Day 12

Under an Umbrella

Hisashi Senzora x Kayuzu Fuyuki

*

Gadis dengan mata cokelat terang itu mengintip dari jendela kelas. Tepatnya pada mega yang berkumpul, membentuk kerumunan yang bersedih hingga menjadikan langit kelabu.

"Sepertinya akan hujan ya?" gumamnya. Dirinya terpaku pada pemandangan alam itu. Tak peduli bahwa guru di depan tengah mengguyuri yang lainnya dengan ilmu.

Sadar diperhatikan, alam memberikan pertunjukan yang menarik. Dimulai dari tabuhan petir yang menggelegar, membuat beberapa perempuan di kelas -termasuk dirinya- menjerit kaget. Lalu berlanjut pada tarian angin yang begitu kencang.

"Bagi yang di dekat jendela, tolong agar jendelanya ditutup."

Rupanya sensei tak tahan dengan tarian angin itu hingga memberikan instruksi agar jendela ditutup. Berharap  dengan itu angin tak lagi menampar dirinya.

Belum selesai dengan angin yang terus berputar, kini giliran pertunjukan utama muncul. Selayaknya shower raksasa, rintikan tangis langit mulai jatuh satu persatu. Mungkin awan terharu karena alam memberikannya penampilan pembuka yang tepat.

Orkestra alam yang berpadu berhasil menyihir seorang Kayuzu Fuyuki. Diam-diam ia memangku wajahnya yang menengadah ke luar. Melihat bagaimana ribuan anakan hujan itu menemui bumi di bawah sana.

Bahkan suara bel pulang tak terdengar karena itu semua. Membuat seorang teman berinisiatif untuk melepaskan gadis itu dari jerat sihir semesta.

"Kayuzu-san, sudah bel lho. Apa kau tidak ingin pulang?"

"Uh, ya. Aku tentu saja ingin pulang."

Setelah menyaksikan seluruh pertunjukan ini tentunya.

Fuyuki tersenyum lebar pada temannya itu. Melambaikan tangan kepada sosok terakhir yang keluar, membuatnya menjadi satu-satunya makhluk bernyawa di dalam ruangan itu.

Entah apa yang berhasil ditarik keluar oleh nuansa hujan pada pikirannya. Sekelebat potongan demi potongan merangkai diri menjadi suatu hal absurd yang tidak ingin diterjemahkan. Walau demikian, Fuyuki malah terlihat menyukainya.

"Sudah kuduga. Kau ada di sini, Nona Muda."

Menoleh, iris cokelat itu bertemu iris delima yang menatapnya hangat. Setidaknya lebih hangat dari suasana yang hujan bawakan.

"Senzo-kun? Ada apa?" tanyanya melihat pemuda itu menganbil tempat.

Hisashi Senzora tak menjawab. Sepupu jauh dari Fuyuki itu hanya menunjuk pintu keluar menggunakan ibu jari. Kode yang cukup jelas untuk seorang perempuan.

"Aku lupa membawa payung hari ini." Fuyuki membeberkan alasan utama dirinya berdiam di kelas. Menunggu rintikan tersebut reda, sekaligus merangkai memori lama.

"Aku bawa payung. Cukup untuk kita berdua. Dan aku tidak ingin mengambil resiko dimarahi Bibi karena telat mengantarmu pulang."

"Ibuku tidak berhak untuk itu, Senzo-kun."

"Berhak karena ia sudah mempercayakan dirimu kepadaku."

Tak menunggu lama, Senzora menarik lengan dari gadis dengan rambut pendek itu. Mengajaknya meninggalkan kelas yang mulai mengembun.

Di loker, hanya uap air yang menghidupkan suasana. Keduanya hanya terfokus mengganti heyabaki dengan sepatu masing-masing. Untuk Senzora, ia harus ke tempat penitipan payung terlebih dahulu.

"Apa kau tidak pergi latihan bela diri, Senzo-kun?" Suara Fuyuki tersamarkan nyanyian hujan.

"Sepertinya libur. Aku tidak melihat Mizuya-senpai, Si Kembar Sato, ataupun kouhai yang bernama Aisozou itu di doujo. Bila ada salah satu dari mereka, bisa dipastikan akan ada latihan."

"Mengapa bisa begitu?"

"Mizuya-senpai merupakan tangan kanan Sensei sehingga sering mendapatkan info adanya latihan atau turnamen. Lalu si Kembar Sato, terutama Naosu, mereka bintang di sana. Kurasa mudah bagi mereka juga untuk mendapatkan hal khusus seperti itu."

"Lalu, Aisozou-kun?"

"Ah, dia kan teman seasrama mereka bertiga. Jadi, sudah pasti dia tahu."

"Souka..."

