15 | Inevitable

Aurora menggesek-gesekkan kakinya pada pasir lembut yang dipijaknya. Pandangannya lurus pada pemandangan matahari yang muncul di ufuk timur. Seperti biasa, pemandangan itu tak akan pernah dilewatkan oleh Aurora terlebih untuk tempat seindah Cable Beach dengan Samudera Hindianya dan sun-kissed white sand-nya. Kemarin sore, pemandangan matahari kembali ke peraduan juga sudah terekam dengan baik di kameranya. Walaupun matahari belum muncul, cuaca sudah terasa hangat. Hebatnya Australia Barat di akhir tahun dengan musim panasnya.

Dari kejauhan dilihatnya Shafira dan Amara yang sudah main-main di bibir pantai. Padahal masih belum terang betul langitnya. Dan abangnya yang paling ganteng duduk di hammock yang dipasangnya kemarin di tumbuhan kelapa yang melengkung. Dan mungkin cuma Aurora yang paham, arti pandangan diam-diam yang ditujukan untuk Amara yang tak ubahnya seperti bocah SD ketemu mainan baru.

Matahari sudah digdaya di tempatnya.

Aurora memberesi cepat-cepat tripod dan kameranya lalu berlari serampangan menaruh semua benda itu di kamar resortnya. Lalu kembali lagi menghampiri Antariksa dan menarik-nariknya untuk diajak lari pagi menyusuri pantai.

Begitu mengajak Amara dan Shafira, kedua orang itu kompak menggeleng. "Males ah Rang, badan gue masih capek banget gara-gara lo ajakin pecicilan ke Pinnacles, kaki gue pegel-pegel tauk."

"Idih apaan, lo sama si Shafi cuma ngejogrok senderan batu doang yak. Manja!" ketus Aurora. Padahal kan maksudnya ngajak mereka lari pagi mau kasih momen buat dia sama abangnya, habisan udah tiga hari di Australia masih ayem-ayem aja. Aurora juga baru tahu kalau ternyata dua orang itu belum jadian juga sampai sekarang. Antariksa-nya juga anteng-anteng aja lagi. Padahal Amara udah kasih kode-kode pengen diresmiin. Kenapa sih cowok susah banget peka?

Lah, curhat, Ra?

"Boytrapped, Sam. Di sono pasti banyak bule ganteng mau surfing," tukas Aurora lagi.

"It's goin down, baby," sahut Amara semangat. "Padahal ngga ada apa-apanya itu orang dibanding kalo abang lo yang surfing, Rang," bisik Amara pelan lalu berlari mengejar Antariksa yang sudah beberapa langkah di depan mereka.

***

"Ngedip An, ngedip," suara Amara memutus pandangan Antariksa pada gulungan ombak di depan sana.

Amara mengulurkan smooties kepada Antariksa dan mengambil posisi di dekat Antariksa. Antariksa menerima dan memberi senyuman memikat yang –demi Tuhan—kata Amara lebih ganteng dari mas-mas bule yang lagi seluncuran di atas papan surfing-nya. Sayang aja kemarin pas selancar si Anta ngga mau buka baju. Dia pakai kaos putih sama celana kanvas selutut aja gantengnya gini banget. Coba kalau ... ya itulah.

"Gue lupa deh mau nanyain, si Arang ngga jadi ke Hamilton ngga ngamuk?" tanya Amara.

Antariksa menggeleng, "Kalau udah ayah yang ngajak ngga akan berani ngerajuk sih dia. Ayah juga berasa nyeselnya ngga bisa ngajak si Ara ke sana. Bunda ngga ngasih izin dia jalan sendiri."

"Hahaha kalau si Arang pecicilan sampai sana, dikira uncompanied minor pasti. Lagian ngeri ah lagi musim dingin di sana. Itu orang kena suhu 0 derajat aja hatci-hatci pasti."

"Iya, ayah ngusahain libur kenaikan kelas nanti."

"Iya, si om libur big season gini masih aja ngerjain proyek. Emak bapak gue aja honeymoon lagi. Pengen punya dedek balu sih hehe," kata Amara cengengesan.

Antariksa menanggapi dengan senyum geli. "Proyek ayah emang mau survey ke wisatawan jadi sengaja pas musim liburan. Biar stasiun penelitiannya bisa disesuaiin sama preferensi mereka."

Amara manggut-manggut. Selalu suka dengan apa yang Om Auriga lakukan. Kalau Aurora bilang dia adalah fans nomor satu papanya, begitu juga Amara, dia fans nomor satu Om Auriga. "Oh iya, lo gimana UAS-nya kemaren?"

