10 | Alaska Purchase

Sepulangnya dari bandara menjemput Antariksa, bunda dan Aurora langsung sibuk siap-siap untuk memasak makan malam. Aurora sudah akan melipir ke kamar karena sedang tak berselera melakukan apapun, tapi sayangnya bunda terlalu gesit menyeret Aurora ke dapur. Alhasil Aurora cuma disuruh-suruh bunda cuci sayur, aduk sayur, angkat gorengan, karena dia kebanyakan ngelamun waktu disuruh potong wortel, bunda ngeri sendiri kalau sampai itu pisau tajam amit-amit kena tangan Aurora.

"Dek, kamu tuh kenapa sih? Sebel ini Bunda jadinya lihat kamu uring-uringan gini. Masmu baru menang lomba harusnya diselametin gitu, tadi udah mendingan pas liat si mas kok sampe rumah bete lagi? Kamu kesel Bunda suruh bantu-bantu di dapur? Yaudah deh sana ke kamar aja daripada ngga ikhlas gitu," omel bunda pada Aurora.

"Ih bukan gitu Bunda. Maaf ya kalau aku ngga konsen. Tau nih lagi ngga mood aja, ngga tahu kenapa juga. Sebel aja bawaannya, males ngapa-ngapain."

"Jangan dibiasain kamu tuh kaya gitu, ntar yang ngga salah jadi ngerasa ngga enak juga."

"Iya Bunda iya, maaf ya."

"Yaudah kamu kabari Amara aja sana, konfirmasi lagi keluarganya udah siap-siap apa belum. Nanti Bunda telepon Om Ziko juga."

"Iya Bun, Adek ke atas ya. Makasih Bunda, maaf juga ngga bantuin malah ngeberantakin."

"Iya Sayang nggapapa. Tapi Bunda mau bicara sama kamu nanti malem setelah makan malem. Jangan melipir ke kamar kamu. Ini soal Shafira."

"Iya, Bun."

*

"OOOOOOM ZIKOOOOOOO ..." seru Aurora heboh saat menyambut keluarga Amara di depan pintu. Yang di teriaki sudah senyum-senyum saja.

"Halo cantik, gimana kabarmu?" tanya Om Ziko pada Aurora yang sudah cengar-cengir. Aurora ini fans Om Ziko juga, karena di rumah peliharaan Aurora macam ayah dan Antariksa yang ngga serame teman ayah dan bundanya itu, makannya Aurora selalu suka mengobrol dengan Om Ziko yang suka heboh sendiri, macam omnya, si Arius.

"Baik Om baik, Om makin ganteng aja sih," ujar Aurora makin heboh yang langsung dibalas dengusan kompak Amara dan bunda.

"Masih ya suka ngegombal, salim aja belum padahal," balas Om Ziko sambil ketawa.

Si Aurora makin ngakak begitu ditegur, dia langsung salim sama Om Ziko dan Tante Jenny yang sudah cipika cipiki duluan sama Bunda. Lalu disusul Antariksa yang melakukan hal yang sama. Om Ziko lalu adu tos dengan ayah dan saling berpelukan. Juga dengan bunda hanya adu tos minus berpelukan.

Makan malam mereka berlangsung dengan hangat, apalagi diselingi dengan banyolan Om Ziko dan bunda yang kompak sekali menggoda ayah. Ah, Aurora ingat, dulu bunda pernah cerita kalau Om Ziko itu sempet hampir nikah sama bunda kalau saja si ayah ngga dateng. Aurora tak punya bayangan sama sekali bagaimana kalau Om Ziko jadi ayahnya, mungkin mereka akan jadi ayah dan anak yang sangat kompak, tapi bagi Aurora, ayahnya adalah sosok terbaik yang ada di hidupnya, dia tak mau siapapun selain ayahnya.

Lagian Om Ziko juga sudah menemukan pasangan terbaiknya, Tante Jennifer yang daritadi juga tak segan-segan ketawa padahal dia ngga ngerti apa yang sedang diobrolkan. Tante Jenny –begitu Aurora memanggilnya—ini orang Belanda asli, tak bisa Bahasa Indonesia, hanya bisa Bahasa Inggris selain bahasa ibunya. Makanya daritadi Tante Jenny selalu telat kalau ketawa, itu pun harus diterjemahkan Om Ziko duluan. Pas semua udah reda ketawanya, Tante Jenny baru ketawa, karena lihat Tante Jenny ketawa, semuanya jadi ketawa lagi.

