23. Past For Future

DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI

(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)

Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah "permainan". Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.

.

.

.

Pertama, Awal akan membuka. Dilanjutkan oleh beberapa Tengah yang mulai menyusun cerita. Hingga di ujung kala, ada Akhir yang akan menutup semuanya.

Sayangnya tidak semudah itu. Karena seperti yang sudah lalu. Tengah mungkin saja akan memberi efek baru. Di mana Akhir akan mengabu, atau Awal yang akan berputar selalu.

.

.

.

Yobushina. Osaka.

"Bagaimana kabar adik iparku itu, hm?" ujar Aruka kala mendapati Seizouru yang baru saja keluar dari mobilnya. Sementara sang asisten yang membukakan pintu segera membawa kendaraan itu menjauh.

"Apa maksudmu, Kugori?" tanya Seizouru ketus. Aruka hanya tersenyum simpul seraya memerintahkan para maid di belakangnya untuk membawakan barang-barang milik Seizouru.

"Apakah aku harus menyebutkannya secara lantang sementara kau sendiri sudah mengetahui apa yang kumaksudkan?" Aruka berbalik, masuk ke dalam rumah. Ekor matanya menyipit mendapati Seizouru yang mengikuti.

"Dan kau juga tahu bahwa aku tidak akan menjawab pertanyaan itu," balas wanita itu. Ia akan berbelok ketika Aruka mencekal tangannya.

"Kau mau apa?!" bentak Seizouru. Dalam hati ia meringis merasakan kekuatan tangan lelaki itu.

"Aku mengundangmu dan yang lainnya untuk ikut bersamaku dalam trip kecil esok. Kau harus ikut karena ini akan menjadi puncak dari segalanya." Baru setelah menjawab pertanyaan itu, Aruka melepaskan Seizouru dan segera berjalan cepat menuju ruangannya sendiri.

"Sudah kuduga kau akan melakukannya," gumam sang istri yang hanya memandangi tubuh yang menghilang itu.

*****

"Yosh! Setelah saya periksa, kesehatan kalian semua rata-rata sudah mencapai sembilan puluh lima persen. Istirahatlah sebentar lagi. Setelah itu, saya yakin Kugori-sama akan membebaskan kalian dari tempat ini," ujar Yufaruto seraya mencatat sesuatu pada buku di genggamannya. Ia pun tersenyum kepada Kuroko yang menjadi pasien terakhir yang ia periksa.

"Arigatou, Yufaruto-san!" ujar mereka semua serentak. Yufaruto mengangguk kecil seraya menutup bukunya. Setelah itu, ia pun menuju meja terdekat.

"Nee, Yufaruto-san."

"Ya? Apa ada yang bisa saya bantu, Yoshioka-jousama?" Yufaruto mengalihkan pandangannya dari laptop yang baru saja ia operasikan, menuju Yuka yang memanggilnya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Apa itu?"

"Apakah kau mengetahui tujuan sebenarnya Aru-jisama melakukan semua ini?" tanya gadis itu. Mendengarnya, Yufaruto tersenyum kecil, lalu menggeleng lemah.

"Iie. Hontou sumimasen, Ojou-sama. Kugori-sama tidak pernah memberitahukan apapun mengenai tugas kalian kali ini. Saya hanya diminta untuk memantau keadaan semenjak kepulangan kalian hingga saat ini," jelas lelaki itu. Yuka pun menganggukkan kepalanya.

"Apakah hanya itu yang ingin Anda tanyakan?" tanyanya lagi. Yuka menggeleng, tapi Nijimura mengangkat tangannya.

"Ya, Shuuzou-oujisama?" Yufaruto tersenyum kecil kepada lelaki yang balas tersenyum kepadanya itu.

"Maaf jika pertanyaanku sedikit aneh. Namun, bisakah kau menceritakan bagaimana kehidupanmu selama menjadi pelayannya Aru- ... jisama?" Nijimura terlihat ragu ketika akan mengucapkan panggilan yang masih asing bagi lidahnya itu.

"Tentu saja. Itupun jika Anda tidak bosan mendengarnya," jawab Yufaruto. Setelah itu, ia pun mulai menceritakan kisahnya kepada para remaja itu.

"Saya mulai menjadi pelayannya Kugori-sama semenjak berumur tiga belas tahun. Saat itu, tugas saya adalah mengurus kebun herbal milik Kugori-sama dan Shiiya-sama. Di saat itulah kalian semua beserta orang tua datang."

"Datang? Apa maksudmu-ssu?" sambar Kise.

"Ya datang ke tempat penelitian mereka berdua yang waktu itu berada di Okinawa. Oh ya. Saya lupa memberitahukan kalian. Dulu, Kugori-sama dan Shiiya-sama adalah sepasang ilmuwan di bidang Biokimia, Genetika, sekaligus Biologi Molekuler. Mereka sering bereksperimen menggunakan tanaman-tanaman yang ada di sana. Nah, tugas saya ialah merawat semua hasil dari percobaan mereka hingga...." Yufaruto memutuskan ucapannya. Bukan karena tak ingin, melainkan lebih karena tidak kuasa melanjutkannya.

"Hingga apa, Yufaruto-san?" tanya Akio penasaran, mewakili semuanya. Bagi Straight, adalah hal baru mereka mengetahui latar belakang sang paman yang selama ini mereka kira hanyalah seorang pengusaha sekaligus pemilik sekolah berasrama itu.

