13 | Menyendawakan Keraguan
"Lho, Amara, ngga bawa mobil?" suara Antariksa mengagetkan Amara yang sedang berpanas-panas ria berdiri di depan gerbang sekolah.
Amara menurunkan masker dan mengaitkannya di bawah dagu dan membuka tudung jaketnya, "Anta?" seru Amara takjub mengetahui Anta mengenali dirinya dengan masker dan tudung menutupi kepalanya.
"Kaget banget," goda Antariksa sambil tersenyum kecil.
Amara cengengesan untuk menyamarkan wajahnya yang mendadak berubah warna, yang sayangnya sudah tertangkap netra Antariksa duluan. "Tumben balik cepet, An?" Amara bertanya sambil memandangi Antariksa dan sepedanya. Hal yang selalu membuat Amara takjub, pasalnya semakin panas, sepeda buatan si professor cilik itu bakalan berjalan semakin kencang. Amara adalah salah satu pengguna setia sepeda buatan Anta saat di Belanda dulu. Kalau lagi musim dingin, bisa pakai tenaga angin untuk membuatnya ringan dikayuh.
"Feeling ada yang butuh tumpangan," sahut Antariksa kalem.
"Sia—"
"Lo, Amara," sahut Antariksa cepat dan membuat wajah Amara tak tertolong lagi.
Amara terkekeh untuk menyamarkan salah tingkahnya, "Orang gue dijemput sih."
"Pak Doel udah di jalan?" tanya Antariksa lagi menanyakan supir Amara. "Tumben ngga bawa mobil?"
Amara menggeleng, "Masih nganterin papa dulu ketemu klien trus mau jalan ke sini. Ini aja gue mau balik ke dalem nunggu di kantin niatnya. Soalnya baru dikabarin kalau masih sama papa, Pak Doelnya. Kirain udah di depan tadi. Papa ngga kasih ijin bawa mobil An selama ujian."
Antariksa manggut-manggut, "Emang harusnya ngga boleh, Amara. Bikin khawatir aja."
Hah?
Diisyaratkan oleh Antariksa untuk segera naik ke boncengan, Amara dengan ragu-ragu naik. Gila, begini doang bisa bikin jantung trampolinan? Egila bener.
"Pegangan ngga dosa kok, Mar."
"Hah? Eh—iya, An." Lalu tangan Amara memegang kedua sisi samping tubuh Antariksa. Siang itu, udara Jakarta yang menyengat mampu menghangatkan hati Amara sampai ujung-ujung bibirnya menyendawakan senyum tak berkesudahan.
Amara masih takjub, ada untungnya juga dia sudah tak boleh bawa mobil oleh papanya. Dibonceng Anta serasa reward yang sepadan dari perjuangannya selama seminggu menempuh UAS.
"Mar, tidur?"
Reflek Amara mengeplak pelan punggung Anta, "Kalau tidur gue jatoh, Antariksa."
"Tumben diem."
Suara gue kalah sama detak jantung gue, tauk!
"Ngga diajak ngobrol habisan," sahut Amara menyindir. Mimpi apa Amara semalam? Perlakuan Antariksa yang mungkin saja hanya sebagai rasa empati ini disyukuri Amara. Betapa tidak, selama empat bulan dia kembali ke Indonesia, moment antara dia dan Antariksa bisa dikatakan benar-benar jarang. Paling hanya texting basa-basi yang menjadi satu-satunya pengukur kualitas hubungan mereka.
"Semakin dewasa orang, sekat itu terasa nyata ya, Mar?" tanya Antariksa tiba-tiba setelah terdiam cukup lama. Pelan sepeda yang membawa kedua anak manusia itu seolah merefleksikan bahwa sang pengendara tak mau moment ini segera berakhir. Kentara sekali. Tapi, Amara sepertinya tak paham.
Mengernyitkan dahi memikirkan pertanyaan Antariksa tadi, Amara tak yakin kalau pertanyaan itu ditujukan padanya, "Sekat itu untuk mereka yang ngga bisa jujur bahwa kedewasaan seharusnya tidak dibarengi dengan egosentris dengan merasa bahwa stigma kedewasaan merenggut kebebasan. Itu hanya pemikiran orang-orang sok penting."
Antariksa tertohok.
Melihat Antariksa yang diam, Amara kembali melanjutkan ucapannya. "An, mungkin ada masanya kita selalu berangan-angan untuk terus menjadi anak kecil yang polos dan tidak tahu kalau kehidupan luar segini beratnya. Ingin selalu menjadi anak kecil agar tidak menjadi korban persepsi orang dewasa yang hipokrit," Amara menghela napas sejenak dan menyeka dahinya yang meneteskan keringat, "tapi, menjadi dewasa bukan berarti kita tidak bisa berlaku jujur. Sekat-sekat yang lo bilang tadi, selama itu membatasi gerak lo untuk bertindak jujur, robohkan, An. Mungkin benar apa kata orang, jangan jadi dewasa tapi jadilah bijaksana."
Cengkeraman tangan Antariksa pada stang sepeda semakin mengetat. Perkataan Amara tadi membuatnya pening bukan main. Hipokrit. Satu kata itu terasa menyeramkan buat Antariksa.
