11 | Abdi Bogoh ka Anjeun
Dahi Aurora berkerut-kerut dan itu menjadi pemandangan yang menyenangkan untuk Arlo. Entah apa yang salah pada dirinya, suka sekali dia melihat wajah Aurora yang berkerut seperti itu. Membuat dia geregetan sendiri untuk sekedar menyentuh dahi itu dan mengusapnya. Tapi orang bodoh mana yang berani berurusan dengan makhluk galak macam Aurora?
Arlo, Arlo, kamu memang hebat. Atas alasan apa kamu melakukan ini semua? Menahan Aurora selama dua jam sepulang sekolah dengan modus mengajari dia capital budgeting sebagai pemahaman manajemen keuangan dasar? Bah! Pintar-pintar. Dan kau akan tertawa-tawa waktu Aurora ngomel-ngomel saat dia kesulitan menentukan net present value? Cerdas sekali!
"Kampret gini doang ternyata, goblok amat sih gue," seru Aurora tiba-tiba setelah mengangkat sedikit kepalanya dari kertas coretan.
"Baru sadar?" tanya Arlo dengan wajah sarat ejekan.
"Diem lo kampret. Seneng 'kan lo lihat gue kesiksa gara-gara hell payback period ini?"
Arlo mendekati Aurora yang duduk di lantai. Sisi rambut Aurora yang menjuntai memenuhi pandangannya. Lama-lama bisa gila dia karena sebegitu pengennya memegang rambut itu. Karena tak mungkin, akhirnya dia hanya menempeleng pelan kepala Aurora. Kurang ajar benar emang. Si Aurora langsung mendelik sangar dengan kelakuan Arlo barusan. "Lo kalo punya tangan dikontrol napa? Tambah bego gue ntar."
"Bego sih bego aja. Mulut lo itu yang dikontrol, ngampret-ngampretin orang doang jagonya. Ngitung pembagian aja masih pake kalkulator."
Aurora sudah akan membalas, tapi ingat kalau sudah berdebat dengan Arlo tak akan ada habisnya, dia memilih diam saja. Dia melanjutkan berkutat dengan angka-angka menghitung investasi sederhana dari soal-soal yang diberikan Arlo. Heran? Itu yang terjadi pada Aurora sebulan yang lalu.
"Apa yang paling lo inget dari perjalanan lo ke sini?" Arlo bertanya pada Aurora yang sedang mengarahkan kamera pada matahari yang baru saja menyapa bumi. Sunrise di gunung memang hal yang selalu menakjubkan.
Aurora menghembuskan napas beberapa kali sehingga membentuk uap lalu menjawab pertanyaan Arlo, "Gunung Gede dulu adalah gunung pertama yang saya daki, Kak. Jadi kesannya masih sangat membekas, apalagi waktu lihat kabut dari kawah. Dan yang paling saya ingat waktu kakak-kakak pecinta alam ngibarin bendera merah putih rasanya syahdu sekali," kata Aurora memperagakan mimik syahdu sesuai persepsinya, lalu berkata lagi, "saya kan ke sini waktu tujuh belasan."
Arlo terkekeh sebentar, "Lagi free time kali, kaku amat lo. Udah resmi jadi pengurus Nusapacita juga. Seneng 'kan lo bisa ngampret-ngampretin gue lagi?"
Aurora mendengus, "Tai lo emang. Sengaja 'kan lo semalem nyuruh gue gangnam style depan senior?"
Arlo reflek tertawa sampai matanya menyipit, baru juga disuruh bersikap santai, si Aurora langsung bayar tunai. Dan Aurora sudah ketar-ketir sendiri mendengar tawa Arlo. Kampret-kampret, ini orang kalo ketawa enak banget suaranya di telinga gue, begitu isi batin Aurora.
"Lo gimana bisa nemuin si Suci semalem?" tanya Arlo tanpa melihat Aurora. Pandangannya tampak ikut menikmati pergerakan matahari menuju posisi bersahajanya.
"Sebelumnya gue udah bilang sama anak-anak yang cewek, kalau tiba-tiba kena badai langsung cari cantigi," jawab Aurora kalem. "Si Suci untungnya ngga panik. Dia berlindung di balik cantigi. Anak-anak yang cowok udah kerepotan nenangin cewek yang lain. Yaudah untung-untungan gue sama Dea nyariin dia. Ngga jauh kok dari shelter."
Tuhan, kenapa Kau hadirkan perempuan seperti ini ke hadapanku? Arlo membatin lirih. Gunung ... selalu menghadirkan kesepian yang menenangkan baginya. Dan dengan adanya Aurora di sampingnya, kesepian itu menjelma ketenangan seutuhnya.
"Gue ajarin manajemen mau?"
Aurora yang sudah selesai dengan time lapse-nya, menghentikan pegangannya pada kamera lalu menghadap Arlo, "Maksud lo? Random amat dah."
Biar gue sering liat lo, ngerti ngga sih lo? Cewek kok bolot banget. Begitu batin Arlo.
"Gue ngerasa utang budi aja. Lo sama nyokap lo udah bantuin Shafira belajar. Dan lo ngga minat belajar panjat tebing. Jadi gue nawarin itu aja."
