16. Behind The Scenes

01.Behind The Scenes

DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI

(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)

Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah 'permainan". Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.

.

.

.

Rembulan bertemu Surya. Keegoisan bertemu sesama. Meminta pembuktian yang belum tentu benar adanya. Padahal mereka mengetahui kebenarannya. Mereka membutuhkan satu sama lainnya.

Namun, sepertinya bukan hanya mereka. Karena Siang dan Malam pun berpikir serupa. Mengatasnamakan kepentingan, mereka mulai menembus batas antara.

Yang akan memisahkan, atau mempertemukan.

.

.

.

Kyoto. 10:15

Pusat sejarah peradaban Jepang itu terlihat ramai. Seperti biasa. Memberikan suasana sesak yang memanjakan mata. Pun suara hingar bingar yang terdengar seolah senyap bagi telinga. Tidak bermakna apa-apa.

Di salah satu titik, sepunggung tegap tampak mematung. Terdiam kala matanya merefleksikan suatu benda berwujud monumen kecil ke dalam pikiran. Sebuah senyum pun tersungging rapi, mengukir wajah itu hingga tampak sedikit menyeramkan.

"Ketika suatu hal hanya dibayar kecil. Tidak sepantasnya. Bukankah begitu, Oda Nobunaga?" tanyanya pada nisan batu itu.

"Namun, kau seharusnya bersyukur. Masih ada yang mau memberikanmu suatu penghargaan atas usahamu menyatukan Jepang. Tidak sepertiku."

Ia maju selangkah. Lalu memendekkan tungkai demi menatap ukiran aksara Jepang yang menjadi ornamen bangunan itu. Menjadi saksi bisu atas kejadian yang terjadi 500 tahun silam. Mengubur suatu pemikiran semu untuk kembali menghidupkan keinginan belulang di baliknya.

"Hei, Nobunaga. Bisakah kau menceritakan bagaimana perasaanmu ketika mengetahui Mitsuhide menyerangmu dari belakang? Menyalahgunakan kepercayaanmu untuk sesuatu yang sia-sia. Jangan tanya mengapa. Sebab aku bertanya hanya untuk sesuatu yang sedang kualami saja."

Lelaki bersurai pirang itu terbahak sendiri mendengar dirinya yang menyampaikan curahan hatinya secara puitis. Bukan. Bukan seharusnya ia seperti ini. Karena sesuatu yang bermajas nan indah sudah lama terkeruk dari dirinya.

Sekelebat bayang 12 tahun lalu muncul di depannya. Merangkai diri menjadi opera angan yang membuat giginya gemeretuk. Mulai memaksa sukmanya yang rapuh itu untuk keluar dari persembunyian. Hingga akhirnya realistis kembali membawanya pada masa sekarang. Masa lalu? Itu hanya sebuah candaan baginya.

Ia berdiri. Membungkuk singkat sebagai penghormatan atas sesosok yang ia jadikan panutan. Ah, ia sedikit lupa. Ada setangkai mawar putih di genggaman, lupa ia hantarkan. Kembali, tubuh itu bungkuk ke hadapan. Kemudian berbalik setelah hormat untuk kali ke sekian.

Eksistensi netra ruby miliknya sedikit menghilang kala melihat ada sesosok hawa di depannya. Menyipit, akibat sebuah senyum yang tak dapat ia tahan. Memberi sapa sekaligus olokan pada calon lawan bicara.

"Wah, kau berubah. Ini masih lima menit lagi sebelum waktu pertemuan kita. Ke mana Shiiya yang dahulu datang bila sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang telah ditetapkan?" Tertelengkan, kepala itu memberikan rupa dengan satu alis terangkat. Tak peduli betapa masamnya seraut indah di depannya.

"Berhentilah mengucap masa lalu, Kugori. Kau hanya akan menemui masalah jika terus mengungkit sesuatu seperti itu." Akhirnya seuntai kalimat terucap mulus dari wanita bersurai cokelat muda itu. Irisnya yang berwarna sama menatap tajam pada ruby yang terlihat tenang, tak terpengaruh pada apa yang telah ia lontarkan.

Aruka Kugori terbahak mendengar seorang Seizouru Shiiya yang mengatakan hal seperti itu. Rasanya, waktu benar-benar menjungkir balikkan semua. Membuat sesuatu yang dulu berubah 180 derajat dari apa yang ia perkirakan.

"Well, Shiiya. Katakan. Apa alasanmu memerintahku seperti itu? Kau sudah kehilangan hak itu dari dulu, bukan?"