"Mar," panggil Antariksa pelan.
"Hmm ...,"
"Sekat itu ... kita ... bisa dihilangkan?"
Amara menegang mendengar pertanyaan Antariksa, entah apa maksudnya, merinding saja dia mendengarnya. Baru akan membuka mulut, mereka sudah sampai di depan rumah Amara dengan gerbang kayunya yang tinggi. Perjalanan selama lima belas menit itu sama sekali tak terasa. Walaupun hanya didominasi kebungkaman keduanya.
"Mampir, An?" tawar Amara begitu dia turun dari boncengan Antariksa dengan ogah-ogahan.
Antariksa menggeleng sambil tersenyum, "Lain kali aja, Mar. Salam buat Tante Jenny."
Amara mengacungkan jempolnya dengan senyum lebarnya, "Makasih banyak ya, An. Salam buat orang rumah juga."
Antariksa mengangguk. Dan keduanya diam lagi. Canggung. Kalau Amara tak mau Antariksa cepat-cepat pergi, entah kalau Antariksa apa yang dirasakan.
"An, ngga balik?" tanya Amara akhirnya setelah mereka terdiam cukup lama tanpa saling memandang.
Antariksa menoleh dan memandang tepat di netra Amara. Fatal. Jantung Amara tak karuan lagi. "Gue nungguin jawaban lo."
Amara mengernyit heran lagi, pertanyaan yang ma—oh! "Kita ngga ada sekat, Anta. Kita temenan sampai kapanpun." Lalu Amara memberikan senyum paling manis pada Antariksa. Sampai-sampai Antariksa harus menundukkan pandangannya, terlalu menyilaukan.
Dan ... teman? Rasanya itu gagasan yang kurang disukai Antariksa. Ya Antariksa, memang kau sudah menjadi hipokrit. Untuk waktu yang lama. Seolah ada setan yang membisiki kata itu tepat di rungunya.
"Mar,"
Hati Amara berdesir. Dia merasa norak sekali. Banyak yang memanggilnya seperti itu, tapi khusus dari Antariksa pasti memberikan efek yang berbeda.
"Iya, Antariksa Zaidan Septario?" sahut Amara sambil tertawa –menyamarkan kecanggungan—menggoda Antariksa.
"Kalau suatu saat terjadi sesuatu ...," Antariksa mengalihkan pandangan lagi, terlihat ragu dengan kata yang akan diucapkan selanjutnya. Melihat itu, Amara tergerak untuk mendekati Antariksa dan memegang pelan bahunya. Antariksa menoleh dan memandang tangan Amara di bahunya. Isyarat, Amara akan selalu ada untuk Antariksa. Antariksa merefleksikan senyum tipis, "Gue berharap lo percaya sama gue."
Apa-apaan?
"Sesuatu seperti ...?" cicit Amara menyuarakan pikirannya.
Antariksa terlihat enggan menjawab, "Bisa 'kan, Mar?"
Lo aneh banget, An. Apa coba maksud lo kaya gini? Apa? Di saat gue pikir udah mau nyerah buat lo, ada aja kelakuan lo yang nahan gue. Mau lo apa?
Mendung di wajah Amara membias dan membuat Antariksa jengah memandang lama-lama. "Lupain aja, Mar," kata Antariksa akhirnya.
Amara sontak langsung menggeleng keras, mengutuki dirinya yang sempat ragu. "Gimana bisa gue ngga percaya sama lo, An? Dari dulu ... lo tahu 'kan?"
Reflek tangan Antariksa terangkat dan mendarat di kepala Amara. Mengusapnya pelan. Waktu di dunia Amara terasa membeku. Ditambah dengan senyuman Antariksa, mana bisa dia tak berkata 'iya' atas semua permintaan Antariksa?
***
"Halo, Masku yang ganteng. Buruan masuk, mau rapat nih," seru Aurora heboh menyongsong Antariksa di depan rumah.
Tangan Antariksa bergerak duluan mengacak-acak rambut adiknya. "Gue masih dua bulan lagi liburnya, Dek."
"Ih nggapapa, bahas dulu sih. Udah sumpek banget gue seminggu UAS mau muntah."
Antariksa masuk ke dalam rumah dan menyalami bunda serta ayah yang ternyata sudah pulang dan sedang mengganggu bunda yang memasak di dapur. Kelakuan orangtua, emang dasar.
Antariksa geleng-geleng kepala melihat tingkah orangtuanya, tangan ayah yang belepotan adonan bakwan karena dipeperin bunda karena ayah gangguin bunda, peluk-peluk pinggang bunda gitu. Pengen. Memang menjadi seperti orang tuanya adalah relationship goals yang sudah tertanam jauh di pikiran Antariksa. Tapi ... Alyn? Ah, semoga nasib baik segera berpihak padanya.
Meneguk segelas air, dia keluarkan ponsel dari dalam ransel depannya.
Antariksa : Udah sampai rumah. Di rumah banyak makanan. Ngerayain si Ara kelar UAS. Lo ke sini harusnya.