"Gitu aja," sahut Antariksa singkat, "Lo?"

Amara menyunggingkan senyum, "Gue lupa nanya siapa. Yang pasti ngga selancar lo pas ngerjain Fisika."

Antariksa ikut menyunggingkan senyum, yang lagi bikin Amara pengen guling-guling di pasir pantai. "Jangan merendah Amara," jawab Antariksa akhirnya.

Amara cengengesan mendengar tanggapan Antariksa. Lalu dia edarkan pandangannya melihat turis-turis sedang berjemur dengan pakaian minimalisnya. Yang membuat Amara iseng menggoda Antariksa tadi, yang sayangnya tidak ditanggapi olehnya. Amara juga tahu kalau pandangan Antariksa bukan ke turis dengan motivasi sea, sand, sun pergi ke Perth di musim panas ini. Jelas pandangan Antariksa menatap jauh ke depan, entah di mana fokusnya.

"Ehm ... An."

"Mar...,"

Mereka saling memanggil bersamaan. Amara lalu bilang, "Duluan An."

"Lo ... selama ini kenapa ngga pernah pulang waktu liburan?"

Mata Amara mengerjap sebentar, tak menyangka pertanyaan ini yang terlontar dari mulut Antariksa. "Menurut lo kenapa?"

"Jangan biasakan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan," sahut Antariksa kalem.

Amara menggigit bibir bawahnya, "Gue takut ketemu sama Arang, An. Lo tahu kaya apa kita berantem waktu gue pergi dulu."

"Gara-gara gue," sahut Antariksa lagi.

Amara menyapukan pandangan kemanapun selain ke Antariksa. "Bukan An, emang gue aja yang pecundang."

"Memang. Lo pecundang, Mar."

Amara membelalak lalu memandang Antariksa cepat, melihat Antariksa yang melihat dia dengan ekspresi tak terbaca, Amara menunduk langsung. "Maaf An. Gue pasti bikin lo susah nanggung kekesalan si Arang."

"Baguslah lo sadar," sahut Antariksa semakin datar.

Amara menggigit bibirnya lagi. Kejadian masa lalu yang sampai sekarang masih membuatnya merasa bersalah. Kejadian yang tak berani diungkitnya sampai sekarang.

"Makasih lo udah bantuin gue balik dengan perasaan lebih ringan," suara Amara masih lirih. Tiba-tiba dirasakannya rambutnya diusap. Pelan. Dan Amara rasanya sudah ingin menangis.

"Gue masih marah karena lo pergi dulu, Mar. Kalau aja lo ngga pergi, semua ini ngga bakal kejadian. Gue ngga bakal ada di kondisi yang bikin gue serba salah kaya gini."

Amara mendongakkan kepala dan usapan di rambutnya juga terhenti. Dilihatnya Antariksa menarik tangannya dan menangkupkan dengan tangan kirinya di depan kedua kakinya yang merapat. "Kita ... masih ngomongin Arang, An?"

"Gue perlu ngomong sama lo, Mar. Kesalahan gue."

Lalu pandangan keduanya menatap Aurora yang sedang main voli pantai asal-asalan dengan beberapa turis kecil.

***

Aurora sibuk dengan ponselnya. Arlo memang bukan –atau belum—jadi siapa-siapanya. Tapi Aurora yang sudah terlibat friendzone. Setidaknya menurutnya. Entah si Arlo. Modus lancar jaya, kalau ditanggepin dia melipir-melipir. Kan minta disate banget.

Seharian Aurora asyik main-main dengan Shafira di pantai. Standar orang main di pantai sebenarnya, tapi mengingat dua hari kemarin mereka sibuk eksplorasi pedesaan dan hutan ngikut ayahnya, baru hari ini mereka kembali ke resort di Perth. Hari keempat terlepas dari carut marut ibu kota. Aurora rasanya sudah pengen jumpalitan setiap detiknya.

GMT+8 di Perth, berarti sekarang di Jakarta jam 7 malam. Entah Arlo sedang di mana sekarang. Yang jelas, dia sedang menunaikan janjinya untuk mencari papanya. Itulah kenapa Shafira diajak ikut serta liburan keluarga Aurora.

Aurora memasukkan ponsel ke saku celananya dan jalan menuju pinggir pantai di mana bundanya tampak menyiapkan makan malam.

Welcome cholesterol.

"Yah, stasiun penelitiannya sama canopy trail-nya kapan mulai dibangun?" tanya Aurora begitu mereka selesai makan. Kumpul-kumpul keluarga mereka tetap masih dilaksanakan, ketambahan dua personil, Amara dan Shafira.

