17. When I See You Again

DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI

(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)

Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah 'permainan". Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.

.

.

.

Bukan masalah tentang benar atau tidak. Melainkan mencoba menyambung sesuatu yang telah retak. Hingga menjadi sesuatu yang bisa dikenang kelak.

Namun, sayangnya itu tidak bisa dilakukan. Ego masih merajakan diri dalam setiap jiwa yang haus akan kemenangan. Membuat asa tak mendapat celah dari balik kegelapan.

Sekarang, apakah mereka akan tetap merajakan kecongkakan? Atau akan memilih untuk berdarah, demi membangun kembali sebuah kenangan?

.

.

.

Osaka. SMA Yobushina.

Diam. Tak ada yang berani memulai percakapan terlebih dahulu. Mereka memilih untuk mengistirahatkan tubuh yang sudah dijemput paksa untuk kembali ke sarangnya itu. Memilih untuk melontar pendapat dalam pikiran tentang tindakan labil sang Paman.

Tiada angin, tiada hujan, tiba-tiba saja mereka sudah mendapati mobil dengan lambang khusus di depan. Menandakan sang pengirim ingin mereka secepatnya sampai di tempat tujuan. Tak peduli jika mereka mati penasaran akan alasan di baliknya.

"Jadi, sekarang apa?"

Suara sedikit serak mencoba memecah keheningan. Padahal yang bertanya juga ingin waktu sebaiknya dimatikan. Hanya gumaman yang berdengung sebagai penjawab tanyanya.

Mereka semua –Straight– sudah kembali ke Yobushina. Bahkan untuk Yousuka sendiri yang terpaksa mengambil penerbangan pertama. Walau menyadari ia sudah mengkhianati janji. Mereka memang tahu kalau waktu ini akan tiba. Namun, sekali lagi waktu tidak berpihak karena semuanya serba mendadak.

"Ah, aku malas. Kalau di Rakuzan, sekarang ini sudah memasuki kelas musik. Seharusnya aku memainkan piano saat ini," ujar Yuuki pelan. Walau sedetik kemudian ia menyadari bahwa itu tidak mungkin lagi.

"Atau mungkin pelajaran memasak di Yosen yang tidak terlalu buruk," lanjut Hoshitsuki.

"Mereka mungkin sudah memasuki pelajaran sistem saraf untuk IPA di sana. Harusnya aku bisa menjadikan si Baka itu sebagai objek penelitianku." Gumaman Naimiya terdengar samar.

"Yah ... setidaknya, dengan dipanggilnya kita kembali ke Yobushina, bukankah itu berarti tugas kita telah selesai?" ujar Yuka menanggapi apa yang ia dengar. Mereka berpadangan satu sama lain. Kemudian mengiyakan hal itu tanpa ragu.

"Kurasa kau harus menarik ucapanmu itu, Yuka."

Suara berat itu menarik perhatian. Kemudian berubah menjadi seraut tegang di wajah mereka kala mendapati sesosok lelaki yang menyandar tanpa peringatan, tepat di pintu kamar mereka yang terbuka lebar.

"Tapi, bukankah itu benar, Aru-jisama?" tanya Kuruka memberanikan diri. Aruka pun menggelengkan kepalanya mantap.

"Aku memanggil kalian pulang bukan berarti misi kalian selesai. Justru misi yang sebenarnya akan dimulai tak lama lagi. Di sana," ujar Aruka. Ibu jarinya melewati bahu, menunjuk arah di mana aula besar bersemayam.

"Kau sudah gila," desis Yousuka tak suka. Ia segera melengos begitu pamannya itu men-deathglare-nya.

"Terserah apapun yang kalian pikirkan atau katakan, aku sama sekali tidak mempedulikannya." Aruka menatap para keponakannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebelum akhirnya menyambung ucapannya itu.

"Oh ya. Kutunggu kalian di ruanganku setelah makan malam. Ada sesuatu yang akan kuberitahukan kepada kalian saat itu." Aruka kembali melihat sekeliling ruangan dengan ukuran paling besar itu. Kemudian segera melangkahkan kakinya meninggalkan Straight yang membeku.

"Aku pernah menemui orang gila. Namun, tetap saja dia adalah orang tergila yang pernah kutemui," dengus Yousuka setelah ia yakin bahwa Aruka tidak akan mencuri dengar. Lupakan fakta bahwa kamar mereka dipasangi oleh penyadap di tempat-tempat tertentu.

