13. The Last Sakura Before Auntumn
DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI
(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)
Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah 'permainan". Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.
.
.
.
Bukan salah Purnama jika terpesona pada Surya. Pun demikian sebaliknya. Membuat mereka melupakan batas sementara. Mencoba menemui sejumput takdir di sebalik benang merah.
Namun tetap saja. Di sini ego masih berkuasa. Menunjukkan pada mereka, bahwa sebuah obsesi itu lebih dari sekadar keinginan biasa.
Yang tak bisa ditentang, bahkan oleh Sang Semesta.
.
.
.
Touou Gakuen. 09:50
"Dai-chan!"
Tak ada sahutan.
"Dai-chan! Bangun!"
Tetap tak ada reaksi yang didapatkan. Membuat gadis bersurai pink itu segera menendang pinggang pemilik surai kontras yang tergeletak bak korban bencana di bawahnya.
"Ahomine!! Bangun!!" Kali ini, ia dengan segenap tenaga mengeluarkan oktaf tertinggi dari pita suaranya. Berharap dapat memberi kehidupan pada sosok di bawah sana.
Kulit mata eksotik itu bergerak, mengerjap, sebelum akhirnya menampilkan iris sewarna surainya. Ia menatap heran pada si gadis berisi itu, kemudian memilih untuk kembali menyembunyikan netranya.
"Dai-chan! Ini gawat!" teriak gadis itu lagi. Kali ini berhasil. Dengan gerakan terpatah-patah, lelaki bertubuh tegap itu membangunkan dirinya.
"Ada apa, Satsuki? Apa kau tidak lihat aku tengah tidur, hm?" Ia pun menguap. Menutup separuh wajah dengan tangan besarnya.
"Justru karena kau yang tengah tidur makanya aku membangunkanmu! Aku ingin data yang kemarin," ujar Momoi Satsuki seraya mengulurkan tangan kosongnya pada Aomine Daiki, sahabat masa kecilnya.
"Ha? Data apa yang kau maksud?"
"Tentu saja data dari hasil pengamatanmu. Bukankah Akashi-kun sudah menyuruh kita untuk mencatat setiap gerak gerik para murid baru? Itu yang kusebut data," ucap Momoi memasang wajah seriusnya. Tentunya ia masih ingat bagaimana lelaki bersurai darah itu meminta dirinya untuk mengumpulkan serta menganalisis semua pengamatan yang ada.
"Ah, entahlah ... aku tidak ingat sudah memberitahumu tentang itu"
"Dai-chan!!"
Akhirnya, Aomine mau mengalah. Ia pun segera menceritakan secara singkat bagaimana kejadian ketika ia dan Fukuda terpaksa bertemu.
"Hanya itu? Jadi kau kalah?" ujar Momoi tak percaya. Sementara tangannya bersiap kembali mencatat apa yang lelaki itu katakan.
"Ya, hanya itu. Entahlah. Aku tidak bisa menyebut itu sebagai kekalahan, di satu sisi juga bukan suatu kemenanangan," jawab Aomine.
Momoi mengangguk. Diam-diam ia mulai mencoba menyusun strategi untuk membuktikan apa yang lelaki itu ceritakan. Dan ia tahu siapa yang akan menjawab itu semua.
"Yosh! Sudah selesai," bisik Momoi seraya menyimpan catatan kecil yang selalu ia bawa ke dalam saku jaketnya. Ia akan pergi ketika iris sewarna sakura itu bersirobok dengan tubuh eksotis yang kembali menggelepar.
"Hei! Bangun Aho!" teriaknya lagi.
"Ada apa lagi, Satsuki? Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau kan? Jadi biarkan aku kembali tidur."
"Tapi ini sudah masuk pelajaran Sejarah, Baka!!"
Sontak Aomine terbangun. Ingatan akan sensei yang mengajar mata pelajaran tersebut menghiasi pelupuk matanya. Menyusul bayangan akan mantan kapten basket bermegane yang telah lulus. Kedua orang itu memiliki sifat yang nyaris sama. Membuat Aomine mengerang kesal.
Selanjutnya, dengan mudah Momoi kembali ke kelas. Sekaligus menggiring Aomine yang masih terkantuk-kantuk.