"Setelah tahun baru Dek. Kenapa? Asyik kemarin main di Pinnacles?"

Aurora mengacungkan dua jempolnya, "Ajib, Yah. Miriplah sama Situs Gunung Padang di Cianjur."

Ayah tertawa, "Perasaan kamu doang." Ayah lalu mengalihkan pandangan ke Amara dan Shafira yang duduk sebelahan, "Amara sama Shafira senang? Mau main ke mana lagi besok?"

"Asyik Om," jawab mereka bersamaan. Lalu Amara melanjutkan, "Besok sama Ara rencana mau jalan-jalan ke Kings Park aja Om."

"Idih emang gue ngajak lo," Aurora menyahut sambil memeletkan lidahnya.

Antariksa langsung menyahut, "Tenang Mar, ada gue."

Niat Antariksa menggoda Aurora berbuah kesemek, "Deuuuuu ... ADA SIAPA MAS? Noh Bun, si mas udah puber. Ati-ati mau bawa anak gadis orang ke mana tau tuh."

"Dih, emang si mas itu kamu apa. Liat bule-bule ngga pake baju aja ileran ke mana-mana. Si mas mah matanya udah dibentengi sama ayat kursi."

"Ah besok main ke Margareth River ah, kuliner-kuliner cantik di sana," kata Aurora cengar-cengir.

Bunda langsung mendelik, "Bunda lelepin kamu nanti Ningaloo."

"Wedesh, leh uga Bun. Lama ngga diving-diving cantik awak. Ayah nih ngga kasih izin aku ke Teluk Cendrawasih. Diving di Bali mah kurang sensasinya. Kaga ada hiu paus. Lagian ke Margareth mau makan jamur truffle sih. Emang dikira mau mabok-mabok anggun? Tapi anggurnya emang juara kelas dunia loh, Bun."

Bunda mengacungkan tangannya membentuk lingkaran dan menggerakkannya seolah menyentil Aurora.

Ayah tersenyum lagi, "Kalau ke Papua belum Ayah kasih izin. Mending kamu puas-puasin di sini aja, Dek. Ayah lebih tenang."

Antariksa tak tahan untuk menyahut, "Destinasi ngga kalah bagus. Cuma infrastruktur jauhnya banget-bangetan. Rinjani trekking center aja harus dibantu dari sini. Kayanya bagi orang sini, Indonesia malah udah jadi rumah kedua. Investor pariwisata kebanyakan dari Australia. Kebukti ngga sih sebenernya destinasi di Indonesia itu lebih-lebih dari sini? Coba aja kalau aksesibilitasnya bagus. Bandara perintis diperbanyak, shuttle bus, bangun great southern rail, pelabuhan layarnya diperbagus. Ngasih hak wisata ke penyandang disabilitas sama manula aja masih jauh banget kayaknya. Kapan ya pariwisata Indonesia kaya di sini, Yah?" Mulai deh Antariksa prepetan kalau udah masalah begini. Antariksa dan kenaifannya tentang negara tempat tinggalnya.

"Nanti kalau Ayah jadi Menteri Pariwisata ... atau Presiden?" sahutnya sambil terkekeh ringan.

"Lah, emang Ayah minat toh?" tanya Aurora takjub.

Ayah menggeleng sambil tertawa.

Aurora cemberut.

***

Amara tak bisa tidur. Dia keluar kamar meninggalkan Aurora yang lagi video call sama Om Arius. Habis itu ngarep Arlo yang ngehubungin dia gantian. Mampuslah, si Aurora love jones.

Amara tak ada klue sama sekali tentang apa yang ingin dibicarakan oleh Antariksa. Beberapa bulan belakangan, interaksi mereka stuck disaling berbalas pesan. Tak ada nada-nada flirtationship. Hanya pesan-pesan biasa. Seperti biasanya. Dan Amara kesal sekali. Bukan apa, awalnya setelah Antariksa membicarakan tentang kepercayaan yang dulu dibicarakannya, nyatanya sampai sekarang tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Atau belum?

Memikirkan itu membuat dada Amara sesak lagi. Antariksa dan segala teka-tekinya benar-benar mengesalkannya. Kenapa hatinya tak sejelas otaknya dalam memandang suatu hal yang pasti? Kenapa hati Antariksa seolah rumit sekali?

Amara celingak celinguk, saat yakin tak ada orang di dekat dia berdiri, dia berlari ke bibir pantai dan berteriak sekuat tenaga.