Aruka menyeringai melihat Seizouru yang menggelap. Salah satu keinginannya untuk memancing amarah lawan bicara sepertinya terlaksana. "Ah, aku lupa. Kau bukannya kehilangan. Kau memang tidak pernah memiliki hak itu. Tidak akan pernah, Shiiya," lanjutnya.

Aruka maju. Telunjuknya yang bersinergis dengan ibu jari segera menjepit dagu wanita itu. Lalu membawa sepotong tatapan kesal bercampur amarah untuk ia nikmati.

"Sekarang, apa selanjutnya? Kau akan memberikanku keterangan atas undangan mendadak ini ..."

Seizouru bergeming ketika ia rasa jemari lelaki itu yang bermain di sekitar pinggangnya. Yang kemudian terengkuh cepat kala wajah lelaki itu menghilang di ceruk lehernya. Refleks jemarinya menahan dada lelaki itu agar tak sampai kelepasan.

"... atau aku yang akan membawamu menuju hotel terbaik di sini, hm?" Bisikan itu mengalir lambat. Seolah hendak menggoda telinga wanita yang sedikit lebih muda dari dirinya itu.

Aruka mundur begitu mendapati gestur Seizouru yang menolak inginnya. Namun, ia tidak memaksa. Toh juga ia tidak terlalu mementingkan itu. Sedikit mencandai lawan bicara memang sering ia lakukan.

"Pupuskan keinginan mesummu itu, Kugori. Kau bisa mendapatkannya dari wanita lain. Namun tidak denganku," ujar Seizouru dingin. Aruka hanya mengendikkan bahu. Tak peduli apa yang wanita itu ucapkan padanya.

"Lagipula kita pernah melakukannya. Dulu." Aruka memandangi penampilan Seizouru dari atas ke bawah. Kemudian menyeringai kecil begitu melihat wanita itu benar-benar berubah.

"Ngomong-ngomong, mengapa kau mengatur tempat pertemuan kita di Kyoto? Terlebih ini di Memorial Tragedi Honno-ji. Apa kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah keturunan Akechi Mitsuhide, hm?" lanjutnya.

"Apa maksudmu mengatakan aku adalah keturunannya?"

"Karena kalian sama. Sama-sama mengkhianati kepercayaan atasan hanya untuk sesuatu yang benar-benar salah!"

Seizouru menutup mata. Berusaha meredam amarahnya yang terasa akan meledak setiap lelaki di depannya ini mengurai kata. Seolah ia tak memiliki pekerjaan lain selain menaikkan darah seseorang. Itu adalah pekerjaan paling menyebalkan menurutnya.

Keduanya terdiam. Sampai akhirnya Seizouru menoleh demi melihat ponselnya yang menyala. Sebuah panggilan meminta izin.

"Aku sudah menyiapkan tempat untuk membicarakan apa yang perlu."

"Sebuah hotel?"

"Bermimpilah sepuasmu, Kugori. Karena kau tahu itu tidak akan mungkin terjadi di dunia nyata!"

Seizouru berbalik, lalu mulai melangkah menuju tempat yang ia maksud. Tak peduli bahwa Aruka akan mengikuti atau tidak. Ia sudah mengajak.

*****

"Seleramu berubah. Bukan Europe style, huh?" ujar Aruka begitu mereka memasuki sebuah restoran bernuansa Jepang zaman dulu.

"Kau pikir kita ada di mana?! Ini Kyoto, Aho!" bentak Seizouru sedikit kasar. Merasa tak dihargai karena upayanya memesan tempat ini jauh-jauh hari.

"Iie. Bukan karena faktor itu bukan? Jelas sekali kau berubah. Biasanya kau akan memaksa untuk mencari tempat makan bergaya Eropa di mana pun kau berada. Beralasan ingin mendengar reinkarnasi Bethoven di sana."

Seizouru mengeryitkan alis. Heran karena tuturan yang tidak ia sangka itu. "Siapa sangka kau akan mengingatnya?"

Aruka pun mengukir senyum miring. Kemudian tangannya bergerak tenang, membuat gestur menolak atas tanggapan itu. "Mengingat untuk menjauhi. Apakah itu sudah cukup agar kau tidak terlalu percaya diri lagi, Shiiya?"

Tawa lelaki bersurai pirang itu menguar di udara melihat ekspresi Seizouru yang mengeras. Benar-benar suatu kepuasan melihat wanita itu terkail oleh amarah. Sementara lawannya memilih untuk tak menggubrisnya.

"To the point, Kugori. Apa maksudmu mengirim mereka untuk menemui mereka?"

"Seharusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu. Ada keperluan apa sehingga kau ingin mengambil para Straight sementara kau sudah memiliki Kiseki no Sedai?" Jemari yang bertaut menopang dagu yang bersih dari rambut itu

"Aku hanya mau melaksanakan komitmen yang dulu. Menyatukan pecahan permata yang kau pisahkan," ujar Seizouru. Sekilas, Aruka mendapati kegetiran di balik nada suara itu.

Seizouru menatap datar pada Aruka yang menyipit melihat dirinya. Sedetik kemudian, terdengar kekehan kecil dari lelaki tinggi itu.

"Komitmen? Kau mengatakan kau ingin melaksanakan komitmen? Bullshit!"

Suara keras terdengar dari meja yang digebrak secara kasar oleh Aruka. Tak ayal, Seizouru sedikit kaget karenanya.

"Katakan itu ketika kau bertemu dengan Shiori nanti," desisnya. Pun matanya menatap tajam pada Seizouru yang berusaha menahan diri.

"Jangan libatkan adikku dalam masalah ini! Biarkan ia tenang di Nirwana, Berengsek!"

"Kau seharusnya mengatakan itu di depan cermin, dua belas tahun lalu, saat kau dan Shiori mengacaukan semuanya!"

Aura sekitar memberat drastis. Terikuti oleh senyapnya suasana di dalam restoran itu. Kenyataan bahwa tempat itu sudah dipesan khusus membuat sang pemilik menatap cemas-takut pada pelanggannya yang bersitegang tak jauh dari tempatnya mengintip.

"Lupakan saja adikmu yang tak bisa digunakan itu. Untung saja aku dengan cepat membereskannya."

Wajah Seizouru mendadak pias mendengar kalimat yang langsung menohok dirinya itu. Wajah sang adik ketika bertemu maut membayang di benaknya. Membuat pemikiran gila memasuki otak.

"Ka—" Ucapan Seizouru terhenti begitu dengan cepat Aruka menganggukinya. Membenarkan pemikiran yang belum ia lontarkan. Terlebih ketika smirk muncul secara halus dari wajah lelaki itu.

"Jadi, selama dua belas tahun ini kau menganggap kematian Shiori hanya karena sakit belaka? Tak kusangka kau sebodoh itu untuk mengetahui kebenarannya, Shiiya."

Seizouru akan menjawab ketika pelayan berkimono datang membawakan hidangan dengan sedikit takut akibat perdebatan singkat tadi. Baik ia atau Aruka memilih untuk mengunci mulut hingga para pelayan itu selesai dengan meja mereka.

"Silakan dinikmati hidangannya, Tuan, Nyonya," ujar pelayan bertubuh sedang itu. Ia pun membungkuk hormat sebelum mundur secara perlahan meninggalkan tempat.

"Baiklah. Apakah aku harus melanjutkan ucapanku atau kau mungkin akan mempersilakanku dahulu sama seperti pelayan tadi?"

Tak ada tanggapan dari wanita itu. Membuat Aruka memilih opsi pertama.

"Kau terlalu bodoh hanya untuk mengetahui, bahwa akulah yang membunuh Akashi Shiori, adik kesayanganmu itu, Shiiya."

Bola mata beriris terang itu melebar sempurna. Mencoba untuk memanipulasi pikiran bahwa itu bukan kebenaran. Namun, fakta bahwa lelaki di depannya ini begitu licik membuatnya bungkam seribu kata.

"Tidak usah memintaku untuk menjelaskan detailnya. Karena semuanya belum usai. Straight dan Kiseki no Sedai pun sama. Tak lucu bukan jika mereka kehilangan salah satu penjelas ketika mungkin saja kau akan membunuhku setelah mendengar kisah adikmu itu?"

Tangan Aruka bergerak mengambil sumpit. Lalu mulai memasukkan makanan yang ada di depannya dengan gerakan yang teratur. "Tidak terlalu buruk," komentarnya.

Sementara Seizouru berusaha untuk menekan sisi emosionalnya yang merengsek ke permukaan. Sekelebat ingatan akan seorang wanita berambut merah membuat tanggul di matanya ingin pecah. Namun itu nanti. Bukan saat ini. Bukan di depan lelaki yang bertanggung jawab atas adiknya yang sudah tiada.

"Sepertinya kau benar-benar menganggapku orang asing sebab menangis di depanku saja kau tidak mampu. Padahal kau membutuhkannya, Baka,"ujar Aruka ringan. Ruby-nya terfokus pada Seizouru yang menegarkan diri.

"Sekarang, giliranku yang mengajukan pertanyaan. Kudengar dari Straight, mereka berhasil mendapatkan informasi bahwa yang mengirim target mereka bernama Seizouru Shiiya," ujar Aruka. Diletakkannya sumpit kembali ke tempat. Kemudian menatap lawan yang sepertinya sudah bisa mengontrol diri.