"Hah ... gomen nasai. Saya tidak bisa melanjutkannya," ujar Yufaruto dengan nada yang sangat menyesal. Sekelebat memori kelam di balik lanjutan kisah itu membuat kepalanya mendadak kaku.

"Are? Nan desu ka?" celetuk Murasakibara. Sepertinya, keadaan kali ini membuat ia mampu berpaling sekejap dari kudapan di atas pangkuannya.

"Sekali lagi saya benar-benar meminta maaf. Namun, kelanjutan cerita itu hanya bisa dijelaskan oleh Kugori-sama dan Shiiya-sama saja."

"Apakah ada sesuatu dengan kejadian itu, Kei-san?" ujar Akashi membuka suaranya. Yufaruto mengangguk.

"Benar, Seijuurou-oujisama. Ada sesuatu yang penjelasannya hanya pada mereka berdua," jawab lelaki berusia 28 tahun itu.

"Souka. Namun seingatku, aku tidak pernah ke Okinawa selama ini," ujar Aomine, kebingungan. "Aku pun demikian," sambung Momoi. Mendengar hal itu membuat Yufaruto memasang senyum. Penuh dengan kegetiran.

"Tentu saja kalian tidak mengingatnya. Karena waktu itu kalian datang ketika masih berumur dua tahun. Kecuali Shuuzou-oujisama, Yoshioka-jousama, dan Haruka-jousama yang saat itu berusia tiga tahun."

"He? Benarkah? Oke. Aku baru tahu kalau aku pernah ke tempat sejauh itu di saat baru bisa berjalan," ucap Fukuda.

"Sebentar. Untuk apa kami— maksudku kedua orang tua kami pergi ke sana?" sergah Kagami. Ia tidak bisa membayangkan kedua orang tuanya selalu membawanya berpergian jauh sedari dirinya masih kecil.

"Itu karena—"

"— semua orang tua kalian adalah saudara sekaligus teman kami semasa kuliah."

Sontak semuanya menoleh ke arah pintu di mana Aruka dan Seizouru sudah berdiri di sana. Yufaruto segera bangkit untuk memberi hormat, walau ia tak bisa menutupi wajahnya yang memucat pasi.

"Terima kasih atas cerita pembukamu, Kei. Kuyakin sekarang mereka akan berkenan memenuhi undanganku karena dirimu," ucap Aruka. Ia mendekati pemuda itu, lalu segera meninju perutnya hingga Yufaruto terduduk di lantai. Tentu saja semuanya refleks berteriak kaget.

"Kugori?! Apa yang kau lakukan, Berengsek?!" jerit Seizouru. Ia akan menolong Yufaruto ketika tangan Aruka seketika menghalangi jalannya. Lelaki itu pun membungkuk, lalu segera membantu sang asisten untuk bangun.

"Sayangnya aku tidak suka jika ada yang mengambil jatahku," bisik Aruka ketika ia menepuk pelan bahu Yufaruto. "Keluarlah. Beritahu Mabuya untuk mempersiapkan makan malam besar. Karena ini adalah hari terakhir Shiiya dan keponakanku yang lain berada di sini. Juga, janga lupa untuk mempersiapkan apa yang kukirimkan ke email-mu, Kei," lanjutnya. Yang dimaksud segera mengangguk paham, memberi hormat, lantas keluar dari ruangan itu walau agak tersendat-sendat.

Setelah lelaki bersurai jingga itu keluar, Aruka pun mengganti fokus kepada para keponakannya yang sekarang menatapnya dengan sedikit ketakutan. Ia hanya mengembuskan napas. Mengerti akan tindakan itu.

"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Seizouru. Ia mendahului Aruka untuk melihat kondisi mereka. Tak peduli walau lelaki itu men-deathglare-nya dengan tajam.

"Baik. Kecuali dalam beberapa belas detik yang lalu," ucap Naimiya menjawab pertanyaan itu. Tatapan polosnya menangkap pergerakan sang paman.

"Sindiran yang bagus, Naimiya. Beruntung aku tidak berminat untuk memberi tata krama pada lidahmu itu," timpal Aruka. Ia mengedarkan tatapan tajam ke sekeliling ruangan. Menatap satu persatu netra yang memberikan berbagai arti baginya. Setelah itu, ia menoleh kepada Seizouru. Lantas mengangguk kepada wanita itu.

"Syukurlah jika kalian semua sudah dalam kondisi membaik. Nanti malam, kita akan mengadakan semacam pesta –bukan seperti waktu lalu– karena ini adalah hari terakhir aku dan Kiseki no Sedai berada di Osaka," ucap Seizouru kala menyadari sinyal itu. Terdengar sahutan yang sedikit riuh dari mereka semua.

"Baguslah, nanodayo. Setidaknya aku ingin merasakan hidup normalku lagi," gumam Midorima.

"Kau benar, Midorin. Setelah ini, aku bisa kembali mengatur jadwal latihan tim basket kami. Ya kan, Dai-chan?" Momoi dengan semangatnya menatap Aomine yang hanya tersenyum tipis.

"Syukurlah. Dengan begitu kami tidak akan berurusan lagi dengan kalian," celetuk Kuruka. Ia menarik sudut bibir ketika tak sengaja melihat tatapan datar milik Kuroko.

