20. Glad(iator)

DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI

(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)

Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah 'permainan". Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.

.

.

. Bulan merangkak dalam keheningan. Kala cerita pembuka akan mencapai penutupan. Namun, sekali lagi Surya mencoba untuk menjadi penghalang.

Ternyata, sebuah kisah harus mencapai puncaknya. Bersinar dan meredup secara berkala. Menimbulkan gemeretuk nadi yang mungkin terkenang dalam memorial. Mencoba menjadi abadi, walau tidak sempurna.

Fana pada maya yang terluka.

.

.

.

Yobushina. Osaka.

"Ini masih belum terlambat. Kau bisa membatalkannya."

"Dan membiarkan semuanya tetap menjadi rahasia?"

"Tentu saja. Lagipula, selama hal itu menjadi rahasia, kau dan aku tetap diuntungkan. Mereka tidak akan mengetahui masa lalu mereka."

"Sayangnya aku tidak menginginkan itu. Aku ingin mereka menjadi seperti yang dulu."

"Oh ya? Ke mana jati dirimu yang dulu egois itu, hm?"

"Yang egois itu adalah kau. Bukan aku."

"Aku memang egois. Sangat-sangat egois. Tapi, setidaknya aku tidak bodoh dengan membiarkan sesuatu merusak rencanaku."

"Kau memang berengsek!"

"Dengan senang hati aku menerima pujian itu. Baiklah, kembali ke topik pembahasan. Kau yakin akan melakukan ini?"

"Pantang bagiku untuk tidak menyelesaikan apa yang aku mulai terlebih dahulu."

"Tepatnya, adikmu yang memulai."

"Diamlah! Sudah berapa kali kukatakan jangan mengungkit tentang dirinya!"

"Aku hanya ingin menjadi kakak ipar yang baik baginya dengan selalu mengingatkanmu tentang kesalahannya."

"Kau?!"

"Hm? Ingin memprotesku? Silakan saja. Kau tahu jika itu adalah sia-sia."

"Terserah kau saja. Lebih baik, mulaikan permainannya."

"Hahaha ... ternyata ada yang lebih ambisius untuk hancur di sini rupanya."

"..."

"As your wish, Milady."

*****

Malam itu, aktifitas di Yobushina terlihat lengang. Tentu saja karena Aruka sengaja untuk memulangkan semua siswi dengan alasan keamanan. Ya. Tentunya untuk mengamankan pesta yang sebentar lagi akan digelar dengan meriah.

Ia mematut diri di depan cermin. Menyeringai kepada bayangan diri yang menurutnya sudah sempurna. Siap untuk bermain dengan lawannya yang juga menantang. Akan kutunjukkan sesuatu yang indah padamu, Shiiya. Batinnya.

Ia pun keluar dari kamarnya. Lalu berbelok menuju ruang kerja yang berada di paling ujung lorong itu. Menganggukkan kepala pada seorang pelayan di sana. Lantas masuk begitu pintu terkuak lebar.

"Apakah semuanya sudah siap?" tanyanya pada seorang lelaki yang tanggung di sana.

"Semuanya sudah siap, Kugori-sama. Termasuk juga pedang-pedang yang akan digunakan." Pelayan itu membungkuk hormat ketika kedua tangannya mengangsurkan sebuah pedang polos tanpa sarung. Aruka pun mengambilnya.

Melihat benda yang mengkilap itu, Aruka seketika menggoreskannya –tepatnya menyabetkannya– tepat di telapak tangan sang pelayan. Menciptakan garis memanjang yang seketika berwarna merah pekat. Sementara itu, pelayan itu mati-matian menahan perih dan sakit yang menderanya.

"Lumayan tajam. Kuharap seluruh kulit dan baju mereka akan berubah warna setelah pesta itu," gumam Aruka seraya membersihkan pedang itu dari darah yang mengalir di atasnya.

"Apakah kau juga sudah memasukkan apa yang kuminta ke dalam makan malam mereka?" tanyanya lagi. Pelayan itu mengangguk patuh.

"Tiga kali lipat dari biasanya?" lanjutnya. Pelayan itu tetap menggerakkan kepalanya naik turun.

"Bagus. Aku tidak sabar menantikan pertunjukannya nanti." Aruka mengembalikan pedang itu kepada pelayan tersebut. Walau itu sama saja kembali membasahinya dengan darah.

"Kugori-sama..."

"Ya? Apakah kau ingin memprotes tindakanku?" Aruka berbalik dan menyipitkan mata melihat pelayan yang tetap menundukkan mukanya itu.

"Tidak. Hanya saja, apakah Anda tidak kasihan terhadap para Nona? Mereka masih remaja, juga perempuan. Dan saya rasa, pesta ini akan menjadi akhir dari mereka mengingat siapa lawan mereka," ujar pelayan itu.

"Itu yang kuharapkan."