"Tawaran mencurigakan. Males gue deket-deket sama lo." Munafik 'kan lo, Ra. Aslinya udah lemes 'kan kaki lo? Setan dan Malaikat Aurora sudah debat sendiri di dalam sana. "Yaudah gue mau." Jawab Aurora akhirnya.
Arlo hanya tersenyum mengejek. Dalam hati sih udah rebanaan.
Aurora tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Sejak ke puncak berdua malam itu, dia dan Arlo sudah jarang bertegur sapa. Padahal dia kira ... hubungan mereka akan semakin membaik. Aurora terlalu gengsi menyapa dulu dan Arlo juga tak mau repot-repot menyapanya saat sedang kumpul Nusapacita. Cowok itu tampak selalu sibuk untuk persiapan diklat Nusapacita. Aurora sebal!
Sampai akhirnya mereka berbicara santai di depan kawah Gunung Gede yang memesona.
"Menurut lo what's the greatest invention of all time?" tanya Aurora random sambil menyelonjorkan kakinya yang pegal karena terlalu lama ditekuk.
Arlo yang dipandang Aurora tampak menegapkan punggung, "Book. Books break the shackles of time. A book is proof that human are capable of working magic."
Aurora mencibir, "Sok filsuf lo. Quote siapa itu ngomong-ngomong?" Aurora tak membantah sama sekali begitu sudah melihat lebih dekat bagaimana bentuk apartemen Arlo yang banyak sudutnya diisi dengan buku. Bahkan dia bisa sejago ini masalah manajemen keuangan. Mana dia sangka sebelumnya.
"Carl Sagan."
"Njir, lo tahu dia juga?" tanya Aurora skeptis.
"Jangan bilang lo tahu," balas Arlo singkat.
"Mana gue doyan baca begituan. Emak gue noh fans beratnya."
"Nyokap lo ... seru ya. Beruntung lo."
Beberapa kali Arlo selalu membelokkan pembicaraan ke arah ini. Tapi Aurora pasti tak merasa nyaman. Entah kenapa, dia merasa tidak berhak mendengarkan apapun tentang kehidupan pribadi Arlo. Toh Shafira sudah bisa disembuhkan tanpa mengorek info lebih tentang keluarga mereka. Lagipula ... dia dan Arlo kan tidak sedekat itu. Iya ngga sih?
"Hidup ini ilusi yang dibentuk sama pikiran kita. Lo percaya?" tanya Arlo lagi karena tak mendapat jawaban.
"Do you think or do you think that you think? Tau ah. Omongan lo bikin gue pusing. Diem dulu gue mau ngitung discounted payback period dulu. Belum juga selesai belajar teorinya udah dijejelin itungan begini lo bisa bayangin ngga sih stressnya gue kaya apa. Kenapa sih bokap—"
Blah blah blah
Arlo suka sekali mendengar Aurora mengoceh. Mau sampai Bumi kebalik 360 derajat juga bakal senang saja dia mendengarnya.
"Heh, gue laper," kata Arlo niat mengusili Aurora yang sudah sibuk lagi.
"Jangan nyuruh gue masak," jawab Aurora masih setia dengan buku di depannya.
"Selalu aja bilang gitu. Ujung-ujungnya gue yang modal buat beli makan. Ngga bisa masak lo ya?" tanya Arlo dengan wajah penuh cemoohan.
Aurora membanting pensilnya keras, selain kesal karena hitungan, kesal juga pada Arlo yang daritadi ada saja sikapnya yang mengganggunya. "Apasih. Salah emang kalo gue ngga bisa masak?"
Arlo tak percaya kalau Aurora tak bisa masak, dia menyaksikan sendiri dulu di gunung waktu dia membantu memasak untuk teman-temannya. Isengnya keluar untuk menggoda Aurora, "Nggak kok. Kalo perut laper mah cari makan gampang tapi kalo hati laper cuma senyum lo yang bisa ngenyangin. Senyum dong, Aurora."
Dan peletak pensil menghantam kepala yang diterima Arlo.
***
Alyn melemparkan novel yang dibacanya ke arah meja dengan lumayan keras. Berharap orang di depannya itu peka kalau dia sedang kesal. Tapi harapan tinggal harapan, lagian ini Antariksa gitu loh, apa cuma teror bom yang bakal bikin dia bereaksi? Hih!
Alyn membereskan bukunya dan buru-buru dia bangkit. Mana kuat dia terus-terusan didiemin Antariksa begini. Sudah jadi pacar juga tak ada bedanya. Sedih ngga sih berjuang sendirian kaya orang bego? Lah, baper.
Mana ada acara pegangan tangan. Mana ada sayang-sayangan. Mana ada ucapan selamat tidur. Mana ada jemput sekolah. Mana ada makan bareng di kantin. Mana ada ngobrolin masa depan. Mana ada lirik-lirikan. Mana ada senyuman mesra. Mana ada ...
Yang ada cuma perhatian sepihak.
Kesal memang. Dan Alyn sudah bersabar hampir dua bulan dia dan Antariksa pacaran. Bukan apa, dia hanya merasa tak dihargai. Dengan status yang berubah dia pikir Antariksa akan berubah. Nyatanya, hih! Emang tiap hari si Alyn ini harus banyak-banyak makan garam beryodium biar ngga gondok!
Alyn sudah bersiap meninggalkan perpustakaan saat suara Antariksa menghentikannya, "Besok gue tunggu di Gambir sebelum jam 5."