"Seingatku, Yufaruto-san kemarin bilang kalau cuaca saat ini bagus kan? Setidaknya tidak akan membuat pesawat mengalami gangguan ketika penerbangan," ucap Yousuka. Ia segera melengos kala mendapati tatapan yang mengarah kepadanya karena ucapannya itu.

Selanjutnya, berbagai gumaman memenuhi ruangan itu silih berganti. Bermacam reaksi mereka timbulkan. Seizouru yang memandangnya tersenyum tipis, lalu melirik Aruka yang segera tanggap.

"Namun, sebelum kepulangan kalian itu, aku ingin memberikan sesuatu yang bagus sebagai kenang-kenangan," ucapnya menginterupsi. Semua memberikan perhatian, sekaligus rasa penasaran.

"Akan kuberitahukan begitu kita selesai makan malam. Sekarang, lanjutkan saja istirahat kalian ini," ucapnya. Tentu saja semuanya tertegun mendengar nada suara Aruka yang tumben sekali hangat seperti itu. Masih dalam ketidakpercayaan, mereka pun mengiyakan.

*****

"Waah! Taiyaki-nya enak sekali-ssu!" ujar Kise riang kala dirinya mencicipi kudapan itu. Akio yang di depannya menatap heran. "Seperti kau tidak pernah makan taiyaki saja," celetuknya. Sontak hal itu membuat Kise merenggut di depan Akio yang langsung tertawa.

"Nee, Icchin. Rasa temari sushi-nya seperti buatanmu lho," ujar Murasakibara setelah menelan sebuah sushi berukuran sedang. "Oh ya?" ujar Hoshitsuki. Segera ia mengambil makanan yang sama, lalu mencicipinya. "Kau benar, Atsu," lanjutnya seraya tersenyum samar.

Sementara di samping mereka, lagi-lagi ada orang yang tidak tahu tempat. Aomine dan Kagami dengan semangatnya menghabiskan Sapporo ramen khas Hokkaido dalam porsi besar. Tak peduli bahwa Fukuda dan Naimiya memasang wajah eneg melihat mereka berdua.

"Nai, kau harus mencoba yakisoba ini." Asakura segera mengisi sebuah mangkuk kecil dengan yakisoba hingga penuh, lalu menyerahkannya pada Naimiya yang ada di dekatnya. "Arigatou, Haru-nee," balas gadis jangkung itu.

"Haru-nee tidak menawarkan Midorima-kun juga?" ujar Narahashi dan Yuuki bersamaan. Langsung saja, Asakura menoleh dengan mata melotot. Sementara di seberang terdengar batuk akibat Midorima yang tersedak oleh tehnya sendiri.

"U-untuk apa aku melakukannya?! Lebih baik Akemi memberikan Haizaki-kun lemon cake itu. Kau juga Arisa! Sepertinya Akashi-kun menginginkan strawberry parfait milikmu!" ucap Asakura dengan ketus. Kesal yang tersisa ia lampiaskan pada sepiring mochi di depannya.

Seketika itu juga Narahashi menoleh dan mengancungkan garpu miliknya melihat Haizaki yang mengoloknya dengan raut muka yang sengaja dibuat aneh. Sementara Yuuki segera melengos begitu menyadari Akashi yang memasang evil smirk padanya.

"Kuroko-kun, kau yakin tidak akan batuk jika hanya meminum vanilla milkshake itu sedari tadi?" Kuruka memberikan tatapan heran kepada lelaki bersurai babyblue di depannya. Kuroko pun hanya menggeleng singkat karena bibirnya asyik menyesap cairan seputih salju itu dari tempatnya.

"Nijimura-senpai, bisa minta tolong ambilkan aku onigiri itu?" ucap Momoi. Tatapannya mengarah kepada sepiring onigiri yang terletak agak jauh dari mereka.

"Pilihan yang bagus, Momoi-san. Kebetulan isinya ebi Sakura yang gurih," timpal Yuka seraya tersenyum manis. Ia pun menatap ke arah makanan yang sama, yang berada di depan Yousuka.

"Ainawa, bisa berikan itu kepada Nijimura-kun?" ujar Yuka. Gadis berkacamata itu menoleh dengan gugup. Lalu segera mengangsurkan piring itu kepada Nijimura yang tidak berkomentar apapun.

Interaksi yang terjadi di meja makan itu tak luput dari pengamatan Aruka yang menikmati Semifreddo miliknya. Pun ketika ia mendapati Seizouru yang sudah selesai dengan miliknya di ujung seberang.

"Baiklah. Apa kita bisa mulai sekarang?" ucapnya dengan datar. Yang mendengar pun segera menghentikan aktifitas mereka dan fokus kepada apa yang akan diucapkan oleh pria itu.

"Seperti yang kita semua ketahui. Kalian semua sudah melalui banyak waktu dalam tugas kali ini. Dimulai dari awal penugasan hingga pesta puncaknya beberapa waktu lalu. Jika kalian ingin mengetahui komentarku, maka dengan jujur aku katakan bahwa aku sama sekali tidak puas dengan semua ini. Dengan kata lain, kalian semua gagal. Baik itu Straight ataupun Kiseki no Sedai," jelas Aruka masih dengan nada yang sama. Alhasil, atmosfir di dalam ruangan itu seketika memberat.

