naklukin Amara. Selama hidup dia cuma suka sama satu o...rang," suara Aurora melemah seiring ingatan menyambarnya. Satu orang!

Melihat raut wajah Aurora, Arius menyadari sesuatu. "Si Anta?"

Aurora diam tak menjawab. Berarti iya.

"Sini Dek bagi nomernya si Amara, biar gue buka mata, hati dan pikirannya."

Aurora kembali menguasai dirinya. "Idih ngga ada ya gratisan. Sahabat gue tuh, the precious ones."

Arius rasanya ingin menempeleng Aurora, "Ngebabuin gue seharian belum cukup? Jajan nyaris empat juta belum cukup?"

"Dih ngungkit. Gasuka tuh Amara orang kaya gitu. Dia sukanya yang loyal."

Arius berdecak, "Yaudah mau apalagi?"

"Siniin hape lo biar gue add-in kontak LINE-nya."

Arius menggoyangkan jari telunjuknya. Tak mau ketipu muslihat Aurora ke sekian kalinya. Terakhir kali ponselnya dipegang Aurora, saldo di rekeningnya berkurang beberapa juta dengan jejak pembelian canvas art dan panel art dari Amazon gara-gara Aurora pusing habis ulangan Matematika. Lukisannya juga sampai sekarang masih terbungkus rapi di rumahnya.

"Yaudah kalau ngga mau. Amara malah untung ngga dipedekate-in sama orang kaya lo."

Menghembuskan napas lelah Arius menyerahkan ponselnya. Aurora buru-buru membuka aplikasi e-banking milik om-nya. Duh anjir gue kaya jual temen. Lo gue hargain sepuluh juga ngga ngambek kan Sam? Demi lensa wide nih. Seiring perang batinnya yang merasa 'menjual teman', Aurora mentransfer uang ke rekeningnya. Sepuluh juta. Lalu Aurora memasukkan nomor Amara ke ponsel om-nya.

Saat dikembalikan, Arius langsung mengecek riwayat transaksinya. Dan cuma bisa mengucap kalimat istirja', innalillahi wa inna illaihi raji'un. Mulai lelah dengan kelakuan keponakannya.

***

Setelah berbasa-basi sebentar dengan Om Ziko dan Tante Jenny yang baru pulang dari kantor, Aurora dan Amara masuk ke kamar. Setelah salat, mereka mendinginkan kepala dengan mendengarkan lagu Jazz sebelum masuk ke menu utama.

"Jadi, ada kejadian apa tadi?"

Aurora sebenarnya malas sekali mengingat kejadian tadi. Tapi dia merasa perlu tetap sober untuk bersikap kedepannya. Dan, biasanya Amara selalu waras untuk memberikan nasehat dan dia memang butuh orang untuk bercerita.

Akhirnya dia ceritakan semua detail kejadian siang tadi. Lengkap dari semua manusia yang terlibat, adegan sinetron, kata per kata yang mampu didengarkan sampai ekspresi masing-masing orang, termasuk ekspresi tanpa ekspresi saudara kembarnya. Kalau boleh dikatakan, adalah orang yang paling tak dia sangka terlibat dengan semua kekusutan ini.

"Lo kenapa maafin si Arlo gitu aja, Rang? Biasanya moncong lo jalan duluan timbang otak lo. Maki-maki kek. Kesel gue, itu cowok sok kecakepan amat sih." Reaksi pertama yang keluar dari mulut Amara begitu Aurora selesai bercerita. "Sedikit kesalahan dia bilang? Kok lawak banget," lanjut Amara lagi.

Aurora menjawab dengan gelengan.

"Jadi Arlo mantannya si Alyn? Gila, kok shitnetron bener hidup lo, Rang. Diem aja lagi lo ish. Tampar kek, tendang kek, ludahin kek. Emosi gue!" Kata Amara masih meledak-ledak. Seukuran Amara yang biasanya tenang saja bisa langsung meledak begini, bahkan di tengah Aurora bercerita tadi sudah gatal ingin menyela. Dan yang dilakukan Aurora tadi siang hanya diam saja. Ada apa dengan dirinya?

