Day 13; Bounced

'Karma is real, ya know?'

Kalimat itu berdenging. Tepat ketika guru memberitahu bahwa tugasnya salah. Padahal, seharusnya bukan seperti itu. Harusnya ia yang terbaik karena itu adalah bidang kesukaannya.

Namun, nyatanya ia terkalahkan dengan telak. Benar-benar kalah sampai ia hanya bisa membungkam mulut, tak memprotes kala guru melanjutkan dengan tugas baru. Kini, dirinya pun memiliki dua kewajiban yang harus dikumpulkan minggu depan.

'Kau semakin buruk. Tidak berguna. Bukankah begitu?'

"Apa yang salah?" Ia bertanya pada angin lalu. Mencoba menelisik memori tentang penyebab semua ini.

Sampai akhirnya ia mengingat kejadian kemarin. Kejadian ketika tugas itu diberikan pertama kali. Ia yang tahu kelebihannya ada di situ, tak melewatkan kesempatan untuk menyeringai melihat teman-temannya yang kelimpungan akannya.

Pun ketika membuat. Ia tunjukkan performa bagaimana dirinya menyelesaikan tugas yang sejatinya akan menjadi pekerjaan rumah itu. Tak sampai menghabiskan satu jam pelajaran, ia dengan bangga memamerkan hasilnya setiap ada teman yang bertanya kepadanya.

Pun keesokannya, ia masih berkutat dengan hal yang sama. Masih bercerita dengan nada congkak bahwa tugasnya itu sudah jadi. Masih merasa baik ketika ada teman yang mempertanyakan bagaimana harusnya ia menyelesaikannya.

Dan kini, kesombongannya menuai buah. Karyanya dinyatakan sebagai yang terburuk, sampai ia tidak berani menatap mata-mata penasaran akan itu. Hei, ke mana perginya rasa congkak nan tinggi lusa kemarin itu?

Ibarat kata, ia tengah memainkan bola kesukaannya. Begitu suka hingga tidak memberi kesempatan kepada yang lain untuk mencoba. Hingga akhirnya, ia coba untuk memasukkan bola itu ke ring. Sayangnya, karena terlalu suka, ia melemparkannya dengan terlalu bersemangat.

Hasilnya? Jangankan memasuki ring, bola itu malah meleset ke arah dinding. Otomatis memantul dan menghantam telak mukanya. Begitu sakit dan memalukan. Semua hanya diam, tak sangka si 'Bintang' akan mendapatkan karma yang begitu indah.

Menghentikan ilusi yang semakin memperparah suasana hati, ia tertawa getir. Begitu getirnya hingga ia harus menggigit bibir untuk meredakan tawa sendiri. Sekarang, apa lagi yang bisa membuatnya menaikkan tatap ketika hal yang ia minati malah menyurukkan wajahnya ke bumi?

Perlahan, pemikiran berpadu penyesalan itu berubah menjadi kristal bening. Ia menangis. Menangis menyadari betapa bodoh dirinya selama ini. Menyadari bahwa dirinya seharusnya tidak seperti itu. Ya. Seharusnya ia tidak keluar dari cangkang yang selama ini ia bangun.

Hanya karena tugas di bidang yang ia kuasai, sosok yang semula pendiam itu berubah menjadi aktif. Rela mengelilingi kelas hanya untuk menanyakan tugas kawan-kawan lainnya, di saat seharusnya ia tertidur dengan nyenyak di mejanya. Begitu berubah.

Berubah ke arah yang salah.

'Lantas, apakah aku harus kembali ke keadaan semula? Keadaan di mana aku hanya pendengar, bukan pembicara. Hanya menyaksikan di balik layar tanpa bermain peran. Apakah harus seperti itu?'

Hati kecilnya memberikan pendapat yang langsung disetujui oleh otak. Membuatnya menghela napas singkat. Ah, sepertinya dia memang tak cocok bermain sebagai pemeran utama yang bersinar. Buktinya, kini ia hancur berantakan.

Jadi, apa lagi yang harus ia tunggu? Bukankah seharusnya ia kembali ke belakang panggung, menjadi figuran walau itu adalah pertunjukan miliknya?

Tak adil? Jangan mengajaknya membicarakan hal seperti itu. Ia sudah terbiasa. Adil tak adil, hitam atau putih, ia hanya hidup dengan tenang dan sesuai dengan keinginannya.

Namun, bagaimana jika ternyata, memilih pun ia tidak bisa?

.

Pancor, 13 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top