Day 29; Message
"Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja."
"Kau yakin?"
"Tak pernah seyakin ini."
"Dan aku tak pernah seragu ini."
"Kau meragukanku?"
"Jujur saja, iya. Aku tahu bagaimana dirimu dan aku tahu kapan kau merasa baik atau tidak."
"Kau bukan diriku."
"Namun aku kekasihmu!"
Senyum kecut terlukis pada wajah lengket sebab air mata yang mengering. Kosa kata terakhir pada pesan tersebut merupakan ironi baginya. Pengirim pesan itu benar, tetapi di satu sisi salah besar. Karena kadang dirinya tidak mau mengakui hubungan mereka yang sudah berjalan 4 tahun lamanya.
Sebuah hubungan yang terbilang lama untuk usia belia mereka.
Ting!
"Aku tahu kau masih di sana. Jawab aku jika kau berkenan."
Gelengan ia berikan sebagai jawaban yang tentu tak akan sampai kepada pengirim pesan itu. Saat ini, otaknya menolak untuk berkomunikasi. Tidak kepada siapapun. Tidak juga kepada dirinya sendiri. Alhasil hening merajai ruangannya yang begitu remang.
Sembari mempertanyakan kepantasan eksistensi diri, dirinya memutar tubuh. Mengubah posisi menjadi telungkup dengan bantal mengganjal dagu. Perlahan, wajahnya pun tenggelam dalam benda empuk itu. Tenggelam untuk menyembunyikan perasaannya yang kembali beranak sungai.
Mengapa ia hidup?
Mengapa harus seperti ini?
Apakah dirinya bisa berguna?
Atau sebaiknya ia mati saja?
"Huft ...." Embuskan napas panjang karena jawaban yang tak kunjung datang, ia pun kembali mengubah posisi. Kali ini mengambil arah miring dengan tubuh menatapi tembok kusam berwarna hijau. Ah, sedari dulu ia ingin mengganti warna tembok itu dengan warna kesukaannya. Sayangnya entah kapan itu akan terwujud.
Ting!
Ting!
Ting!
Dentingan notifikasi beruntun itu membuatnya menggerutu. Pengirim pesan itu benar-benar tahu bagaimana cara untuk menghadapi dirinya yang seperti ini. Tak tahan, ia pun membuka ponselnya. Sebuah gambar segera ia unduh begitu pesan terakhir dilihat.
'Huh? Mengapa ia mengirim ini?'
Dengan latar langit berbintang, dua insan terlihat memandang langit yang sama. Itu yang ia tangkap ketika melihat gambar yang dikirimkan kepadanya. Sebuah pesan masuk lagi.
"Wa ... Maafkan aku yang tidak bisa berada di sisimu saat ini. Namun, aku akan selalu ada kapan pun kau membutuhkanku. Kita memandang bulan yang sama, bukan?
Sekarang, tidurlah. Jangan buat kedua kakakmu khawatir karena kau yang sakit keesokan harinya jika kau terjaga terus selarut ini."
Di saat yang bersamaan, senyum dan tangisnya terjadi dengan alasan yang sama. Sosok di kejauhan itu selalu bisa merangkul hatinya yang rapuh. Bukti batin mereka sudah terikat sekian lama semenjak pertama kali memiliki hubungan tersebut.
"Atau kau mau kuceritakan dongeng sebelum tidur?"
Pesan baru itu sedikit mengagetkannya. Selang beberapa lama, sebuah pesan berupa narasi panjang masuk. Dengan senang hati ia pun membaca paragraf-paragraf yang ada.
" ... Serigala itu mengendus dengan kuat. Ia yakin bahwa salah satu domba yang dijaga olehnya menghilang dari kawanan. Setelah memastikan domba yang tersisa sudah masuk ke dalam kandang, dengan segera Serigala itu kembali ke tanah lapang.
Dengan saksama ia mengamati dengan jeli setiap bekas tanah yang terpijak selama jam makan siang tadi. Yakin atas pengamatannya, ia pun berlari menuju hutan. Mengikuti bau dari seekor domba yang memang sering kali menghilang itu.
Benar saja. Memasuki pusat hutan dengan pohon besar sebagai penanda, Serigala itu menemukan apa yang ia cari. Seekor domba yang tampak asyik memakan rerumputan di sana. Ia pun memberikan geraman kecil, memberitahukan keberadaannya.
Domba itu menoleh, terkejut dengan sosok berbulu sedikit terang itu. Setelah sadar siapa yang datang, dengan cepat ia mengunyah sisa rumput yang ada di mulut, lantas berlari agak cepat. Semakin cepat ketika melewati Serigala yang segera mengekorinya ..."
Sekali baca, ia sudah tahu bahwa cerita itu menjadikan mereka sebagai perumpamaan. Dirinya sebagai domba yang ceroboh dan dijaga oleh serigala yang merefleksikan pengirim cerita itu.
Ia pun segera membalas setelah menghabiskan cerita itu. Setidaknya kelam yang menyelimuti dirinya sudah berkurang.
"Cerita yang bagus."
"Baguslah jika begitu. Jadi, tidurlah. Hari akan berganti sebentar lagi."
Butuh sedikit lama baginya untuk memberanikan diri mengirim jawaban yang sedikit berbeda dari biasanya.
"Bagaimana jika si Domba tidak mau?"
"Jangan memaksa tugas si Serigala berubah dari menjaga menjadi memangsa."
"..."
"Tenang saja. Serigala itu juga tidak mau memakan Domba yang belum matang.
Terakhir kalinya aku mengatakan ini; tidurlah sebelum aku melaporkanmu kepada kakak lelakimu, Wa."
"Baiklah, baiklah. Terima kasih atas fabelnya. Selamat malam."
"Sama-sama dan selamat malam juga. Semoga kau bermimpi indah."
Tanda aktif lawan bicaranya mati setelah ia membaca pesan itu. Meninggalkan senyum yang membekas walau mata miliknya perlahan terpejam.
Setidaknya, biarkan ia benar-benar bermimpi indah malam ini.
.
Gomong, 21 Agustus 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top