"Gue kan ngga bisa nonjok Sam. Gue bisanya nembak pake ketapel, tapi masa iya gue harus bikin dulu," sahut Aurora terkekeh pelan.

"Rang, lo baik-baik aja?" Tanya Amara dengan suara yang sudah melembut.

"Klise lah. Gue juga awalnya marah. Cuma yasudahlah, untung pas di sana gue juga sadar sesuatu. Siapa gue bisa ngatur hati orang mau berbuat apa ke kita kan? Mungkin lebih ke kecewa kali ya. Bisa gitu dia sampai hati ngelakuin itu. Cuma ya balik lagi, siapa gue ngatur hati orang. Biar ngga berkepanjangan, mending sama-sama sadar diri buat yaudah kelar sampai tadi aja semuanya."

Aurora, Aurora. Punya dosa apa anak ini sampai orang-orang tega mempermainkannya sedemikian rupa? Tidak orang yang disukainya, bahkan ini sampai saudara kembarnya sendiri tega. Antariksa terlambat! Dia terlambat menyelamatkan semuanya. Amara nelangsa melihat Aurora yang sedang terlentang di atas kasurnya dengan mata menerawang ke langit-langit. Amara tahu, tidak mugkin Aurora sebaik yang dia kira. Dia cuma sok kuat. Dan Amara tahu, kini saatnya dia jujur. Dia tak mau terlambat mengakui sebuah kesalahan.

"Rang...."

"Yep?"

"Gue tahu tentang Antariksa sama Alyn. Sorry gue belum ada cerita sama lo. Gue juga baru aja tahunya, Rang. Gue belum ngomong sama lo karena kemaren-kemaren mood lo lagi jelek banget gara-gara masalah Arlo. Maafin gue ya, Rang?"

Aurora masih diam beberapa saat sampai Amara beranjak duduk di sampingnya. Dan perkataan Aurora kemudian membuat Amara jadi ikutan tercubit lagi, "Gila ya, sebenernya kalian anggap gue ini apa sih?" Pertanyaan Aurora dengan nada datar.

"Kita cuma ngga mau lo sakit pas tahu yang sebenernya Rang. Makannya gue mungkin juga si Anta mau nyari waktu yang tepat buat jujur sama lo."

Aurora langsung menyambar, "Ngga ada yang tersisa buat disakitin Sam. Saudara gue, sahabat gue, orang yang gue suka lebih milih berspekulasi sendiri kalau menyimpan kebohongan akan lebih baik buat gue. Gue penasaran, sebego apa ya gue selama ini di mata kalian."

"Ngga gitu Rang, demi Tuhan. Gue juga ngga ngerti kenapa masalahnya bisa jadi serumit ini. Gue juga susah nyerna waktu si Anta bilang ini itu tentang dia sama Alyn sampai akhirnya gue tahu kalau Arlo juga ada hubungannya sama semua ini. Anta pun ngga tahu Rang kalau mereka itu pernah pacaran."

Lagi Aurora memilih bungkam. Pikirannya kusut lagi. Badannya yang cukup lelah ternyata belum mampu membuat perasaannya membaik. Hatinya sama-sama lelah. Kalau Amara saja juga berbohong, entah Aurora mau percaya siapa lagi setelah ini.

"Gue balik ya," kata Aurora seraya bangkit dari posisi tidurannya.

"Makan malam di sini sekalian, Rang. Tidur sini juga boleh. Lo boleh nganggep gue ngga ada. Tapi seengaknya gue liat lo ngga aneh-aneh. Atau mau gue temenin di rumah lo?"

Kalau Aurora bukan cewek dengan ego selangit mungkin dia sudah menangis sekarang. Dia benar-benar lelah. Amara tahu itu. Dan terakhir kali dia menangis adalah saat Amara pergi dulu. Setelahnya, Amara tak cukup punya keberanian untuk menyapa Aurora lagi. Sampai akhirnya kebaikan hati Aurora membawa mereka pada sebuah persahabatan lagi. Dan Amara tak mau menyiakannya lagi. Kalau boleh, Amara juga ingin memikul beban dan kekecewaan yang dirasakan Aurora sekarang.

