16 | Am I Wrong?
Antariksa berdiri canggung di depan sebuah pintu apartemen nomor 239 setelah memencet bel. Di tangan kirinya ada tas karton oleh-oleh dari liburannya kemarin. Dua menit tak ada jawaban, Antariksa kembali menekan bel. Mungkin orang di baliknya masih tidur, ngomong-ngomong ini udah jam 9 sih sebenarnya.
Saat akan menekan bel ketiga, pintu sudah terbuka. Mereka berdua berhadapan, canggung. Terlebih Antariksa, yang satunya masih ucek-ucek mata memastikan dia tidak sedang berhalusinasi.
"Ak ... sa?"
Antariksa menjawab kikuk, "Eh ... iya, Lyn. Gue ganggu?"
Alyn. Sukses menitikkan air mata, langsung tepat saat Antariksa selesai bicara. Maju selangkah dan dia langsung menubrukkan diri ke tubuh Antariksa.
"Kamu ... apa kabar?" tanya Alyn di sela air mata yang mengalir tenang.
Antariksa sudah lebih siap kini. Secanggung apapun, dia memang harus ada di posisi ini sekarang. "Baik. Lo ... apa kabar?"
"Buruk. Kenapa ngga kasih kabar selama liburan?"
"Antariksa Zaidan Septario ... jadilah lelaki sejati dengan berkomitmen pada keputusan yang udah lo ambil. Jangan jadi pecundang kaya gue. Kalau gue datang sebelum lo jadian sama Kak Alyn trus apa? An, kalau dia memang butuh ditolong, tolong dia. Gue yakin seiring berjalannya waktu sayang itu pasti tumbuh. Yakin gue kalau rasa itu sebenarnya udah ada ... cuma masih samar. Ajak dia berinteraksi lebih, jadi lo bakal tahu Kak Alyn pantas disayangi atau ngga. Jangan kabur-kaburan setelah lo yang ngajak dia jadian. An ... kembangkan rasa peduli lo jadi rasa sayang."
"Lyn, gue ngga disuruh masuk?" tanya Antariksa akhirnya. Mana mungkin dia bilang saat liburan kemarin jadi ajang pernyataan cinta ke gadis lain. Dipikir-pikir Antariksa ini memang kampret. Tapi dia masih cukup waras melakukan itu, atau ngga cukup waras saking lelahnya dia nunggu bertahun-tahun dan setelah datang kesempatan semuanya udah beda?
Tak tahu lah. Pusing amat dipikirin terus-terusan.
Antariksa akan melaksanakan sabda Amara. Ya, itulah keputusan paling benar ... akhirnya. Gadis baik itu, mendukung dia sepenuhnya dengan Alyn. Kabar hatinya, dan hati Antariksa, biar waktu yang bicara.
Alyn mengurai pelukan, "Ayo masuk. Kamu bawa apa?"
Antariksa melangkahkan kaki ke dalam apartemen Alyn, rapi seperti biasa, dan senyap sejak dahulu kala. "Ada bawa oleh-oleh sama bawa masakan dari Bunda. Lo udah makan?"
Alyn yang sedang di dapur menyiapkan minuman menggeleng. Saat itu, dilihatnya wajah Alyn oleh Antariksa dengan seksama. Cekungan mata yang nampak mengerikan tanda pemiliknya tak tidur berhari-hari.
Antariksa berderap mendekati Alyn dan meletakkan tas karton itu di atas meja. "Lyn, liburan kemaren lo jadi ke rumah Tante?"
Alyn yang mengembalikan jus karton di kulkas mematung. "Ehm ... enggak."
Sudah Antariksa duga.
"Jadi lo ke mana aja?"
Alyn duduk di meja makan dan menggeleng, "Ngga ada ke mana-mana."
Antariksa menghela napas pendek, pandangan matanya lurus menatap mata Alyn dan deraan rasa bersalah itu kembali muncul, ia yakin, Alyn begini karena tak adanya kabar dari dia selama liburan. Setidaknya itu salah satu alasan penting di antara alasan lainnya.
