Whisper Under The Spring's Night (1)

[Special Chapter]

WHISPER UNDER THE SPRING'S NIGHT

(Bisikan di Bawah Malam Musim Semi)

(1)

.

.

Disclaimer Tadatoshi Fujimaki for male chara

And, back to the OC for female chara

Typo, absurd, uknown planet's language, and awkward thing else. Happy reading!

.

.

Musim semi yang indah. Bunga sakura yang mulai bermekaran semakin menambah semaraknya suasana. Dan itu tentunya sayang untuk dilewatkan. Jadi, bagaimana cara mereka menghabiskan the pinky weather ini?

· Akashi Seijuurou dan Akashi Akemi

"Akemi, bersiaplah," pinta (baca: perintah) Seijuurou seraya menggunakan tuxedo hitam miliknya. Akemi yang saat itu tengah membaca menelengkan kepala. Merasa heran dengan ucapan sang suami.

"Memangnya ada apa hingga aku harus bersiap-siap?" tanya Akemi tak mengindahkan perintah itu. Seijuurou menghela napasnya. Ia berbalik dan menatap Akemi yang juga tengah melihatnya. Entah ada apa dengan perempuan bersurai abu itu hingga berani menentang sang singa merah.

"Cepat laksanakan saja. Ketahuilah tempatmu Akemi. Dan ingatlah kalau aku itu mutlak!" Langkah Seijuurou mendekat ke arah Akemi. Namun perempuan itu sama sekali tidak gentar.

"Kalau kau mutlak, maka aku lebih mutlak lagi!" ucap Akemi menantang Seijuurou. Ia berdiri. Menyejajarkan dirinya dengan suaminya yang pen— eh maksudnya yang tingginya sama dengan dirinya itu.

Seijuurou sedikit tersentak melihat tingkah istrinya yang terbilang berani itu. Terlebih ketika rambut kelabu milik Akemi menggelitik wajahnya juga.

"Akemi! Mengapa sikapmu berani seperti ini? Darimana kau belajar semua itu, huh?" tanya Seijuurou dengan nada datarnya. Akemi hanya tersenyum kecil seraya mengalungkan tangannya pada Seijuurou yang seketika membatu.

"Siapa lagi kalau bukan suamiku yang mutlak ini?" Akemi tersenyum sebentar. Kemudian mengelus pipi Seijuurou yang sedikit memerah. What the hell. Apa yang tengah kuperbuat ini? Batin Akemi di balik tindakan lembutnya itu.

"Baiklah. Aku akan segera bersiap," lanjutnya seraya meninggalkan Seijuurou yang masih memikirkan semua ini di benaknya. Tenanglah Akemi. Ini semua hanya refleks gila karena kau kebanyakan menonton drama dari negara tetangga sebelah kemarin malam. Pikir Akemi ketika menjauh dari sosok Seijuurou.

Tiga puluh menit kemudian, sepasang Akashi itu pun telah siap dengan penampilan mereka masing-masing. Seijuurou dengan tuxedo hitamnya, serta Akemi dengan mini dress berwarna putih. Dengan sebuah mobil hitam yang elegan, mereka pun melaju membelah malam.

*****

"Seijuurou, mengapa kau membawaku ke sini?" pertanyaan itu keluar tepat ketika iris kuning cerah milik Akemi terpaku pada sebuah bangunan restoran bergaya vintage. Seijuurou tidak menjawab dan malah memberikan tanda agar Akemi segera menurutinya.

Saat mereka masuk, beberapa butler segera menyambut mereka. Akemi lagi-lagi tak bisa mengeluarkan sepatah kata begitu melihat pernyambutan yang mewah baginya itu. Terlebih ketika seorang butler menuntun mereka menuju meja yang dipasangi tirai di sudut ruangan.

"Sei, apa yang sedang terjadi?" bisik Akemi begitu mereka duduk berhadapan di dalam tirai putih itu. Entah karena lagi puasa bicara atau apa, Seijuurou tidak menjawabnya dengan kata. Melainkan dengan senyuman yang semakin membuat Akemi penasaran setengah sadar.

Makanan pun datang. Sebuah makanan tradisional Jepang yang dikemas dalam bentuk berbeda memenuhi meja mereka. Terpaksa, Akemi pun memendam seluruh pertanyaan atas kejadian aneh ini dan memilih untuk menyusul Seijuurou yang sudah melahap makanan itu terlebih dahulu.

