21 | Tabir Mulai Tersingkap
"Kenapa Nicholas Hoult cupu bener ya tadi? Mana udah action-nya sedikit. Ini Apocalypse atau Wolvrine kurang banget ngga sih gregetnya? Marvel lagi kenapa deh ya," cerocos Alyn begitu mereka berdua sudah duduk di food court usai nonton film.
Antariksa cuma ah eh oh doang, mana lah peduli dia sama X-Men atau Marvel. Orang sepanjang film diputar tadi dia berusaha tegar untuk tidak berkomentar kekurangan di setiap adegan. Salah dia sih kalau jiwa reviewer di goodreads terbawa untuk film juga. Entahlah, salah Antariksa mungkin kalau dia tak suka film superhero dan lebih suka sci-fi atau fantasy dystophia maupun utopia. Harry Potter, Lord of The Ring yang semua umat suka, bolehlah. Yang paling-paling disukai dia ya apalagi sih kalau bukan semacam Imitation Game dan The Theory of Everything. Lainnya, yang sering dia tonton adalah seri petualangan semacam Raiders of The Lost Ark dan animasi.
Dia dan Aurora tak ada gelagat menyukai drama. Aurora juga mengikuti serial DC dan Marvel lewat komik dan film. Suicide Squad yang sedang ditunggu-tunggunya. Jared Leto dan Bohemian Rhapsody adalah perpaduan yang sempurna, katanya.
Sudah bisa ditebak lah kalau Antariksa kadang terkontaminasi kata cinta ala-ala ya itu karena Bundanya yang jago ngedrama lebih dari film drama. Kalau sudah nonton drama Antariksa suka kasihan sama Ayahnya yang seringkali dipaksa Bundanya untuk menemani. Masih beruntung kalau bajunya tetap perawan, seringnya Bunda kalau nangis suka meper air mata atau parahnya, ingus. Kalau sudah begitu, Ayah akan menatap Antariksa dengan memelas 'tolong Ayah, Mas. Tolong Ayah.' Aurora ngakak jumpalitan, Antariksa menatap prihatin.
Kalau Ayah lagi pergi, Antariksa jadi korban. Karena Aurora ngga enak dipeluk katanya. Lagi, mana mau jiwa maskulin Aurora ternodai adegan ala-ala.
Kalau Antariksa pikir-pikir, industri perfilman itu bisa menjadi wadah yang efektif buat menyebarkan paham secara cepat dan efektif. Media mencuci otak yang ampuh. Mungkin dia harus mulai menaruh ketertarikan tentang dunia perfilman kalau mau bawa anak muda khususnya di Indonesia mulai sadar secara massal akan sesuatu.
Film yang menjelaskan bagaimana cara pesawat menghadapi turbulensi, menarik tidak?
Alyn masih nyerocos. Antarika membuka buku menu yang ada di mejanya. "Mau makan apa?" Tanyanya pada Alyn yang masih membahas kerennya cerebro dan sayangnya harus di hancurkan saat En Sabah Nur mulai memasuki pikiran si profesor.
"Mau ayam sama french fries aja," jawab Alyn yang sedikit bersungut kesenangannya terganggu.
"Jangan harap. Makan sayur, Alyn."
Alyn yang sudah akan mulai nyap-nyap lagi langsung mesam-mesem, "Aduh pacarku posesif. Kamu mau makan apa emang?"
"Pengen gudeg sama bakso malang sama bebek bakar madu."
Alyn ketawa lalu memasang ekspresi lugu, "Muat perutnya?"
Antariksa sibuk lagi bolak-balik menu, "Gue Bebek bakar madu aja. Lo apa?"
"Kok lo-gue lagi sih? Perasaan kemaren udah fasih aku-kamu," sahut Alyn cemberut. Pasalnya masalah beginian penting untuk diperjuangkan dan Alyn cukup getol memprovokasi si Antariksa biar ber-aku-kamu. Biar enak di kuping gitu loh, udah pacaran kan.