"Jadi, apakah kami harus mati dulu sehingga kau mau memberikan penilaian suksesmu itu kepada misi kali ini?" ucap Yousuka. Ia pun mendapat hadiah berupa deathglare dari Aruka. "Jika itu kau, maka dengan senang hati aku mengiyakannya," balas Aruka sengit. Ruby-nya segera beralih dari tatapan netra cokelat itu kala mendengar suara Akashi.

"Kugori-jisama, apa maksudmu dengan mengatakan kami juga gagal?" tanyanya heran. Sudah pasti karena kata semacam itu seharusnya tidak pernah ada dalam kehidupan seorang Akashi Seijuurou.

"Shiiya juga memberikan tugas yang sama kepada kalian bukan?" ucap Aruka seraya menatap satu persatu anggota Kiseki no Sedai. Ia pun melanjutkan dengan berkata, "maka aku mewakili Shiiya untuk mengatakan hal ini. Ia juga memberikan label gagal untuk kalian semua." Iris heterokrom milik Akashi segera menyipit melihat Seizouru yang mengiyakan hal itu.

"Selain itu, aku yakin sekali bahwa kalian semua mempunyai segudang pertanyaan akan alasan di balik semua peristiwa yang sudah terjadi ini. Kebetulan sekali aku berkenan untuk menjawabnya. Oleh karena itu, persiapkan diri kalian. Karena kita akan pergi ke Kyoto besok," lanjutnya. Aruka pun mendorong kursinya sedikit, lalu berdiri karena kepentingannya telah usai.

"Untuk apa kita ke Kyoto?" tanya Seizouru yang sebetulnya juga tidak mengetahui sama sekali niatan lelaki itu. Namun, ia sudah bisa menduga jika semua ini berkaitan dengan masa lalu mereka.

"Aku akan menunjukkan sesuatu yang bagus kepada kalian. Kita akan melakukan perjalanan melintasi waktu," jawab Aruka. Ia mengangguk kepada Yufaruto yang menunggunya sedari tadi. Lantas mengajak asistennya itu untuk meninggalkan ruang makan yang perlahan kembali hidup.

*****

Sesuai apa yang Aruka katakan. Pagi itu, mereka semua sudah bersiap untuk menuju Kyoto. Terkhusus Kiseki no Sedai, mereka juga membawa barang-barang milik mereka agar tidak sampai ketinggalan di Osaka. Rencananya, begitu urusan mereka di Kyoto selesai, maka mereka semua akan langsung diantarkan pulang ke rumah masing-masing.

"Hakanatsu, di mana nyonyamu itu?" tanya Aruka ketika melihat sosok pria berambut putih yang menyeret sebuah koper besar. Lelaki yang merupakan asisten kepercayaan Seizouru itu pun menjawab, "Shiiya-sama bilang, masih ada beberapa hal yang harus ia kemasi. Jadi ia meminta saya untuk jalan terlebih dahulu."

Aruka mendecih kecil mendengarnya. Segera ia menuju kamar wanita itu. Sesampainya di sana, tanpa permisi ia pun membuka pintunya dengan sedikit kasar. "Apa kau akan membuat kami semua menunggu, huh?" ujarnya.

Sementara itu, di depannya Seizouru hanya tersenyum tipis. Bermaksud mengejek lelaki itu seraya menyisir rambutnya perlahan. "Kau benar-benar budak waktu, Kugori. Bahkan hanya sepuluh menit saja kau tidak bisa meringankannya untukku?" ucapnya.

Aruka mengembuskan napasnya perlahan. Dimasukinya kamar itu, hingga akhirnya ia berdiri di belakang Seizouru yang menatap heran pada pantulan dirinya di cermin yang tengah ia pakai.

"Hei, apa yang kau—"

"Damare!"

Seizouru segera terdiam begitu Aruka mengambil alih sisir yang ada di genggamannya. Tak lama kemudian, Seizouru bisa merasakan jemari besar lelaki itu yang bergerak di rambutnya. Berselang-seling dengan rasa yang ditimbulkan oleh sisir panjang itu.

"Masih dengan aroma yang sama, hm?" bisik Aruka begitu indera penciumannya menangkap wangi zaitun yang sedikit menguar dari surai kecoklatan itu. Tak ada jawaban atas pertanyaannya.

Sebuah tepukan kecil mendarat di puncak kepala itu sebelum Seizouru melihat Aruka yang mengulurkan sisir sewarna mutiara yang ia pegang. "Sekarang, apakah kau masih mau membuat mereka semua menunggu?" sindir Aruka. Dipasangnya smirk halus pada netra Seizouru, lalu segera meninggalkan ruangan itu tanpa kata. Juga tanpa adanya tanggung jawab terhadap apa yang dirasakan oleh wanita itu akibat perbuatannya.

*****

Kyoto.

"Kugori-sama, kita telah sampai," ucap Akeri yang memimpin perjalanan kali ini. Ia memberhentikan mobil yang ditumpangi oleh Aruka dan Seizouru di depan sebuah mansion bergaya tradisional. Sementara sebuah bus kecil yang membawa para keponakan menyusul di belakang.