*
Kalau tahu Antariksa bakal mendadak jadi cowok manis yang weekend ngajak jalan gini sih dari kemaren-kemaren aja si Alyn ngambek. Kan lumayan kali bisa gelendotan ke Aksa kesayangannya ini seharian tanpa harus jaga sikap kegap penjaga perpustakaan.
Lagian macam apa pula pacaran di perpustakaan? Ngeri emang si Aksa ini. Ck!
Baru juga keretanya mulai jalan, si Alyn sudah menjalankan modusnya, bersandar di bahu Antariksa dan bobok nyenyak. Si Aksanya biarin deh sibuk baca buku sambil dengerin musik dari iPodnya, yang jelas Alyn nyenyak karena parfum Aksa yang wanginya enak banget. Dan, Aksa hari ini ganteng parah! Sumpah! Padahal cuma pake kaos panjang, celana jeans sama topi doang. Tapi rasanya Alyn udah mau ke khayangan aja saking terpesonanya.
Dalam hati Antariksa mengucap maaf karena beberapa lama mereka dalam status yang lebih dari sekedar teman, rasanya tak pernah dia memberikan apapun untuk perempuan yang tengah bersadar di bahunya itu. Rasanya masih terlalu berat dengan apa yang sedang dijalaninya ini. Alyn hari ini cantik, dan haruskah Antariksa merasa beruntung karena dilihat dari sikapnya saja sudah ketahuan kalau Alyn sesayang itu padanya?
Bah! Ngerti pula ini Antariksa yang cantek-cantek.
Dalam kereta Argo Parahyangan yang tengah melaju, mereka berdua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tapi keduanya tahu, hari ini akan sedikit bermakna dari biasanya.
*
Ada banyak alasan orang pergi ke Bandung, dari makanan, belanja dan melihat pemandangan yang luar biasa, entah gedung tua atau taman bunga. Tapi Antariksa cuma mau satu hal, menebus rasa bersalahnya dengan mencoba membuat Alyn bahagia.
Simpel.
Melihat Alyn sudah lonjak-lonjak begitu menginjakkan kaki di Stasiun Bandung, Antariksa cuma bisa terkekeh kecil dan reflek mengusap kepala Alyn. Dan Alyn rasanya udah mau mimisan. Gila, gila, belum apa-apa udah dapat pundaknya, ini dapat elusan. Tuhan, sering-sering baik sama Alyn ya, girangnya dalam hati.
Antariksa izin menelpon dan Alyn memanfaatkan untuk pergi ke toilet. Dandan dikit biar manis. Kali aja selama tidur ada iler netes, yaks. Diusapkan glipgloss tipis-tipis di bibir merah jambunya yang tipis. Dirapihkan rambutnya yang berurai panjang.
Waktu menghampiri Antariksa, Alyn disodori minuman dan perhatian kecil Antariksa yang menanyakan, "Capek?" langsung membuat Alyn baper. Cewek, cewek.
Alyn menggeleng sambil tersenyum lebar. Capek apaan, jalan aja belum.
"Mau ke mana, Lyn? Jalan-jalan di sekitar kota, Lembang, Ciwidey atau Padalarang?"
Bibir Alyn mengerucut, lah dipikirnya si Antariksa ini mau kasih surprise ngajak jalan jauh ke sini, taunya emang mau ngajak piknik. "Surprise me, Aksa. Gitu aja kok nanya sih kamu."
"Ya 'kan Bandung paling isinya cuma itu," jawab Antariksa kalem.
"Aku jarang piknik tahu. Ke Bandung aja baru dua kali ini. Pertama waktu ngabisin duit Osis buat LDK. Itu juga cuma camping."
Antariksa tersenyum lagi, "Oke, kita ke Lembang aja yang deket."
"Aksa ih dibilangin suruh kejutan malah dikasih tahu."
Antariksa jalan duluan meninggalkan Alyn. Buru-buru Alyn menyusul.
*
Alyn tak berhenti ngoceh sepanjang jalan di samping Aksa yang sedang menyetir. Indikator pertama bahwa Alyn sedang dalam mood yang baik adalah saat dia prepetan tak henti-henti macam anak ayam kekenyangan.
Begitu mereka sampai di Floating Market, mata Alyn berbinar-binar waktu melihat kaos dengan tulisan sunda 'Abdi bogoh ka Bandung' si Alyn langsung heboh minta beli. Akhirnya dibelilah kaos itu. Bukan satu, tapi dua. Satu lagi buat Antariksa yang setengah mati menolak memakainya. Tapi waktu Alyn teriak-teriak 'Abdi bogoh ka Antariksa' langsung disahutnya kaos itu dan berganti di kamar mandi meninggalkan Alyn yang ketawa puas. Yeah, hari ini mereka couple banget!
Sambil menikmati colenak dan tahu lembang, Alyn sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar danau. Tampak angsa-angsa yang sedang berenang di pinggir danau. Dari kejauhan juga nampak perahu-perahu yang di atasnya berisi ibu-ibu yang jual kuliner khas sunda seperti yang dimakan Alyn ini. Rasanya ini sarapan terbaiknya selama hidup. Dia lirik Antariksa yang juga sedang menikmati ketan bakar dan tempe mendoannya. Makan tempe aja dia ganteng, Alyn tak tahu lagi harus berkata apa.