"Deuh, ada urusan apa lo bilang-bilang ke Sammy kalo udah nyampe rumah?" Aurora yang daritadi mencuri lihat apa yang diketik Antariksa sambil senyum-senyum sungguh memancing kecurigaannya, bah ternyata lagi texting sama Amara.
Antariksa memandang Aurora malas, "Itu ngga sopan, Ara."
"Gile, jangan-jangan di belakang gue, lo berdua udah jadian lagi," sahut Aurora dengan muka jahilnya.
"Jangan nga—"
"BUNDA! AYAH! JADI NIH BESANAN SAMA OM ZIKO," seru Aurora heboh sambil loncat-loncat menghampiri ayahnya dan bundanya.
Antariksa cuma geleng-geleng. Dan... mengamini dalam hati.
*
Setelah makan malam yang super meriah hasil kreasi bundanya dibantu oleh Antariksa, direcoki Aurora dan Ayahnya, akhirnya mereka melakukan ritual malam di dekat kolam. Seperti rutinitas mereka selama ini yang jarang sekali terlewat.
Antariksa masih curi-curi pegang ponsel, yang Aurora yakin pasti berlanjut texting dengan Amara. Tak apalah, sah saja kalau itu. Bunda lagi ngemil keripik nangka, yang kalau Aurora minta suka ditarik-tarik menjauh. Bunda pelit. Ayahnya lagi makan yoghurt yang kalau Aurora minta suka disuapin. Ayah baik.
"Dek, Ayah belum sempat ngecek rekening terbaru yang kamu transferin uang. Rekening siapa itu? Si Mas juga ya, ada rekening baru?" tanya Ayah memecah masing-masing aktivitas. Mulai mengajak diskusi.
"Oh, itu. Iya, Yah. Aku sama mas ikut jadi fundraiser buat campaign rumah singgah penderita kanker. Aku ke Yogya, si mas ke Jakarta. Enak, Yah, sekarang jamannya 'kan serba fundraising gitu, jadi kalau ada hal emergency atau mau campaign minta bantuan buat kemanusiaan tinggal isi form aja terus jalan deh penggalangan dananya online."
Ayahnya manggut-manggut dan tersenyum bangga, dielusnya rambut putri kesayangannya itu. Orangtua mana yang tidak bangga saat anaknya sudah bisa mandiri bahkan tanpa banyak campur tangan darinya? Putrinya ini, sudah uang bisa menghasilkan sendiri, tapi tak pernah dinikmati sendirian. Ayah merasakan haru yang luar biasa, lalu dengan penuh kasih dipeluknya Aurora dengan segenap hatinya. Berterima kasih pada anaknya yang telah tumbuh menjadi gadis yang mulia hatinya.
Bunda yang melihat ayah peluk-peluk Aurora juga ikutan menghampiri Antariksa dan memeluknya. Walaupun sedari tadi sibuk ngemil keripik nangka, bunda mendengarkan setiap detail yang diucapkan oleh Aurora. Dirasakan oleh bunda, bagaimana Antariksa membalas pelukan sama eratnya. Dalam hati mendokan, semoga kedua buah hatinya selalu dibersamai oleh kebaikan.
"Dek, kamu kok ngga pernah bawa temen ke rumah sih? Temenmu cuma Amara ya? Songong kamu ya pasti di sekolah?" Berondong bundanya mengalihkan suasana sendu melagu usai melerai pelukan untuk Antariksa. Aurora sih masih betah dipeluk-peluk ayahnya. Makannya bunda beraksi.
"Ih Bunda mah gitu ke anak sendiri dibilangin songong. Giliran si mas ngga pernah bawa temen aja ngga pernah ditanyain."
Bunda mencibir, "Ih kalau masmu nanti bawa temennya ke rumah, cewek-ceweknya kecentilan yang pada main. Sorry la yaw, kesian anak Bunda dicemek-cemek."
Ayah sudah memberikan gestur protes atas perkataan bunda yang ditanggapi bunda dengan cengiran. Aurora sudah ngakak sampai seluruh tubuhnya berguncang. Astaga, bunda ini ibu macam apa coba?
"Ntar kalau cowok-cowok pada ke sini Bunda stress lagi anak ceweknya banyak yang ngecengin." Aurora membalas perkataan bundanya masih dengan cengiran di wajahnya.
"Idih, sok laku banget sih kamu, Dek. Mana buktiin coba, selama ini yang ke sini cuma si Ar—"
Wajah Aurora langsung panik, "Amara itu kurir cintaku, Bun. Dia bawa banyak pesan dari penggemarku. Bahagia aja dia ke sini sekalian ngecengin si mas." Aurora bicara cepat sekali sampai membuat bunda takjub. Padahal maksud bundanya kan si Arlo, kenapa jadi Amara, coba?
Aurora melirik takut-takut pada Antariksa yang tahunya kembali sibuk dengan ponselnya. Dia langsung bernapas lega.
"Jadi bener ini si Mas udah jadi nih sama Amara?" tanya ayah ikutan nimbrung.
Aurora menyenggol lengan Antariksa, yang disenggol hanya menggeleng. "Engga, Yah. Jangan percaya sama si Adek."