Sejam sudah mereka di sana. Namun Akemi belum menemukan petunjuk atas jawaban semua ini. Saking gusarnya, ia bahkan tak memerhatikan Seijuurou yang sudah bersiap dengan biola di genggamannya.

Suara biola mengalun lembut ke dalam telinga Akemi. Akemi memang sering melihat Seijuurou memainkan alat musik itu di kala senggang. Namun entah mengapa, penampilannya kali ini terlihat lebih istimewa.

"Akemi ..." suara baritone Seijuurou membuyarkan semua lamunannya. Akemi segera mendongak. Iris heterocromia milik suaminya menembus jauh ke dalam matanya. Sebuah senyum tipis terajut pada wajah tampan Seijuurou.

Andai aku bisa mengulang waktu

Kan kuputar kali pertama kita bertemu

Enyahkan segala hal yang mengganggu

Matikan masa saat ku bersamamu;

Indah terasa walau kutahu, ku tak mampu untuk itu

Akemi nyaris tak mempercayai pendengarannya sendiri, kala sebait puisi yang terselip di tengah alunan biola itu memasuki pikirannya. Singkat. Namun sarat akan kisah mereka. Dan senyuman Seijuurou yang tampak semakin membuatnya tak percaya. Ini adalah ilusi bukan? Pikir Akemi.

"Maafkan aku jika selama ini aku terlalu ketat padamu. Kau tahu? Aku juga ingin merasakan kebebasan seperti yang pernah kau rasakan. Namun kurasa, itu sudah terpenuhi." Seijuurou meletakkan biola itu pada tempatnya. Kemudian berjalan perlahan menuju Akemi yang masih terdiam atas semua kejutan ini.

"Mengapa?" lirih Akemi. Seijuurou tersenyum kemudian mengambil tangan putih Akemi. Lalu membawanya dalam kecupan singkat.

"Karena kebebasanku telah ada bersamaku di sini," ucap Seijuurou seraya menatap iris kuning cerah yang melebar di depannya. Akemi speechless. Ini benar-benar dinner yang istimewa dari seorang Akashi Seijuurou.

"Souka ne?" pertanyaannya dijawab oleh anggukan Sang Emperor. Membuat Akemi tak sungkan untuk memeluk suaminya itu.

"Daisuki, Akemi..." bisik Seijuurou tepat di telinga Akemi yang tengah tersenyum bahagia.

· Aomine Daiki dan Aomine Icha

"Icha, mengapa kau menggunakan pakaian pendek seperti itu? Ini malam tahu! Kalau kau masuk angin bagaimana, huh?" tanya Daiki begitu melihat Icha yang hanya menggunakan mini dress dan celana legging hingga mata kaki.

"Siapa suruh kau yang tiba-tiba mengajakku keluar padahal aku tengah memasak makan malam? Jadi, pakaian ini yang tercepat bisa kukenakan," balas Icha tak mau kalah dari suami tan-nya itu. Daiki mendengus begitu mendengar jawaban Icha yang benar-benar keras kepala.

"Sudahlah, kau tunggu saja di luar. Aku mau mengambil sesuatu dulu di kamar." Berkata seperti itu, Daiki segera melesat menuju kamar mereka. Sementara Icha hanya bisa merutuk kesal melihat tingkah Daiki yang aneh itu. Langkah kakinya menuju luar rumah.

Udara dingin langsung menyergapnya. Icha sesekali menggesekkan kedua telapak tangannya guna menghangatkan diri. Sampai sebuah jaket tebal menutupi tubuh mungilnya itu. Icha mendongak dan menatap Daiki yang sama sekali tak meliriknya.

"Pakailah. Kau akan mati membeku jika hanya menggunakan pakaian pendek seperti itu. Dan segera ikuti aku," ucap Daiki seraya meninggalkan Icha yang masih tak percaya atas tindakan sepersekian menit itu.

"Dasar Aho!" bisik Icha seraya tersenyum kecil. Ia segera mengikuti langkah Daiki malam itu.

*****

"Daiki, mengapa kita ke sini?" Langkah Icha terhenti di depan sebuah toko boneka yang cukup besar di daerah itu. Daiki tak menggubris pertanyaan Icha. Ia hanya masuk ke dalam seraya berkata kecil, "kalau kau tidak mau ikut, diamlah di situ. Aku hanya sebentar saja."

Icha kembali dibuat heran atas semua ini. Namun toh ia menurutinya juga. Selama beberapa menit ia menyandar pada etalase toko yang menampilkan boneka berbagai jenis dan ukuran. Kemudian, Daiki keluar seraya menenteng sebuah boneka beruang berwarna ungu muda.