"Tapi mereka keponakan Anda, Kugori-sama."

"Hubungan darah bukan berarti penghalang untuk kematian, Kei. Justru bukankah bagus mereka mati di tangan paman mereka sendiri daripada di tangan shinigami yang entah siapa itu?" tanya Aruka seraya tersenyum hangat. Pelayan itu, Yufaruto Kei, hanya mengembuskan napas dengan berat.

"Lalu, apakah kau juga akan mengatakan hal yang sama untuk Kiseki no Sedai?" tanya Aruka masih dengan senyumannya.

"Ya. Saya rasa, mereka juga berharga mengingat yang menaungi mereka adalah Shiiya-sama," jawab Yufaruto. Kedudukannya sebagai pelayan kepercayaan Aruka membuatnya berani mengomentari segala tindakan lelaki itu.

"Semenjak peristiwa itu, mereka semua bukanlah siapa-siapa untukku, Kei. Dan kau tahu benar tentang semua itu," jawab Aruka. Raut wajahnya berubah menjadi suram karena ucapannya itu sendiri.

"Saya mengerti, Kugori-sama," jawab Yufaruto. Sepertinya ia tahu bahwa itu adalah akhir dari pembicaraan mereka.

"Oh ya. Jangan lupa siapkan itu untuk berjaga-jaga. Mungkin saja keputusanku untuk melenyapkan mereka berubah nantinya. Walau aku sendiri rasanya ingin segera menuntaskannya dengan tanganku sendiri." Aruka melihat tangannya yang terbuka, seolah menampung sesuatu yang tak kasat mata. Di belakangnya, Yufaruto mengangguk dan pamit undur diri untuk melaksanakan perintah itu.

"Let's start our party!" Seringai bak iblis terpampang jelas di bawah iris yang mengkilat karena cahaya rembulan itu.

*****

Aula belakang Yobushina.

Di sana, seorang perempuan mengetatkan pelukannya terhadap dirinya sendiri. Merasa menyesal karena tidak membawa apapun untuk menghangatkan diri di tengah suasana malam yang begitu dingin, dengan pakaian pesta yang sedikit terbuka.

Dipandanginya bulan di atas kepala yang sudah merangkaki setengah halaman semesta itu. Suara binatang malam yang terjaga membuatnya sadar akan masa. Sudah terlalu larut untuk memulai sebuah pesta.

Puk.

"Eh?" Ia mengerjap begitu mendapati sebuah jas sewarna jelaga menutupi bahunya yang terbuka. Segera ia menoleh, dan memberikan seraut masam kepada lelaki yang sudah ada di sampingnya.

"Tidak lucu jika ternyata kau lebih dulu tumbang daripada keponakanmu. Dan ini gila karena seharusnya kita yang lebih dahulu sampai ke tempat pesta daripada mereka, bukan?" ujar lelaki itu. Perempuan itu tidak merespon.

"Ikuti aku," lanjutnya seraya melangkah menuju bagian terbelakang di aula itu. Perempuan yang mengikutinya terheran karena lelaki itu membawanya ke dalam sebuah lorong sempit yang seolah tak berujung karena kegelapannya.

"Kau yakin ini menuju tempat pestanya?"

"Untuk apa kau mengajukan pertanyaan bodoh semacam itu? Tentu saja jawabannya adalah iya. Jikapun aku membawamu ke tempat lain, maka kupastikan itu adalah kamar dan ranjangku," ujar lelaki itu santai. Ia terkekeh mendengar geraman dari belakang tubuhnya.

"Kau tidak pernah berubah dari dulu, Tuan Mesum!"

"Untuk apa aku berubah jika nyatanya aku tidak memerlukannya?" ujarnya menjawab umpatan itu.

"Aku heran melihat Straight yang bisa betah bersama seseorang yang bisa saja merenggut kesucian mereka sepertimu," cemooh perempuan itu. Seketika itu juga ia menghentikan langkah karena lelaki di depannya juga melakukan hal yang sama.

Ia bisa merasakan udara sekitar bergerak karena tiba-tiba saja dagunya sudah dibawa menengadah. Dapat ia rasakan embusan napas yang terasa panas menerpa wajahnya di dalam kegelapan itu.

"Dengar, Shiiya. Hanya kau satu-satunya wanita yang pernah dan akan mengerang di bawah tubuhku. Camkan itu!" Desisan lelaki itu terdengar sangat tak suka. Membuat lawannya memilih diam.

"Keluarkan satu kata lagi. Maka pesta ini bukan lagi ajang untuk menilai mereka. Namun, ajang untuk saling membunuh," lanjutnya. Hal yang sama ia lakukan juga pada tubuhnya. Melanjutkan langkah tanpa peduli perempuan itu mengikuti atau tidak.

*****

Aula pesta bawah tanah.

"Siapa yang tahu jika ternyata Yufaruto-san mengarahkan kita ke ruang bawah tanah?" ujar Narahashi begitu mereka sampai di ruangan yang sudah disulap bak aula pesta itu.