"Aneh. Produk anak Jakarta udah melekat," sahut Antariksa cuek masih membuka menu, kali ini gantian ke minuman. "Gue jus melon. Lo...," kata Antariksa lalu menengok ke arah Alyn yang mendadak diam. Melihat ekspresi Alyn yang berubah, Antariksa menghela napas. Cewek ya, urusan begini aja bisa panjang. Mengalah akhirnya Antariksa memaksakan lidahnya untuk berucap, "Kamu mau pesan apa Aaralyn Feristya Amarylis? Mau samaan kaya aku?"
Alyn langsung sumringah mendengar sapaan Antariksa yang berubah. Bodo amat dibilang sok merajuk atau apalah. Pacar-pacar dia ini, sah lah ya? Alyn mengangguk, "Nah, gitu kan ganteng. Iya Sayangku, mau disamain aja kaya kamu."
Aku-kamu okelah. Semoga besok Alyn tidak memaksanya memanggil 'sayang' juga. Dia saja masih merinding mendengar sapaan kelewat mesra itu selain dari Bundanya.
Saat pesanan mereka datang, Alyn bertepuk tangan. Terlebih saat membaui aroma bebek madunya dan nasi putih yang berasap. Kapan terakhir kali dia makan nasi ya? Sepertinya tiga hari yang lalu saat Antariksa mengajaknya makan pulang sekolah. Alyn ingat komentar Antariksa waktu dia bilang lama tak makan nasi, terus-terusin aja ngerusak nikmat Tuhan. Tapi masih saja dia tak menurut setelahnya. Manja ngga sih kalau dia terus-terusan berharap Antariksa mengingatkan dia makan? Apa ya... Alyn merasa saat mengingatkan makan adalah saat di mana Antariksa menjadi pacar paling manis. Selain belajar, makan dan salat, Antariksa jarang menanyakan atau mengomentari hidupnya.
Saat Alyn mau menyendok makanannya, satu makanan lagi datang. Cap cay kuah. Alyn pasrah saat Antariksa seolah memberikan titah tak terbantah untuk menyantap sayur.
Iya Sayang iya, apa sih yang ngga buat kamu.
*
Sebenarnya beberapa hari ini Alyn terus-terusan memikirkan kapan dia akan memulai aksinya mendekati Aurora. Amara beberapa kali masih bilang belum sekarang, katanya Aurora lagi ngaco suasana hatinya. Bisa juga ternyata itu orang ngaco berminggu-minggu? Apa gara-gara cowok? Kan biasanya gitu tuh anak seumuran mereka, seringnya baik-baik saja sekalinya ketemu cinta berasa dunia runtuh seketika. Oh oke, Alyn curhat.
Siapa cowok yang berhasil mengguncang dunia Aurora coba? Alyn yang merasa selalu percaya diri dengan super power-nya kaya Hillary Clinton aja mengkeret sekedar mau menyapa Aurora.
Lagian kalau dipikir aneh sih hubungan Antariksa dan Aurora. Kenapa coba mereka serasa banget nutupin status mereka sebagai saudara kandung? Bukan sekadar kandung malah, tapi kembar. K-e-m-b-a-r. Ya ngga wajib juga sih anak kembar kemana-mana barengan, apalagi abangnya macam Antariksa yang mageran minta ampun. Tapi kalau diperhatikan, di sekolah pun mereka jarang bertegur sapa. Pulang bareng juga ngga pernah.
Apa Aurora tipe orang yang benci publisitas dan popularitas? Secara Antariksa kan populer banget tanpa dia ngapa-ngapain. Mungkin si Aurora tipe orang yang akan dengan bengis menumpas cewek-cewek centil yang mendekati Antariksa dengan cara berbaik-baik padanya padahal mau memanfaatkan untuk mendekati abangnya. Alyn tertawa pelan membayangkannya. Sebenarnya dia sudah menyiapkan amunisi kalau Aurora tiba-tiba melabrak dirinya karena berani pacaran dengan abangnya. Sayang sepertinya Aurora tak terlalu peduli dengan kisah percintaan abangnya. Entah Alyn harus bersyukur atau mengutuk.
Oh iya ngomong-ngomong, Alyn juga tak pernah melihat Aurora dekat dengan cowok di sekolah. Tak ada gosip aneh-aneh juga tentang dirinya. Alyn juga tak pernah intens mengawasinya. Aurora tak terlalu populer. Kisah masa MOS hanya beberapa orang yang tahu dan sudah banyak yang melupakannya. Yang dia tahu hanya Aurora adalah anak Nusapacita dan klub bulu tangkis.