Dengan sigap Akeri keluar untuk membukakan pintu bagi keduanya. Yang pertama kali keluar adalah Aruka, disusul oleh Seizouru, lalu Straight dan Kiseki no Sedai dari bus mereka. Begitu semuanya telah berada di satu tempat, Aruka pun mengajak mereka memasuki mansion itu.

"Selamat datang, Minna-sama," ucap Yufaruto yang menyambut mereka di depan pintu utama. Di belakangnya, para pelayan yang menggunakan kimono tradisional memberikan hormat. Aruka tersenyum kecil sebagai ucapan terima kasih.

"Kau sudah mempersiapkan semuanya, Kei?" tanya Aruka. Yufaruto mengangguk mantap. "Sudah, Kugori-sama. Anda dan yang lainnya tinggal menikmati pelayanan kami saja," ucapnya patuh.

"Baguslah." Aruka masuk pertama kali, sementara di belakangnya Seizouru dan yang lain mengikuti. "Aku baru tahu jika ternyata kau memiliki tempat di daerah ini," ucap wanita itu dari belakang.

"Aku memiliki tempat di semua daerah bisnisku, Shiiya. Dan itu adalah di seluruh Jepang dan beberapa di luar negeri," jawab Aruka. Seizouru hanya mengangguk paham.

"Oh ya, kalian sekarang bisa beristirahat. Di lantai dua terdapat dua kamar berukuran besar yang cukup untuk menampung kalian semua. Jika ingin, kalian boleh menggunakan pemandian air panas yang kebetulan ada di bagian belakang dari mansion ini. Nanti Kei yang akan menunjukkan jalannya kepada kalian," jelas Aruka. Setelah itu, ia memerintahkan para pelayan di sana untuk melayani mereka semua.

Tentu saja Kiseki no Sedai dan Straight merasa senang mendengar adanya pemandian air panas di sana. Membuat Yufaruto dengan sigap membimbing mereka ke tempat yang dimaksud. "Oh ya, Kugori-sama. Tempat itu juga sudah saya persiapkan sedari tadi," ujarnya sebelum meninggalkan Aruka dan Seizouru.

"Aku memang bisa mengandalkan dirimu, Kei," balas Aruka. Setelah itu, ia mengizinkan lelaki itu untuk mengurus yang lain.

"Tempat apa yang Kei maksudkan?" tanya Seizouru heran. Aruka pun tersenyum tipis mendengarnya. "Hanya sebuah tempat yang favoritku," jawabnya sebelum menuju kamarnya sendiri.

*****

"Ah~ Kimochi desu," gumam Momoi begitu badannya menghilang di dalam air yang mengepulkan uap tipis itu. Straight yang bersamanya hanya tersenyum maklum, lalu segera bergabung di dalam kolam yang sama.

"Badanku terasa nyaman sekali," ucap Narahashi. Semula ia akan memejamkan matanya seraya bersandar di pinggiran kolam. Namun, itu tidak jadi dikarenakan Fukuda yang tiba-tiba menyiram mukanya. "Hei! Apa yang kau lakukan, Mika?!" ucapnya menahan amarah. Yang ditanya mengendikkan bahu.

"Hanya iseng saja," celetuk gadis itu. Mendengar alasan konyol itu membuat Narahashi segera membalasnya berkali-kali lipat.

"Akemi! Aku juga kena!" teriak Yuuki dan Akio seraya berusaha menutupi wajah agar tidak terkena cipratan air itu.

"Memangnya aku peduli?" ucap Akemi sarkastik sebelum kembali melancarkan serangan yang sama. Kali ini Kuruka, Momoi, dan Hoshitsuki juga menjadi korban. Membuat keadaan kolam menjadi ricuh karena mereka yang saling menyiram satu sama lain.

Sementara itu di kolam sebelah, suasananya lebih tenang dikarenakan peringatan dari Akashi bahwa ia tidak ingin mendengar keributan selama itu. Salahkan Aomine dan Haizaki yang sempat beradu mulut karena masalah sepele. Untung yang lain dengan cepat bisa melerai mereka.

"Shintarou," panggil Akashi. Kedua iris miliknya menghilang begitu ia menikmati suasana tenang itu.

"Ada apa, nanodayo?" tanya lelaki bersurai hijau di sampingnya. Ia masih mencoba menyesuaikan diri karena tidak sedang berkacamata.

"Menurutmu, apa yang akan Kugori-jisama lakukan kali ini?" tanya mantan kaptennya itu. Midorima terdiam sebentar, kemudian menjawab, "entahlah. Tindakan lelaki itu masih tidak bisa ditebak polanya, nanodayo."

"Aku juga memiliki pendapat yang sama dengan Midorima-kun. Terkadang, perilakunya tidak sesuai dengan ekspetasi kita sebelumnya," ujar Kuroko yang sedang menggosok tubuhnya. Ia menoleh begitu mendengar Aomine yang meminta tolong pada Kagami untuk melakukan hal yang sama padanya.

"Aomine-kun, nanti kau bisa mati jika Kagami-kun yang menggosok punggungmu," ucapnya dengan wajah datar. Sontak saja Aomine memberikan tatapan horor pada Kagami yang justru menatapnya bingung.

"Apapun itu, aku berharap itu baik untuk kita semua ke depannya-ssu!" ucap Kise riang. Namun segera badmood begitu Haizaki melemparinya dengan spons penuh busa tepat di bagian wajah. Segera saja suasana di tempat itu tak berbeda jauh dari sebelahnya.