Alyn masih betah di Floating Market, tapi Antariksa sudah tak sabaran mau pindah tempat. Tadi setelah melihat miniatur kereta api yang bagus banget, Alyn melihat ada binar di mata Antariksa. Sudah menjadi rahasia umum kalau Antariksa ini terobsesi menjadi seorang teknisi.
Kaca jendela mobil sengaja di buka oleh Alyn. Dia rasakan atmosfer Bandung yang benar-benar berbeda dengan udara yang biasa dia hirup setiap harinya. Pertama kali datang, Alyn langsung suka pada Bandung. Apalagi waktu dengar orang-orang ngomong sunda. Lidahnya gatal ingin menirukan atau sekedar bertanya apa artinya.
"Eh, Say—ehm Sa, kamu masih 15 tahun 'kan?" tanya Alyn kikuk.
Di antara iringan musik Calvin Harris yang sedang mengalun, Antariksa menjawab dengan anggukan. Matanya menatap lurus ke depan dan gerakan tangannya yang cekatan tampak memindahkan persneling.
"Kok berani-beraninya nyetir? Kirain kamu itu orangnya saklek sama peraturan." Alyn tampak mengganti playlist berulang kali, dia tak tanya mobil siapa yang mereka pakai untuk jalan-jalan ini. Tadi begitu keluar dari stasiun sudah ada bapak-bapak yang menunggu dan menyerahkan kunci mobil pada Antariksa.
"Banyak yang belum lo tahu, Alyn." Tampak Antariksa menjulurkan tangan mencoba mengganti lagu yang sedang berputar, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Alyn yang tak disadari Antariksa masih di sana. Ya, sengatan itu, dia merasakannya. Samar.
Semu-semu merah langsung menjalar di kedua pipi Alyn yang putih. Crazy on You, begitulah isi hati Alyn sekarang. Sama persis dengan lagu Charly Smithson yang sedang diputar. Alyn menetralisir jantungnya sejenak sebelum membalas perkataan Antariksa, "Kita punya waktu, ehm, berap—ah pokoknya kita punya waktu hari ini buat saling mengenal Antariksa. Setuju?"
Antariksa tersenyum.
I'm go crazy crazy on you.
Dan debaran jantung Alyn yang semakin mengencang dihentikan dengan mobil yang berhenti karena mereka sudah sampai di Tahura –Taman Hutan Raya—Djuanda.
*
Setelah puas jalan-jalan melihat goa Jepang dan Belanda yang lagi-lagi membuat Alyn norak saking excited-nya dia lama tak piknik, sampai-sampai kepentok beberapa kali di dinding goa. Terusnya si Antariksa bilang 'hati-hati' terusnya Alyn kepentok lagi trus bilang 'hati-hati, Alyn' lagi sampai pas kepentok terakhir Antariksa tanya dengan nada sedikit khawatir, takut Alyn gegar otak mungkin, "Sakit?" begitu tanyanya dan entah sadar atau tidak, tangannya sudah terulur mengusap dahinya yang tampak memerah. Sekali lagi Alyn pengen membenturkan diri dengan sengaja, tapi dia takut dikira gila oleh Antariksa.
"Kamu capek ya?" tanya Alyn setelah mengalihkan pandangan sejenak dari kamera yang dipegangnya. Antariksa yang ditanya hanya menggeleng. Alyn maklum. "Kamu kenapa pendiam banget sih Aksa? Kasian ya orang-orang yang ngadepin kamu pasti stress sendiri."
Antariksa berjalan pelan ke arah batu besar yang tampak nyaman di duduki, dia menyelonjorkan kaki. Memandangi hamparan hutan pinus yang ada di depannya lantas dia memasok udara sebanyak-banyaknya untuk memenuhi paru-parunya. "Ngga juga," Antariksa diam sebentar memejamkan mata, merekam keindahan di depannya, "mungkin gue cuma ngga suka memperlihatkan sesuatu."
"Emang ngomong bisa menunjukkan apa? Emang kalau ngomong kamu bisa songong macam si Sherlock Holmes yang sekalinya ngomong amit-amit tengilnya?"
Antariksa tanpa dikomando meraih tangan Alyn sampai dia membelalak kaget. Antariksa menghela Alyn untuk duduk di dekatnya. "Gue waktu ke Rusia kemaren lihat drama yang diperankan anak muda di sana. Pertunjukannya simpel, seperti kehidupan sehari-hari, tetapi penuh dengan pemaknaan yang dalam. Orang Indonesia jaman sekarang ini gue rasa terlalu gila afeksi. Jadi mereka terbiasa bicara untuk menunjukkan apa yang mereka punya. Bagi gue, orang yang terlalu banyak bicara itu kurang menunjukkan kecakapan pikirnya. Bukan maksud gue buat bilang kalau gue cakap berpikir, cuma gue setuju dengan pikiran itu, dan gue mencoba untuk tidak jadi bagian kebanyakan orang yang terobsesi sama afeksi. Tend to just let the people make a point about anything they do like Russians better than tend to make a point about everything like Indonesians."
Alyn terpana sejenak, belum pernah sih dia bicara sepanjang ini. Dulu waktu Pak Wahyu –penjaga perpustakaan—bilang kalau Antariksa itu teman diskusi yang menarik, Alyn sangat amat sangat meragukannya. Ternyata ... perlu pancingan si Antariksa ini.