*****
"Fukuda-san, apa kau yakin bahwa Aomine-kun membicarakan tentang Aru-jisama?" tanya Yuka masih tak percaya.
"Harus berapa kali kukatakan, Yuka-san? Dia bahkan dengan percaya diri langsung mengatakan jika lelaki yang bernama Kugori lah yang mengirim kita untuk menyelidiki tentang Kiseki no Sedai," jawab Fukuda seraya diam-diam memasukkan nori kering ke dalam mulutnya,di tengah-tengah sensei yang mengajar.
Yuka terdiam. Mencoba menghubungkan semua sebab akibat yang terjadi belakangan ini. "Kurasa semua kita, baik Straight maupun Kiseki no Sedai, sekarang memilih bermain pasif daripada agresif," gumamnya.
"Ha? Pasif-agresif? Apakah seperti uke—"
Seketika itu juga Yuka menjitak kepala Fukuda sedikit keras. "Jaga pikiranmu itu. Kita masih berada di lingkungan sekolah," ujarnya kesal. Sementara Fukuda memilih menanggapinya dengan cengiran.
"Tapi bukankah sama saja dengan Aomine-kun yang kadang membawa majalah Horikita Mai ke sekolah?" tanya Fukuda dengan suara yang sedikit keras.
Sontak yang empunya nama menoleh ke belakang. Merasa terpanggil atas suara Fukuda yang langsung pura-pura menulis catatan.
"Ada apa kau memanggilku?" tanya Aomine.
"Aku tidak pernah memanggilmu, Aho! Sepertinya kau harus memeriksakan diri ke dokter THT sepulang sekolah," jawab Fukuda. Namun hal tersebut berkebalikan dengan apa yang disampaikan oleh tatapannya.
Aomine terdiam. Mungkin menyadari apa yang terjadi jika ia memaksakan diri untuk meladeni jawaban tersebut. Setelah menatap Fukuda sedikit tajam, ia pun kembali menghadap ke depan.
"Fyuh ... untung tidak ketahuan," bisik Fukuda kepada gadis bersurai coklat terang di sampingnya.
"Kau seharusnya menjaga sikapmu, Fukuda-san. Sepertinya aku akan menyarankan Aru-jisama untuk menambah pendidikan etika dan moral ketika kita sudah balik ke Yobushina," ujar Yuka dingin. Membuat lawan bicaranya itu mencebikkan bibir, kesal.
Sementara di depan, Momoi segera menyodorkan sobekan kertas yang dilipat kepada Aomine. Lelaki itu mengambilnya dengan heran, namun tetap membuka kertas itu dengan penasaran.
Kau dengar apa yang mereka katakan? Kurasa mereka sudah sedikit terancam dengan gertakan kita. Oleh karena itu, tugasmu adalah menjauhkan Fukuda-san dari Yuka-san sepulang sekolah. Aku punya rencana yang bagus untuk ini.
"Huh?"
Aomine segera menatap Momoi yang tengah memerhatikan pelajaran. Ditunggunya sampai gadis itu melirik dirinya.
"Apa maksudmu, Satsuki?!" bentaknya kecil.
Tapi Momoi tidak menjawab. Ia hanya memberikan senyum manisnya kepada lelaki itu, sebelum kembali tidak memedulikan Aomine yang merutuki nasibnya.
*****
Sepulang sekolah.
Mr. Storm
Aku tidak tahu apa yang tengah kalian perbuat di tempat masing-masing. Tapi aku menemukan adanya 20% kemungkinan gagal dalam misi kalian saat ini.
Terserah bagaimana cara kalian melakukannya, kalian harus membuatnya menjadi 0% kembali! Aku mempercayakan ini pada kalian, Straight.
Fukuda dan Yuka saling menatap satu sama lain, mengernyit keheranan atas pesan yang masuk sedari bel pulang sekolah itu.
"Jadi ... kemungkinan kita gagal itu sebanyak ini?" tanya Fukuda tak percaya.
Yuka pun mengembuskan napas. Berat. "Kuyakin Aru-jisama tidak menyukainya. Setelah ini, ia tidak akan berhenti meneror kita dengan pesan semacam ini sampai kegagalan yang dimaksud berubah menjadi tidak ada," ujarnya.