"Seperti kau tidak tahu Aru-jisama saja," timpal Hoshitsuki.

"Entah mengapa kalian terdengar seperti heran karena datang ke tempat ini. Padahal ini di dalam sekolah kalian sendiri," ujar Kagami menanggapi percakapan itu.

"Hal yang sama dengan fakta tentang kamar kalian. Tempat ini tidak pernah ditujukan untuk orang lain. Hanya orang yang diizinkan oleh Aru-jisama yang boleh ke sini." Naimiya bersedekap di belakang lelaki itu.

"Ngomong-ngomong, kalian semua terlihat berbeda dalam gaun seperti itu," ujar Kuroko dengan muka datarnya. Di depannya, Straight ditambah Momoi tak ubahnya putri dari kerajaan dongeng karena penampilan mereka yang benar-benar berbeda dari biasanya.

"Huh ... setidaknya gaun ini tidak seburuk yang pertama." Kuruka menimpali hal itu. Ditatapnya gaun sewarna langit siang yang ia kenakan. Desainnya begitu jauh berbeda dari gaun yang pertama mereka terima. Yang kedua ini lebih tertutup dan cocok untuk usia mereka.

"Kalian yakin bisa mengalahkan kami dalam pakaian seperti itu?" tanya Haizaki dengan nada pengejekan yang sempurna. Membuat Narahashi yang di dekatnya segera mengambil kuda-kuda, lalu mengarahkan tendangan samping ke pinggang pemuda itu. Namun, kali ini Haizaki berhasil menghindari serangan gadis itu.

"Apakah itu sudah cukup? Atau kau ingin bukti yang lain lagi?" tantang Narahashi. Haizaki hanya memberikan senyuman miring kepadanya.

Yang lain hanya mengembuskan napas mendengar pertengkaran yang sekarang adalah wajar itu. Sedetik kemudian, perhatian mereka semua terpusat pada pintu di lantai dua yang terbuka. Menampilkan sepasang manusia yang membuat suasana semakin berat.

"Sepertinya ada yang sudah tidak sabar untuk memulai pesta. Bukankah begitu, para keponakanku?" ujar Aruka. Di sampingnya, Seizouru hanya terdiam dengan tatapan penuh keyakinan kepada para remaja itu.

"Jadi, apakah aku harus menjelaskan peraturan tentang pesta ini terlebih dahulu?" tanya Aruka. Para remaja yang berada di lantai dansa hanya saling pandang sebentar, lalu menganggukkan kepala.

"Aturannya sederhana saja," ujar Aruka. Ia mengajak Seizouru untuk ke lantai dansa. Sesampai mereka di sana, Aruka mendekati sebuah gramofon sewarna emas yang terlihat mengkilap. Sementara Seizouru memilih untuk duduk di sebuah kursi tinggi yang ada di sampingnya.

"Etto ... sejak kapan kau menyimpan benda antik seperti itu, Aru-jisama?" tanya Yousuka heran. Tak menyadari ada yang meliriknya.

"Bukankah kau tahu jika aku suka mendengar musik, Yousuka? Maka ini adalah salah satu koleksi dari hobiku itu," jawabnya. Yousuka mengangguk singkat.

"Begitu lagu terdengar, kalian harus berdansa dengan pasangan masing-masing. Tapi jika tidak ada suara, maka bertarunglah yang harus kalian lakukan," jelas Aruka. Diliriknya Seizouru yang duduk tak jauh darinya.

"Kalian bisa bertarung gaya bebas. Terserah jika kalian mau melukai target atau tidak. Hanya saja, kalian tidak boleh mencampuri urusan yang lain. Walau itu tujuannya untuk menolong," lanjut Shiiya.

"Berarti, ini urusan masing-masing-ssu?" tanya Kise. Sepasang manusia itu mengangguk.

"Sekadar tambahan. Kalian boleh melukai bagian tubuh target yang manapun kalian suka. Kecuali wajah, dada, dan bagian vital bawah. Kalian bebas menyiksa mereka. Asalkan jangan sampai kehilangan nyawa," lanjut Aruka. Sontak Seizouru menoleh ke arahnya.

"Hei! Itu tidak ada di kesepakatan kita!" bentak Seizouru. Namun, Aruka acuh tak acuh. Ia pun menepukkan tangannya sekali, disambut dengan kedatangan Yufaruto yang membawakan dua puluh pedang dalam sebuah peti kayu yang dibawanya menggunakan kereta dorong.

"Sekarang, bekali diri kalian dengan pedang itu. Hitungan ke sepuluh, kembali ke posisi dengan target berada di depan kalian," ujar Aruka. "Ichi..." lanjutnya seraya menyeringai.