"Sepertinya kau mendendam karena tugas ke Amerika itu, Aina-nee." Celetukan Narahashi membuat Yousuka menoleh padanya. Yang segera berlanjut dengan cebikan bibir.

"Aku hanya mengatakan fakta. Itu saja," timpalnya lagi.

"Sudahlah. Bukankah tidak baik jika membicarakan orang yang lebih tua dari kita?" tanya Asakura yang mencoba menetralisir suasana. Dan itu berefek pada Yousuka yang segera membanting dirinya ke tempat tidur, lantas membungkus tubuh menggunakan selimut.

"Aina-san terlalu moody." Kali ini, Hoshitsuki yang mengambil peran. Ia kemudian terdiam kala sebuah permen lolipop menyumpal bibir.

"Ngomong-ngomong, bagaimana pengalaman kalian setelah menjalani misi ini beberapa bulan? Apakah hubungan kalian dengan target masing-masing baik?" tanya Yuka. Sebagai yang tertua, ia merasa harus bisa mengendalikan suasana yang sempat kacau seperti ini.

"Aku menemukan sosok tinggi menjengkelkan selain Nai di sana. Dia rada mirip dengan Nai untuk masalah olok-mengolok tentang tinggi badan," sahut Asakura seraya ber-facepalm ria kala menyadari lirikan Naimiya yang kurang bersahabat.

"Aku pun demikian. Targetku pun bullyable. Persis seperti Chibakaneki-tsundere-neesama-ku yang satu itu," balas Naimiya. Ia pun balik memasang wajah polos walau tatapan Asakura seolah ingin mencekiknya dari kejauhan.

"Tapi Kagami-kun itu cocok jadi seme-nya Kuroko-kun lho. Atau mungkin jadi uke saja ya?" Seketika itu juga pose berpikir milik Kuruka berubah menjadi ringisan kala sebuah bantal berukuran besar telak mengenai mukanya.

"Aku memang tak mengerti apa yang kau ucapkan itu, Kuruka-san. Tapi yang jelas, itu pasti belok kan?" ujar Yuka yang menjadi tersangka pelemparan itu. Kuruka pun mengibarkan tanda peace dengan jarinya.

"Jangan salahi aku, Yuka-san. Salahkan Akemi, Ran, juga Mika yang menulariku dengan virus belok mereka."

"Kau memfitnahku, Ayam!" balas Fukuda kesal.

"Ayam?" Suara Asakura, Yuka, dan Yuuki terdengar bersamaan. Sementara Naimiya memilih menjadi pengamat saja.

"Iya, ayam. Kan dua suku kata di awal marganya Akari mirip suara ayam," jawab Narahashi, kalem. Sementara Akio mengangguk, membenarkan.

"Sialan!" Kuruka langsung mengambil bantal Yuka lalu melemparnya dengan keras ke arah Narahashi dan Fukuda, yang kebetulan berdekatan ranjang dengannya.

Keduanya lantas menghindar. Membiarkan bantal itu dengan sempurna mendarat di punggung Yuuki yang tengah asyik membaca.

"Hei! Mengapa aku yang kena?!" teriak Yuuki sedikit keras. Ia pun memberikan tatapan membunuh kepada ketiga gadis itu.

"Waah ... mengapa marah, Arisa? Kau kan Masochits-ojousama," ejek Akio. Tatapan itu pun beralih kepadanya.

"Jangan lupakan kalau dia itu juga tsundere," timpal Hoshitsuki. Ia segera bangkit dari kasur begitu melihat Yuuki yang mengambil ancang-ancang untuk melempar lagi.

"Aku bukan tsundere! Yang tsundere itu Haru-nee dan Aina-san!" balasnya.

"Lho, kok aku?! Yang jelas-jelas tsundere di sini itu hanya kau dan Ainawa saja, Arisa," timpal Asakura.

"Kau itu tsundere akut, Haru-nee." Kali ini Naimiya mengikutkan diri dalam pembicaraan absurd itu.

"Yang tsundere akut itu Ainawa! Bukan aku!"

Yuka hanya bisa mengelus dada begitu melihat suasana yang di luar ekspetasinya itu. Kemudian tatapannya teralihkan pada ranjang di dekatnya. Netra itu terfokuskan pada kepompong raksasa yang terlihat sedikit bergerak di baliknya.

"Ainawa?" panggilnya. Tak ada jawaban membuatnya memilih untuk membuka selimut itu dalam sekali singkap.