Tanpa dikomando, tangan Antariksa meraih pergelangan tangan Alyn. Alyn yang sadar ingin menarik tangannya tapi ditahan oleh Antariksa. Disibaknya perlahan sweater hijau toska yang dikenakannya. Seperti dugaan Antariksa, bekas melintang self torture dari goresan silet terpampang jelas. Dan semakin disibakkan ke atas, goresan itu semakin terlihat banyak. Di antara goresan itu, yang paling nyata adalah bentuk A tepat berada di dekat nadi.
Cukup.
Antariksa memegang telapak tangan Alyn erat, lalu dia beringsut mendekatinya, berdiri tepat di hadapannya yang sedang menunduk sambil menggigit bibir dalamnya.
"Lyn," suara Antariksa tak pernah selembut ini, "Lo mau janji satu hal sama gue?"
Dengan ragu Alyn mendongak. Lagi, air matanya jatuh begitu melihat pandangan Antariksa. Dia tak bisa meraba itu pandangan kasihan ... atau pandangan peduli. Yang jelas, dia tak pernah dipandang sedalam itu oleh Antariksa.
"Lyn," ulang Antariksa dengan suara sama dalamnya.
Alyn membuka pelan mulutnya, "Jan ... ji a-pa?"
Antariksa menghapus lembut air mata yang mengalir dengan sebelah tangan lainnya. "Janji berhenti ngerokok, minum obat tidur dan ... nyakitin diri sendiri."
Alyn langsung tersedak dalam tangis. Hatinya nyeri luar biasa. Bukan ... bukan karena sakit hati. Justru karena dia merasa haru luar biasa. Bagaimana mungkin Antariksa yang sudah lima bulan jadi pacarnya tiba-tiba bisa sepeduli ini?
Dia jadi merasa ... baru saja ... menjadi manusia yang dicintai. Pertama kalinya ... selama hidupnya.
Antariksa memberanikan diri membawa kepala Alyn ke dadanya. Membiarkan Alyn menikmati tangisnya. Di sini bukan hanya Alyn yang merasakan sakit itu. Melihat Alyn seperti ini, Antariksa rasanya ingin memaki dirinya sendiri.
Bagaimana bisa dalam hitungan tahun dia jadi cowok sebrengsek ini?
*
"Bentar, kayanya aku masih ada yoghurt deh. Coba kulihat dulu," kata Alyn lalu bangkit ke arah kulkas.
Mereka berdua baru saja selesai sarapan atau brunch karena Antariksa sudah sarapan di rumah tadi, dan Alyn juga sudah sarapan ... rokok.
Setelah sapu bersih segala macam benda-benda tak berguna macam silet, rokok, obat tidur, pil anti depresan dan segala macam rupa dan aroma terapi lavender.
Lalu mereka belanja ke bawah membeli makanan ringan dan salad buah. Juga aroma terapi jeruk yang lebih cocok untuk jiwa muda Alyn.
Alyn memekik senang karena menemukan yoghurt di kulkas. "Ada dong," kata Alyn tertawa lebar.
Antariksa memandang ngeri, "Kadaluarsa ngga tuh? Dari kapan coba belinya?"
"Engga kok. Orang baru tiga hari yang lalu belinya ... eh apa seminggu yang lalu ya?"
Antariksa berdecak dan Alyn ngakak.
Lalu Alyn yang mondar-mandir menyiapkan milkshake tak luput dari pandangan Antariksa.
"Gimana selama ini lo perlakuin Kak Alyn, An?"
"Kayaknya jahat."
"Maaf ya An, gue bikin lo bingung ya?"
"Iya."
"Gue ... lo mau gue pergi lagi?"
"Coba aja kalau berani."
"Lo kurusan tahu, An. Udah jangan kepikiran lagi. Gue dukung lo sama Kak Alyn sepenuhnya. Kalau ada apa-apa cerita aja."
"Oke."
"Kak Alyn cantik ya, An?"
"Ehm ...."
Iya, Mar. Dia cantik. Dia cantik kalau senyum. Sampai ke matanya. Gue bahkan pernah liat dia ketawa, mirip Bunda. Kaya sekarang. Ternyata gue emang bego, Mar, dia juga pantas bahagia.
"Taram ... ram ... pam ... pam, milkshake oreo ala Chef Alyn, dibikin pake cinta, diblender pake sayang, dihiasi butiran-butiran perhatian dan disiapkan pakai limpahan rindu tak terbendung."