Mood Aurora sudah sangat membaik.

Sampai pada saat waktunya keluarga Om Ziko pulang setelah ngeteh-ngeteh ganteng di halaman belakang, Aurora melihat Amara melambatkan langkah dan bicara berdua dengan Antariksa. Nampak Aurora melihat Amara mengulurkan sesuatu berbungkus kertas hitam bergaris biru ke Antariksa yang diterima dengan senyuman.

Sepertinya Aurora harus meluruskan sesuatu.

"Om, Amara boleh nginep ya malem ini? Kan kemaren aku udah nemenin dia semingguan sampe Om sama Tante Jenn balik," pinta Aurora.

"Lah Amaranya mana?" tanya Om Ziko.

"Ada itu lagi ngobrol sama si mas," jawab Aurora.

"Yaudah, besok biar dijemput supir aja dia. Om sama tante ada acara di Salemba."

"Gampang itu mah Om, ntar biar dianterin sama si mas."

Om Ziko mengangguk lalu pamitan pada semuanya. Begitu mobilnya baru saja meninggalkan pelataran, Amara keluar.

"Lah papa kenapa ninggalin gue?" tanya Amara nyaris seperti gumaman melihat mobil ayahnya sudah menjauh.

"Meleng sih lo," balas Aurora.

"Hah?"

"Hah heh hoh, ya lo gantian nginep di sini lah, Sam. Udeh lo ngobrol dulu sama si Anta sana, gue mau rapat sama emak gue dulu," balas Aurora lalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Amara yang bengong sejenak.

***

"Seminggu ini si Ara curhat sama gue males banget disuruh baca buku katanya. Lo ... beneran ngga mau lanjutin bisnis bokap, An?"

Antariksa menghela napas sejenak, dia sandarkan punggungnya di kursi sampai merasa rileks. Dia selonjorkan kakinya dan matanya menatap lurus ke depan, menatap kilauan air kolam yang tenang. Lalu dia menjawab, "Gue ... ngga ada minat ke sana, Mar." Antariksa menjawab dengan suara lirih, seperti ada beban tak kasat mata yang ditanggungnya. Sampai dia berkata lagi, "Gue egois ya?"

Amara yang ditanya ikut-ikutan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Gue rasa engga. Terkadang gue juga mikir gimana bokap udah sering ngajakin gue ke kantor buat liat lingkungan kerjanya. Sampai akhirnya gue sadar kalau harapan bokap cuma gue. Lo mungkin lebih beruntung karena si Ara mau ambil tanggung jawab, jadi lo bisa lanjutin mimpi lo."

Antariksa nampak gusar dengan jawaban yang diberikan Amara, antara ingin membantah dan membenarkan. "Gue masih ngga ngerti itu bocah ngelakuinnya ikhlas apa kagak," jawab Antariksa.

Tanpa sadar Amara melayangkan tangannya ke pundak Antariksa dan menepuk-nepuknya, mencoba menenangkan kegusaran yang terlihat nyata. Sampai Antariksa menoleh pada Amara karena merasakan sentuhan, Amara membalas dengan senyum dan berkata, "Selama itu buat om, tante sama lo seneng, dia pasti bakal lakuin apapun."

"Makin egois gue kedengarannya," kata Antariksa dengan wajah semakin keruh. Dia, ayah dan bunda sudah membicarakan ini tanpa Aurora. Kekhawatiran mereka bertiga sama, apakah ini adalah hal yang diinginkan oleh Aurora? Kenapa anak itu tak ada protes sama sekali tentang ini semua? Padahal biasanya dia orang yang paling susah menurut, untuk mematuhi hal kecil sekalipun yang bertentangan dengan hatinya.

"An, percaya sama gue, dia bakal baik-baik aja. Sekarang dia lagi penyesuaian. Gue bakal temenin dia belajar, bokap juga bilang sama gue suruh belajar sekalian bareng si Ara. Orang dari McKinsey yang jadi mentor si Ara itu adik tingkat bokap dulu di Hague."

Jawaban yang dibutuhkan Antariksa baru saja terdengar dari Amara. Antariksa tersenyum lega mendengar perkataan Amara, seakan bebannya sudah terangkat sebagian. Karena sejak dulu, Amara memang selalu menjadi teman bicara yang menyenangkan. Sejak Amara pindah ke Belanda, Antariksa yang lebih sering berhubungan dengannya dibanding dengan Aurora. Ada dia sekarang di sini, Aurora pasti baik-baik saja.