"Rang, lo maafin gue kan?" Tanya Amara sedikit gentar. Tak dipungkiri, dia juga mengambil andil kesalahan dengan tak jujur sejak awal. Kalau saja dia jujur, mungkin Aurora ngga akan sekecewa ini.

Aurora mengangguk. "Iya," jawabnya lirih. Tak diantisipasinya, Amara langsung menghambur memeluknya dan tertawa lebar sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali.

"Rang...," panggil Amara lagi begitu pelukan sudah diurai.

Aurora hanya mengedikkan dagunya.

"Kalau Antariksa, lo maafin juga kan? Gue ngga mau lihat kalian berantem."

Aurora terdiam. Lama. Diam yang hening dan Amara tak berani menyela atau menuntut jawab segera. Ditunggunya sampai Aurora angkat suara. Sampai beberapa menit kemudian Aurora bicara dan Amara tak sadar menghembuskan napas yang di tahannya beberapa kali. "Gue marah Sam. Gue marah sama dia."

***

Aurora kembali ke rumah diantar supir Amara dan Amara saat jam menujukkan pukul sebelas malam. Untungnya Amara tadi sudah memberitahu pada Antariksa dan Tante Alfa kalau Aurora ada di rumahnya.

Sampai di rumah, Aurora melihat keadaan sudah sepi. Dia langsung berlalu ke kamar membawa barang belajaan hasil merampok om-nya. Walaupun sedang kesal, dia untung juga. Belanja gratis juga dapat duit sepuluh juta. Besok-besok semoga tak ada complain dari Amara yang mengatakan kalau om-nya melancarkan jurus receh pedekate.

Saat tiba di tangga terakhir, Aurora menahan napas sejenak karena mendapati Antariksa sedang menyandar di pintu kamarnya. Bangsat!

Mendapati ada suara di depannya, Antariksa langsung mendongakkan kepala dan menuju arah langkah kaki yang beradu degan lantai. Ditemuinya Aurora di ujung tangga terakhir diam mematung. Tak memandangnya sama sekali.

Ternyata Om Arius dan Amara tak mampu meredakan kemarahan Aurora. Jadi, apakah Antariksa layak mengajak Aurora berbicara saat ini?

Sama-sama mematung dalam kondisi yang mencekam, akhirnya Aurora membuat pergerakan lebih dahulu. Dia berjalan menuju pintu kamarnya. Jaraknya saat ini dekat sekali dengan Antariksa. Entah kenapa tiba-tiba seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Orang di sampingnya ini, untuk kesekian kalinya membuat dia benar-benar lelah hidup seperti ini. Dia lelah berada satu atap dengan Antariksa. Dia lelah tidak dihargai. Dia lelah dibohongi. Dia lelah merasa dikasihani. Dia lelah Antariksa mengalah untuknya.

Dan kemarahan yang terbit tidak bisa dihindari.

Aurora menurunkan handle pintu dan masuk ke kamar lalu menguncinya. Mengabaikan sepenuhnya makhluk di depan kamarnya yang sepatah katapun tak berani berucap.

"Rang, gue sayang sama Abang lo. Sejak kejadian di Aussie itu gue juga marah sama dia. Beraninya dia nembak gue di saat dia lagi sama Alyn. Dia nyimpen semua perasaannya sendiri selama ini. Dia jadian sama Alyn karena ada hal yang harus dia lakuin. Dia itu bego kalau urusan kaya gini. Dia pikir dia cukup mampu nyelesaiin semuanya sendiri. Tapi nyatanya ngga. Tanpa sadar dia malah nyakitin gue sama lo. Cuma gue tahu dia ngga bermaksud. Dia cuma malaikat yang lupa caranya jadi manusia, Rang."

"Kalau semua orang berdalih ngga bermaksud, Hitler sama Stalin masih bunuh-bunuhin orang."

"Dia ngga jujur sama lo karena dia mau ngelarin masalahnya Alyn sama Arlo dan biar seterusnya lo bisa sama Arlo tanpa masalah Rang. Antariksa sayang sama lo."

"Bertahun temenan baru kali ini lo lucu, Sam. Tapi maaf, gue bukan orang yang rela merangkak di belakang punggung orang lain buat sebuah perlindungan. Gue ngga butuh."