Antariksa mengernyit, "Gue jadi ngeri mau minumnya."
Alyn ngakak, "Aku juga jijik dengernya hahaha ...."
Alyn membercandai Antariksa tak habis-habis. Dari tadi Antariksa digombali Alyn tak habis-habis sampai kupingnya memerah. Malu.
Now, say it louder, An.
"Lyn ...."
Alyn yang sedang menyeruput milkshake-nya dan memilah-milah DVD yang ingin ditonton menghadap Antariksa dan menjawab, "Ya, Sayang."
Tuh kan. Perhatiin deh, kupingnya Antariksa merah banget. Alyn senyum-senyum gaje.
"Ehm ... kalau orang ... pacaran ... biasanya ngapain ya?"
Alyn keselek dan batuk-batuk, sampai mereda baru dia jawab, "Milkshake-nya nyampe masuk ke hidung tauk. Dahsyat banget dah pertanyaannya An. Aku ngga yakin Albert Einstein bisa jawab. Tapi aku sih bisa jawab hahaha ..."
"Kalau orang pacaran itu biasanya sayang-sayangan."
"Gimana tuh teknisnya?"
Ya kali dah beginian nanya. Pacarku polos sekali.
"Kompromi aja deh ya kita. Bisa sama-sama enak. Ntar aku agresif kamu ngeri lagi."
"Oke."
"Pengumuman?"
"Biar pada tahu sendiri aja."
"Chatting tiap malem?"
"Boleh. Habis belajar tapi."
"Haha siap, Bos. Panggilan unyu, jangan?"
"Jangan."
"Ih Aksa gak seru. Cium pipi jangan?"
"Jangan."
"Pelukan jangan?"
"Jangan."
"Nonton, main timezone, makan bareng, jangan?"
"Boleh."
"Asyik. Pegangan tangan jangan?"
"Jangan."
"Nah loh jangan lagi. Dengerin musik dan berbagi earphone jangan?"
"Nempel ngga?"
"Nempel dikit. Bahu doang."
"Yaudah boleh."
"Nyender di dada boleh?"
"Jangan."
"Ih males sih banyak ngga bolehnya. Trus ngapain kita?"
"Bahas hukum pascal, hipotesis nol, relativitas sama teori atom?"
"Aku kan anak IPS. Gimana sih?"
"Emang kenapa?"
"Males sih. Emang kamu kira kenapa aku masuk IPS?"
"Bahas perang puputan, G30SPKI, Renaisans, Peradaban Minoa?"
"Hahaha ... yaudah boleh. Trus ngapain lagi?"
"Mancing?"
"Mau."
"Bowling?"
"Mantab, Masnya."
"Naik gunung?"
"Ayok sih! Mau banget."
"Berangkat sama pulang sekolah bareng?"
"Se .... rius kamu? Ih mau banget parah!"
"Dikirimin sms hadits setiap pagi?"
"Subhanallah ya Akhi."
***
Amara dan Aurora lagi nonton DVD di kamar. Sudah tiga hari balik dari liburan tapi Amara masih menginap di rumah Aurora, karena Papa dan Mamanya belum pulang honeymoon entah yang keberapa. Daripada sepi di rumah mending di sini, bisa lihat Antariksa tiap hari. Eh.
Ngga boleh Amara. Udah punya orang lain. Sahabatan aja ya. Relain, Mar, ikhlas.
Belum ada setengah jalan menonton Laggies, Aurora sudah gelimpang-gelimpung di kasur rusuh banget. Amara jadi sedikit terganggu. Aurora sudah uring-uringan sejak masih di Australia dan diperparah tiga hari yang lalu setelah mengantar Shafira pulang ke apartemen.
"Rang, kenapa ngga lo samperin aja sih si Arlo?"
Aurora mendengus tak suka nama itu disebut, "Idih, ngapain?"
"Deuh, basi banget dah Rang ah sok-sok cuek padahal khawatir banget-bangetan. Yaudah sih samperin wae. Emang lo kemaren ngga ketemu pas nganter Shafi? Gue mau nanya lo ngeri duluan. Habis lo balik-balik kaya habis makan beling."