"Semoga ya, Mar," kata Antariksa dengan kelegaan yang cukup terasa.

"An dengerin gue," ujar Amara sambil memandang Antariksa serius, "gue tahu lo orangnya visioner. Tapi gue, lo, Ara itu masih SMA. Jangan terlalu serius dululah. Terutama lo. Bokap kita bukan pengen ngebebani kita, mereka cuma mau kita mulai mikir bukan kepikiran. Jadi santai aja dulu, An. Lagian malah lebih bahaya kalau si Ara itu ngga stres, iya ngga sih?" tanya Amara terkekeh.

Antariksa membalas senyum lebar candaan Amara.

An ... An, lo senyumin gini aja gue udah seseneng ini. Lemah banget sih hati gue. Mana seminggu ini lo kaya bunglon, bentar baik bentar cuek. 

"Heh ini berdua malah berbagi kehangatan di sini, inget dosa woy!"

Antariksa dan Amara lalu menoleh ke arah suara, terlihat Aurora yang berkacak pinggang memasang tampang menggoda. Amara buru-buru menurunkan tangannya dari bahu Antariksa lalu berdiri menghampiri Aurora.

"Tidur yuk, Rang. Ngantuk gue."

"Anjir muka lo merah banget. Baper lo ya sama si Anta?" goda Aurora yang dibalas pelototan Amara dan dengusan Antariksa.

***

"Heh lo ngaku sama gue sekarang, lo suka sama si Anta kan?" tanya Aurora begitu mereka bersiap untuk tidur.

Amara yang sedang melihat foto jepretan Aurora yang tertempel di dinding lalu menoleh seraya memasang wajah polosnya, "Kenapa bisa mikir kaya gitu?"

"Ah tutup panci, jangan sok polos dah muka lo. Najis tau gak!"

Amara tertawa lebar, "Heh, sandal swallow, muka polos gue gini yang bikin cowok banyak naksir. Buktinya itu siapa sih ketua kelas kita yang awalnya naksir lo sekarang berbalik modusin gue," jawab Amara sambil tergelak. "Lo bikinin kamar gue kaya gini dong, Rang, naksir banget gue sama kamar lo."

"Naksir kamar gue apa abang gue?" tanya Aurora menggoda. "Bayar lah gila, lo pikir DIY begini barang-barangnya kaga beli apa? Barang bekas sih banyak, tapi kalo yang hubungannya sama listrik juga harus modal kali gila aja lo."

Amara tertawa lagi lalu duduk di samping Aurora yang sedang memainkan ponselnya, "Yaelah Rang sama gue ini perhitungan banget sih lo. Kan lo udah banyak duit dari anak-anak yang pada nyewa jasa lo ngedekorin kamar mereka."

Tanpa meninggalkan layar ponselnya Aurora membalas, "Business is a business, Nyong. Kaga ada nepotisme. Lagian lo bule kere amat dah."

"Heh mulutnya," balas Amara mendelik lalu melempar muka Aurora dengan guling.

Aurora cuma nyengir.

"Eh Rang ...," panggil Amara ragu-ragu.

"Hmm..."

"Lo sama si Arlo gimana?" tanya Amara tiba-tiba yang membuat Aurora langsung mendongakkan kepala memandang Amara tak suka.

Amara langsung salah tingkah, "Woy santai dong matanya. Gue kan cuma nanya. Secara seminggu ini lo prepetan wae tentang dia. Ya ... gue kan jadi curiga lo ada apa-apa sama dia."

Aurora lalu manggut-manggut, "Gue tadi lihat lo mandangin si Anta pas makan malam, kasih hadiah dia dengan tampang ngga nyantai, pegang-pegang pundak dia, senyum lo penuh makna, trus pandangan lo ke dia kaga biasa banget. Ya ... gue kan jadi curiga lo ada apa-apa ke dia."

Telak. Amara menelan ludah.

"Sialan, lo," kata Amara lalu dia menelungkupkan kepalanya ke kasur Aurora. Malu.

"Masih ngga mau cerita lo sama gue?" tanya Aurora yang lebih mirip desakan.

Amara lalu beringsut mendekati Aurora dan memeluknya dengan mata yang sudah memerah, berkaca-kaca, "Rang, gue sayang banget sama dia. Sejak dulu, lo tahu 'kan? Sayang banget sama abang lo."