"Bahkan Masaomi membiarkan kesalahan itu pada Seijuurou dan kawan-kawannya," lanjutnya.

"Memangnya mengapa? Apa kau tersinggung jika aku memperkenalkan diri kepada mereka menggunakan marga ayahku?" jawab Seizouru ketus. Membuat Aruka mendecih pelan.

"Tentu saja. Tidak ada hukum yang berlaku di antara kita. Kau dan aku belum berpisah bukan? Jadi, kau masihlah Aruka Shiiya," timpal Aruka.

"Sudah kukatakan. Jangan terus menerus mengungkit masa lalu. Kuanggap, kematian Shiori menjadi pemutus hubungan di antara kita," ujar Seizouru.

"Hah ... bahkan setelah mati pun, adik iparku itu benar-benar masih merepotkan. Katakan Shiiya. Apa yang perlu aku lakukan agar arwah sialan itu tidak mengganggu rencanaku lagi?"

Tanpa sadar, Seizouru meremat pakaian bawahnya dengan kasar. Fakta bahwa Aruka adalah pembunuh adiknya sudah cukup untuk membuatnya menaikkan kadar kebencian kepada lelali itu. Terlebih ia yang kembali mengusik ketentraman Shiori dengan ucapan-ucapan tak berperikemanusiaan itu.

"Kembalikan Straight pada posisi semula sesuai komitmen. Biarkan mereka bergabung dengan Kiseki no Sedai!"

Seizouru menahan diri untuk menatap Aruka yang tak menggubris ucapannya. Lelaki itu terdiam. Seperti memikirkan sesuatu. Membuatnya sedikit berharap.

"Kalau itu yang kau inginkan, pergilah. Panggil Shiori untuk kembali menyatukan apa yang sudah ia rusak dua belas tahun lalu. Jika kau meminta kepadaku, kurasa aku tak keberatan untuk mengirim kau atau Masaomi untuk menyusulnya ke alam baka."

Sialan! Mengapa si Pirang ini benar-benar keras kepala?! Rutuk Seizouru kesal. Ia kemudian mengeryit melihat Aruka yang sudah selesai dengan hidangannya.

"Kukira aku akan mendapatkan sesuatu yang bagus begitu melihat nomormu terpampang di ponselku kala itu. Namun, kenyataannya? Seharusnya aku sudah menduga kau akan meminta itu. Kutarik ucapanku. Kau tidak pernah berubah, Shiiya. Kau masih bodoh seperti dulu."

Lelaki itu berdiri. Kemudian dengan langkah yang tegap meninggalkan tempat itu. Ketika ia sampai di sisi Seizouru, ia menyempatkan diri untuk berhenti.

"Ah, aku lupa. Tentunya kau memerlukan keberanian yang besar untuk mengajakku bertemu. Kuhargai itu. Karenanya, kurasa tak masalah bila mempertemukan mereka semua. Bukankah kau sudah menyuruh Kiseki no Sedai berkumpul? Baguslah. Kebetulan aku juga meminta hal yang sama pada Straight di Osaka."

Mata Seizouru melebar. Merasa tak percaya atas pendengarannya. Ini sesuatu yang mustahil terjadi baginya. Aruka mengabulkan keinginan seseorang untuk menghargainya? Tidak! Seizouru yakin ia tidak semudah itu untuk melakukannya. Ia pasti sudah menyiapkan sesuatu yang licik di balik ucapannya itu.

Seizouru menoleh ketika mendengar geretan pintu di belakangnya. Siluet bayangan yang terlihat menjauh ia ekori menggunakan mata. Setelah menghilang, ia benar-benar merasa suatu kelegaan yang luar biasa.

Walau entah mengapa hatinya merasa terluka.

.

.

.

Semuanya akan indah pada waktunya.

Kalimat yang dianggap lelucon oleh sang Siang. Membuatnya semakin memanaskan diri dengan garang. Tak memberikan kesempatan pada Malam untuk mengimbanginya dengan senang.

Seharusnya, mereka tidak melakukannya. Sayangnya, Waktu tidak bisa untuk memutar kembali semuanya.

.

.

.

Fyuh ... akhirnya bisa revisi juga. Sakit mata kalau lihat postingan dari aplikasinya :V


Well, setelah lihat drafts, ternyata Book ini dapat jatah 22 Chapter ya? It's OK. Kemungkinan nanti setelah ini selesai, akan dilanjutkan ke Flutterby: Diaries. Tapi itu masih kemungkinan.

Iya. Kemungkinan di-up, kemungkinan juga jadi asupan pribadi Author. Tapi sepertinya yang kedua deh :D

Oke. Hope you like it!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top