"Aha! Kukira kau tertidur!" ujar Yuka nyaris berteriak begitu mendapati Yousuka yang meringkuk membelakanginya. Sontak gadis itu langsung terduduk di tempat.

"Yuka-nee mengagetkanku saja!" bentaknya. Yuka mengendikkan bahunya.

"Memangnya kau sedang apa hingga kau begitu kaget, hm?" Yuka mencoba mendekat ke arah Yousuka yang langsung memundurkan badan.

"A-aku hanya memainkan ponselku saja," jawab gadis dengan kacamata yang masih menempel di wajah.

"Iya kah? Atau sebenarnya kau tengah berhubungan dengan targetmu itu ya?" goda gadis bersurai cokelat muda itu.

"Ah, kau kemungkinan besar benar, Yuka-san. Walau aku hanya sekali melihat fotonya, tapi lelaki itu punya mata yang tajam. Tipenya Ainawa sekali," sambung Asakura dan itu membuat wajah Yousuka sedikit memanas.

"Tidak! Itu tidak benar! Aku tengah berhubungan dengan sahabatku di Amerika sana. Namanya Elevea!" Yousuka pun mengancungkan ponselnya yang tengah membuka pesan.

"Ucapan tsundere biasanya berbanding terbalik dengan faktanya, Aina-nee." Kali ini, Narahashi yang memberikan seringai jailnya kepada gadis itu.

"Aku bukan tsundere!"

"Kau tsundere."

"Tidak!"

"Iya!"

"Tidak!"

"Tidak salah lagi."

Yang lain hanya menahan tawa melihat kedua teman mereka yang beradu debat seperti itu. Hingga Akio pun menyadari sesuatu yang aneh di pintu mereka.

"Aru-jisama!"

Panggilan itu membuat seisi ruangan langsung terdiam. Terlebih begitu mendapati sosok Aruka yang mematung dengan wajah dinginnya. Tak ada yang berani untuk membuka suara.

"Apakah kalian akan terus-menerus melakukan hal konyol seperti ini hingga kalian lupa waktu? Jika iya, lakukanlah. Maka aku pun dengan senang hati akan memberikan hukuman yang pantas atas keterlambatan kalian di meja makan malam ini."

Usai mengucapkan kalimat itu, Aruka segera melenggang pergi. Namun, kepergiannya pun teriringi dengan kegaduhan di kamar anggota Straight begitu mereka menyadari bahwa hanya ada waktu 15 menit sebelum makan malam diadakan.

*****

Sementara itu...

Tokyo. Rumah Keluarga Besar Akashi.

"Apa kau yakin ini bukan jebakan, Shiiya-neesama?" ujar Masaomi begitu seorang maid menghidangkan earl grey tea pada cangkir di depannya. Irisnya menatap penuh perhatian pada sosok wanita yang berada di kursi utama pertemuan kali ini.

Seizouru hanya terdiam, lalu mengangguk dengan anggun seraya menyesap teh miliknya. Setelah itu, ia pun menatap satu persatu wajah dari kesebelas orang yang ada di situ. Seluruh anggota Kiseki no Sedai berada di sana.

"Tidak. Kugori sendiri yang memberitahuku. Bahwa ia mengundang kalian semua ke Osaka. Tepatnya ke Yobushina," jelas Seizouru pada Kiseki no Sedai.

"Yobushina? Bukankah itu nama sekolah dari Arisa berasal?" ujar Akashi pertama kali. Seizouru pun mengiyakan.

"Yobushina adalah sekolah berasrama khusus untuk perempuan yang dibangun oleh Kugori dan berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Walau terdengar konyol, tapi si Berengsek itu mampu membuat Yobushina menjadi salah satu sekolah terbaik di Osaka saat ini."

Mereka semua mengangguk-angguk mendengarkan hal tersebut. Setelah saling bertatapan satu sama lain, akhirnya Kuroko pun memilih untuk bertanya. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Seizouru-san?"

"Tentu saja kita akan memenuhi undangan tersebut. Itu berarti, malam ini persiapkan diri kalian untuk keberangkatan menuju Osaka besok. Kalau begitu, pertemuan kali ini kita cukupkan sampai di sini. Sampai jumpa lagi esok hari, Anak-anak," ujar Seizouru. Ia pun segera bangun dari tempat duduknya, diikuti oleh Masaomi. Sengaja memberikan ruang kepada mereka untuk memikirkannya.