***

Setelah semalaman mendengarkan Amara curhat tentang perasaannya pada Antariksa, cinta monyet yang belum sempat mekar, Aurora punya semangat baru untuk mencomblangkan mereka berdua. Kecurigaan Aurora selama ini terbukti sudah, kalau Amara memang ada rasa sedalam itu pada abangnya. Untuk menghadapi orang INTP* macam Antariksa diperlukan orang ESTP* yang bersemangat macam Amara.

Maka sudah sepagian ini ada saja tingkah Aurora yang membuat Amara dan Antariksa berada pada kondisi bersama. Untungnya keduanya tak menyadari –atau pura-pura tak menyadari—kalau Aurora sedang berulah.

"Sering-sering aja lo ke sini kalau Minggu, Sam, biar kerjaan gue ringanan," ucap Aurora sambil menyeruput sirop lecinya.

"Nasib amat sih punya temen piciknya kaya lo itu."

"Halah seneng kan lo tadi kuras-kuras kolam sama si Anta. Pake sok-sok kepleset pula biar ditolongin. Dasar spanduk pecel."

"Sembarangan lo, gue beneran kepleset yak. Dasar sosis so nice."

"Hmm enak dan bergizi," balas Aurora ngiklan.

Aurora yang daritadi fokus dengan kerjaannya kembali memusatkan perhatian pada buah pepaya setengah matang yang sedang diukirnya menjadi ukiran bunga. Setelah ada Amara, Aurora tak ikut kerja bakti. Dia cuma mengambil buah pepaya lalu main-main dengan pisau ukirnya.

"Bisaan banget sih lo bikin beginian," kata Amara lagi, "ajarin gue napa."

"Bule mental gratisan amat sih lo—"

Baru mau mulai prepetan lagi, ponsel Aurora berbunyi. Dia raih ponselnya dan begitu membaca pesannya, Aurora menancapkan pisau ukir yang sangat tajam ujungnya itu ke tumpukan kulit pepaya yang berada tepat di samping Amara sampai-sampai dia nyaris menjerit.

***

Aurora buru-buru ke luar rumah begitu mendapatkan pesan dari Arlo kalau dia ada di depan gerbang. Jangan sampai si Anta tahu kalau Arlo ke sini.

Begitu sampai di luar, nampak Arlo nangkring di atas motornya tanpa melepaskan helm. Aurora memasang wajah angkuh lalu mendekatinya, "Ada apa?" tanyanya langsung.

"Temenin gue," balas Arlo tak basa-basi.

"Ke mana?"

"Ntar lo juga tahu."

"Gamau."

"Buruan ganti baju," kata Arlo lagi seolah tak mau dibantah.

"Idih siapa lo nyuruh-nyuruh gue. Kaga ada ya, Minggu itu waktunya gue tidur seharian."

"Ada demo tentang Karst Green Expedition. Kita bisa liat mereka panjat tebing."

"Kaga minat," jawab Aurora ketus.

"Oh yaudah." Arlo lalu turun dari motor dan membuka helm-nya, lalu dia berjalan melewati Aurora masuk ke dalam pekarangan rumah Aurora. Lalu Aurora panik dan menarik jaket Arlo.

"Lo mau ngapain?"

"Ketemu nyokap lo minta makan," jawab Arlo enteng yang membuat Aurora menganga.

Aurora buru-buru mengatupkan mulut dan memandang Arlo sengit, "Lo jangan aneh-aneh ya."

"Kenapa? Biasanya nyokap lo juga ngasih gue makan."

Masalahnya di dalam ada si Anta, batin Aurora.

"Fine. Ayo pergi. Cepetan!" desak Aurora lagi sambil menarik Arlo ke motor.

Arlo malah memandangi Aurora dari atas kepala ke kaki, celana pendek bawah lutut, kaos panjang biru kebesaran dan rambut acak-acakan yang dikuncir asal. "Lo ... begini?"

"Bawel amat. Buruan, ngga?"

Arlo mengangguk lalu naik ke atas motor dan Aurora memakai helm lalu naik.

Ini orang suka sama gue kali ya? batin Aurora memikirkan kelakuan Arlo yang rada-rada.

"Pegangan," kata Arlo dari balik helmnya saat motor sudah bersiap jalan.

"Iye," balas Aurora singkat.

Arlo tak merasakan bagian tubuhnya dijadikan pegangan. Pegangan apa bocah itu? Pegangan angin?

"Pegangan apa?" tanya Arlo akhirnya.