Seketika itu juga kedua puluh remaja itu secara serentak melangkah menuju kotak kayu itu demi mengambil pedang mereka. Sementara Aruka mati-matian menahan tawanya di samping Seizouru yang malah semakin mengeruhkan muka.

"Apakah salah jika aku ingin bermain-main sebentar, hm?" tanya Aruka begitu melihat reaksi Seizouru.

"Tapi kau tidak harus sampai seperti itu kan?!" bentak perempuan itu. Aruka menggelengkan kepala. "Justru ini masih tidak ada apa-apanya," balasnya. Ruby itu pun kembali ke tengah aula di mana semuanya telah siap.

"Semuanya sudah siap? Baiklah. Here we go," ucap Aruka. Segera ia memfungsikan gramofon di sana. Seketika dentingan piano terdengar merdu.

"A Comme Amour," desis Seizouru. Ia segera melengoskan wajah begitu melihat Aruka yang menyeringai kepadanya. "Wah ... ternyata ada yang tengah bernostalgia," celetuknya ringan.

Tak menggubris ucapan itu, Seizouru malah memutuskan untuk melihat ke arah pesta dansa di depannya ini. Ia tersenyum kecil melihat para remaja di depanya yang bergerak selaras dengan lagu ini.

"Aku baru menyadari jika gaun yang digunakan oleh mereka itu berbeda dari yang kau tunjukkan padaku kemarin," komentar Aruka yang kembali duduk di samping Seizouru.

"Itu karena mereka semua memprotes dengan keras gaun itu. Membuatku tak memiliki pilihan lain selain memberikan gaun ber-waistline princess dan cap sleeve itu kepada mereka," ujar Seizouru.

"Aku paham mengapa mereka tidak mau mengenakannya. Karena gaun basque-helter itu hanya cocok untukmu," timpal Aruka. Ruby-nya menatap penuh ke depan. Kehilangan momen sekejap atas Seizouru yang merona di dekatnya. Wanita itu segera memfokuskan diri kembali menonton pergerakan manusia di depan sana.

Mereka semua –Kiseki no Sedai dan Straight– berdansa. Menyimpan pedang sementara waktu di pinggang masing-masing, sementara tangan saling bertautan. Tidak ada pembicaraan yang terdengar. Dentingan piano yang menyuarakan A Comme Amour benar-benar menguasai ruangan itu.

Tunggu. Sepertinya ada yang salah. Batin Seizouru kala melihat pergerakan di depannya. Sesuai harapannya memang. Namun, melihat aura yang ditimbulkan oleh kedua puluh remaja di depannya ini bukanlah yang ia impikan. Bahkan Straight tak memprotes walau jelas jika tubuh mereka benar-benar menempel dengan tubuh pasangannya.

Seharusnya mereka memberontak. Atau berceloteh guna meredam kesal karena berdekatan dengan lawan. Bukan malah benar-benar menganggap hal ini sebagai sebuah dansa! Kepala Seizouru segera menoleh ke arah Aruka yang bergerak guna menyentuh badan benda penghasil musik itu. Ini saatnya!

Tring!

Trak!

Tepat begitu nada piano menghilang, suara benturan besi segera terdengar. Posisi yang semula anggun untuk berpesta, kini digantikan dengan kacau balaunya gerakan bak sebuah perang. Di mana nyaris dari mereka semua berpindah tempat guna menghunjamkan pedang ke target masing-masing.

Di depan Aruka, terlihat Akio yang begitu indahnya berkelit dari tusukan yang Kise arahkan menuju pinggangnya. Di sampingnya pula, Aomine berhasil menahan pedang milik Fukuda yang sedang menyeringai.

Lain lagi yang dilihat oleh Seizouru. Fokusnya terkumpul pada keponakannya yang berhasil mendesak Yuuki ke sebuah dinding, tapi gadis itu berhasil bertahan di posisinya. Tak jauh dari mereka, terlihat Haizaki dan Narahashi yang sepertinya memilih untuk tidak menggunakan pedang terlebih dahulu. Mereka terlihat asyik dengan saling membagi pukulan dan tendangan ke tubuh lawan.

Momoi dan Yuka memilih bermain pasif. Keduanya memasang pose bertahan walau sesekali berusaha mencari celah dari permainan. Keduanya berpencar begitu tak sengaja pasangan Kagami-Naimiya menginterupsi mereka dengan gerakan yang lincah dalam sebuah adu pedang. Di mata Yuka, Naimiya terlihat tenang walau menghadapi Kagami yang malah terlihat bersemangat melawannya.

Permainan pasif juga dipilih oleh sepasang manusia tertinggi di sana. Murasakibara hanya sesekali menggerakkan tubuhnya guna menghindari pedang Hoshitsuki yang menyalurkan hasrat sang pemegang. Begitu aktif bergerak guna mengenai tubuh jenjang itu. Tak ketinggalan juga dengan Asakura yang berhasil melompat ke samping sebelum pedang Midorima mengenai bahunya.