Tunggu dulu... Nusapacita? Berarti Aurora minimal-atau-sudah-dipastikan kenal dengan Arlo?
Entah kenapa Alyn merinding membayangkan fakta itu.
*
Setiba di apartemen Alyn sudah cukup malam. Kalau tidak berkeinginan membicarakan hal serius rasanya Anta sudah ingin pulang. Sayangnya, harus sekarang dia mulai membenahi kesalahan-kesalahan yang sudah dia lakukan.
"Lyn, mau gue bantu simpan di kulkas belanjaannya?"
Alyn yang sedang berjalan ke kamar menoleh, "Ngga usah, Yang. Taruh di meja dulu aja."
"Oke, gue bantu masukin ke kulkas."
Alyn cuma ketawa, "Yaudah kalau maksa. Kulihat ya nanti how well organized Mr bery-bery perfection."
Apapula bery-bery? Antariksa mengedikkan bahu lalu mulai menata belanjaan Alyn yang kebanyakan berisi buah, sayur, susu dan yoghurt. Tampak di kulkas masih ada beberapa makanan beku, cokelat, snack bar, keju dan susu low fat. Antariksa ngeri sendiri dengan makanan yang dikonsumsi Alyn setiap hari. Ingin dibuang sayang. Jadi Antariksa akan mengultimatum agar persediaan di kulkas itu menjadi persediaan terakhir. Sama seperti dia berhasil menyeret Alyn ke supermarket untuk membeli banyak bahan makanan yang lebih manusiawi tadi. Ngomong-ngomong, Antariksa ini adalah penganut slogan 'makanan yang sehat akan menghasilkan jiwa dan raga yang kuat.'
Selesai membersihkan diri dan berganti baju, Alyn kembali ke ruang tengah di mana Antariksa sedang meneliti satu dua koleksi buku Alyn. Novel klasik milik Jane Austeen, Charles Dickens, Leo Tolstoy, H. Ridder Haggard, L. M. Montgomery dan Harper Lee. Lalu ada buku Bill Bryson yang dulu pertama dia lihat langsung menarik perhatiannya. Ada juga Heidi's Years of Learning and Travel karya Johanna Spyri.
"Sayang, mau aku buatin minum ngga?" Suara Alyn memecah perhatian dari deretan buku yang ada.
"Boleh. Aku air putih aja. Kamu bikin teh chamomile atau smoothie pisang campur susu kedelai biar nyenyak tidurnya nanti," sahut Antariksa.
Alyn mengulum senyum, "Bikin kamu ngomong aku-kamu harus banget nunjukin kualitas buku yang kubaca ya. Susah bener jadi pacar kamu," jawabnya masih sambil tertawa dan menuju dapur.
Antariksa tersenyum.
Waktu Alyn kembali dan meletakkan air putih untuk Antariksa dan susu cokelat untuk dirinya, sang pacar, sudah duduk di sofa. Antariksa berkata, "Syarat pertama jadi pacarku harus pintar."
"Duh-duh kakiku gemetaran. Aku udah cukup pintar belum Mas?" Tanya Alyn dengan senyum yang sama seperti seharian ini.
"Bolehlah," tukas Antariksa.
Alyn ketawa, "Harus banget kamu kutunjukin koleksi buku politik sama ekonomiku yang ada di kamar?"
Antariksa mengerutkan dahinya sejenak, "Aku pikir kamu mau jadi jurnalis. Jadinya mau ilmu politik atau ilmu ekonomi nanti?"
"International Relations," sahut Alyn mantab.
Antariksa tampak tersenyum puas. Senang melihat binar mata Alyn saat dengan yakin mengatakan apa yang dia mau untuk masa depannya, "Paket komplit ya. Pilihan bagus."
Kemana saja Antariksa selama ini? Orang yang paling butuh perhatiannya saja tak pernah dia perhatikan. Bagus Antariksa, kamu memang pacar yang sempurna. Begitu kira-kira cibiran hatinya. Padahal jujur dia akui, seringnya bersama Alyn membuat dia semakin kagum dengan isi kepalanya.
Peka dong Antariksa, peka.