"ANTARIKSA ZAIDAN SEPTARIOOOOOOOOOOOOOO ... WHY ARE YOU SO ANNOYING? WHAT THE HECK ARE YOU DOING TO ME? CAN I JUST FORGETTING YOU AND MOVING ON? PLEASE, GET OFF MY HEA ... RT."

"Kenapa ngga yakin di kalimat akhirnya?"

Jantung Amara langsung berdebar dengan keras. Mendengar suara yang jelas dia tahu siapa yang mengucapkannya. Napasnya masih putus-putus usai berteriak tadi. Kini ditambah lututnya yang sedikit lemas karena emosi yang dikeluarkannya tadi cukup berhasil. Sepertinya. Sambil menetralkan napas dan debar jantungnya, Amara yang masih berdiri mematung memandang laut lepas di depannya mulai goyah. Dia jongkok sedikit dengan tangan memegangi kedua lututnya. Memejamkan mata dan menarik satu dua napas pendek.

Sampai beberapa menit berlalu, Amara tak juga menoleh. Tapi dia tak lupa harus menanggapi apa pertanyaan tadi. "Capek dan tersesat. Someone just takes my clarity. Dying in lost."

Lalu Amara jatuh terduduk. Masih dengan suara ombak yang berkejar-kejaran mencapai bibir pantai.

Tiba-tiba mengalun chords dari gitar yang dipetik dengan ahlinya. Amara merasakan lagi nyeri itu di dalam hatinya. Chord yang coba dimainkan oleh orang di belakang sana adalah ... lagu yang pernah dimainkan Amara dengan biola sewaktu drama kelulusan SD. Lagu perpisahan. Yang sebenarnya ditujukan untuk orang di belakangnya. Ternyata dia sadar lagu itu untuknya.

Do you remember when we were just kids
And cardboard boxes took us miles from what we would miss?
School yard conversations taken to heart
And laughter took the place of everything we knew we were not

I want to break every clock
The hands of time could never move again
We could stay in this moment for the rest of our lives
Is it over now, hey, hey, is it over now?

Sampai empat menit ke depan hanya nada dari petikan gitar itu yang terdengar. Selesai nada itu, ada pergerakan halus dari belakang Amara. Dan ... beberapa detik setelahnya tubuh Amara sudah hangat dalam rengkuhan.

"Kenapa momen kita selalu salah?"

Pertanyaan yang jawabannya tak ada yang mau dengar.

*

"Jadi, lo sama Kak Alyn pacaran, An?" tanya Amara, datar.

Antariksa sampai harus menoleh padanya untuk memastikan dia tak salah dengar akan ekspresi yang ditunjukkan Amara. Memangnya dia berharap apa? Bukannya bagus kalau Amara kalem saja? Memangnya dia berharap dimaki atau disumpahi?

"Iya."

Amara manggut-manggut, "Udah berapa lama?"

"Lima bulan." Antariksa mencoba menetralkan suaranya, "Tepat sehari sebelum kita ketemu. Atau, tepat di hari lo balik dari Belanda. Ya, sekebetulan itu."

Tidak ada yang tahu makna kalimat terakhir Antariksa barusan. Bahkan dirinya sendiri juga tak paham. Dia orang yang paling benci berandai-andai, terlebih untuk sesuatu yang sudah terjadi. Dan karena gadis di sampingnya ini, dia untuk pertama kalinya berandai-andai kalau waktu bisa diputar. Dirinya jadi dungu. Kenapa sih, kenapa dia juga harus jadi manusia sentimentil yang terlibat urusan pelik semacam ini? Tidak bisakah hidupnya berjalan normal saja? Dan fase menjengkelkan seperti ini di-skip saja? Membayangkan dirinya menjadi penyebab sakit hati orang lain sungguh membuatnya pusing.

Keputusannya dulu ternyata salah. Harusnya dia tidak seceroboh itu. 

"Seneng dengernya. Selamat ya An," ucap Amara terdengar tulus sampai dia mengulurkan tangan. Tak disambut oleh Antariksa.

Enak saja.

Antariksa tak butuh ucapan selamat. Dia butuh terbebas dari rasa bersalah.

"Santai banget lo ngomongnya setelah teriak-teriak kaya orang gila tadi," getas Antariksa yang membuat Amara reflek menarik uluran tangannya.

Amara mencoba menegakkan punggungnya, mencoba rileks, "Lupain yang tadi An. Gue ... udah ada niatan itu dari lama kok."

"Niatan apa? Move on dari gue? Iya, Mar?"

Anjir, harus banget diperjelas?