Fukuda mengangguk. Kemudian mendesis kecil begitu mengingat apa yang akan Aruka lakukan pada mereka jika mereka berada di Yobushina dalam keadaan seperti ini.
"Oh ya, Yuka-san ..."
"Hm? Ada apa?"
"Menu hari ini ... apa?" tanya Fukuda hati-hati. Selama menjalankan misi ini, mereka berdua berbagi apartemen. Dan selama itu pula, hanya Yuka yang memasak untuk mereka berdua.
"Ah, gomen nasai, Fukuda-san. Sepertinya hari ini kau harus membeli makanan di luar. Karena aku ada piket dan tugas kelompok di sekolah. Jadi, kemungkinan aku pulangnya malam," jawab Yuka.
Fukuda pun mengangguki. Kemudian membereskan barang-barangnya seraya membayangkan apa yang akan mengisi perutnya nanti.
"Yuka-san ... aku pulang duluan ya. Jaa!"
Yuka hanya tersenyum ketika tangannya melambai singkat pada gadis itu. Setelah itu, ia kembali mencatat pelajaran yang belum sempat ia salin dari papan.
Huft ... sebenarnya aku setuju dengan Aru-jisama. Terlalu banyak kejanggalan yang membuat misi ini akan gagal. Tapi, bukankah seharusnya ia mengetahui hal itu dari sebelum misi ini ditetapkan? Ah, ini benar-benar misi yang aneh. Gumam Yuka.
Di tengah asyiknya gadis itu dengan kegiatannya, tiba-tiba ia mendapatkan siluet seseorang yang terlihat menyeberangi kelas dengan cepat. Ia pun menoleh ke arah bayangan itu berlari. Ia pun mendapati siluet itu berubah menjadi sosok bersurai pink sepinggang.
"Ah ... Kukira siapa. Ternyata Momoi-san ya?" Yuka tersenyum hangat pada gadis itu. Namun malah dibalas oleh senyum datar nan dingin dari Momoi.
"Nee ... Yuka-san..."
"Ya??"
Yuka hanya memiringkan sedikit wajahnya. Menanggapi Momoi sekaligus tetap mengerjakan catatannya.
"Bukannya kau harus menatap orang jika berbicara dengannya, Yuka-san?"
"Apa maksudmu—"
Yuka segera terdiam begitu merasakan sebuah logam dingin menyentuh bawah dagunya. Mengembuskan napas, ia pun tersenyum kecil tanpa berusaha melepaskan diri dari benda mengkilap itu.
"Mengapa kau bersusah payah melakukan ini, Momoi-san?" tanyanya tenang. Sementara tangannya diam-diam merogoh saku rok tanpa sepengatahuan Momoi.
"Maka hal yang sama akan kutanyakan padamu, Yuka Yoshioka-san. Mengapa kau mau repot-repot mengurusi kehidupan kami bersepuluh? Bukankah itu tidak ada gunanya bagimu dan kawan-kawanmu?" ucap Momoi. Tangannya sesekali menekan logam panjang itu pada kulit putih Yuka. Tanpa memedulikan bahwa ada sedikit darah yang merembes dari sana.
"Mau kuajak menemui pimpinan kami? Ia tentunya dengan senang hati akan menjawab seluruh pertanyaanmu sedetailnya, lho~" jawab Yuka masih dengan nada yang sama. Dapat ia rasakan batang tenggoroknya sedikit basah. Namun ia tetap tak bergeming.
"Wah~ sepertinya itu menarik. Apa boleh aku mengajak seluruh Kiseki no Sedai bergabung dengan kalian? Tentunya juga seseorang akan senang hati ikut dalam hal itu," balas Momoi.
"Tentu saja. Mau kuberitahukan sekarang kepada Mr. Storm?"
Berkata seperti itu, Yuka dengan cepat menangkis benda yang bersarang di bawah dagunya. Lalu dengan cepat membalik keadaan pada Momoi yang sedikit tak siap karena itu. Dengan pose yang anggun, Yuka pun menodongkan sebuah bolpoin dengan ujung yang sangat runcing. Tepat di depan mata Momoi.