Di satu sisi, tidak terlalu banyak pergerakan yang dilakukan oleh Kuroko demi menghindari serangan Kuruka yang menggila. Dia benar-benar memanfaatkan hawa keberadaanya yang tipis guna menghilang dari jarak pandang gadis itu. Berbanding terbalik dengan Nijimura yang sibuk menahan tendangan beruntun dari Yousuka.

Seizouru mengerjapkan mata. Tak menyangka jika ternyata kemampuan Kiseki no Sedai sampai di situ untuk kategori orang yang baru belajar apa itu seni pedang. Sedetik kemudian, ia merasakan hawa aneh dari samping tubuhnya. Tepatnya dari Aruka yang tersenyum licik.

"Masih belum menyadarinya, huh?" ucap Aruka. Ia memberikan tatapan yang dalam pada wanita itu sebelum akhirnya terkekeh kecil. "Sungguh luar biasa jika sampai sekarang kau tidak mencurigai apapun dari kondisi mereka saat ini," lanjutnya.

"Jangan bilang jika...." Seizouru segera membelalakkan mata kala melihat Aruka yang mengangguk paham walau kalimat itu ia potong di pertengahan.

"Jujur saja. Aku masih tidak puas walau aku sudah menaikkan dosisnya menjadi tiga kali lipat," ucap Aruka. Dipangkunya wajah itu seraya menatap ke depan.

"Kau gila!!" teriak Seizouru begitu ia menyadari apa yang Aruka maksudkan. Yang diberi tanggapan hanya menutup mata lalu menggeleng-geleng kecil. Jemarinya pun bergerak untuk kembali memutar piringan lagu di gramofon itu.

"Ballade pour adeline. Musik yang cocok setelah bergerak aktif," ucap Aruka ketika mendengar nada piano yang sedikit mellow mengalun lancar.

Sepuluh pasang remaja itu kembali dalam posisi semula. Mengambil jarak yang begitu dekat untuk kategori orang bermusuhan. Kembali mendekatkan tubuh guna bergerak sesuai irama. Tuntaskan lagu yang ada sebelum adu pedang sesi kedua.

"Masih ingin menyugesti diri bahwa apa yang kau idamkan itu akan berhasil?" tanya Aruka. Seizouru pun bungkam.

"Walau aku akui, bahwa aku juga ingin mereka mengetahui hal itu. Tapi, ini bukan saat yang tepat," ujarnya lagi.

"Lalu kapan jika bukan sekarang?" sambar Seizouru. Aruka tersenyum kecil tanpa memberikan jawaban. Samar, ia menghitung hingga angka dua puluh. Sebelum akhirnya kembali mematikan sumber suara terbesar di ruangan itu.

"Nee, Icchin ... apakah kali ini kau akan membunuhku?" tanya Murasakibara yang berhasil menahan pedang Hoshitsuki di bawah. Iris ungu mudanya menatap pada netra violet milik gadis itu.

"Itu akan kulakukan jika seandainya Aru-jisama tidak melarang. Jadi, kau puas kan jika aku hanya menyiksamu, Atsu?" Hoshitsuki segera menarik pedangnya. Kali ini sasarannya adalah tubuh atas dari titan di depannya ini.

"Maka aku tidak akan membiarkan Icchin melakukannya," ujar Murasakibara seraya memaksa tubuh besarnya untuk berkelit. Sayangnya, hal itu tak sengaja membuatnya menabrak Yuuki yang ternyata ada di belakangnya.

"Gomen nee," ucap Murasakibara dengan nada khasnya pada gadis itu.

Yuuki hanya bisa mengangguk. Inginnya membalas hal itu, tapi sayangnya sabetan panjang Akashi lakukan tepat di depan wajahnya.

"Aku tidak suka jika lawanku mengalihkan fokusnya ke hal yang lain, Arisa," ujarnya melihat gadis itu yang langsung memasang kuda-kuda. Heterokrom miliknya yang berkilat tidak membuat Yuuki gentar di depan lelaki itu.

"Seperti kau adalah segalanya saja," celetuk Yuuki sinis. Ia berputar ketika pedang Akashi sekali lagi terhunus kepadanya. Dapat Yuuki rasakan bagian bawah gaunnya terkena dampak dari gerakan itu.

"Seharusnya kau tidak menentangku."

"Oh ya? Memangnya mengapa?"

"Karena aku mutlak!" Akashi menyorot dingin pada gadis yang ternyata mampu lolos dari serangannya itu. Karenanya, mereka pun mengambil langkah lebar. Melewati Midorima yang sibuk menangkis gerakan Asakura.

"Kau itu gadis atau apa, nanodayo? Liar sekali," kata Midorima. Ia segera melompat begitu Asakura merunduk dan menyapu kakinya menggunakan sabetan pedang.