Sesaat Antariksa ingin melanjutkan berkomentar tentang mimpi dan masa depan yang sepertinya akan jadi topik menarik untuk dibahas. Sebelum ini, selama mereka pacaran rasa-rasanya Antariksa belum pernah banyak bicara masalah krusial ini dengan Alyn. Padahal dia selalu senang mendengarkan mimpi-mimpi yang dinadakan dengan optimis seperti buku biografi yang dia baca atau channel TED yang dia lihat.
Tapi sepertinya belum sekarang. Selain sudah malam, ada hal lebih penting yang ingin dibicarakannya.
"Lyn," panggil Antariksa dengan nada rendah. Isyarat dia minta perhatian sepenuhnya dari Alyn. Yang dipanggil sudah sempurna menghadap ke arahnya.
"Boleh aku membuat permintaan?" Tanya Antariksa dengan nada yang sama.
Alyn mengerjap, sedikit tak menyangka bahwa obrolan yang ingin diangkat pacarnya ini sepertinya serius. "Permintaan apa?"
"Selesaikan pengobatanmu dan selesaikan masalahmu dengan Arlo."
***
"Pagi, Sapi!" Sapa Aurora riang melihat Amara saat memasuki kelas.
Amara mendengus, "Bagus-bagus Bapak gue kasih nama, diganti-ganti nama binatang. Dosa banyak lo."
Aurora kontan menyemburkan tawa, "Aelah Mbak Am, sensitif banget sih. Belum minum susu ya?"
Amara tak menanggapi dan memilih mewujudkan ketakjubannya dalam komentar, "Tumben lo berseri-seri seperti mentari pagi. Kenapa? Si Arlo akhirnya ngehubungin lo dan bilang sayang?"
Aurora sedikit tersipu dan salah tingkah, terlebih dengan kata-kata terakhir Amara. Geli abis!
Aurora menggeleng, "Aquascape gue udah jadi. Ntar malem mau gue anterin ke apartemen si kampret."
Tak bisa tak meringis, Amara berkata, "Deu, si kampret yang bikin hati merepet resah dan gelisah." Baru bilang begitu si Amara kena toyoran. "Oke serius, Rang gue penasaran deh sama ilfil juga sih. Lo sebenernya kenapa bisa dangdut gini sih ke si Arlo? Lo udah cinta banget apa gimana? Serius lah ya berasa bukan Arang yang gue kenal cuek dan kampret. Dalam korteks virtual sekalipun gue ngga bisa mengimajinasikan lo bakal alay, menye, letoy sama apalah kata-kata jelek lo buat gue pas lagi cerita tentang abang lo. Ups, sorry terselip curhat. Ya intinya itulah. Kenapa lo harus banget belingsatan cuma gara-gara seorang Arlo? Cinta banget?"
Aurora terhenyak karena pertanyaan bertubi Amara. Sepertinya itu pertanyaan yang sudah memenuhi benak sahabatnya itu sejak Aurora mulai berkelakuan absurd gara-gara si kampret Arlo. Kalau ditanya kenapa, ini jawabannya.
"Kalo aja lo tahu, Njir. Gue juga geli banget ngelihat kelakuan diri sendiri. Ngga usah bawa-bawa cinta atau sayang lah, gue ngga bisa jawab. Intinya kenapa gue begini amat itu karena gue takut gue punya salah."
"Maksudnya?" Tak sabar Amara memotong.
"Diem dulu, Bawel." Aurora menoyor kepala Amara lagi. "Intinya gue cuma pengen tahu salah gue apa, Sam. Itu orang tiba-tiba jadi ajaib kaya gitu ngga mungkin lah ya tanpa sebab. Gue takut aja kalau gue ada salah sama dia yang ngga gue sadari. Mungkin aja gue bikin dia sakit hati karena kelakuan atau omongan gue."
"Tetep aja lah Rang kalau dia ngerasa lo punya salah harusnya dia ngomong. Berasa apa banget deh merajuk ngga penting."
Aurora menghela napas, "Ya itu yang gue masih ngga ngerti kenapa dia milih ngga ngomong dan nganggep gue kaya kutu minta dipites kalo ketemu. Ya gue gedubrukan kaya orang stres cari perhatian dia itu sebenernya ya buat maksa dia ngomong. Udah gue baik-baikin, gue kirimin hadits Ibnu Abid Dunya yang 'jangan marah, niscaya bagimu surga' juga kaga mempan."