"Deuh ngeles, daritadi udah cengar-cengir aja padahal itu segala LCD hape disenyumin."
Antariksa mengabaikan godaan Aurora. Bundanya ikut menyahut, "Lah, bukannya kamu sama Al—"
"Engga Bunda, Mas ngga sama Amara dibilangin juga." Sahut Antariksa cepat lagi-lagi membuat bundanya takjub. Padahal maksud bundanya 'kan si Alyn, kenapa jadi Amara lagi, coba? Kasian amat si Amara dijadiin tameng anak-anaknya.
Bunda dan Aurora memandang curiga pada Antariksa yang dengan perasaan tak bersalah mengabaikan keduanya.
***
Amara : Udah malam Anta, besok lagi baca Bloomberg-nya.
Antariksa : Udah malam Amara, besok lagi baca James Joyce-nya.
Amara : Padahal cuma lagi texting
Antariksa : Padahal cuma lagi texting (2)
Amara : Yeye Anta, sebentar lagi kamu lucu.
Ujung-ujung bibir Antariksa tertarik ke atas. Perasaan ini terasa berbeda dengan perasaan itu. Sudah sejauh apa dia bermain-main dengan perasaan?
Antariksa : Apa serunya baca novel?
Beberapa menit tak ada balasan, Antariksa sudah nyaris meletakkan ponselnya di atas nakas. Sampai ada tanda lagi pesan masuk.
Amara : Maaf tadi dipanggil Papa. Akses pralinguistik ini meyakinkan manusia melacak pelbagai jenis kegilaan, obsesi, depresi dan melankoli yang mungkin hilang dalam sistem representasi dari tanda-tanda, yakni bahasa.
Antariksa : Dan itu adalah perkataan?
Amara : Hehe ngga ada tampang ya aku ngomong bener begitu. Itu perkataan Dewi Candraningrum waktu penganugerahan Kusala Sastra Khatulistiwa.
Antariksa : Cuma kalo ngobrol sama lo, gue jadi ngerasa bego.
Amara : Aw aw Mas Anta. Kalo gue kok bego terus ya perasaan kalo ngobrol sama situ?
Antariksa : Jangan merendah, lo selalu bisa ngimbangin obrolan gue. Dasar cerewet :)
Amara : Ampun deh, dibilang cerewet sama Anta ._.
Antariksa : Kenyataan. Mar, liburan semester mau ke mana?
Amara : Belum ada rencana. Papa lagi sibuk kayaknya :(
Antariksa : Join kita aja.
Setengah mati Antariksa berharap Amara tidak curiga. Semoga caranya ini masih termasuk cara halus untuk mengajak Amara ikut serta.
Anta, Anta, apasih maumu?
Amara : Wah, mau ke mana kalian?
Antariksa : Hamilton.
Amara : Whoa, siapa yang ngusulin?
Antariksa : Siapa lagi
Amara : Oh hahaha. Masih aja ya kalian diperbudak sama si Arang. Apalagi alesannya kali ini?
Antariksa : Mau lihat head office Accenture. Ngaco emang.
Amara : Bisa banget alesannya dasar si ganjelan kulkas. Kirain berlayar aja gitu, kan Hamilton free port ya?
Antariksa : Amara pintar :)
Amara : Aw aw
Antariksa : Ikut ya?
Amara : Mau banget gue ikut? ;)
.
.
Antariksa ngga halus nih mainnya!
Antariksa : Kalau bersedia.
Amara : Hehe ijinin Papa ya tapi?
Antariksa : Sip. Om Ziko urusan ayah ntar.
Amara : Idih hahaha
.
.
Antariksa : Mar
Amara : Iya?
Antariksa : Tidur
Amara : Iya
.
.
Antariksa : Ngga ngucapin balik?
Nice shoot, Anta!
Amara : Selamat tidur, Antariksa. Semoga mimpiin... (isi sendiri titik-titiknya)
Lo.
Antariksa : Besok hati-hati kalau ke sekolah. Besok mau balik bareng?
Amara : Lah, udah ngucapin selamat tidur tadi padahal hahaha. Boleh boleh kalo ngga ngerepotin :)
Antariksa : Sama sekali (draft)
Belum selesai Antariksa menulis pesan lanjutan. Di pop up muncul nama seseorang yang membuat tubuh Antariksa mendadak kaku.
.
Aaralyn : Selamat tidur, Sayang :)
Sampai kapan, Anta? Sampai kapan kau akan berhenti berpura-pura?
***
Selesai kumpul wajib dengan Nusapacita, Aurora bersiap-siap pulang. Masih banyak waktu untuk lanjut hibernasi setelah dia semingguan harus bergulat dengan soal UAS yang susahnya naudzubillah. Tapi terasa lebih mendingan karena ada ... Arlo sebagai tutornya.
"Astaga," reflek Aurora karena berasa mau jatuh setelah merasa kakinya dijegal seseorang. Aurora memegang tangan seseorang untuk menumpunya agak tak jatuh. Begitu merasakan posisinya kembali berdiri seimbang, Aurora memandang orang tersebut, yang berbaik hati menahan tubuhnya tapi juga berburuk hati menjegalnya. Lah, siapa lagi kalau bukan kelakuan si Arlo.