"Kau baru tahu? Ternyata kau tidak peka juga untuk kategorimu yang katanya jenius itu," balas Asakura dingin. Dengan pedangnya, ia mulai menyerang tubuh tengah lelaki itu.

"Kau kerasa kepala, Asakura. Jelas sekali kau tidak akan bisa mengenaiku, nanodayo," ujar lelaki ber-megane itu sebelum menyilangkan pedangnya untuk menahan milik Asakura.

"Perlu kubawakan cermin untuk mengetahui siapa yang sebenarnya kepala batu?"

Sring!

Kedua pedang menjauh setelah saling menahan diri. Kembali ditahan sebelum akhirnya melakukan sebuah penyerangan. Mereka berdua berganti posisi. Membuat Asakura berada tak jauh dari Kise dan Akio.

"Nee, Akiocchi. Bagaimana jika kau mengajariku cara menyerang-ssu?" ujar Kise datar. Ia pun segera menggerakkan pedangnya tegak lurus dengan arah serangan Akio.

"Dengan senang hati," jawab Akio sama datarnya. Ia pun menarik pedangnya, memutar tubuh, lantas berpindah dengan cepat ke belakang Kise. Dihantamkannya gagang pedang itu ke arah punggung, yang ternyata malah kena bahu karena lelaki pirang itu terlebih dahulu bereaksi. Akibatnya, Kise segera mengambil jarak.

"Bagaimana? Apakah aku perlu memberikan contoh yang lebih sakit lagi?" ucap Akio. Senyum kecil ia perlihatkan kepada lelaki itu.

"Maka aku akan memberikan balasan yang lebih." Mata Kise menajam. Lalu segera menggunakan teknik perfect copy miliknya. Membuat Akio mendecih karena dengan mudah Kise mengimbangi teknik yang ia gunakan.

"Apakah kau juga memiliki kemampuan seperti itu?" tanya Fukuda yang melihat teknik milik Kise. Ditangkisnya pedang Aomine sebelum mundur selangkah demi menghindari serangan yang langsung dilancarkan oleh pemuda bersurai gelap itu.

"Buat apa aku memilikinya jika aku sudah memiliki hal yang lebih?" Dengan cepat, Aomine mengambil jarak. Setelah itu, langkah lebar nan cepat ia lakukan untuk serangan kejutan.

Trang!

Suara pedang yang beradu kembali terdengar nyaring ketika pedang Fukuda menjadi tameng bagi tuannya yang sedikit berlutut karena serangan mendadak itu. Melihatnya, Aomine memberikan senyum miring.

"Yang bisa mengalahkanku hanyalah aku!"

Wush.

Aomine melakukan gerakan menebas pada Fukuda yang masih berlutut. Namun, hal itu tidak jadi mengingat sebuah belati tiba-tiba saja lewat di depannya. Refleks ia mundur sedikit dan segera menoleh ke sumber benda itu.

"Ops. Aku tidak berniat untuk mengganggu kalian. Sayangnya harimau di depanku ini tidak mau kena oleh benda itu," ucap Naimiya yang tersenyum tipis karena melihat wajah terkejut Fukuda dan Aomine.

"Hoy! Mengapa kau menggunakan itu?!" bentak Kagami. Dirinya masih shock karena gerakan Naimiya yang dengan anggunnya melempar belati dari balik ikat pinggangnya. Kagami harus bersyukur karena insting hewannya segera bekerja untuk menghindari itu.

"Tidak ada ucapan mereka yang melarang penggunaan belati." Naimiya melirik sebentar ke arah Aruka dan Seizouru yang kebetulan sebaris dengan dirinya. Sebelum wajah itu kembali memutar, menantang pemilik surai gradasi yang menggeram.

"Sialan!" rutuk Kagami. Ia pun melompat ketika akan menghantamkan pedangnya dari atas. Dan kecepatan seperti itu ternyata mampu diimbangi oleh Naimiya yang segera menyamping. Membuat pedang Kagami hanya mencium lantai semata.

"Apakah ototmu tidak mengalami tremor karena rambatan energi dari lantai menuju lenganmu?" tanya Naimiya dengan wajah polos. Kagami di depannya hanya mengeryitkan alis. Heran karena tidak mengerti apa maksudnya.

"Kita tidak sedang belajar IPA, Naimiya-san." Kuruka yang tidak sengaja mendengar itu hanya meringis. Ditambah ekspresi polos dari yang mengucapinya membuatnya secara tidak sadar mendoakan Kagami agar betah menghadapi gadis jangkung itu.

"Sepertinya Naimiya-san itu tipe high-schooler di antara kalian."

"Yah. Begitulah. Kau bena— Whaa!"

Kuruka refleks berteriak begitu mendapati netra biru langit yang ternyata berada di sampingnya. Seketika itu juga ia menyabetkan pedangnya ke arah tempat itu. Di saat itu juga ia menyadari jika lawannya menghilang.