Amara tak tahan untuk tak ketawa. Melas banget si Aurora.
"Pernah tuh sampai anak Pacita ngunciin kita berdua di basecamp saking gerahnya lihat kita diem-dieman. Suasana udah mendukung gitu tetap aja dia kaga mau ngomong.
Baik-baik kaga mempan ya gue ekstrem-ekstrem, gue kempesin ban motornya, gue berantakin apartemennya trus ikan kesayangannya di akuarium gue colong satu buat nemenin ikan gue di kamar. Ikan gue sama dia aja akur, masa gue enggak? Gue mau mancing reaksinya, dia marah-marah juga nggapapa deh. Nyatanya dia cuma diem."
Aurora pandangannya menerawang, "Kan itu bikin gue takut sendiri Sam. Kaya yang apa sih kesalahan gue kok dia sampai kaya gitu banget. Sumpah gue gelisah dan jadi ngga enak hati sendiri. Seumur-umur rasanya belum pernah gue didiemin orang sampai segininya. Gue pengen tahu punya salah apa dan minta maaf kalau emang iya ada salah, ngga lebih. Urusan cinta-cintaan gue juga ngga terlalu mikirin. Itu biar jadi urusan gue sendiri. Yah, walau sedikit banyaknya gue ngarep juga sih."
Amara nelangsa. Kejujuran yang baru saja dituturkan Aurora seperti menampar dirinya. Jalinan peristiwa saat melihat Arlo menghajar Kak Raymond dan juga cerita Antariksa. Benang kusut di kepala Amara mau tak mau menyimpulkan satu hal, Aaralyn. Entah apa motif Arlo. Jelasnya, dia merasa ikut berdosa karena mengetahui fakta kecil ini. Sahabatnya jadi pertaruhan dan dia tidak melakukan apapun. Apa Amara harus bilang?
Aurora bangkit dari kursi dan menyadarkan Amara dari perang batinnya. "Mau kemana lo?"
Aurora berderap menuju kursi Ester yang baru datang. "Mau ngehajar si Ester. Kampret emang itu bocah masa upload foto gue di instagram 'Cakra Nusantara Gemas-Gemas Remaja' trus caption-nya 'high quality jomblo, butuh kasih sayang segera.' Taik banget, kan? Osis ngga berguna dia tuh emang."
***
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Arlo buru-buru cabut dari kelas dan menuju koridor kelas di sayap Timur. Kelas Aurora. Jam pulang sekolah bagi siswa reguler dan jam istirahat ketiga bagi anak akselerasi.
Arlo bersandar di tembok dan mengayunkan kakinya menunggu kelas Aurora yang masih ada guru. Beberapa menit kemudian sang guru keluar diikuti anak kelas tersebut. Begitu Aurora tampak di mata Arlo, langsung dihadangnya dan membuatnya kaget setengah mati. Tak menunggu kekagetannya mereda, Arlo meraih tangan Aurora dan membawanya pergi.
Ayunan langkah Arlo tidak terlalu tergesa. Tangan di genggamannya terasa hangat. Kapan terakhir dia menggengam tangan itu? Ternyata sensasinya masih semenyenangkan dulu. Hangat merambat sampai ke hatinya.
Di dekat aula sudah menunggu Alyn dan Antariksa. Arlo menyunggingkan senyum sinisnya saat matanya bertatapan dengan mata Antariksa yang terkejut melihat siapa yang digandengnya. Sengaja Arlo tak mau melihat ekspresi apa yang dipasang Aurora. Tapi dia yakin tak akan jauh berbeda. Alyn juga tak kalah terkejutnya.
Semalam, Alyn menghubungi dia setelah sekian lama. Sekian lama sejak mereka berdua bertatap muka dalam suasana yang seharusnya.
"Halo, Princess," ucap Arlo begitu berhadapan dengan Alyn. Dilepasnya genggaman tangannya untuk Aurora.
Ekspresi kaget dan bingung masih membayangi wajah Alyn. Kenapa ada Aurora?
"Ngomong aja. Kamu mau ngomong kan? Sorry aku ajak dia, soalnya aku yakin apa yang mau kamu sampaikan berguna juga buat dia," kata Arlo lagi sambil melirik Aurora yang masih bergeming.