*****

"Shiiya-sama, Anda dan yang lainnya diminta oleh Kugori-sama untuk ke Mezzaluna," ucap Yufaruto begitu mereka selesai makan malam. Seizouru mengernyit heran. Sekaligus tahu alasan mengapa lelaki itu tidak ikut bergabung pada acara santap kali ini.

"Mezzaluna?" beonya. Yufaruto mengangguk.

"Itu adalah tempat favorit Kugori-sama jika menginap di sini. Mari saya tunjukkan jalannya." Yufaruto memberi isyarat agar semua yang ada di sana mengikutinya ke sebuah tempat di belakang mansion itu.

Lelaki bersurai jingga itu ternyata membawa mereka semua ke sebuah rumah kaca yang letaknya agak terpencil dari sana. Sekali lihat, sudah diketahui kalau bangunan itu dipenuhi oleh berbagai tumbuhan hias, dari yang umum dilihat sampai tumbuhan yang termasuk langka.

"Silakan masuk," ucap Yufaruto mempersilakan mereka semua. Pintu kaca didorong sempurna, menciptakan jalan bagi mereka untuk melewatinya. Setelah yakin semuanya masuk, Yufaruto pun menutup pintu tersebut. Rupanya, tugasnya hanya sampai di sana.

Sementara waktu, mereka terlihat kebingungan dikarenakan kondisi bangunan itu yang sedikit gelap. Hanya ada beberapa pendar lampu taman di beberapa titik. Selebihnya, cahaya purnamalah yang mendominasi. Akhirnya, mereka melihat sebuah meja panjang lengkap dengan banyak kursi yang mengelilinginya ada di tengah bangunan itu. Surai pirang Aruka terlihat berubah selayaknya perak di ujung meja itu.

"Selamat datang di Mezzaluna," ucap Aruka seraya merentangkan tangannya sedikit. Senyumnya kali ini terlihat berbeda dari smirk yang biasa ia lakukan setiap saat. Ia meminta kepada mereka semua untuk duduk di tempat yang sudah disediakan.

"Ah ya, jangan sungkan untuk menikmati hidangan yang sudah disajikan. Kalian tentu tak akan membuatku malu sebagai tuan rumah karena tidak melakukannya, bukan?" ucapnya. Pun nada kali ini terdengar sedikit berbeda. Perpaduan emosi yang tidak bisa ditebak terdengar dari sana.

"Terima kasih sebelumnya atas sambutanmu, Kugori," ucap Seizouru pelan. Dalam hati, ia pun sebenarnya bingung sedikit melihat tingkah suaminya itu.

Tidak ada yang berbicara di antara keponakan. Mereka hanya melaksanakan perintah Aruka untuk memakan semua hidangan di sana. Walau mereka semua sudah makan malam, tapi kudapan di depan mereka membuat perut mereka terasa kosong.

Aruka yang terlihat begitu menikmati makanannya nyatanya membuat Seizouru merasa curiga karena hal itu. Maksudnya, biasanya tatapan lelaki itu akan menelisik satu persatu wajah yang ada di meja makan. Namun kali ini, ia malah terlihat mengabaikan semuanya.

"Baiklah, Kugori. Tidak perlu berbasa-basi lagi saat ini. Beritahukan saja apa yang ingin kau beritahukan kepada mereka. Dengan begitu, semuanya akan selesai!" ucap Seizouru. Netra hazel-nya menatap Aruka yang justru masih menyesap tehnya dengan perlahan.

"Shiiya, tadi pagi kau memarahiku karena terlalu terpaku pada waktu. Dan sekarang, kau memarahiku lagi karena mengabaikannya? Lucu sekali," timpal Aruka. Ia tersenyum kecil, lalu mengembuskan napas dengan pelan melihat tidak adanya respons dari wanita itu.

"Baiklah jika itu maumu. Nah, anak-anak. Sekarang aku memberi kalian pilihan. Apakah kalian ingin meneruskan hidup kalian dengan normal, tapi tidak mengetahui apapun. Atau kalian mengetahui, tapi kehilangan semuanya di saat yang bersamaan?" lanjutnya. Ruby-nya yang berkilat di bawah sinar rembulan itu membuat Straight dan Kiseki no Sedai memikirkan ulang atas tawaran yang sama sulitnya itu.

"Kugori-jisama, apakah kau menjamin bahwa kami akan hidup normal sepenuhnya jika kami memilih pilihan pertama? Apakah kau juga menjamin bahwa kau akan memberitahukan semuanya jika kami memilih pilihan kedua?" ujar Akashi memecah keheningan.

Checkmate. Dan itu membuat Aruka kembali ke sifatnya yang semula. Seringai licik itu pun terukir sempurna, teriringi dengan tawanya yang tiba-tiba menguar begitu saja. Memberikan kesan seekor srigala yang mendapatkan mangsa di malam purnama.

"Hahaha ... sekarang aku meragukan siapa dirimu yang sebenarnya, Akashi Junior. Apakah kau benar Seijuurou ..." Aruka menelengkan kepala. Mata dan senyumnya melebar, membuat mereka merasakan kengerian karena itu.

"... atau reinkarnasi Shiori yang kurang ajar itu?"

Brak!