Setelah kedua orang tua itu menghilang, giliran Akashi yang memimpin pertemuan kali ini. Ditatapnya satu persatu kawanan pelangi berwujud manusia itu. Sampai akhirnya ia mengembuskan napas.

"Katakan, apakah kalian keberatan dengan rencana ini?" Tanya itu tidak mendapatkan respon cepat. Mereka tampaknya memikirkan segala kemungkinan untuk pertemuan kali ini.

"Jika kita ke sana, itu berarti kita akan bertemu dengan mereka lagi kan? Maksudku, bertemu dengan Naimiya dan kawan-kawannya," ujar Kagami. Momoi pun memukul tengkuk lelaki yang kebetulan duduk di dekatnya itu.

"Tentu saja, Kagamin. Kita kan akan pergi ke rumah mereka. Justru aneh jika kita tidak bertemu dengan mereka esok harinya!" sahut gadis bersurai pink itu.

"Berarti aku bisa membalaskan dendamku kepada Narahashi. Aku masih tidak terima ia memukul bagian diriku yang berharga," geram Haizaki yang duduk di samping Nijimura.

"Tapi kau bercerita jika kau dapat menciumnya. Bagiku, keputusannya untuk menendang bagian bawah perutmu itu sudah tepat sekali, Aho!" sahut lelaki bersurai kelam itu. Haizaki hanya bisa mendengus kesal mendengarnya.

"Sudahlah. Intinya, kita harus mempersiapkan diri kita untuk esok hari. Kita tidak tahu apa yang akan menyambut kita setelah tiba di sana, nanodayo," timpal Midorima. Di sampingnya, Kuroko mengangguk pasti.

"Aku setuju dengan Midorima-kun. Selain itu, aku juga penasaran akan sosok Kugori-san yang disebut-sebut sebagai paman kita oleh ayahnya Akashi-kun," timpalnya.

Semua pun mengangguk setuju. Membuat Akashi turut menggerakkan kepalanya. "Jika begitu menurut kalian, baiklah. Sekarang, istirahatlah. Kalian masih ingat letak kamar tamu, bukan?"

Untuk kali ini, mereka menggeleng serentak. Membuat Akashi sekali lagi menahan diri atas teman-temannya itu. Ia pun lantas memanggil maid dan butler yang dengan sigap memenuhi panggilannya. Lalu memerintahkan mereka untuk menunjukkan kamar kepada para tamunya itu.

"Rumahnya Akashicchi terlalu besar sih. Jadi kami kesulitan untuk menghafal arahnya-ssu," ujar Kise seraya menggaruk tengkuk. Tawa lebar pun menghiasi wajah cerianya.

"Kise-chin benar. Seandainya rumah Aka-chin terbuat dari makanan, mungkin aku bisa menghafalnya di luar kepala."

Semuanya serentak menoleh ke arah Murasakibara yang memberikan tatapan heran-polos miliknya. Melihat itu, yang lain pun hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Yang ada rumah Akashi akan habis kau makan, Murasakibara," ucap Aomine menanggapi ungkapan sang Raksasa.

"Setidaknya aku kenyang, Mine-chin." Murasakibara pun tak mengindahkan tatapan aneh dari sang Panther.

Akashi segera menginterupsi percakapan tiada guna itu ketika mereka telah sampai di kamar tamu yang ditunjukkan. Sekali lagi, semuanya merasa takjub akan hal tersebut. Rumah sang Emperor memang berbeda. Batin mereka.

*****

Pagi harinya, para kupu-kupu Yobushina sudah memulaikan aktifitas mereka. Meramaikan sekolah dalam balutan seragam khas sekolah yang sewarna langit. Berlalu lalang tanpa merasa ada beban.

Kecuali di bangunan utama. Di sana, mereka semua, Straight, sudah berkumpul. Menunggu sang paman untuk membukakan mereka pintu yang terpampang megah di hadapan.

"Siapa sangka kita akan menjadi penyambut tamu di hari ini?!" rutuk Yousuka. Ia pun memainkan ujung rambut yang terjatuh ke depan badannya. Dan yang lain hanya bisa meringis mendengar gadis yang memang hobi merutuki hal yang tidak disukainya itu.

"Tenanglah, Aina-san. Kuyakin setelah ini kita akan langsung kembali ke kelas," ujar Yuuki mencoba menenangkan gadis itu.

"Yang kita hadapi ini Aru-jisama, lho. Bukan orang lain," sambung Narahashi. Itu pun disambut helaan napas dari yang lain.