"Uh, ciye Mas Alo ululuuuuu," koor semua orang dari dalam basecamp.
"Heh, tuyul beranak. Kurang-kurangin kelakuan iseng," desis Aurora pelan. "Lo sengaja mau digosipin sama gue ya?" tambah Aurora lagi.
Bukannya membalas pertanyaan Aurora, Arlo sekonyong-konyong malah menahan senyum dan seringaian yang mencurigakan. Diangkat tangan kanannya dan mendarat dengan manis di bahu Aurora.
"Uhh, Mas Aloooo ntaaaaabs manuvernya."
"Cihuy."
"Skandal."
"Romansa."
"Payung Teduh."
"Tarintih."
"Taifun."
"Menuju Senja."
"Cinta Melulu."
"Itu Efek Rumah Kaca, bego."
"Tadi juga Barasuara."
Dan seruan-seruan serupa memang dengan sengaja dipancing oleh Arlo seiring Aurora berusaha melepaskan diri dari rangkulan Arlo. Tak bisa tapi, bahunya dicengkeram kuat. Ini orang minta diinjek lagi kakinya?
Arlo menghela Aurora untuk meninggalkan rekan-rekannya di basecamp yang masih menyerukan seruan-seruan sampah. Memang gossip kedekatan Arlo dan Aurora sudah tak bisa dihindari. Hanya orang buta yang pura-pura bego kalau tak menyadari interaksi aneh keduanya.
"Hih, lepasin!" akhirnya dengan kekuatan terakhir, Aurora melepaskan rangkulan Arlo. Kali ini tak begitu sulit, karena Arlo emang berniat melepaskan dengan mudah. Nyebelin emang!
"Ayo, princess, abang anterin ke depan nunggu uber. Wah, tuan putri udah naik kasta ya? Dari gojek jadi uber," sahut Arlo cengengesan.
Aurora mendengus keras, "Princess gundulmu! Lo ngapain sih Ar mancing-mancing gossip kaya gitu? Geli tau ngga?"
"Ih abang ngga gelitikin lho padahal," sahut Arlo kalem dan Aurora berang.
"Sinting!" bentak Aurora lalu dia berlalu cepat-cepat dari hadapan Arlo.
Arlo buru-buru mengejar dan menyamai langkah Aurora, "Ngambek mulu, Ra. Kaya Inggris ngambek trus nyekal Donald Trumph." Aurora diam saja tak membalas. Arlo tak habis ide, "Mau dijadiin fakta, gosipnya tadi?" pertanyaan Arlo yang membuat Aurora langsung berhenti. Tegang.
Kode mulu dah. Nembak kagak!
"Deuh, selera humor lo tinggi juga ya. Maunya yang fakta-fakta melulu. Dah kaya Rasulullah aja kalo becanda gaboleh boong," sambung Arlo lagi.
Kampret kan emang!
Aurora buru-buru meninggalkan Arlo dan berjalan secepat yang dia bisa.
*
Arlo : Malem ini gue jemput jam 7.30. Formal dress code.
Kesal, Aurora melesakkan ponselnya jauh ke dalam tasnya. Interaksinya yang semakin dekat dengan Arlo membuatnya berada pada kebimbangan yang besar. Bukan karena Arlo kerjaannya yang kode melulu, tapi memang dia sepertinya cuma main-main. Bukan berarti juga Aurora ngarep banget, cuma kan, bisa kali ngga usah bikin orang senewen sama gombalan dan kode-kode sampahnya?
Begitu sampai rumah, dia mendapati Antariksa yang sedang berada di perpustakaan.
"Tumben ngga kumpul sama klub lo, Mas?" tanya Aurora lalu dia merebahkan diri di depan iMac setelah memutar lagu-lagu Owl City.
"Ngga, ada perlu tadi."
Aurora menyipitkan mata dan menopangkan tangan kanannya untuk menyangga kepala, lalu menghadap ke Antariksa. "Perlu nganterin Amara balik?" pertanyaan Aurora yang sungguh mengundang senyum.
"Tau—"
"Salah sih lo suka sama cewek bocor kaya dia, ya sepagian udah heboh lah dia nyerocos kemaren dianterin pulang sama lo. Ah uh, so-k sweet."
Antariksa tak menanggapi lebih lanjut perkataan Aurora. Juga Aurora tak ambil pusing, begitu dia mau melanjutkan tidurnya, dia berkata, "Jangan nyakitin Amara, Mas. Nanti dia pergi lagi."
Perkataan itu meninggalkan getir di hati Antariksa.
*
Si Arlo ngga becanda! Habis selesai salat Maghrib dan mengaji, Aurora balik ke kamar untuk mengambil buku yang terakhir dia baca yang nantinya selesai makan malam ingin dia diskusikan dengan ayah dan kakaknya. Begitu melihat ponsel, berondongan pesan Arlo yang bilang dia sudah di jalan tak ayal membuat Aurora panik. Buru-buru dia ganti baju ala kadarnya tapi pantas, sebodo amat sama formal dress. Kurang kerjaan.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan keluarganya, Aurora cuma pamit sama bunda yang lagi nyiapin makanan di dapur. Setelah diberi izin, Aurora buru-buru ngacir ke luar rumah. Tepat saat mobil Arlo datang.