"Gila, kamu ganteng banget kalo lagi ngomong panjang lebar kaya gitu. Lebih keren dari Kang Emil!" seru Alyn sambil mengacungkan kedua jempolnya. Antariksa cuma bisa geleng-geleng kepala. "Kalau aja anak muda banyak mikirnya kaya kamu, Indonesia ini udah sekeren apa ya?"
Antariksa menunjuk hamparan pinus yang tertutup kabut tipis. "Indonesia. Negara kepulauan terbesar di dunia. Keanekaragaman hayati tingkat wahid di dunia. Penghasil rumput laut kering nomor satu di dunia. Negara paling beragam seni dan budaya. Peringkat pertama penduduk paling ramah dan murah senyum. Penghasil karet terbesar kedua di dunia. Pengasil CPO dan rotan terbesar di dunia. Garis pantai terpanjang kedua di dunia. Penghasil ikan dan udang kedua di dunia. Perlu gue sebutin angkanya?" Alyn terkekeh lalu menggeleng mendengar pertanyaan Antariksa. Antariksa melanjutkan lagi, "Mereka semua, kita, perlu berperang untuk berdamai. Civis pacem para bellum. Perang melawan kebodohan itu yang diperlukan."
Cup!
Satu kecupan manis mendarat di pipi kanan Antariksa. Tentu saja dari Alyn. Antariksa yang kaget membuat Alyn tertawa salah tingkah.
"Yuk, katanya mau mainan air di Maribaya!" heboh Alyn sambil berdiri dan meninggalkan Antariksa yang masih bengong.
Sungguh, rasa-rasanya lelah Alyn bermonolog selama ini terbayar sudah mendengarkan Antariksa berbicara sepanjang ini.
*
Curug Maribaya emang juara. Airnya adem parah. Alyn udah kaya orang ngga lihat air berabad-abad aja rasanya. Begitu lihat air terjun yang tak seberapa tinggi itu dia sudah tak ragu-ragu buat nyemplung. Udah aja gitu ngga mikirin baju dan celananya bakal basah.
Antariksa hanya bisa menggelengkan kepala waktu Alyn menarik-narik tangannya untuk turun. Alhasil Antariksa cuma duduk di pinggir bebatuan dan menggulung celana panjangnya lalu mencelupkan kakinya ke air. Lumayan untuk menghilangkan lelah setelah seharian jalan-jalan. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah siang, setelah salat Zuhur tadi Alyn mengeluh capek dan begitu Antariksa mengajak ke sini langsung saja wajah Alyn cerah kembali.
Alyn, Alyn, entah mantra apa yang dimiliki cewek itu sampai-sampai si Antariksa mau susah-susah begini. Perasaan ini ... semoga ngga salah.
Dilihat dengan visualnya Alyn yang sedang bermain air di bawah tumpahan air dari ketinggian. Kepalanya yang tengadah menampung jatuhan air dan matanya yang terpejam untuk menghindari arus yang deras, entah kenapa, membuat dia –lagi-lagi—cantik.
Antariksa tak membiarkan Alyn lama-lama bermain air. Begitu Alyn mentas, Antariksa langsung melemparkan kaos panjangnya untuk menutupi baju pendek Alyn yang transparan karena basah. Antariksa mendadak sebal karena pandangan cowok-cowok di sana yang sedari tadi memandangi Alyn tanpa berkedip.
"Aksa, pelan-pelan ih jalannya."
Antariksa berhenti sebentar, "Pakai bajunya Alyn. Tutupi tubuh lo. Jangan bikin orang punya pikiran buruk."
Alyn sudah membuka mulutnya ingin menjawab saat tahu Antariksa sudah berjalan meninggalkannya.
*
Alyn memilin-milin tangannya di bawah meja yang di atasnya ada berbagai macam makanan khas sunda yang menggugah selera. Iyasih menggugah, kalau saja yang diajak makan ngga tiba-tiba mogok bicara begitu. Alyn tahu Antariksa marah perihal bajunya yang basah tadi, tapi kan itu bukan karena dia sengaja.
Gue kepedean ngga ya kalau bilang si Aksa jealous?
Akhirnya begitu sampai di Lodge, Alyn yang awalnya berniat main paint ball ikut-ikutan menunjukkan mood yang buruk. Tapi lebih ke tak enak hati. Gila aja kalau cuma karena kejadian tadi ini orang bete sampe pulang nanti.
"Aksa, jangan ngambek lagi dong. Iya maaf aku salah. Kamu jangan bikin aku ngga enak hati begini."
Antariksa yang sedang menyuapkan karedok ke mulutnya berhenti, "Makan, Alyn."
"Maafin dulu."
"Iya."
"Senyum dulu."
"Makan, Alyn."
"Senyum dulu, Aksa."
Akhirnya Aksa tersenyum. Bukan karena agar Alyn makan, tapi dia juga sudah capek ngambek ngga jelas.
Begitu selesai makan, keinginan Alyn main paint ball terealisasi. Sukses besar karena dia berhasil membuat anak SD yang menjadi lawannya nangis-nangis ngadu ke mamanya karena Alyn tak mau kalah. Lah, emang dia menang.