"Pegangan sama Tuhan."

***

Wajah Aurora sudah masam sekali. Si Arlo memang kampret, bisa-bisanya Aurora diajak sepeda motoran sampai Bogor. Mana pakai baju gembel begini. Mana kaga bawa duit. Kalau sampai Aurora berulah jangan-jangan nanti dia ditinggal pulang lagi.

Sableng, sableng, mau aja sih gue dibegoin makhluk laknat kaya dia, aaaaaargh.

Waktu melihat demo mahasiswa di salah satu taman di Bogor, Aurora sudah tak minat sama sekali. Malam itu dia hanya berasalan ingin belajar panjat tebing supaya Arlo buru-buru pergi dari rumahnya. Simalakama banget. Aurora memang sering adventure ke alam dengan keluarganya, jadi dia paham sedikit tentang panjat tebing dan memang tak ada minat mendalami.

Daritadi Aurora mogok bicara dan Arlo tak mengajaknya bicara juga. Aurora gengsi pengen minta duit beli minum. Ck, sial benar nasib Aurora hari ini.

Karena tak tahan kehausan, akhirnya Aurora tarik-tarik lengan baju Arlo sampai dia menengok padanya dengan kerutan di kening.

"Minta duit," kata Aurora.

"Hah?"

"Haus bego, lo ngajakin orang jalan jauh ke sini dipikir ngga capek apa?"

Dalam hati Arlo sudah ingin tertawa, daritadi dia memang sengaja mendiamkan Aurora, dia ingin melihat sampai berapa lama Aurora tak merajuk. Lalu Arlo mengeluarkan dompet dari saku celana belakangnya dan memberikan selembar lima puluh ribuan pada Aurora. Sebelum uang itu diterima Aurora, Arlo menjawab, "Yang sopan kalau ngomong sama yang lebih tua."

Aurora menyahut uangnya dan pergi beli es terus tak balik-balik lagi sampai Arlo yang harus menghampirinya begitu acara demo selesai.

"Ayo, balik," kata Arlo yang melihat Aurora tengah mengorol 'mesra' dengan bapak-bapak penjual es dan beberapa mahasiswa yang terang-terangan terlihat tertarik pada Aurora.

Aurora tersenyum sumringah lalu menghampiri Arlo setelah pamitan pada semuanya. Karena pelototan dari Arlo juga, si mas-mas mahasiswa gagal mendapatkan nomer hape Aurora.

Dan setelah satu jam kemudian menempuh perjalanan, Aurora benar-benar ini mengutuk Arlo.

Bukannya ke Jakarta, Arlo malah nyangsang ke Cianjur.

Dobel kampret.

*

Rasa-rasanya ini sudah tusukan ke dua belas, tapi Aurora yang sedang makan sate dagingnya belum tampak ada tanda-tanda kekenyangan. Arlo sampai dibuat takjub olehnya. Udah mana makan kaya preman pasar kaga pake napas pula.

Waktu mau mengambil tusukan ke tiga belasnya, Arlo langsung menjauhkan piring itu dari hadapan Aurora. "Lo bisa sakit perut," kata Arlo coba memperingatkan Aurora.

"Obat sakit hati paling mujarab itu dengan makan," jawab Aurora ketus.

Lah masih dendam ini cewek sama gue.

"Gue yang bayar ya, tau diri dikit kalau dibayarin orang."

"Dih, bodo amat sama duit lo. Lo pikir gue minta bayarin apa? Lo kaga tau gue udah ceesan sama yang jualan?"

Arlo memandang sangsi, memang daritadi pertama Aurora datang orang-orang di tempat penjual sate itu langsung heboh, sampai-sampai yang tukang kipas sate diprotes pembeli karena keasikan ngobrol dan selfie-selfie sama si Aurora.

"Siniin sate gue," kata Aurora lagi mencoba mengambil satenya yang ada di tangan Arlo. Yang ditodong justru menjauhkan satenya dan sate yang masih tujuh tusuk itu di pegang oleh Arlo di tangan kanan dan kirinya lalu dilahapnya berganti tepat di depan mata Aurora.

Aurora menyayangkan nasib naas sate daging kesayangannya.

*

Aurora memandang hamparan lampu di depannya dengan takjub. Sering dia lihat hamparan lampu kota Jakarta yang baginya jadi pemandangan yang lumayan kalau dilihat dari tempat yang tepat.