Aurora buru-buru naik dan menyuruh Arlo cepat, supaya tak ketahuan Antariksa.
"Lo paham yang namanya formal dress ngga sih?" tanya Arlo kesal begitu mendapati Aurora hanya memakai celana jeans, kemeja dengan outer sweater.
"Idih, gausah lah ya. Kaya gue bilang iya aja tadi," sahut Aurora.
Arlo mendesah pasrah dan kesal membuka kancing kemejanya. Dia lepaskan stir sejenak dan melepas jasnya. Aurora bahagia membuat Arlo kesal.
"Makannya gausah banyak gaya jadi orang. Duit masih minta aja sok-sok ngajak makan fenci-fenci. Dahlah ke Rasuna Said aja makan pecel ayam pake kol goreng. Lama juga ngga ke sana." Aurora ngoceh tanpa ambil pusing raut wajah Arlo yang sungguhan ingin memutilasinya. "Duh sabar ya, Nak, bentar lagi kita makan enak," tambah Aurora lagi sambil mengelus perutnya. Meninggalkan Arlo dengan wajah paling bloon.
*
Pada akhirnya Arlo cuma tersenyum begitu melihat betapa kekanakannya Aurora yang minta-minta kulit ayam pada Arlo. Dilihatnya ekspresi paling tulus bahwa Aurora sungguhan tak merasa risih makan di tempat yang tidak Arlo bayangkan sebelumnya. Lagi-lagi Arlo dibuat tercengang dengan interaksi natural penjualnya yang sudah mengenal Aurora dengan baik. Seperti biasa, sambil menemani abangnya yang asli Lamongan menggoreng ayam, Aurora prepetan meninggalkan Arlo di emperan. Dipikir Arlo, Aurora adalah sosok cewek high maintenance seperti temen-temannya. Tapi nyatanya, high maintenance Aurora adalah requiring a lot of attention –mungkin—dan bukan a person who has expensive taste –walaupun ini ngga salah juga—dan Arlo cukup lega dengan kesederhanaan Aurora yang bahkan sebenarnya bisa berlaku mewah melebihi Syahrini.
"Udah sering banget ke sini emang?" tanya Arlo di sisa-sisa suapan makan mereka.
Aurora mengangguk, "Lumayan. Dulu sama temen-temen SMP sering ke sini kalau habis ngajar anak-anak rumah singgah."
"Hah?"
"Dah lupain aja."
Arlo kembali fokus pada makannya dan melihat Aurora yang tanpa canggung makan dengan tangan kosong. Bagaimana bisa dia memiliki begitu banyak rupa yang semuanya memesona?
Lamunan Arlo dibuyarkan oleh lantunan lagu Jason Mraz I'm yours dengan aksen yang salah kaprah. Aurora sudah tertawa melihat tampang Arlo yang menyiratkan protes. Sebelum beneran diprotes, Aurora mendekati tiga orang pengamen itu dan meminta lagu.
Alun beralun pikir mengalun
Beterbangan khayal keinginan
Lelah memilih arah terpasti
Jelaga malam halangi
Oh raga...
....
Arlo sudah sukses melongo. Dipikirnya Aurora mau request lagu kekinian gitu. Tahunya?
"Anjir, Ra, lagu jaman nenek moyang banget yang lo request?"
Aurora menggeleng, "Enak aja. Jaman kakek gue tahu. Seru tahu kalau lagi di Jogja sering banget denger lagu Kla Project ini. Musiknya enak aja gitu masuk ke kuping."
Dan begitulah selama satu jam ke depan, diisi lantunan lagu-lagu Kla Project satu album, dari Kidung Mesra, Satu Kayuh Berdua, Menjemput Impian dan entah apalagi yang kata Arlo sudah sangat 'jadul' tapi nyatanya si Aurora hapal mati liriknya. Juga mendengar suara Aurora yang ikut menyenandungkan lagunya, yah, suaranya lumayanlah—lumayan, ancur.
Sudah merasa senang dan kenyang, Aurora tanpa pikir panjang mengeluarkan uang seratus ribuan yang disambut bahagia oleh ketiga pengamen itu. Bonus selfie bareng Aurora. Aurora ngakak, berasa artis diajakin foto segala.
Arlo takjub lagi.
*
Sudah bagus-bagus membangun mood, Aurora mencak-mencak waktu tahu Arlo mengajak ke hotel. Hotel miliknya. Yang awalnya tadi akan menjadi tempat untuk makan malam mereka.
"Lo kenapa kaga bilang kalo makan di hotel punya lo? Ih, gue udah kenyang gimana dong? Aelah lo ga asik banget sih, Ar."
Giliran Arlo yang ketawa lebar-lebar, "Makannya jadi bocah ngga usah sok-sok idealis. Emang gue mampu kali ngajak lo makan di tempat fancy."