Tak peduli semua orang kaget, Akashi refleks meninju meja begitu mendengar nama sang ibunda yang diikuti oleh kalimat itu. Matanya pun menyipit karena amarah tertahan, sehingga Midorima dan Seizouru yang ada di dekatnya berusaha menenangkan remaja itu.

"Kugori-jisama, aku memang tidak mengetahui bagaimana hubunganmu atau masalahmu dengan Okaa-sama di masa lalu. Namun, apakah kau harus menghinanya seperti itu, bahkan di saat ia sudah tak ada?! Lalu, bagaimana dulu ketika ia masih hidup? Apakah ia selalu menerima penghinaan dari kakak iparnya sendiri?!" sergah Akashi dengan mata yang berkilat. Demi apapun, ia benar-benar tidak menerima semua itu.

"Kau menanyakan apa yang aku lakukan kepadanya ketika ia masih hidup? Jawabannya mudah saja. Aku membunuhnya." Nada suara Aruka yang santai itu membuat semua orang tercekat kaget.

"Kugori! Hentikan omong kosongmu itu, Iblis!" teriak Seizouru. Ingatan akan fakta Aruka sebagai pembunuh adiknya sudah ia kubur dalam-dalam. Namun sekarang, lelaki itu malah memberitahukan semuanya seolah tanpa dosa.

Akashi terdiam seribu bahasa. Mungkin terlalu shock karena paman yang baru ia temui beberapa waktu ini ternyata memberikan pernyataan semenohok itu. Sementara yang lain melakukan hal yang sama karena merasa itu bukan urusan mereka.

"Aku tidak salah, Shiiya, Seijuurou. Ada alasan mengapa aku harus mengirim adik iparku itu ke Nirwana. Dia mengacaukan semua rencanaku," ucap Aruka. Ia melihat wajah kedua puluh remaja itu secara bergiliran. Kemudian melanjutkan ucapannya.

"Seperti yang Kei katakan kepada kalian kemarin. Identitas asliku dan Shiiya adalah ilmuwan di bidang Genetika. Kami sudah menghasilkan puluhan eksperimen yang mengujicobakan berbagai formula yang kami buat dengan tanaman sebagai pengujinya. Sayangnya, ada kesalahan fatal yang aku lakukan ketika kalian yang waktu itu masih bayi datang ke pusat penelitian kami di Okinawa," ucap Aruka mulai menceritakan masa lalu mereka.

"Kesalahan fatal apa yang kau maksudkan, Aru-jisama?" tanya Yousuka menjeda cerita itu. Kali ini, ia hanya mendapatkan lirikan tajam dari sang paman sebagai akibat dari perbuatannya yang kurang sopan itu.

"Kesalahan fatal yang aku maksudkan ialah, diam-diam aku menjadikan kalian semua sebagai objek penelitian dengan cara memberikan kalian hasil percobaan yang tidak pernah aku ujikan kepada makhluk hidup manapun. Kalian yang waktu itu masih kurang dari lima tahun tentu saja senang kuberikan manisan yang sebenarnya adalah hasil dari eksperimenku itu." Aruka menyeringai lebar. Sepertinya puas akan apa yang telah ia perbuat di masa dulu.

"Jadi, teori yang Akashi-kun katakan itu benar?!" Yuuki memberikan tatapan tak percaya, diikuti oleh yang lain. Sementara yang dimaksud terdiam dengan mata yang menatap tajam.

"Berpikirlah realistis, keponakanku. Coba kalian pikirkan tentang kemampuan dari Kiseki no Sedai. Walau hanya di bidang olahraga basket, tapi kemampuan kalian itu tidak masuk akal, bukan? Tidak mungkin remaja seumuran kalian memiliki kelebihan yang seolah sihir dari cerita dongeng! Apalagi tentang sesuatu yang kalian sebutkan sebagai "Zone" itu. Nyatanya, kemampuan dan berbagai teknik yang kalian miliki selama ini tak lebih dari hasil eksperimen seorang ilmuwan."

"Juga Straight. Walau kalian menjalani latihan yang berat selama ini, apa kalian tidak pernah bertanya walau sekali tentang itu? Juga tentang aku yang sering memerintahkan kalian untuk membunuh seseorang. Remaja umumnya tentu akan berfokus kepada dunia mereka. Bukan kepada dunia mafia seperti yang kalian lakukan. Apalagi, itu diperintahkan oleh lelaki tua yang mengaku-ngaku sebagai paman kalian, juga memisahkan kalian dari kehidupan asli kalian selama belasan tahun." Aruka berdiri. Kemudian mengambil benda semacam remot dari saku jasnya. Menekannya sekali, kemudian menengadahkan kepala menuju langit.

"Apakah kalian penasaran mengapa aku menamakan rumah kaca ini dengan Mezzaluna?" tanya Aruka. Tak ada yang merespons, tapi ia tidak peduli.

"Mezzaluna, yang dalam bahasa Italia berarti bulan sabit. Sama seperti taman dan kehidupan ini yang tidak sempurna. Namun, tetap saja mereka memiliki keindahan tersendiri di dalamnya."

Tepat ketika Aruka menyelesaikan ucapannya, atap ruangan yang terbuat dari kaca tebal perlahan tergeser. Menimbulkan suara sedikit keras yang menarik perhatian semuanya. Ketika mereka melihat atas, yang terlihat adalah langit Kyoto yang begitu jernih. Ditambah dengan sepotong bulan sabit sewarna emas dan taburan bintang layaknya permata.