Arlo yang sedang menikmati sekoteng dari warung kecil di pinggir jalan terdistraksi oleh pemandangan punggung belakang Aurora yang tampak tenang memerhatikan pemandangan di depannya. Pemandangan kerlip lampu yang baginya jadi keindahan yang patut diapresiasi.

Arlo melangkahkan kaki mendekati Aurora, "Kalau lihat ini gue jadi keingetan Alaska," kata Arlo tiba-tiba seudah berdiri di samping Aurora.

Aurora tak berminat menanggapi perkataan Arlo, dia masih kesal karena keinginannya untuk pulang dari tadi ditunda-tunda Arlo. Yang mau makan dululah, makan lagi jagung bakarlah, minum sekoteng dululah. Padahal Aurora sudah ketar-ketir kemalaman sampai di rumah. Dia lupa tak membawa ponsel untuk menghubungi bundanya. Tak bawa smart-but fake-watch-nya juga. Dia malas pinjam-pinjam pada si Arlo.

"Lo kalo diajak ngomong jawab dong," kesal Arlo karena tak ditanggapi.

Aurora melirik sedikit lalu membuang muka lagi, "Alaska kenapa emangnya?" tanggapan Aurora akhirnya.

"Alaska kan eksklave* dari AS, berasa kalau pemandangan kaya gini bukan Jakarta banget. Atau Jakarta yang bukan Indonesia ya? Jakarta lebih cocok jadi ekslave Indonesia."

"Jakarta yang harusnya eksklave. Jakarta bikin keindahan Indonesia sedikit tersamarkan."

"Tapi Jakarta beda jauh sama Alaska. Itu negara walaupun eksklave juga tapi kekayaannya ngga tanggung-tanggung. Emang canggih banget sih Amerika, beli tanah sebesar Indonesia dengan harga yang murah banget padahal kalau Rusia tahu gimana kekayaannya, mati-matian pasti bakal dipertahanin tuh."

Aurora mengerjap sebentar, entah kenapa dia menyadari kalau nada bicara Arlo sedikit berubah. Apa ya istilahnya, jauh lebih santai kah? Aurora bilang pada dirinya sendiri untuk menurunkan egonya dan menanggapi perkataan Arlo, "Iya ya, ya kaya Indonesia nyesel ngelepas Timor Timur aja gimana. Kasian kan malah 80% penduduknya masih di bawah garis kemiskinan. Indonesia ini ... kebanyakan ngurusin Jakarta."

"Ya kaya Rusia ketakutan ngga bisa ngejaga Alaska akhirnya dijual ke Amerika gara-gara letaknya kejauhan, daripada dirampas Inggris ya mending jual murah. Ya untunglah Amerika itu, cadangan emas Alaska aja ngalahin teritori Amerika sendiri."

Aurora tersenyum, entah kenapa dia mendadak merasakan kenyamanan saat Arlo mengajaknya bicara sesantai ini. Obrolan sok tahu anak-anak seusia mereka, tapi terasa menyenangkan saja rasanya. Kaya ngobrol bareng Antariksa sama ayah. Begitu pikir Aurora.

"Tahun berapa sih Alaska dibeli sama Amerika? Tahun 18-an sekian kan ya?"

"Yoi, tahun 1867. Alaska dibeli $7,2 juta waktu itu, kalau dihitung-hitung nilai sekarang cuma sekitar $121 juta doang, duit segitu kalo sekarang cuma buat bisa bikin mall gede doang. Jual murah banget Rusia emang."

Aurora tertawa menanggapi perkataan Arlo, "Bahasa lo jual murah. Kaya enci-enci di Mangdu yang suka godain si Anta."

Aurora dan Arlo mendadak diam setelah nama Antariksa tercetus dari bibir Aurora. Kini Aurora merasakan memang ada sesuatu yang salah dari mereka berdua. Tampaknya Aurora ingin mencari tahu setelah ini.

"Eh, diklat Pacita di mana nanti?" tanya Aurora kemudian mencoba melepaskan kekakuan yang tiba-tiba melanda.

"Kaya biasanya di Gede paling."

"Oh ...," jawab Aurora manggut-manggut.

"Lo pernah naik gunung?"

Aurora menatap Arlo dengan mata menyalak, sambil membusungkan badan biar kelihatan songong. "Menurut ngana?" tanya Aurora sok.

"Ck, sombong kali bah," jawab Arlo sambil meringis, lalu dia kepikiran sesuatu, "malem waktu kemah, gimana bisa lo setenang itu?"