"Mengapa kau membawa boneka?" tanya Icha. Daiki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tangannya yang satu menyerahkan boneka berukuran sedang itu.

"Untukmu," ucap Daiki pelan.

"Hee? Untuk apa kau repot-repot membelikanku?" Icha menelisik wajah Daiki yang benar-benar terlihat gugup.

"Aku melihatnya tempo hari dan aku merasa, itu mirip denganmu. Jadi, aku membelinya. Tapi kalau kau tidak suka, aku bisa menukarnya dengan yang lain," ucap Daiki. Ia memalingkan mukanya yang bersemu merah itu. Icha tersenyum melihat tingkah mantan ace Touou itu.

"Sankyu." Tangan Icha terulur untuk mengambil boneka itu lalu memeluknya. Tampak Daiki yang menghembuskan napas lega karena pemberiannya tidak berakhir sia-sia.

Mereka kemudian berjalan beriringan pulang. Sesekali Icha berusaha untuk menjahili si malam itu. Sampai tak sengaja, sebuah motor datang ke arah Icha yang memang saat itu berada di pinggir jalan.

"Icha!" Daiki refleks menarik Icha ke dalam dekapannya tepat di saat motor itu nyaris menabrak gadis itu. Icha terkejut di dalam dekapan Daiki. Terlebih ketika boneka yang menjadi penghalang tubuh mereka tiba-tiba mengeluarkan suara yang tak asing.

Inginku selalu menjaga dirimu

Cukup dengan nyawa dan hidupku untuk itu

Hingga kematian datang kepada takdirku

Aku kan bersamamu sepanjang hayatku

Seketika Icha menyadari bahwa puisi yang keluar dari boneka itu adalah rekaman dari suara Daiki. Namun yang masih tak ia percayai adalah, Daiki bisa membuat puisi seperti itu?

Icha mendongak demi menatap wajah suaminya. Daiki yang tiba-tiba mendapat tatapan seperti itu segera memalingkan muka. Ia benar-benar malu ditatap seperti itu. Sampai tak menyadari bahwa Icha tersenyum lembut kepadanya.

"Arigatou karena kau telah berjanji seperti itu, Daiki," ucapnya pelan yang masih di dalam pelukan Daiki. Boneka itu sedikit tergencet karena Daiki yang tiba-tiba mengeratkan lengan kekarnya pada Icha.

"Douitashimasite, Icha. Aku akan melaksanakan janjiku itu," bisik Daiki di tengah hiruk pikuk kota saat itu.

· Kagami Taiga dan Kagami Ranka

"Taiga, kita keluar makan yuk!" ucap Ranka riang seraya menggamit lengan Taiga yang tengah sibuk membersihkan piring sisa makan malam kali ini.

"Ranka, kita baru saja makan malam. Apa kau tidak takut perutmu akan sakit, huh?" ucap Taiga seraya membersihkan piring terakhir. Taiga lalu melepas celemek yang ia kenakan dan beralih pada Ranka yang terlihat cemberut.

Taiga menghela napasnya. Di saat seperti ini, Ranka malah bertindak kekanakan. Namun sesuatu muncul di kepala Taiga. Tak ayal, ia langsung menarik tangan Ranka yang semula menopang wajahnya. Membuat Ranka tersentak kaget.

"Taiga! Apa yang kau lakukan?!" teriak Ranka di tengah tarikan Taiga yang menggila.

"Bukannya kau ingin pergi makan? Ayo! Segera bersiap-siap!" ucap Taiga yang ternyata membawa mereka menuju kamar. Ranka hanya bisa menuntun kakinya mengikuti gerak langkah Taiga yang tiba-tiba berubah drastis itu.

*****

"Nee, Taiga. Aku ingin tambah strawberry milkshake-ku dong!" ucap Ranka seraya mengancungkan gelas plastiknya yang sudah kosong.

Taiga yang tengah mengunyah burger-nya hanya tersenyum kecil. Sebelum akhirnya bangkit meninggalkan Ranka yang keheranan melihat dirinya. Lho, bukankah dia seharusnya menceramahiku dulu baru memenuhi permintaanku? Tapi kenapa sekarang...?

Ranka hanya bisa diam memikirkan tingkah aneh Taiga di tengah kunyahannya. Sampai sebuah gelas plastik berwarna putih kemerahan terjulur di depannya. Ranka mendongak dan mendapati Taiga yang tersenyum lebar. Setelah mendapatkan terima kasih dari Ranka, Taiga pun duduk kembali pada tempatnya.