"Sepertinya kau itu jelmaan hantu, Kuroko-kun," ujarnya lagi ketika akhirnya melihat Kuroko berdiri di depan tembok terlebar di sana. Pemilik wajah datar itu tidak merespon.

Kuruka menyipitkan mata ketika Kuroko memasang pose bertahan, sebelum akhirnya mundur beberapa langkah karena pedang lelaki itu yang tiba-tiba saja sudah terlihat mengarah kepadanya.

"Aku hanyalah bayangan," ucap Kuroko datar. Kuruka yang mendengar itu pun menyeringai. Dengan gerakan yang bertubi-tubi, ia pun menyerang Kuroko yang memang dari awal memilih untuk bertahan.

"Tetsu-kun!" Momoi yang melihat hal itu segera berteriak khawatir karenanya. Didorong oleh kecemasan, ia pun mulai membelokkan kakinya ke tempat pasangan itu berada.

Namun, belum ia mengambil dua langkah, Yuka sudah terlebih dahulu mencegatnya dengan senyuman manis. Ditunjukkannya pedangnya kepada Momoi yang membalas hal itu.

"Ara ara ... ternyata kau benar-benar menyukai teman SMP-mu itu. Sayangnya, kau tidak akan ke mana-mana, Momoi-san," ujar Yuka. Tatapannya yang lembut berbanding terbalik dengan nada suaranya yang jelas-jelas mengancam.

Momoi mencebikkan bibirnya dengan kesal. Bagaimana pun juga, ia benar-benar tidak tega melihat Kuroko yang sedikit terdesak karena serangan dari Kuruka. Di satu sisi, ia masih punya Yuka yang harus ia habisi.

"Terserah apapun yang kau katakan, Yuka-san. Kau dulu, baru dia." Manik sakura itu melirik sebentar ke arah pasangan di sebelah, lalu dengan cepat menyerang Yuka yang masih tersenyum menghadapinya.

Trang!

Momoi sedikit terkejut begitu Yuka ternyata mampu berkelit dari dirinya. Membuat pedang yang sudah ia hunuskan malah mengenai milik Yousuka dan Nijimura yang kebetulan juga sedang beradu.

"He? Dibantu oleh perempuan ya?" ujar Yousuka begitu Yuka berhasil menjauhkan Momoi dari mereka. Yang ditanya hanya mengangkat sebelah sudut bibir.

"Kesimpulan yang naif," balas Nijimura. Ia pun segera menghantamkan pedangnya ke arah depan gadis itu, lalu melanjutkannya dengan sebuah tendangan belakang.

"Bela diri yang bagus. Sesuai data," komentar Yousuka yang karena serangan itu sedikit keluar dari arena dansa. Ia hanya menatap tembok di belakangnya singkat sebelum kembali memberikan fokus pada Nijimura yang sekarang menyeringai kepadanya.

"Mari kita lihat. Apakah kau bisa mengimbangiku, Yousuka-san?" Nijimura pun segera memojokkan Yousuka yang segera bertahan dari serangan itu.

"Sepertinya temanmu mulai terpojok. Jadi, mengapa kau tidak mengikutinya?" tanya Haizaki. Pedang di tangan ia putar sebentar, sebelum akhirnya menghunuskannya tepat ke arah bawah dagu Narahashi.

"Tidak semudah itu, Aho!" balas gadis yang segera melengkungkan tubuhnya ke belakang itu. Membuat serangan Haizaki hanya mengenai angin.

Giliran Narahashi yang mengambil kesempatan. Seraya mengembalikan posisi seperti semula, ia segera menargetkan pinggang Haizaki yang pertahanannya terbuka lebar. Belum bilah pedang miliknya mengenai tuxedo hitam itu, sebuah besi panjang lainnya segera menangkis.

"Terlalu cepat jika kau mengira itu mudah." Haizaki tersenyum miring, sebelum mengejar Narahashi yang memutuskan untuk berpindah tempat.

Semua itu tak luput dari pengamatan Aruka dan Seizouru yang menonton dari tempat yang aman. Sesekali Aruka menyempatkan diri untuk melirik raut Seizouru yang perlahan-lahan berubah menjadi cemas.

"Tidak ada gunanya kau menyesali ini sekarang, Shiiya. Jadi, nikmati saja keputusanmu ini," ucap Aruka menanggapi apa yang ia lihat pada perempuan itu.

"Tapi mengapa kau memberikan mereka melebihi yang seharusnya?! Apa kau tidak sadar bagaimana resiko ke belakangnya, ha?!" Seizouru memandang Aruka dengan tatapan bercampur amarah. Hal ini membuatnya meyakini lelaki di sampingnya ini tidak memiliki hati.

"Karena aku ingin mendapatkan apa yang aku mau." Nada Aruka yang tenang berbanding terbalik dengan tatapannya yang menajam. Seizouru pun memiliki firasat buruk ketika melihat lelaki itu menyeringai.