"Kalau panik nanti mereka makin terganggu psikologisnya. Harus ada yang tetep waras."

"Apa itu bukan pertamakalinya buat lo?"

Aurora tampak menerawang sejenak, "Ngga sih, gue belum pernah tersesat untungnya. Bokap sama nyokap selalu back-up gue dengan baik."

"Hah? Keluarga lo udah sering naik gunung?"

"Bokap sama nyokap sering. Kalo gue baru 17 gunung, 13 di Indonesia, yang 4 di Italia, Cina, Malaysia sama Swiss. Yang di Swiss ngga nyampe puncak tapi."

Arlo benar-benar sudah melongo sekarang. Kalau emang si Aurora niat menyombong, dia berhasil. Arlo iri berat. Antara takjub dan tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Gila ini cewek apaan sih, batinnya dalam hati.

"Lo mungkin lebih canggih dari gue," kata Arlo lirih, lebih ke dirinya sendiri.

Aurora terkekeh, "Santai kali mukanya. Gue ngga terlalu suka naik gunung. Gue lebih suka jalan-jalan sama makan aja hahaha."

Arlo masih tak bergeming. Cewek mungil di sampingnya ini benar-benar tak bisa diremehkan. Kecuali kalau yang dikatakan tadi hanya kebohongan belaka. Tapi rasanya tak mungkin, untuk ukuran cewek dia itu kelewat jujur dan blak-blakan. Keliatan kali dari kelakuannya yang blangsakan. Cewek padahal.

"Gue ngga nyangka lo ngerti tentang Alaska purchase juga, gue pikir lo ngertinya cuma mabok, ngerokok sama bikin kesel orang doang."

Arlo langsung mendengus, "Gue bahkan lebih ganas dari semua yang lo sebutkan itu."

"Idih, lo bangga sama yang begituan?" tanya Aurora sambil melotot.

"Cuma itu yang bisa gue lakuin buat nyenengin diri sendiri."

"Lha—"

Aurora tak jadi melanjutkan kata-katanya. Sadar kalau apa yang dikatakan Arlo adalah refleksi dari masalah hidupnya. Dan Aurora tak mau repot-repot cari tahu. Tapi, Shafira?

"Ehm, lo ngga keliatan suka baca buku," jawab Aurora akhirnya.

"Hah, mulut lo perlu dibungkam sesuatu kayaknya. Mau gue bantu?" Arlo bertanya seolah tak punya dosa. Langsung dia dapat injakan di kaki dari Aurora. Kampret. Untung Aurora cuma pakai sandal jepit.

Ini orang apa maksud sih ngomong bungkam membungkam mulut, Aurora membatin dan reflek memegang bibirnya.

"Lo ngga bisa mengeneralisasikan orang cuma dari tampang. Kalau lo liat gue yang kaya gini bukan berarti gue kaya yang lo pikir. Lo masih terlalu piyik buat ngerti tentang kehidupan."

"HAHAHAHAHA ... njir bahasa lo kaya udah Jim Rohn yang kasih wejangan ke Anthony Robbins, kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup adalah bukan hasil dari apa yang kita miliki, melainkan bagaimana kita hidup dan apa yang kita lakukan dengan hal-hal yang telah membuat perbedaan terbesar dalam kualitas hidup," kata Aurora masih ngakak sambil menirukan kata-kata motivator asal Amerika itu.

Arlo sebal ditertawakan oleh Aurora, "Tahu dari mana lo kalau gue suka sama Jim Rohn?"

Aurora membelalak, "Hah serius?" lalu dia tertawa lagi.

Arlo memandang Aurora dengan tatapan yang berbeda, pikirnya dalam hati, untuk bisa bikin enjoy Aurora, Arlo harus jadi tampak bodoh dulu di mata cewek itu. Tapi kalau balasannya dia bisa melihat ketawa Aurora selepas ini, rasanya dia tak keberatan sama sekali.

"Lo jadi cewek bisa anggun dikit ngga? Ketawa aja ngga kontrol gitu." Arlo berharap Aurora tak menuruti keinginannya. Gila saja dia kalau mau Aurora menghentikan tawa renyahnya. Padahal baru dengar tawa itu saja, kesumpekan Arlo rasanya lepas.

"Coba deh aku mau tahu, cewek anggun menurut Kak Arlo itu gimana sih?" tanya Aurora sembari mengarahkan genggaman tangan kanannya berlagak seorang wartawan yang sedang mewawancarai artis.