"Anta pasti sedih lihat lo kaya gini."

"Lo ngga tahu apa-apa, Sam. Lo ngga tahu rasanya jadi bayang-bayang. Lo ngga ada saat gue butuh teman."

Dan saat memutar percakapan dengan Amara tadi tanpa terasa tangan Aurora mengepal. Saat dia berada di kondisi paling tersakiti sekalipun, tetap dia yang disalahkan.

Berarti tidak cukup rasanya bertahun-tahun lalu bahkan sampai saat ini, sikap mengalahnya untuk Antariksa. Sudah sejauh apa pengorbanannya untuk seorang Antariksa demi dia nyaman hidup di muka bumi ini. Ternyata dia masih kurang berkorban.

Ternyata tidak ada yang sepaham dengan dirinya bahwa yang dia lakukan selama ini adalah pengorbanan versinya untuk Antariksa. Ternyata rasa mengalahnya selama ini masih belum cukup.

Apa Aurora tidak boleh lelah?

Tanpa sadar kepalan tangan itu berlari menuju sebingkai foto di atas meja. Foto sepasang kembar yang masih berusia dua tahun. Masa saat semuanya masih baik-baik saja. Dan dua detik kemudian, bingkai itu jatuh dengan kaca berserakan.

Dan permasalahan Arlo tak akan menjadi prioritas dalam pikirannya kalau saja Antariksa tak bermain terlalu jauh. Dan Aurora benci sikap sok pahlawan Antariksa itu.

When he gotta save the world but his twin confounded by him.

***

Antariksa yang masih berada di balik pintu mendengar kaca yang beradu dengan lantai. Dan dia tahu betul ada apa saja di nakas samping tempat tidur Aurora. Nakas sebelah kiri ada foto keluarganya dan sebelah kanan ada foto mereka berdua saat masih bayi. Yang kata Aurora pipi Antariksa saat bayi kaya bapao, montok minta diciumin.

Dan Antariksa paham dia membuat kesalahan besar kali ini. Mungkin kesalahan paling besar. Saat satu setengah tahun yang lalu dia dan Aurora menjanjikan untuk saling jujur dan terbuka. Jangan ada mengalah lagi. Jangan ada perasaan tak nyaman lagi.

Dan ternyata semakin mereka beranjak dewasa dari hari ke hari, hal itu mulai luntur lagi. Aurora mulai menjauh lagi, Antariksa mulai mengalah lagi. Antariksa memberikan ruang pada Aurora untuk mendapatkan afeksi lebih. Antariksa menuruti semua kemauan Aurora untuk merahasiakan status mereka. Sampai akhirnya Antariksa berkeputusan sendiri untuk menyimpan berbagai rahasia sendiri. Dan ternyata itu salah.

Ra, kapan ya terakhir kali kita lupa kalau seharusnya sekat ini ngga perlu ada?

Buka pintunya Ra, gue pengen ngomong.

Ra, let's stop your growning into a bitter and jaded individual.

Ayo ngobrol selayaknya kita ini saudara kaya orang normal lainnya. I'll give you a proper closure and explanation. Buka pintunya, Aurora.

***

Oh My God. Kutak kuasa dengan yang menye-menye. Dan ini mungkin akan berlaku buat beberapa part kedepan. Ceritanya makin kampret dan mbulet kaya mbako semprul ya hahaha. Tenang aja ini ngga akan panjang-panjang kok (semoga). Ane tahu kalian sudah muak wkwkwkwk

Oh iya bagi yang ingin tanya-tanya, kirim-kirim salam, request lagu (nah loh berasa radio) bisa langsung ke ask.fm ku ya (ask.fm/nauraini). Kalian boleh tanya apa aja, kalau aku bisa insyaallah kujawab. Mau nanya kabar Arlo juga boleh. Mau gombalin Om Arius boleh juga HAHAHAHA

Selamat hari lebaran ya Teman-teman. Minal aidzin wal faidzin. Saya dan segenap crew INGUOY dan Compliatwin minta maaf atas semua salah dan khilaf ☺ Jangan lupa yang kebanyakan THR boleh kirim duitnya ke rekening Aurora ya HAHAHA

9 Juli 2016 ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top