"M-maksud kamu?" Tanya Alyn terbata.
Arlo kembali menyunggingkan senyum memuakkannya. "Pacar kamu ngga cerita ya kalau kembarannya tersayang ini suka sama aku? Kembarannya tersayang ini butuh penjelasan kenapa aku gencar banget ngedeketin dia. Iya kan, Aurora Zainina Septario?"
"Pacar?" sahutan Aurora lirih seperti bertanya.
"Ah! Sodara lo ternyata belum cerita kalau dia ternyata bisa pacaran juga? Belum cerita kalau pacarnya itu pacar gue?"
"Mantan...," sahut Alyn serta merta.
Aurora mengepalkan tangannya spontan. Apa sih ini? Tapi dia masih tak mau berkata-kata. Atau tak sanggup. Pacar? Mantan? Antariksa? Apa sih?
"Bingung ya, Cantik?" Tanya Arlo sambil mengusap pelan dagu Aurora dan langsung ditepis pemiliknya.
Suasana terasa memuakkan bagi Aurora. Arlo seketika tampak bajingan di matanya. Ekspresi nakal dan tengil di wajahnya membuat amarah Aurora naik ke ubun-ubun. Tanpa sebuah penjelasan, Aurora sepertinya sudah mulai paham. Pikirannya mengulang saat melihat Arlo baku hantam kakak kelasnya pasca menembak Alyn. Antariksa - Alyn di perpustakaan. Arlo yang sering memerhatikannya intens saat-saat dia berbuat sesuatu tertentu. Sapaan 'cantik' tadi bagai suara setan yang menyesatkannya. Aurora benci sekali mendengarnya.
"Kamu mau bicara apa, Sayang? Mau bilang jauhi kamu? Mau bilang aku ngga perlu khawatir sama kamu lagi karena kamu udah ada pacar? Aku ngga mau dan ngga bisa. Aku ngga pernah bilang iya untuk putus." Arlo mengatakan itu dan menatap Alyn yang sudah lama sekali tak ditatapnya sedekat ini. Arlo rasanya mau menghentikan waktu dan cuma ada Alyn dan dia di dimensi itu. Dia dan Princess-nya.
"Princess, aku udah peringatkan berulang kali. Aku pasti bisa bikin kamu balik ke aku lagi. Ini bukan obsesi, Sayang. Kamu buat aku itu adalah dulu dan nanti." Arlo berderap maju menghampiri Alyn yang mematung. Diusapnya rambut Alyn dengan lembut. "Saatnya semua kembali ke awal Princess. Fantasimu tentang pangeran tampan dari negeri seberang cukup sampai di sini. Kita punya istana sendiri, kan?"
Aurora pengen muntah. Perutnya bergejolak hebat. Kata-kata Arlo seperti najis tak kasat mata. Dan di ujung sana, Antariksa masih diam seribu bahasa. Dengan tangan melipat di dada. Tubuh menyender di tembok. Ekspresinya sudah default.
Drama menjijikkan macam apa sih ini?
Dan pembicaraan satu arah dari Arlo ke Alyn masih dapat di dengar dengan lirih oleh Aurora.
Alyn membisu dengan wajahnya yang semakin pucat. Di antara ucapan yang terus terlontar dari bibir Arlo yang membujuknya untuk kembali lagi, dia sesekali melirik Aurora yang tak menunjukkan ekspresi apapun. Tapi tangan yang mengepal itu tak bisa diabaikan. Berbicara lebih dari semestinya.
Alyn perlahan menggeleng menanggapi ucapan Arlo. Juga ditepisnya tangan Arlo yang masih bertengger di kepalanya. Baginya, dia dan Arlo sudah berakhir. Baginya, Antariksa bukan fantasi lagi.
"Ar, jangan kaya gini. Kasihan Aurora," sahut Alyn akhirnya.
Gue ngga butuh rasa kasihan lo, Nyet.
Arlo memandang Aurora dan perlahan menghampirinya. Berdiri tepat di hadapannya setelah fakta yang dipaparkan ini entah apa penilaian Aurora terhadap dirinya sekarang. Saat ini Arlo merasa tubuh Aurora menjadi ringkih. Pandangan matanya yang tak menatapnya sama sekali itu menyimpan berbagai emosi.