Aurora masih menggoyang-goyangkan badannya merajuk, "Yaudah, minggu depan ajakin ke sini lagi yak?"
Arlo cuma membalas senyuman perkataan Aurora dan tetap tenang di dalam lift yang entah membawa mereka ke sana. Aurora mah cuma ngikut. "Boleh, ntar mabok bareng kita. Gue racikin minuman yang seger-seger buat lo."
Aurora langsung mendelik, sampai dua orang sepasang suami istri yang ada di dalam lift yang sama ikut memandang Arlo horror. "Dasar bocah gila!" Aurora tampak kepikiran sesuatu, "di sini ya lo suka mabok-mabok ngga jelas? Dan si Shafira yang masih kelas 4 SD itu sendirian nyari-nyari lo ke sini? Astaganarji, baek-baek lo sama adik sendiri."
Dua orang sepasang suami istri itu semakin menatap tajam Arlo. Lalu suaminya mengelus perut istinya yang belum kentara sedang hamil. Seolah gerakannya bilang, 'amit-amit jabang bayi, jangan sampai anakku kelakuannya kaya setan begitu.'
*
Ternyata Arlo mengajak Aurora ke rooftop. Perlakuan yang kata Aurora sebenarnya basi banget, kalau memang niat buat modus. Tapi amannya, sepertinya Arlo tidak minat begitu.
"Salah banget sih lo ngajakin gue ke tempat beginian. Tetap aja pemandangannya bikin mata gue sakit, hati gue nyeri. Pasokan listrik yang bisa buat berapa provinsi abis di sini doang," protes Aurora setelah memandangi hamparan gedung-gedung pencakar langit di depannya.
Arlo memutar bola mata jengah, "Udah deh gausah mulai sok idealis. Lo minta dicipok apa ya baru bisa diem?"
Mata Aurora membelalak, "Hih! Fogging dah itu mulut, kebanyakan penyakit. Lagian bener kali, pemasukan pajak negara sampai 11,702 triliun dari pertambangan, industri strategis dan media yang banyak dihasilin dari ibu kota yang lo bangga-banggain ini belum bisa bikin distribusi listrik bisa merata. Heran gue, tega-tega amat ya orang-orang di parlemen itu. Pinter sih ... tapi gak guna."
"Udahlah, Ra. Penyakit hati lo itu ilangin. Belum tentu kalo lo yang berdiri di sana lo bisa berbuat lebih baik. Lo disubsidi pemerintah biar bisa ikut bikin perubahan yang baik. Jangan kebanyakan nyinyir."
Anjir gue dibilang nyinyir.
"Gak gitu maksud gue. Sekarang raison d'etat* bikin orang-orang makin sengsara. Kemitraan Trans-Pasifik juga apa?"
"Udah gue bilang, mending balik ajalah kalau lo ngoceh mulu tentang itu. Gausah sok pinter berasa lo yang paling ngerti apa yang baik buat negara ini. Lo tuh masih piyik."
Aurora mencubit lengan Arlo dengan kesal, "Iya kampret gue diem."
"Nah gitu udah diem, cantik 'kan. Kalau mau adu bacot sama gue belajar yang bener dulu. Update informasi lo tentang utang luar negeri terhadap pendapatan domestik bruto dulu baru ngomongin raison d'etat."
Aurora kicep, benar kata Arlo, dia masih harus banyak belajar. Pengalaman kalau debat sama Arlo dia selalu kalah. Huh.
Arlo membuka mulut lagi, "Mending lo belajar yang lebih berguna. Noh di perpustakaan nasional ada 10.300 naskah kuno warisan kearifan lokal yang nunggu buat dipelajari sama generasi muda."
Kicep lagi. Aurora udah keseringan mati kutu. Besok-besok dia ngajak debat Arlo tentang manga ajalah.
Melihat Aurora yang diam, Arlo mengulurkan tangannya untuk menggapai kepala Aurora. Hal yang akhirnya kini berani dia lakukan seiring 'kedekatan' mereka. Dan reaksi Aurora selalu sama, menegang. Kalau sudah berbuat seperti ini, Arlo benar-benar membuat Aurora tak berkutik. Mengingat sebenarnya dia paling sebal kalau ada orang pegang-pegang kepalanya.
Diacaknya pelan rambut Aurora yang lembut. Arlo kemudian mendekat dan kemudian mendongakkan dagu Aurora untuk menghadap ke arahnya. Kedua netra itu bertemu. Netra coklat kopi milik Aurora, bertemu dengan jelaga hitam milik Arlo. Tak dipungkiri, jantung Aurora mulai tak terkontrol detaknya. Semakin Arlo mendekat, Aurora semakin terkunci. Tepat beberapa senti, Arlo membuka mulut, "Malam ini gantian lo yang dengerin gue." Lalu Arlo berlalu dari hadapan Aurora dan membuat Aurora cepat-cepat meraup udara sebanyak-banyaknya.
Aurora mengikuti Arlo yang duduk di lantai rooftop yang berfungsi sebagai helicopter landing pad ini. Ditumpu berat tubuhnya dengan kedua tangannya yang menekan lantai. Menikmati semilir angin yang berhembus lumayan kencang.