*
Saat langit menunjukkan sudah tak siang lagi, di mobil Alyn sudah gelisah saja, takut kalau mau diajak pulang. Gila, dia jatuh hati berat pada Bandung. Bandung itu mirip-mirip Bogor, alamnya indah-indah. Padahal bisa dibilang kawasan urban. Tapi keindahannya masih tersaji dengan jelas.
Begitu mobil melewati jalan tanjakan, Alyn girang lagi. Tahu dia kalau ini pasti bukan jalan pulang. Dan begitu sampai di sebuah bukit yang dinamakan Moko, Alyn benar-benar kehabisan napas. Terkesima. Jingga yang berbaur biru di langit menjadi serasi dengan warna bumi yang didominasi hijau. Pemandangan lembah-lembah yang ditanami sayuran oleh para petani. Perpaduan yang kata Alyn, sempurna.
Tuhan pasti menciptakan Bandung dengan senyuman.
Langit yang perlahan berubah warna membuat mata Alyn tak lepas sedikitpun dari awan-awan yang berarak mengantarkan matahari kembali ke peraduan. Jingga di langit, membius matanya untuk berkoordinasi dengan bibirnya melantunkan syukur untuk keindahan yang Tuhan ciptakan di depannya.
"Aksa, sini, buruan." Alyn memanggil Antariksa yang sedari tadi malah duduk menikmati bajigur di Warung Daweung, warung yang konon artinya warung untuk duduk-duduk sambil dibelai-belai angin sepoi.
Antariksa mendekat, "Indah ya?"
"Banget. Makasih ya."
Sudut bibir Antariksa tertarik, entah sudah untuk ke berapa seharian ini, "Bukan gue yang bikin mataharinya terbenam Alyn. Lagian matahari itu ngga terbenam dia cuma—"
Alyn buru-buru menyela dengan mengangkat tangan sebelah kirinya, "Pacarku yang ganteng. Tolong ya jangan rusak suasana."
Antariksa spontan terdiam dan ikut menikmati pergerakan bumi untuk bergantian siang dengan bumi di belahan lain.
Angin sepoi-sepoi itu, menerbangkan rambut Alyn yang halus. Figurnya dari samping, membuat Antariksa sejenak hilang konsentrasi. Melupakan keindahan jauh di depannya.
*
"Lo bisa pakai kamar ini. Ada baju bersih di lemari itu, lo bisa pakai. Peralatan mandi juga ada." Antariksa menjelaskan ini itu dan Alyn malah salah fokus memandangi pigura-pigura yang berjejer di kamar tersebut, ada foto keluarga Antariksa. Keluarga besar. Kebanyakan adalah potret candid yang tampak sangat natural.
"Ini, siapa?" tanya Alyn menunjuk dua perempuan cantik yang duduk bersama ibunda Antariksa.
"Nenek sama tante."
"Cantik."
"Gue ada di bawah kalo ada apa-apa." Antariksa lalu meninggalkan kamar dan menutup pintu untuk membiarkan Alyn beristirahat.
Saat dibawa ke sini tadi, Alyn tak menyangka kalau Antariksa punya rumah di Bandung. Tak jauh dari bukit yang terakhir dia kunjungi. Tak ada kata lain selain 'indah' untuk rumah ini. Rumah nuansa kayu yang benar-benar jadi rumah paling indah yang pernah dilihat oleh Alyn. Lebih dari rumah Antariksa di Jakarta yang indahnya juga sudah tak ketulungan.
Begitu selesai mandi, Alyn mendengus melihat tubuhnya yang berbalut baby doll Spongebob milik Aurora. Dia belum ngantuk, dan dia benar-benar berencana menghabiskan malam ini dengan mengobrol bersama Antariksa. Kalau orangnya mau diajak ngobrol.
Alyn menyusuri lantai bawah dan menajamkan pendengarannya berharap menemukan tanda keberadaan Antariksa. Tapi rumah itu tampak sepi seperti tak ada kehidupan. Lalu sayup-sayup kelebakan gorden yang tertiup angin menyadarkan Alyn kalau pintu samping ternyata terbuka dan angin berhembus lumayan kencang.
Alyn ke luar dan menemukan Antariksa yang tampak sedang menekuri sesuatu. Perlahan Alyn mendekati Antariksa yang ternyata sedang serius dengan teleskopnya tak menyadari kedatangan Alyn.
Alyn lalu mencolek pinggang Antariksa sampai dia mengalihkan pandangan dari teleskopnya, "Hai," sapa Alyn pada Antariksa.
"Ngga tidur?" tanya Antariksa.
"Belum ngantuk, kamu lagi ngapain?"
"Iseng aja, kali nemu yang asyik," jawab Antariksa lalu perhatiannya kembali ke teleskop di depannya.
Mendadak Alyn otaknya seperti tersengat benda tak kasat mata yang membuatnya jadi cemerlang. Dia buru-buru kembali ke dalam rumah dan menemukan sesuatu yang sekiranya bisa dia manfaatkan untuk menghabiskan waktu dengan Antariksa. Malam-malam. Di bawah langit. Di Bandung. Gila saja Alyn kalau dia memilih tidur.