Diuraikannya pelan jari-jari Aurora yang mengepal. Dia diam saja. Setelah terurai, digenggamnya lagi kedua tangan Aurora dengan kedua tangannya. Anjing, apa yang udah lo lakuin ke dia?
"Ra...," panggilnya penuh penekanan. Aurora masih tak sudi menatapnya. Arlo mengangkat tangan kanannya dan menaruhnya di kedua mata Aurora. Memaksakan kedua mata yang memandang titik tak pasti itu untuk memejam. Di usapnya lembut kedua kelopak mata Aurora agar terpejam. Berhasil, Aurora sudah terpejam.
"Ra, lo jangan mandang arah ngga jelas. Yang ngajak ngomong lo di sini," ucap Arlo. Tangan kananya meninggalkan mata Aurora yang sudah terpejam. Kembali menggengam tangannya. "Maafin gue, Ra."
Otak ya yang menyuruh hati untuk merasakan nyeri? Aurora dan Arlo merasakan nyeri itu.
"Gue emang brengsek. Maaf buat kelakuan jahat gue ke lo kemarin. Gue ngga ngerti lagi gimana bikin lo capek. Udah ya Ra, udah kita main-mainnya. Udah sore, saatnya pulang ke rumah. Lo capek kan? Sama, gue juga capek. Ajakan main lo itu terlalu menggiurkan buat gue. Gue takut terlena di saat gue masih punya setumpuk pekerjaan lain. Gue mau kembali fokus, Ra. Dan tujuan gue bukan lo.
"Gue ngga ada niat mainin lo. Lo juga belum suka sama gue kan? Abaikan omongan ngaco gue tadi. Lo belum suka sama gue kan Ra? Jadi sebelum semuanya jadi makin ngaco, udah ya kelarin semua di sini. Kalau lo masih ngerasa bisa temenan sama gue, gue bakal seneng banget. Kalau lo jatuhnya benci sama gue, gue terima. Maaf aja ngga cukup kan?"
Bangsat, Arlo. Lo emang bangsat.
"Dari awal gue kebawa suasana. Lo mirip sama dia, Ra. Dia itu fantasi cinta masa kecil gue yang mau gue wujudin. Bagus kalau setelah lo tahu trus lo nyuruh abang lo buat putus sama dia. Tapi kalau ngga pun, gue bisa berjuang pakai cara gue sendiri. Dulu dia lepas karena kesalahan gue dan akhirnya dia jatuh cinta mati-matian sama Antariksa."
Gue kaga peduli, Setan. Lo bisa berhenti ngomong? Berisik tahu, ngga! Hati Aurora masih nyeri. Semakin sadar kalau orang yang menggenggam tangannya ini adalah cinta pertama yang tak akan bisa diwujudkannya. Lo kenapa jahat sih Ar?
"Di balik semua motif gue ngedeketin lo, gue bersyukur bisa kenal sama lo. Ngga ada yang pernah memperlakukan gue sebaik lo, dia dan nyokap gue. Terima kasih buat semuanya ya Auroro. Gue harap kita bisa temenan lagi. Sedikit kebohongan gue ngga akan nyakitin lo kan, Ra?"
Arlo melepas tautan tangannya dan melarikan ke bibir Aurora yang sedari tadi digigitinya. Entah menahan marah atau menahan tangis. Diusapnya pelan bibir itu sampai giginya berhenti menyakiti bibirnya sendiri. "Lo baik-baik ya sekolahnya. Gue usahain bakal ngehindarin lo sebisa gue."
Persetan.
"Udah boleh buka mata, Ra."
Aurora membuka mata. Duh, dia kembali mengigit mulut bagian dalamnya untuk meredam sesuatu yang bergejolak saat menatap mata Arlo.
Gue ngga bisa ngapa-ngapain lagi kan, Ar?
"Jangan lupa cari bokap dan jagain Shafira. Gue maafin." Dan angin yang berhembus menyapa perasaan lega Aurora. Ternyata dia ngga punya salah apa-apa.
Dan demi apapun bukan itu reaksi yang diharapkan akan didapat dari Aurora. Hati lo itu, bikinnya dari apa Aurora? Sini, lo hajar gue aja. Hajar sampai lo lega.