Sebuah suara mirip alarm mengagetkan mereka. Tersusul oleh geretan engsel yang terdengar begitu pintu di depan mereka terkuak lebar. Segera mereka memasang posisi bersiap kala lelaki tinggi bersurai pirang keluar dari sana.

"Apakah semuanya sudah berkumpul?" Pertanyaan itu terjawab oleh anggukan semua gadis di depan Aruka.

"Kalau begitu, mari kita menyambut tamu kita dengan sepenuh hati."

Saat itu, tidak ada yang menampik bahwa mereka sedikit bergidik ketika lelaki itu mendahului mereka untuk memimpin jalan. Sebuah seringai bak iblis terpampang jelas di sana.

*****

"Jadi ini Yobushina-ssu? Sugoii-ssu!" ungkap Kise begitu ia yang pertama kali melihat secara jelas bangunan di depannya yang berdiri megah. Setelah itu, yang lain pun segera menyusul keluar dari mobil.

"Tapi gaya arsitekturnya mirip bangunan zaman dulu. Sedikit mengerikan," komentar Momoi begitu ia melihat ada sepasang patung singa yang menjaga di sisi gerbang yang menjulang tinggi.

"Simpan dulu komentar kalian. Sekarang, kita harus menemui Tuan rumahnya terlebih dahulu."

Seizouru pun segera menuju bagian security. Oleh Kiseki no Sedai, ia tampak tenang dalam berbicara dengan petugas di sana. Ia pun merogoh tas jinjing yang ia bawa. Lantas mengeluarkan sebuah benda semacam liontin sewarna darah. Begitu benda itu ditunjukkan, petugas di sana pun menunduk hormat padanya.

"Itu terlihat sedikit aneh bukan?" bisik Aomine ke telinga Kagami yang kebetulan ada di dekatnya. Lelaki bersurai gradasi itu pun mengangguk kecil kala matanya menangkap sosok Seizouru yang kembali pada mereka.

"Ayo kita masuk," ajak wanita itu. Mereka pun berjalan beriringan dengan Seizouru beserta Momoi menjadi depan begitu gerbang itu membukakan dirinya. Sementara para lelaki mengekor di belakang.

Sebelas orang itu pun menuai banyak tatapan dari para siswi yang kebetulan ada di jalan yang mereka lewati. Bagi siswi Yobushina, tentu itu adalah suatu anugrah mengingat itu adalah sekolah khusus untuk perempuan. Kedatangan lelaki, apalagi serombongan ikemen seperti ini tentu akan menarik perhatian mereka dengan cepat.

"Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini, nanodayo," bisik Midorima kepada Akashi yang ada di dekatnya.

"Jangan hiraukan mereka. Bersikap seperti biasa saja. Atau jika kau mau, kau bisa mengikuti jejak Ryouta di belakang sana," jawab Akashi seraya mengarahkan matanya menuju deretan belakang. Midorima pun mengikuti. Dan tampaklah Kise yang dengan gembiranya ber-say hello kepada beberapa siswi. Di sampingnya, ada Aomine yang jelas sekali memperhatikan lekuk setiap hawa yang lewat. Midorima dan Akashi pun menggeleng pelan.

Namun, semua itu terhenti begitu mereka sampai di depan gedung utama. Di sana, Aruka menatap hangat, yang bagi Seizouru adalah menantang. Mengikuti di belakangnya para Straight yang juga memberikan tatapan yang sama pada Kiseki no Sedai.

Hening menjeda beberapa saat. Sebelum akhirnya Aruka maju selangkah, lantas merentangkan tangannya selebar yang ia bisa.

"Selamat datang di rumah," ujarnya dengan senyum sinis tak lupa ia sematkan secara halus.

.

.

.

Di saat hendak menyapa, seringan itu juga ego kembali berkuasa. Menutup kemungkinan untuk berdamai walau sementara. Namun, bagaimana jika itu hanyalah alibi semata?

Alasan klasik dari jiwa yang sudah lelahdirundung duka.

.

.

It's so absurd, right? Maafkan jika begitu :'D

Hontou sumimasen buat yang merasa tersinggung dengan part ini. Jika kurang berkenan, bisa langsung memberitahu Author agar segera diperbaiki.

Ngomong-ngomong, ini sudah 17 chapter + prolog kan ya? Yosh! Kalau begitu, tinggal 5 chapter lagi, maka kalian akan terbebas dari cerita abnormal ini.

Hope you like it!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top