Aurora duduk tegap di kasur, diikuti Amara. "Gue ngga tahu deh Sam tuh orang kenapa. Gue pikir-pikir sih, gue ngga ada salah."
"Lah, kenapaan emangnya?"
"Shafi, Kak Alo ada telepon Shafi ngga pas kita liburan kemaren?" tanya Aurora setelah memberanikan diri. Cap cip cup nanya atau engga.
Shafi memencet tombol 12 di lift, "Ada kok Kak. Tiap malem kalau mau bobok sama siang pas makan biasanya."
Hah? Seriusan?
Kok dia ngga ada bales chat gue ya?
"Beneran Kak Alo yang telepon, Shaf? Bukan Tante Tiar?" Tante Tiar adalah adik Mama Arlo yang selama ini bantu mengawasi Shafira. Tapi beliau jauh, ada di Surabaya.
"Beneran Kakak, orang waktu Kakak tidur duluan pas kecapean itu aku ada video call sama Kak Alo. Trus Kak Alo suruh kasih liat Kakak deh tidurnya kaya apa. Trus Kak Alo bilang Kakak jelek banget pose tidurnya kaya habis kena kentut gajah."
Kampret.
"Serius kamu? Kak Alo ... sering nanyain Kakak kalau lagi telepon kamu?"
Shafira tampak berpikir-pikir, "Ehm ... ditanyain semua sih. Aku lagi ngapain, Kakak lagi ngapain trus yang lain pada ngapain gitu."
"Oh ...," tak dipungkiri Aurora merasakan ada yang ganjil. Dia sudah mengalah dengan terus-terusan membombardir Arlo dengan pesan tapi tak ada yang dibalas. Apa maksud sih?
"Kak Arlo ... ada bilang cari Papa ngga?"
Shafira mengerutkan kening lagi, "Ngga ada bilang tuh. Emang Kakak mau nyari Papa, Kak?"
Aurora mengelus kepala Shafira, "Nanti tanyain sama Kak Arlo-nya ya Shafi."
Shafira mengangguk. Tepat lift mereka sampai di lantai apartemennya. Shafira mengetok pintu dengan semangat. Sambil bibirnya memanggil, "Kak ... Alo ... Kak ... Alo ... Shafi pulang." Begitu terus-terusan.
"Kak Alo tahu ngga Shaf, kamu mau pulang hari ini?"
Shafira mengangguk, "Tahu kok. Tapi Kak Alo capek banget katanya jadi minta tolong sama Kak Aurororororo ya suruh nganter gitu katanya."
Idih Aurororororo apaan sih. Alay.
"Bilang gitu?"
Arlo aneh banget dah sumpah.
"Iya." Shafira mengetuk pintu lagi. Mungkin Arlo sedang tidur. Shafira tak bawa access card-nya. Karena dulu dia diantar dan Arlo memang berjanji mau menjemput.
Sampai Aurora akhirnya ikut mengetuk pintu dengan tangan kanan karena tangan kirinya bawa koper Shafira dan memanggil Arlo dengan suara tak kalah heboh. Mengabaikan keanehan yang dia rasakan sejak beberapa minggu belakangan. Aurora selalu bertanya-tanya dia salah apa. Apa Arlo ngambek padanya? Atas dasar apa? Yang ada juga Aurora yang harusnya ngambek, si Arlo suka bikin jantungnya Aurora deg-degan gitu. Tapi ngga mau tanggung jawab. Ngga nembak-nembak.
Anjir, kenapa gue ngarep banget sih. Elah.
Begitu tangan keduanya sudah mulai panas, pintu dibuka. Jantung Aurora sudah deg-degam parah. Hampir dua minggu dia tidak bertemu dengan Arlo.
Sesosok muncul dengan kaos oblong dan celana pendek khas muka bangun tidur. Emang sih masih pagi, baru jam 8 lewat dikit. Apalagi buat dunianya si Arlo mah ini masih malem. Jin sama setan baru keluar. Nah ini depan Aurora, setannya muncul satu.
Ngga ding. Itu cuma cara Aurora mendistraksi debar jantungnya. Mau tak mau Aurora mengakui, dia kangen pada sosok di depannya itu.