Mereka kemudian berbincang-bincang mengenai segala hal sampai akhirnya Ranka menyadari ada sesuatu yang berbeda dari gelas strawberry milkshake yang ia pegang. Biasanya, gelas plastik itu akan polos dan sedikit bersemu merah karena isinya. Namun kali ini, benda itu dilapisi oleh sesuatu yang seperti label.

"Are? Mengapa ini ada labelnya? Biasanya kan tidak ada? Ini aneh kan, Taiga?" Ucap Ranka seraya mengancungkan gelas itu pada Taiga. Namun Taiga hanya tersenyum kecil. Tak menanggapi ocehan Ranka yang sarat akan pertanyaan. Dan Ranka semakin heran melihat Taiga.

Tanpa pikir panjang, Ranka segera merobek kertas itu. Ketika akan membuangnya, tak sengaja iris jingga Ranka menangkap sederet huruf yang terjejak di sana. Tanpa diminta, Ranka membacanya dalam hati.

Riak tak beraturan terdengar di hati

Antara kita walau kau tak mengamati

Namun percayalah itu sedang terjadi

Kala ku bersamamu seperti saat ini

Ah, bisakah ku menghentikan waktu di detik ini?

Ranka segera melirik Taiga yang masih memperlihatkan pipi tupainya itu. Namun, dari gesture tubuhnya, sudah ketahuan kalau Taiga tengah gugup.

"Taiga? Ini pekerjaanmu kan?" Tanya Ranka sembari memperlihatkan kertas label itu. Taiga tersedak sebentar. Ia tampak mengatur napasnya sebelum akhirnya menatap Ranka dengan serius.

"Kau tidak suka?" Tanya Taiga balik. Nada suaranya membuat Ranka terkejut. Tak biasanya suara itu berubah serius dan dalam.

"Te-tentu saja aku suka, Taiga ..." Ranka menjawab dengan tergagap. Mengapa Taiga menjadi aneh?

"Yukatta. Aku kira kau tidak akan menyukainya. Tak sia-sia aku belajar membuat puisi itu," lirih Taiga. Tangannya mengelus dadanya dengan hati-hati. Sementara Ranka yang tidak sengaja mendengar hal itu sedikit tersentak.

"Kau belajar membuat ini untukku?" Ranka berusaha untuk memastikannya. Taiga hanya mengangguk samar. Sebelum akhirnya kembali menghabiskan makanannya. Seulas senyum tampak di bibir Ranka.

"Nande?" lirih Ranka. Taiga yang sudah ada di suapan terakhir segera mempercepat dirinya. Setelah benar-benar selesai, ia bangkit dan berjongkok di depan Ranka.

"Cause you're my destiny." Bisikan disertai tatapan lembut dari Taiga itu membuat Ranka speechless. Kini, tak ada lagi yang perlu dipertanyakan olehnya bukan?

· Kise Ryouta dan Kise Yoshioka

"Ha?? .... Ya-ssu?! ... Aku akan segera ke sana-ssu!" Ryouta segera menutup handphone-nya dengan cepat. Lalu bergerak ke sana kemari demi mencari sesuatu.

"Ryouta, apa yang kau lakukan?" Tanya Yoshioka yang saat itu baru saja selesai membereskan dapur. Ia terheran-heran melihat seorang Kise Ryouta yang seperti orang panik.

Ryouta seketika menghentikan aksinya. Ia terdiam lalu menelisik Yoshioka dari atas sampai bawah. Mendapat tatapan seperti itu, tak ayal membuat Yoshioka gugup.

"A-ada apa, Ryouta? Mengapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Yoshioka kepada Ryouta yang seketika mengangguk.

"Bersiaplah, Yoshicchi! Kita akan segera pergi-ssu!" teriakan Ryouta mengagetkan Yoshioka. Terlebih ketika Ryouta dengan sigap menarik tangannya agar segera berkemas.

*****

"Ryouta? Mengapa kau membawaku ke tempat syuting ini?" Yoshioka melihat sekelilingnya yang sudah penuh dengan peralatan syuting dan orang-orang itu. Kameramen bertebaran di mana-mana. Sesekali, lampu flashlight yang berpijar membuat perempuan itu mengerjapkan matanya.

"Tadi aku tiba-tiba ditelepon oleh manajerku-ssu. Dia memintaku untuk mengambil beberapa take-ssu." Ryouta segera menarik pergelangan Yoshioka menuju ruang rias. Dan Yoshioka tidak tahu harus berkomentar apa ketika seorang perempuan yang mengaku sebagai asisten di sana menyodorinya sebuah gaun.