Amara menggigit bibir bawahnya, tanda kalau dia gugup. "Ngga bisakah kita skip this awkward convo?"

"Jiwa pecundang lo masih aja sampai sekarang," ucap Antariksa sengaja ingin menuai konfrontasi dari Amara.

Tapi ternyata tidak. Amara malah tertunduk lagi.

"Lo kenapa sih An, dari dulu selalu aja bikin gue ngerasa bersalah ngga habis-habis. Gue ngucapin selamat karena lo udah ada jadian sama cewek secantik dan sepintar Kak Alyn. Emang gue salah apalagi?"

"Your feisty scares me."

"W-what? Yaudah lah An, sebahagia lo aja gimana," kesal Amara lama-lama.

"Kenapa lo harus balik ke sini kalo cuma mau ngerusuhin gue?"

Wadehel.

"Maksud lo? Denger ya An, gue makasih banyak karena lo udah bikin gue sama Arang baikan. Tapi jangan terlalu over confident kalo gue balik cuma buat lo," napas Amara mulai tersengal. "Dulu ... Arang marah sama kita berdua. Dia marah karena gue pergi dan marah sama lo karena ngebiarin gue pergi. Marah karena lo ngga 'suka' sama gue. Anak SD dan kesoktahuannya. Arang pikir gue jadi ngomong ke lo tentang 'sesuatu'. Dan lo dulu sama sekali ngga cegah gue pergi. Mungkin lo pikir kalau gue akan lebih baik tinggal sama keluarga gue sendiri, tapi mungkin lo lupa, kalau gue dulu tetap di sini, gue juga bakal bahagia. Karena ada lo, Arang, tante sama om." Amara menghela napas, "Tapi nyatanya lo biarin gue pergi. Gue ngga masalahin itu An. Gue balik sekarang karena banyak alasan juga. Sebanyak gue akhirnya pergi dulu. Jadi lo jangan terlalu percaya diri."

Antariksa menautkan kedua tangannya dan menempelkan kedua telunjuknya yang menempel di dahi. "Why don't you at least ask to me how I feel about you?"

"Karena gue udah tahu jawabannya, barusan. Buat apa nanyain sesuatu yang udah jelas sih An?"

Antariksa mengangkat wajahnya dan memandang Amara tepat di bulatan berwarna almond yang selalu menampakkan binar, yang agak redup saat ini. Now, say it, An. Benar salah urusan nanti. "Past and present ... i do feeling for you. Ehm ... not feeling, falling."

Bulatan almond itu membelalak lebar, untuk beberapa detik lamanya Amara hanya memandang dingin Antariksa. Ekspresi yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya pada siapapun. Setelah berhasil menguasai diri, Amara berdecih, "Are you drunk? What the shit are you talkin about, Antariksa? Lo hati-hati kalau ngomong. Lo ... lo bukan orang sejahat ini. You're not kind of jerk."

"Nyatanya gue sebrengsek itu, Mar."

Kepala Amara mendadak pening. Gila apa kalau Antariksa bisa segini jahatnya? Tidak ... mungkin.

"Any explanation?"

"Alwaysthemore."

"Please, make it clearly, An. Lo bikin gue pusing."

.

.

.

"Alyn ... korban KDRT yang kebetulan jatuh cinta sama gue."

***

Udah berapa lama yak ane tak update? Maafkan hamba ya gengs :'( Ada yang mau jadi juru ketik ngga? Saking mumetnya sama tugas kuliah saya agak-agak muak sama laptop.

Hahahaha wdyt about Mas Anta? Bantuin gih, mumet banget dia kayaknya. Kayak aku. Hehehe :P Oiya, jangan protes kependekan ya hehe ;)

Maaf yes, Mas Arlo-nya belum muncul dulu. Lagi sibuk tugas negara haha :D Kalo Mbak Alyn ngga muncul, seneng-seneng aja kak kalian? Hahaha :D Jangan jahat-jahat sama Mbak Alyn, nanti cinta loh ujungnya :)

Ini rencana ane mau inspeksi dari part awal kalau ada tipo tipo atau ketidak konsistenan diksi atau apa. Bolehlah kalau hendak membantu dengan komen kalau ada tipo atau hal-hal aneh lainnya hehe :D

Lah sudah ah, terima kasih yang masih setia nunggu cerita ini. Dan ... terima kasih banyak yang masih mau-maunya baca I [Never] Give Up On You buat kedua bahkan ketiga kalinya. Really makes me happy. Terima kasih banyak, gengs :*

Maret, 15 2016 ^


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top