"Jadi lo mau cerita apa?" tanya Aurora akhirnya setelah mereka terdiam cukup lama.
"Beban gue. Hotel ini. Shafira."
Aurora mengangguk takzim, "Cerita aja. Gue dengerin."
"Bokap gue ... dia ... entah di mana sekarang." Arlo tampak mengambil napas pelan, "Setelah nyokap ngga ada, bokap nyaris gila. Keluarga gue yang awalnya kaya mimpi indah, sekarang jadi mimpi buruk berkepanjangan."
"Nyokap—"
"Meninggal waktu ngelahirin Shafira."
Aurora mengatupkan mulutnya lagi. Menunggu Arlo kembali membuka suara, "Shafira ... lo tahu bokap ngga pernah mau nyentuh dia. Sakit Ra, gue ngeliatnya. Dan saking sakitnya, gue ikut-ikutan ngga pernah nyentuh dia."
Aurora membekap mulutnya. Hatinya dihantam nyeri yang luar biasa, "Jadi itu alasan dia mysophobia?"
Arlo mengangguk, "Dia selalu menganggap dirinya kotor karena bokapnya sendiri ngga mau nyentuh dia. Abangnya sendiri sama brengseknya. Lo bisa bayangin betapa kesepiannya dia, Ra?"
Air mata Aurora sudah menetes, satu per satu. "Salah apa dia sampai bokap segitu jahatnya sama dia? Gue segitu pengecutnya ngga bisa ngelindungin dia. Gue marah sama keadaan. Gue ngga mau ada dia, gue cuma mau nyokap gue balik."
Pandangan Arlo menerawang, "Sampai akhirnya gue sadar. Nyokap nitipin dia buat gue jaga. Nyokap suruh gue jadi abang yang baik buat dia. Nyokap suruh gue ngebimbing dia biar jadi gadis yang baik. Nyokap ngasih dia buat pelipur lara gue sama bokap. Nyokap ... gue kangen nyokap, Ra."
Aurora reflek menggerakkan tangannya mengelus punggung Arlo, menenangkan. "Gue harus apa, Ra? Gue harus apa?"
"Bawa bokap lo balik, Ar. Buat keluarga lo balik. Shafira ... dia berhak bahagia. Dia masih terlalu kecil buat lo ajak menderita kaya gini," Aurora berkata di sela isakannya.
"Gue ngga tahu, Ra. Gue ngga yakin bisa. Bokap udah terlalu asyik sama sakitnya sendiri."
Aurora meraup tangan Arlo dan menggenggamnya di punggung tangan, "Gue yakin lo bisa, Ar. Bokap lo cuma butuh alasan buat bertahan. Kalian—lo sama Shafira bisa jadi alasan bokap lo. Jangan jadi pengecut dengan ikut-ikutan nyakitin adik lo yang ngga tahu apa-apa. Dia masih terlalu kecil buat lo kasih penderitaan."
Mereka saling terdiam untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Arlo mendongakkan pandangan pada Aurora yang masih sesekali dua kali menyeka air matanya. Mungkin teringat Shafira. Balik digenggamnya tangan Aurora yang melingkupi punggung tangannya sampai membuat Aurora memandangnya.
Tak tahu dorongan dari mana, tahu-tahu Arlo menggerakkan tubuhnya dan membawa Aurora dalam pelukannya. "Sebentar aja, Ra."
Tubuh Aurora yang menegang perlahan rileks.
Dan Arlo merasakan kenyamanan yang selama ini dia rindukan. Pelukan seorang Aurora membuainya hingga dia lupa sakitnya beban yang ditanggungnya selama ini.
***
[Footnote]
Bloomberg : Media massa multinasional asal Amerika Serikat.
James Joyce : Penulis asal Irlandia dengan novelnya (yang saya tahu) Ulysses dan A Portrait Of The Artist As A Young Man.
Hamilton : Ibu kota Bermuda
Accenture : Perusahaan global management consulting.
Raison d'etat : Alasan politik sebuah kebijakan.
Perkataan Dewi Candraningrum dan nominal dalam pajak PISM (Pertambangan, Industri Strategis dan Media) bersumber dari Koran Kompas.
[]
Komen yang banyak ya biar update cepat wkwkwk. Yang habis baca ini dan mau ninggalin lapak tanpa ninggalin jejak awas aja haha :p
Buat yang ngeship Anta-Amara berasa dapat angin segar kan? Bahagia kalian, hah? Azeeeek lah :D Uh, Mas Anta galau gengs, kek mana tuh? Mbak Amara apa Mbak Alyn?
Aku sih... Mas Arlo aja :D
QFTP [Question for this part]
"Apa yang paling membuat kalian bahagia selama membaca cerita-cerita di Wattpad?"
.
Oh iya jangan lupa menyaksikan keajaiban langit di Bulan Februari. Aku kemaren lihat Merkurius dong (harus pecicilan ke sawah dulu tapi wkwk).
.
Dah gitu aja :) enjoy! Jangan lupa bahagia ya kalian :)
.
05022016~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top