Alyn mendekat ke dapur dan mencari-cari sesuatu yang sekiranya bisa dia manfaatkan. Waktu dia buka kulkas di depannya, mulutnya menganga sebentar, kulkas itu penuh dengan bahan makanan. Alyn membolak-balik bahan makanan di depannya. Dia jadi bingung sendiri mau bikin apa. Akhirnya dia memilih pisang satu sisir, keju dan susu coklat kemasan. Dia penyet-penyet pisang itu sampai menjadi pipih dan menaburkan keju serta susu coklat di atasnya. Dia juga menambahkan stroberi yang gedenya bikin ngga tega mau makan itu di atasnya.
Alyn nampak repot dengan nampan di kedua tangannya dan alas lembut yang diapit ketiaknya. Dia lihat Antariksa masih saja sibuk dengan teleskop di depannya.
"Sayang, daripada kamu sibuk-sibuk ngeliatin lensa kecil kek gitu, kenapa ngga kita pandang langit berdua aja?" tanya Alyn modus mode on.
Antariksa mengalihkan pandangan ke Alyn dan dia dibuat geleng-geleng kepala. Alas duduk yang entah Alyn dapatkan dari mana sudah terhampar dengan di atasnya di hiasi tumpukan pisang coklat keju stroberi dan milkshake oreo tapi hangat.
Pasrah Antariksa ikut duduk di sebelah Alyn. Dan seketika wangi rambut Alyn yang masih basah memenuhi inderanya. Dia pandang Alyn yang sedang sibuk dengan peralatan piknik karyanya. Tanpa sengaja pandangan Antarika tertumbuk pada paha Alyn yang tepampang karena baju yang dikenakannya tersingkap. Buru-buru Antariksa istighfar dan melepaskan jaketnya lalu menepuk bahu Alyn dan menyerahkan jaket itu. Alyn tersenyum dan memakai jaket itu ke tubuhnya. Ck, padahal bukan itu maksud Antariksa. Diliriknya paha Alyn yang masih tersingkap dan dia mendesah pasrah.
"Lyn, pahanya tolong ditutup. Dingin," kata Antariksa –mencoba—kalem.
Wajah Alyn langsung memerah dan buru-buru dia raih kain pantai yang dia temukan di kamar tadi kemudian menutupkan ke pahanya.
"Maaf," sesal Alyn. Sungguh, Alyn takut kalau Antariksa menilainya yang tidak-tidak. Tapi gelengan Antariksa dan senyumnya menunjukkan kekhawatiran Alyn tidak bersambut.
"Rumah kamu bagus banget. Masih sering ke sini?" Alyn mencoba memecah kecanggungan dengan pertanyaan.
"Masih. Akhir bulan biasanya sekeluarga ke sini. Ngelepas stress."
"Wah, asyik banget. Trus kalian pasti kalau malem barbekyu-an ya, pasti?"
Antariksa menggeleng pelan, mana ada barbekyu-an. Paling isinya kebanyakan debatnya bunda sama Aurora. Bunda yang masih keranjingan bahas astronomi sedang Aurora sudah mencak-mencak males mendengarnya. Memang di antara mereka berempat, cuma Aurora yang tak tertarik bahas Astronomi. Alhasil setiap ke sini dia gelar-gelar tenda dan bikin api unggun lalu bakar marsmellow trus grasak-grusuk ke kebun malam-malam petik stroberi biar bisa dimakan bareng marsmellow-nya.
"Selalu Aurora yang punya cara bersenang-senang. Gue sama yang lain cuma ikut aturan main dia."
"Kalian—lo sama Aurora sedekat apa, Sa?"
"Ngga ada yang ngga dia tahu tentang gue," jawab Antariksa. Kecuali tentang gue sama lo.
"Kecuali tentang kita 'kan?" tebak Alyn tepat sasaran.
Antariksa tampak mengambil napas sampai pundaknya terangkat, gerakan pelan tapi tak luput dari mata Alyn, seperti gestur orang yang sedang merasa lelah. "Pelan-pelan ya, Lyn." Begitu akhirnya jawaban yang bisa Antariksa.
Alyn tersenyum miris, dia paham, "Iya, Sayang. Take your time."
Nada 'sayang' yang terucap dari bibir Alyn tersirat ungkapan frustrasi. Dan Antariksa tak menyukai bahwa perasaan itu dia yang menciptakannya. Dua bulan, dan Antariksa benar-benar merasakan betapa dia egois. Dia tahu sesuatu, tapi dengan sengaja dia ikut andil di dalamnya. Tak dibayangkan akan seperti apa reaksi Alyn nanti. Terlebih ... bagaimana perasaannya pada Alyn saat ini? Sudut hatinya menjawab, dia tidak tahu.
"Say—Sa," panggilan dari Alyn yang segera diralatnya menyadarkan Antariksa. Serta, jemari Alyn yang menyentuh punggung tangannya lembut membawanya kembali menemukan gelombang otak warasnya. Alyn melanjutkan, "Jangan dipikirin. Aku nggapapa kok. Aku ngga masalah kita harus begini dulu. Sama kamu ... aku udah sangat bersyukur."
Antariksa dihantam rasa bersalah yang luar biasa besarnya.
Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Alyn memecah keheningan dengan menyentuhkan milkshake hangat tersebut ke tangan Antariksa. Alyn mengulurkan minuman itu dengan senyum sendu yang coba ditutupi.
"Tadi lihat apa di langit? Eh, Bosscha deket dari sini ya?" tanya Alyn sudah dengan nada ceria.