Alih-alih berbicara, Arlo malah mengeluarkan ponsel dan tampak memainkan ponselnya sampai terdengar seorang perempuan membacakan sebuah berita travel Pulau Enggano di Bengkulu. "Begini cewek anggun, suaranya merdu di telinga." Arlo berkata dengan bangganya.

Kini Aurora sudah tak bisa lagi menahan tawanya, dia sampai terduduk dan memegangi perut. Arlo memutarkan DBD Indonesian Audio News dengan speaker dirinya. DIRINYA. Orang yang kata Arlo anggun? Bagaimana bisa Aurora tak tertawa?

Arlo mengernyit tak suka melihat reaksi Aurora yang berlebihan. Kerasukan apa ya?

"Balik-balik," kata Arlo akhirnya berbalik menuju ke arah motor.

Aurora yang ditinggal lalu buru-buru naik ke boncengan motor Arlo masih dengan tertawa. Dia baru berhenti waktu Arlo melemparkan jaketnya ke belakang untuk di pakai oleh Aurora.

Sepanjang jalan masih terasa sisa-sisa kelucuan bagi Aurora, tak jarang dia diam dan tertawa-tawa sendiri. Membuat Arlo agak-agak senewen kalau anak itu benar kesurupan.

Setengah perjalanan berlalu dan tak ada suara Aurora lagi. Belum juga Arlo ingin bertanya, dirasakannya punggungnya tertimpa sesuatu, kepala Aurora. Sepertinya Aurora tertidur. Akhirnya Arlo raih kedua tangan Aurora untuk dilingkarkan ke pingganya. Arlo menjalankan motornya pelan dengan tangan kirinya memegangi kedua tangan Aurora.

Anjir gini banget rasanya.

Tepat pukul Sembilan malam mereka tiba di rumah. Aurora sempat kikuk karena mendapati dirinya tertidur dengan tangan di genggaman Arlo. Tapi mengingat kejadian sebelumnya, Aurora tiba-tiba terkikik lagi kaya mak lampir. Itu lho yang masalah cewek anggun.

"Tunggu bentar," kata Aurora begitu dia turun dari motor dan langsung gedubrukan masuk rumah. Dia abaikan bunda yang lagi baca buku. Untung ngga ada si Anta.

Aurora balik lagi dan menyerahkan hasil fruit carving dari buah pepaya tadi ke Arlo. "Kasih ke Shafira," kata Aurora.

"Perasaan gue yang banyak capek," protes Arlo.

"Ye, lo mah kan maksa doang kerjaan." Aurora diam sebentar memikirkan sesuatu, "Eh ada nih hadiah buat lo. Denger baik-baik ya," Aurora tampak berpikir sesuatu lalu tersenyum, "ribuan turis asing berwisata di berbagai daerah di Indonesia. Turis asing tersebut datang berkeliling Indonesia menggunakan kapal pesiar Volendam." Aurora berkata-kata dengan gaya formalnya dan Arlo sudah nyaris copot matanya karena kelamaan melotot. "Untuk kelengkapan beritanya tetap setia dengarkan DBD Indonesian Audio News ya," pungkas Aurora lalu tertawa lagi.

Jadi ... jadi?

"Itu headline buat besok pagi. Oh iya btw nama gue Aurora Zainina, atau biasanya disingkat A Zainina. Dah ya gue masuk dulu."

Aurora berbalik meninggalkan Arlo yang masih bengong.

Aurora merasakan hatinya menghangat. Entah karena jaket yang melingkupi tubuhnya atau karena apa. Mampus aja lo, Ra, baper kan lo, baper.

***

Note.
INTP  : Introvert, Intuition, Thingking, Perceiving
ESTP : Extrovert, Sensing, Thingking, Perceiving
(Bagi yang penasaran bagaimana detail sifat tersebut bisa googling ya :) hehe)

Eksklave :  Daerah administratif yang dikelilingi oleh administratif lainnya. 

.

.

Maafkan kalau masih ada typo ya :( Emang juragan typo banget aku nih. Padahal udah dibaca ulang sebelum publish, masih aja ada yg kelewat. 

Lumayan panjang kan part ini? Hehehe :D Oh iya makasih ya buat kalian yang sudah share buku-buku yang kalian suka. Banyak yang belum aku tahu dan layak dicoba berkat kalian :*

Dah gitu aja, happy reading ya teman-teman ^^

11012015-









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top