Percakapan terhenti kala kaki Senzora menapaki tanah berair terlebih dahulu. Payung transparan miliknya membiaskan air hujan yang menubruk benda itu. Sebuah uluran tangan terbawa menuju depan Fuyuki.

"Ayo pulang!"

Bersambut, Fuyuki mengikuti jejak Senzora. Setelah bahunya dijaga erat, keduanya segera melangkah. Walau sepatu tenggelam dalam kubangan air, keduanya tak berusaha lari dari itu.

"Oh ya, Fuyuki..."

"Ada apa, Senzo-kun?"

"Kau masih menyukai si Tuan Muda?"

Fuyuki mengerjap beberapa saat. Memilah ingatan pada sosok yang diberi panggilan khusus itu oleh Senzora. Hingga sebuah bayang bernetra ruby menghampirinya, ia pun menggeleng.

"Sudahlah. Biarkan saja ini tetap terpendam," desisnya menjawab pertanyaan itu.

Senzora tak menjawab. Ia hanya mengeratkan pelukannya pada bahu Fuyuki, memaksanya menempel pada tubuhnya, sekaligus menghindari hujan yang mengganas.

"Kau jangan bersedih seperti itu. Biarpun benang merahmu tak bertemu dengan miliknya, bukan berarti milikmu tak mempunyai ujung, Nona Muda."

"Berhenti memanggilku seperti itu, Senzo-kun."

"Dan kau tahu bahwa aku tidak akan berhenti memanggilmu seperti itu, kan?"

Tak ada lagi yang bisa Fuyuki debatkan. Pemikiran Senzora yang seperti itu kadang tidak bisa dipahami oleh si Putri tunggal dari marga Kayuzu. Abstrak khas Hisashi benar-benar menurun padanya.

"Oh ya. Aku mendapatkan undangan dari Naoru. Ia bilang, bahwa asrama mereka akan mengadakan semacam pesta di hari Halloween. Mau menemaniku?"

Fuyuki menatap lekat ruby Senzora. Mempertanyakan keseriusan lelaki itu yang mengajaknya. Bila ia datang ke pesta itu, sama saja dengan meremas hatinya.

"Jangan kau hiraukan si Naosu. Ia hanya menganggapmu teman, maka anggaplah ia sama juga."

"N-namun—"

Wushh

Byurr

Sebuah mobil melintasi mereka dengan cepat, secepat Senzora yang langsung mendekap Fuyuki dan berbalik. Membiarkan punggungnya dibasahi air jalanan yang terciprat. Setidaknya bagian kepala masih terlindungi payung transparan.

"S-senzo-kun?! Kau tidak apa-apa?" tanya Fuyuki. Ia melepaskan diri, lalu segera memeriksa sekujur tubuh tegap di depannya. Hingga jemarinya menyentuh punggung basah.

"Pakaianmu basah kuyup!"

"Tentu saja. Kan tersiram air."

"Aku serius, Hisashi Senzora!"

Senzora mengulum senyum menyadari betapa sukanya Fuyuki kepada sulung Sato itu. Bahkan ciri khas Naosu dalam marah pun tak sengaja ia ikuti; menyebut lengkap nama seseorang dengan marganya.

"Nona Muda..." panggilnya melihat Fuyuki yang sibuk membongkar tas. Mencari sesuatu untuk mengeringkan punggungnya.

"Hei!"

Tetap tak digubris. Kesabaran Senzora ada batasnya.

"Fuyuki!!"

Fuyuki tersentak kala tubuhnya diguncang keras. Matanya mengerjap beberapa kali guna menghalau air hujan yang mampir. Tanpa payung, sepasang insan itu saling menatap di bawah tangisan langit.

"Dengarkan aku." Suara itu memberat sesaat. Lalu kembali melembut seperti semula.

"Apakah kau benar-benar menyukai Naosu yang bahkan tidak melihat kepadamu?"

Jika biasanya Fuyuki akan langsung mengiyakan disertai alasan melankolis, kini entah mengapa lidahnya kelu untuk menjawab itu.

"Jika ia tidak mau membuka hatinya untukmu, mengapa kau tidak membuka milikmu untuk yang lain?"

"S-senzo-kun? A-apa maksudmu?"

Tubuhnya terengkuh sudah. Kepalanya menjadi tumpuan dari dagu seorang lelaki bersurai perak. Air hujan kini seolah menghangat secara perlahan.

"Benang merahmu akan berujung pada tempat yang tepat. Ingat itu."

Menjadi penutup, desisan itu memiliki nada yang tak bisa dibantah. Bahkan Fuyuki hanya mampu menganggukkan kepala sedikit. Lantas membalas rengkuhan Senzora ketika secuil demi secuil, ia merangkai makna di balik kalimat itu.

Bagaimana jika ujung benang takdirnya sudah ada di depannya selama ini?

*

1058 words

Day 12, end.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top