Dengan kesadaran yang sepertinya sudah terkumpul penuh, Arlo memandangi dua orang di depan pintu. Sampai akhirnya tatapannya dan Aurora berbenturan.
Lama. Tak ada yang berbicara.
Waktu ngga beku sih.
Waktu cuma kaya berhenti.
Aurora membalas tatapan Arlo yang dia juga tak tahu apa maksudnya. Datar tanpa ekspresi. Padahal bukan reaksi seperti ini yang diharapkan oleh Aurora.
Dia mau disambut dengan hangat. Seperti Arlo memperlakukan dia biasanya. Cek-cok mulut dan adu fisik alias toyor-toyoran jauh terasa lebih baik daripada cuma saling diam begini. Sumpah, Aurora jengah.
Akhirnya dia membuang pandangan sekilas dan menarik napas pelan sambil mempersiapkan senyum terbaiknya.
"Heh lo ...," sebelum Aurora sempat melanjutkan ucapannya. Arlo merebut koper Shafira di tangan kirinya. Kasar banget. Lalu dengan cepat menarik tangan Shafira untuk masuk. Dan ... BLAM! Pintu ditutup dengan sangat kasar tepat-di-depan-wajah-Aurora.
"What the fvck, Arlo Vidar Dewangga."
Amara yang mendengar cerita Aurora sampai nge-freeze wajahnya. Amara yang cuma kenal Arlo dari cerita-cerita Aurora saja heran luar biasa. Apalagi Aurora.
Tiga harian Aurora bolak-balik scroll chat dia dengan Arlo. Dan tak ada yang aneh sama sekali. Chat terakhirnya dengan Arlo di luar bombardir chat-nya ke cowok itu.
Arlo : Ra, kok Jakarta tiba-tiba mendung ya habis lo take off.
.
Aurora : Baru landing nih. Idih, bisa gitu langsung mendung. Mau nyampah lagi lo yak?
Arlo : Syukurlah. Langsung badai, Ra. Porak poranda. Hati gue. Ngga ada lo.
Aurora : Lo ngerti jijik ngga, Ar?
Arlo : Istirahat gih. Have fun ya. Jangan lupa ukir nama Mas Alo di pasir pantai. Trus posting di instagram.
Aurora : Idih emang gue lo apa. Banci sosmed. Iya ini mau naik kapal ke resort. Shafi masih on fire nih.
Arlo : AppStore cuma buat donlot game doang Ra. Gue ngga kenal snapchat, ask fm, instagram, twitter, pesbuk. Alay. Keramean. Cukup lo aja yang rame di hati gue.
Aurora : Bebas Ar bebas.
Arlo : Ciehlah. Pipinya merah merah tuh minta dicipok
Aurora : Goblok lu. Gue bilangin bapak gue lu.
Arlo : Hahahaha canda elah. Ampun Om Auriga. Auroranya yg genit godain saya.
Aurora : eek
Arlo : muach. Udah ah, ntar nyampe resort istirahat yak. Nitip shafi.
Aurora : ye coy siap. Jgn lupa tugas lo.
Arlo : iyah nyah siap ;)
Arlo kenapa coba?
***
Silakan caci maki saya sepuasnya hahahaha. Caci makinya yang sopan ya (gimana tuh?) wkwk :p. Oiya jadi sekalian kumau minta persetujuan. Jadi kuyakin ini #TeamAmara pada kesel sama Anta dan makin benci sama Alyn. Silakan saja caci maki. Kalau buat mereka silakan kalian bebas mau komentar apapun. Aku tak akan membendung hasrat jiwa muda kalian haha. Tapi, kalau mau caci maki aku jangan beringas-beringas ya, jangan pake kata-kata kasar. Kutak tau sanggup menanggungnya apa engga hehe.
Kedepannya nanti, konflik akan mulai berdatangan. Jadi aku peringatkan lebih awal hehe :D
Itu btw, Arlo kenapa ya?
Eh iya, aku ada bikin cerita baru judulnya 'Beverly'. Pendek ajasih part-nya nanti. Bagi yang berkenan baca boleh langsung dicek ya hehehe :D
Terima kasih masih setia dengan cerita ini ya, gengs. Kalian baik amat. Sayang deh :*
29032016~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top