"Hee? Untuk apa gaun ini, Ryouta?" Yoshioka menatap suaminya yang tengah memasang kancing jas hitam.

"Tema pemotretan kali ini adalah prewedding! Jadi, aku mau Yoshicchi yang menjadi pengantin perempuannya-ssu. Tak mungkin kan aku akan menggendong perempuan lain-ssu?" Ryouta membeberkan semuanya. Tak mempedulikan Yoshioka yang hanya menghela napas. Kemudian segera mengganti bajunya sesuai arahan Ryouta.

Tiga puluh menit kemudian, mereka sudah ada di depan kamera. Yoshioka yang pertama kali ikut dalam dunia pemotretan hanya bisa bergerak gugup kala sutradara memintanya untuk mengambil beberapa posisi. Hingga akhirnya, Ryouta diharuskan untuk menggendong Yoshioka.

"Ryouta, aku gugup," bisik Yoshioka yang sudah berada dalam bridal style-nya Ryouta. Ryouta hanya tersenyum melihat sedikit peluh yang mengucur di dahi sang istri. Seraya berbisik juga, Ryouta menjawab semua itu.

"Yoshicchi ..." panggil Ryouta. Yoshioka segera menengadah. Menatap iris madu milik Ryouta yang juga menunduk melihatnya. Kemudian, Ryouta membisikkan sesuatu.

Yakinkah dirimu akan keputusan itu

Ombak hatimu beriak dan kutahu itu

Semoga kau tak menyesalinya di lain waktu

Hingga aku tetap bisa berada di sisimu

Kilatan flashlight sama sekali tak mengusik Yoshioka yang kini tengah terpaku. Seolah disihir, ia menunggu lanjutan dari sepenggal puisi itu.

Inginku egois pada saat ku di sisi ini

Oh, percayalah. Namun kutakkan sampai hati

Karena kutahu itu pasti berat untuk kau jalani

Ah, andai saja kubisa berubah menjadi lebih baik lagi

Dan, take terakhir yang mereka lakukan itu benar-benar menuai pujian dari semua orang. Semuanya mengatakan betapa natural gaya yang mereka kenakan. Ini bukan lagi foto prewedding. Melainkan benar-benar foto sepasang sejoli yang berbahagia.

Yoshioka tak menggubris semua itu. Ia yang masih mengalungkan tangannya pada leher Ryouta menatap tak percaya pada sang suami. Pendengarannya tak salah kan? Dan tatapan Ryouta menjawab semuanya.

"Watashi mo," bisik Yoshioka seraya menyembunyikan wajahnya yang merona di balik dada bidang Ryouta. Perlahan, Ryouta mengelus puncak kepala itu dengan lembut.

"Aku akan berusaha-ssu ..." dan sebuah kilatan kamera mengiringi bisikan Ryouta yang mencium kepala sang istri.

.

.

.

Kyaa!! Author senyam-senyum sendiri membayangkan setiap kejadiannya. Apalagi dibacain puisi kayak gitu. Duhh ... Melting seketika deh. Menurut kalian, di 'Whisper Under the Spring's Night' bagian pertama ini, siapa yang paling romantis? XD [A/N: Menurut teman Author sih, yang bagian AkaAke itu paling so sweet. Author mah semuanya//efek single ditinggalin Kuro-chan//slap/]

Ternyata, Flashback benaran mau tamat ya? Di sini ada yang punya komentar bermakna nggak selama membaca isi fanfict abal-abal ini? Hitung-hitung sebagai oleh-oleh Author dari sini lah. Atau ada yang ingin menyumbangkan idenya? Soalnya Author berencana mau membuat sekuel dari Flashback ini sendiri. OTP straight-nya juga tetap yang ini. Tapi, ini hanya rencana lho ya. Author gak jamin soalnya Author punya trauma terhadap nih fanfict yang gak perlu dijelasin.

Dan juga, ada yang penasaran bagaimana kelanjutan kisah dari empat OTP yang tersisa? Kalau gitu, pantengin aja deh pemberitahuannya. Kali aja tiba-tiba 'Whisper Under the Spring's Night' bagian dua nongol deh. Tapi kalau nggak, ya nggak apa-apa juga sih. Intinya, sankyu buat para readers yang berkenan membaca nih fanfict smpai selesai. Sayonara di cerita terakhir yak! \(^-^)/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top