"Sekarang..." desis Aruka begitu melihat pertarungan yang kacau itu semakin menggila. Seizouru yang melihat memilih untuk mengikuti arah pandang itu. Seketika itu juga ia membelalakkan mata karena...

Crash!

... Asakura berhasil menyabetkan pedangnya pada lengan kiri Midorima. Membuat pakaian lelaki itu terkoyak, juga memberikan goresan memanjang berdarah yang membuat pemiliknya berteriak kesakitan.

"Shintarou! Haruka!" teriak Seizouru panik. Sayangnya, teriakan itu tidak didengar oleh Midorima yang seketika gelap mata. Ia pun merendahkan diri, dan langsung melakukan hal yang sama kepada kaki gadis itu yang berada di balik gaunnya.

Seolah menjadi pembuka, pasangan yang lain mulai melakukan hal serupa. Membuat teriakan dan jeritan kesakitan perlahan memenuhi ruangan itu. Tak ketinggalan beberapa titik di lantai yang mulai digenangi oleh cairan kental berwarna merah.

Bila Seizouru nyaris tidak bisa berkata apa-apa saking paniknya, berbanding terbalik dengan Aruka yang malah terkekeh kecil melihat adegan pembantaian di depannya itu. Ada kepuasan tersendiri yang ia rasakan dari tontonan kali ini.

"Kugori! Hentikan mereka sekarang juga!" Seizouru menggenggam tangan lelaki itu. Memohon agar permintaannya dituruti.

"Kau yang memulai, maka kau yang mengakhiri," ucap Aruka tanpa melihat kepada Seizouru sedikit pun. Hanya saja, sudut bibirnya melengkung sempurna, mendidihkan darah dari perempuan itu.

"Jahannam!" raung Seizouru. Ia kali ini benar-benar murka melihat kelakuan Aruka yang ingin membunuh semua keponakan mereka. Di satu sisi ia juga mengutuk dirinya yang pernah mengajukan hal yang sama kepada iblis berkedok suaminya itu.

Seizouru segera bangkit dari kursinya, melangkah menuju arena, dan berhenti tepat di garis pemisah. Mati-matian ia menahan isak melihat kondisi dua puluh remaja itu yang sudah kritis, tapi tidak bisa berhenti dari aksi brutalnya.

"Berhenti semuanya!!" teriaknya parau. Ia menggigit bibir bawah ketika tidak ada satu pun yang mendengarkannya.

"BERHENTI!!" Kesabaran Seizouru sudah di ambang batas. Membuatnya mengeluarkan nada tertinggi dari amarah bercampur kesedihan yang menguasainya. Dan itu berhasil. Tidak ada lagi suara pedang yang terdengar. Hanya deru napas kelelahan yang meminta perhatian.

"Atas dasar apa kau menghentikan mereka, Shiiya?" ucap Aruka seolah mewakili tatapan heran dari Straight dan Kiseki no Sedai. Di belakang, ia pun memasang evil smirk andalannya.

Seizouru tersenyum getir melihat wajah-wajah muda yang terpasang oleh rasa penasaran di depannya. Walaupun lirih, tapi semua di sana bisa mendengar bahwa ia jelas mengatakan, "apakah kalian akan membunuh saudara kalian masing-masing?"

"Saudara?!"

Aruka terkekeh melihat dua puluh pasang mata yang seketika membola menatap dirinya. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk singkat, juga berkata, "tidak ada kesenangan yang melebihi melihat antara saudara saling memusuhi untuk hancur bersama, bukan?"

Seolah mantra pembunuh, satu persatu di antara mereka jatuh tak sadarkan diri. Rupanya tubuh mereka sudah mencapai batas akibat kelelahan dan kehilangan banyak darah. Sementara itu juga, batin mereka terlalu shock untuk mempercayai apa yang baru saja terdengar.

"Party is over."

.

.

.

Terlalu dini untuk membuka. Pun terlalu cepat untuk mengungkap semuanya. Terlepas dari itu, kini takdirlah yang memainkan peran utama.

Permainan utama sepertinya telah berakhir. Namun tidak dapat dipungkiri. Alur baru dari sebuah figuran baru saja lahir.

Guna memberi ganjaran atas apa yang telah mereka ukir.

.

.

.

Innalillahi... apa yang sudah Author tulis? :'v Kalian mengerti maksud cerita yang semakin absurd ini kan? Maaf jika kalian tidak mengerti _/\_

Semakin lama, fanfict ini semakin absurd. Bukan hanya kalian. Author yang nulis juga terkadang bingung mau merealisasikan penjelasan ceritanya seperti apa. Yang jelas, Author akan mengusahakan fict absurd ini akan tamat, paling lambat selama puasa. Dan paling cepat sebelum Ramadhan tiba. Sekali lagi, mohon maaf jika banyak kesalahan dari fict absurd ini.

Hope you like it!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top