"See? Tapi jika kalian lihat, lebih banyak latar langit yang kelam. Yah. Itu hanyalah aksesoris sebenarnya. Justru langit yang kelam memperkuat pesona bulan dan gemintangnya. Semakin kelam warnanya, maka semakin kuat juga cahaya yang terlihat." Aruka kembali ke posisinya. Kembali menikmati perhatian yang tercurah kepada dirinya.

"Bisa aku meralatnya? Bukankah langit yang semakin gelap juga akan menelan cahaya bulan itu sendiri?" ujar Seizouru.

"Itu hanya akan terjadi pada manusia yang tidak mau memperkuat dirinya, Shiiya," balas Aruka. Semuanya terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan secara konotasi oleh lelaki itu.

"Lalu, apa hubungannya dengan semua ini?" tanya Haizaki memecah keheningan.

"Jika diumpamakan, aku adalah bulan itu. Dan Shiori adalah langit malam di mana aku bernaung. Dia dulu menghancurkanku, tapi sekarang, dia juga yang membantuku hingga seperti ini. Mengerti?" ucap Aruka.

"Jika seperti itu, mengapa kau sampai tega membunuhnya?" Kali ini, Asakura yang mengungkapkan pendapat.

"Kau masih tidak paham juga, Asakura? Dia dulu membuatku menjadi berkeping-keping. Membuatku harus mengulang semuanya dari awal. Oleh karenanya, aku membunuhnya. Seolah menjadi tumbal, kematiannya membawa kesuksesan pada karirku hingga saat ini," jawab Aruka. Seringai tipisnya kembali terlihat.

"Walau demikian, kau seharusnya bisa mempertimbangkan dengan baik apa yang kau lakukan. Bukan berarti kau bisa seenaknya menghilangkan nyawa orang! Apalagi itu iparmu sendiri!" balas Yuuki. Aruka pun mengendikkan bahunya.

"Apakah hanya instingku saja atau memang di sini ada yang mulai bersimpati satu sama lain, hm?" Aruka kembali menatap satu persatu remaja itu. Lalu terkekeh kecil karena sesuatu yang memercik di kepalanya.

"Hah ... bisa kita cukupkan sampai di sini sesi dongengnya? Jujur saja. Aku sebenarnya merasa terganggu dengan kehadiran kalian di Mezzaluna," ucap Aruka seraya memangku sebelah wajah.

"Tunggu dulu! Kau belum menjelaskan tentang masalah hubungan saudara di antara kami!" sergah Kuruka. Mendengarnya, Aruka menggeleng pelan.

"Aku tidak punya cukup waktu untuk itu. Dengan kata lain, ini belum saatnya kalian mengetahuinya. Hanya satu yang perlu kalian camkan. Kalian adalah saudara sedarah dengan target kalian masing-masing. Jadi, kuharap kalian bisa bertindak sebagai saudara. Tidak kurang dan tidak lebih dari itu," jawab Aruka santai.

"Memangnya siapa juga yang mau seperti itu?"

"Sudah kubilang. Instingku mengatakan kalau di antara kalian sudah mulai terbangun rasa simpati semenjak pesta itu. Jadi, aku ingin berjaga-jaga saja. Tentu aneh bagi seorang paman jika melihat antara keponakannya terlibat hubungan sedarah. Yah, walau kuakui, kalau incest itu juga menarik," jawab Aruka menanggapi pertanyaan dari Yousuka itu.

"Jangan pernah mencoba untuk menulari mereka dengan virus mesummu itu, Temee!"

Aruka hanya tertawa kecil mendengar bentakan Seizouru. Setelah itu, ia menekan jam tangannya. "Kei, kau bisa membawa mereka keluar," ucapnya pada benda itu.

Selang beberapa detik, suara pintu terbuka terdengar. Di belakang mereka, Yufaruto dan Akeri masuk bersamaan. Lalu dengan hormat meminta kepada mereka untuk meninggalkan rumah kaca itu. Minus sang pemilik yang justru menatap kepergian mereka dalam diam.

"Selamat datang di misi yang sebenarnya, keponakanku tersayang," desis lelaki bersurai pirang itu. Netranya terfokus pada sisa makanan yang tidak habis oleh tamu-tamunya. Sebelum akhirnya, keheningan di Mezzaluna terpecah karena tawa yang bersumber dari satu orang.

Aruka Kugori sudah menemukan sesuatu yang baru untuk ia permainkan.

.

.

.

Tinggal satu langkah, maka semuanya akan usai. Mengabu dalam kehancuran yang mengenai dengan telak. Atau mungkin saja Takdir berbaik hati. Memberikan kesempatan kedua, walau itu sedikit retak.

Tinggal bagaimana mereka akan menggunakannya saja.

.

.

.

//tarik napas, keluarin// Hadeh... semakin lama ini semakin gaje, Ya Tuhan. Author saja meringis sendiri membaca hal seabsurd ini. Apalagi readernya :"D

Tapi tenang saja. Toh tinggal satu chapter lagi maka kalian akan bebas dari cerita yang luar biasa absurd ini. Hasil dari seorang Author yang tidak bisa menjelaskan imajinasinya sendiri. Hontou sumimasen ><

Hope you like it!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top