Arlo berhasil menjadi brengsek paling biadab setelah apa yang dikatakan Aurora. Kemana Aurora yang selalu menggebu-gebu? Yang seringnya mulut dan tangan sejalan lebih dulu dibanding pikirannya? Cacian, makian, umpatan atau tamparan adalah hal yang sudah diprediksikan Arlo. Tapi kenapa malah jangan lupa cari bokap dan jagain Shafira? Kenapa, Aurora?
Lo boleh hajar gue sepuas lo, Ro. Jangan kasih maaf segampang itu buat gue.
Pandangan mata Aurora meredup. Sesaat setelah mengucapkan hal yang ingin dia sampaikan pada Arlo, yang dia inginkan cuma pergi dari situ secepatnya.
Aurora mundur selangkah dan balik badan lalu melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu. Baru dua langkah, tangannya kembali dicekal oleh tangan Arlo. Tangan Aurora dingin. Dingin sekali.
Tangan lo dingin, Ra.
"Ra, ngomong yang lain," kata Arlo tanpa membalik tubuh Aurora. Diperhatikannya punggung yang mendadak tampak ringkih dengan tubuh yang semakin dingin. Aurora tak baik-baik saja. Kenapa harus pura-pura, Aurora?
"Should I say thank you?" Aurora bertanya lancar nyaris tanpa emosi dan nada sinis sedikitpun.
Perlahan Aurora melepaskan tangannya dari genggaman Arlo. Satu, dua, tiga langkah dan dia berhasil mengumpulkan kekuatannya untuk berlalu dari tempat itu.
Selama ini Arlo selalu memberikan sinyal paling samar tentang perasaannya pada Aurora. Pantas saja. Sinyal menjadi samar karena tertutup kabut kebohongan.
Dan satu kalimat Arlo cukup membuat Aurora berhenti mencari sebab.
Sedikit kebohongan gue ngga akan menyakiti lo kan, Ra?
***
Huh hah aku lega habis nulis part ini. Terlepas ngga ngefeel maafkan ya. Tujuannya emang bukan buat sedih-sedih unyu sih hahaha :D
Oh iya, aku boleh mengajukan beberapa pertanyaan ngga? Nanti tolong dijawab buat kelangsungan cerita ini ya? Hehe 😋
1. Apa menurut kalian cerita ini terlalu banyak narasi dan bikin males bacanya?
2. Apa bahasa yang digunakan terlalu berat untuk ukuran teen fiction?
3. Apa menurut kalian ceritanya terlalu bertele-tele dan bikin males?
Aku sangat sadar kalau tujuanku publish cerita di wattpad adalah agar ceritaku ada yang baca. Walaupun tujuan utama tetal untuk menyalurkan hobi. Aku tidak bilang kalau jalan cerita ini dipengaruhi oleh preferensi kalian karena aku sudah ada plot yang aku tentukan dari awal. Tetapi, banyak pertimbangan yang mungkin bisa aku lakukan tanpa mengubah makna cerita kalau memang ada yang memerlukan penyesuaian dengan kalian 😊
Satu lagi, bagi teman-teman yang memberikan vote dan membaca cerita ini tak pernah hentinya saya ucapkan terima kasih. Tetapi, tidakkah kalian ingin menyapaku? (Lah berasa artis) wkwk 😶 Lebih dari vote sebenarnya aku lebih senang kalau dapat komentar. Jadi aku juga ingin bersalam sapa dengan kalian lewat komen. Kalau berkenan ditunggu ya komennya biar bisa temenan kita hehe 😙
.
Halo, aku Nau. Kamu siapa? 🙆
Ini yang paling penting :
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA UNTUK TEMAN-TEMAN YANG MENJALANKAN. SEMOGA PUASA KITA DITERIMA OLEH ALLAH SWT DAN AMAL KITA SELAMA BULAN RAMADHAN DICATAT SEBAGAI IBADAH. JANGAN LUPA BANYAK BERSEDEKAH DAN BERBUKA DENGAN YANG MANIS-MANIS. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN YA TEMAN-TEMAN.
.
.
.
Mas Arlo lagi ngga manis yah? 😂
Juni, 9 ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top