"Ngga banyak. Cuma beberapa rasi aja."
Lalu diam lagi.
"Sa—"
"Lyn—"
Suara mereka bersamaan. Alyn terkekeh duluan melihat Antariksa mengusap belakang lehernya canggung. "Apa, Sayang? Kamu dulu deh. Jarang-jarang 'kan kamu inisiatif duluan hehe," ujar Alyn.
"Ar—Arlo, ada apa di antara kalian?"
Alyn cukup kaget dengan arah pertanyaan Antariksa. Dengan senyum miris dia menjawab, "Jawab jujur Sa, apa yang terlintas di pikiran kamu saat harus ikut terlibat hubungan aku sama Arlo?"
Aurora.
Antariksa jadi tak enak hati, dia takut menyinggung perasaan gadis di sampingnya ini. Gadis yang saat ini berstatus sebagai gadisny—ya itulah. "Sorry Lyn, gue ngga ada maksud apapun."
Alyn menggeleng sambil tersenyum, "Tunggu kamu sampai benar-benar peduli sama aku, nanti bakal aku ceritain semuanya tanpa ada yang aku tutup-tutupin. Tunggu sampai kepedulian itu berasal dari hati kamu. Aku harap semoga itu ngga lama."
Antariksa tersentak, "Maks—" Antariksa tak jadi melanjutkan kata-katanya dan hanya bisa menunduk lemah. Alyn tahu, Alyn tahu kalau dia belum sepenuhnya yakin dengan apa yang mereka jalani sekarang.
"Tapi nggapapa, Aksa. Kamu tenang aja, kalau kamu kesulitan berusaha, kamu tahu kalau aku ngga pernah capek buat bantu kamu."
Mereka berdua terdiam. Kali ini Alyn tidak mencoba membuka suara. Dia biarkan angin menjadi sekat pemisah yang tak kelihatan tapi nyata ada.
"Maaf, Lyn."
Air mata Alyn luruh dengan pernyataan maaf dari Antariksa. Tadinya dia biarkan sakit itu dia tanggung sendiri. Toh, dia terbiasa dengan penolakan dari Antariksa. Tapi kini, saat mereka sudah bersama sekalipun, nyatanya Alyn masih harus berjuang.
Alyn menggelengkan kepala dan terus terisak. Lalu ada tangan yang terulur membelai kedua pipinya. Air mata yang jatuh itu, perlahan diusap. Kedua tangan itu hangat dan Alyn tak mampu menghentikan tangisnya. Tak peduli apapun lagi, Alyn langsung menghambur ke pelukan Antariksa. Dia tumpahkan segala beban atas perasaan sepihak dia selama ini pada orang yang paling bertanggungjawab. Alyn benar-benar lelah berjuang sendirian. Tapi kini dia lega, setidaknya Antariksa sudah tahu kalau perasaan Alyn untuknya sama sekali tak pernah main-main.
Tak pernah main-main. Persetan dengan usia mereka yang masih terlalu belia untuk berkoar-koar tentang cinta. Pada kenyataannya, mereka berdua paham.
Kalau cinta ... selalu berdampingan dengan berjuang.
Hangat tubuh Alyn yang melingkupi Antariksa membuatnya seperti tertampar bolak-balik. Bagaimana bisa dia sebajingan ini membiarkan perempuan selembut ini berjuang sendirian? Bagaimana mungkin? Bodoh benar kamu, Antariksa!
Akhirnya penantian itu bersambut. Gerakan tangan Antariksa membuat Alyn berdetak tak karuan. Begitu dia rasakan kedua tangan Antariksa melingkupi tubuhnya, dia semakin terisak. Tapi, sekaligus lega. Lega yang benar-benar lega.
Ternyata dia masih punya kesempatan. Tenyata perasaan bahagia yang seharian dan selama dua bulan ini dia rasakan bukan sebuah ilusi. Hangat tangan Antariksa itu nyata.
Alyn melepaskan diri dari tubuh Antariksa perlahan. Begitu kedua tubuh itu kembali berjarak, Alyn memberikan senyuman paling manis untuk Antariksa. Senyuman penuh kelegaan.
Di antara sisa-sisa jejak air mata yang masih belum mengering, Alyn mencondongkan tubuhnya ke arah Antariksa. Kedua napas mereka sudah bertemu pada jarak yang tak mampu dipikirkan oleh keduanya. Mereka berdua tahu, tak ada yang waras saat ini.
"Terima kasih, Antariksa. Terima kasih untuk segalanya."
Dan kecupan Alyn mendarat tepat di sudut bibir Antariksa.
***
Hahahah, wdyt tentang part ini? Apa #TeamAmara pada berubah pikiran? Wkwkwk :P
Aku mau nanya, penting, menurut kalian, tulisanku yang kadang menyelipkan hal-hal tentang ke-soktahu-an mengenai pengetahuan-pengetahuan kaya gitu bikin kalian bosan ngga? Atau itu mengurangi kenikmatan membaca? Jawab jujur ya :(
Duh, semoga puas sama part ini ya. Tuh, dikasih Mas Anta-nya banyak haha :D Terima kasih buat semua vote dan comment, mari ditingkatkan bahahahahaha xD
Btw, aku sudah selesai UAS. Terima kasih atas segala doanya hehehe :*
17012016-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top