"Sekarang, masih yakin mau bertemu dengan Mr. Storm?" Yuka menyeringai tipis pada gadis sakura itu.
"Apakah kalian memanggil Kugori-san dengan sebutan Mr. Storm? Itu sepertinya bahan laporan yang menarik, bukan?" balas Momoi tenang. Walau bila diperhatikan, ia berusaha menjauhkan wajahnya dari ujung bolpoin itu.
"Dan akan menjadi bahan yang bagus juga jika aku bisa menghabisi target setipe dirimu, Momoi-san."
Keduanya terdiam. Hanya mengisyaratkan kata dalam tatapan, juga dari gesture tubuh mereka. Mencoba membunuh argument lawan dalam angan.
"Nee, Yuka-san ... bagaimana jika aku menawarimu sesuatu yang bagus?" ujar Momoi tenang.
Yuka tak membalas. Tubuhnya hanya bergerak untuk memperbaiki posisi, bersiap jika seanDainya Momoi akan menyerang.
"Bagaimana jika kita saling bertukar informasi? Tentunya itu akan menguntungkan kita berdua bukan? Karena kebetulan kita sama-sama harus mencari dan mengumpulkan informasi dari pihak lawan," lanjutnya.
"Hm? Terdengar menarik. Boleh saja," ucap Yuka tenang. Sementara di depannya, Momoi menatap sedikit tak percaya melihat lawan yang begitu mudah mengiyakan pintanya.
"Tapi darimana aku tahu jika kau tidak berbohong atau semacamnya, Momoi-san? Pihak yang menawarkan harus memberikan jaminan itu terlebih dahulu. Dan kuyakin kau tahu itu."
"Aku adalah manager yang mengurus Kiseki no Sedai sedari SMP. Keahlianku mengumpulkan dan membentuk informasi sudah tidak diragukan lagi. Bahkan aku bisa mengetahui bagaimana seseorang akan berkembang hanya dari secuil datanya. Walau itu dari pihak lawan sekalipun," balas Momoi dingin. Ia merasa terhina karena secara tak langsung Yuka telah meremehkan dirinya.
"Tapi, apa kau juga bisa menebak perkembangan perasaan Kuroko-kun kepadamu, di saat ia sendiri hanya menganggapmu sebagai teman?"
Momoi seketika merona mendengar hal itu. namun di satu sisi itu sangat menohok baginya. Tapi terlepas daripada itu, darimana Yuka mengetahui semuanya?!
"J-jangan mencoba mengalihkan pembicaraan kita Yuka-san!" teriaknya.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Momoi Satsuki-san. Sebenarnya, aku hanya menyayangkan. Betapa tepatnya Mr. Storm mengirimnya pada kekasih hatimu itu," balas Yuka. Sebuah semringah tipis ia sunggingkan pada Momoi yang sekarang sedikit pucat.
"A-apa maksudmu?! Siapa yang dikirim oleh Kugori-san?!"
"Kau bisa memanggilnya Windy. Ia hanya seorang adik kecil yang sayangnya memiliki sesuatu yang menyimpang di pikirannya. Kuyakin ia akan sangat bersenang-senang di Seirin mengingat ada Kuroko-kun dan Kagami-kun di sana."
Momoi mengernyit heran. Benar-benar dibuat keheranan atas pernyataan Yuka. Mengapa harus berhubungan dengan Kuroko dan Kagami? Tapi daripada itu, sesuatu tiba-tiba menyadarkannya.
"Berhenti membual hal konyol semacam itu, Yuka-san! Kau harus menjawab penawaran yang kuberikan padamu tadi!"
"Apa kau tidak menyadarinya, Momoi-san? Sudah kubilang boleh saja kita berbagi informasi tentang pekerjaan kita masing-masing. Dan aku sudah melakukannya duluan dengan memberitahumu tentang Kuroko-kun."
Dalam diamnya, Momoi teringat akan ucapan Seizouru yang mengingatkannya akan tipe pendekatan Yuka yang terlalu "lembut". Membuatnya menyadari, bahwa ia sudah terperangkap. Memalingkan muka, ia mendecih pelan.
"Ara ara~ Tadi seingatku ada yang bilang kalau berbicara dengan orang harus melihat wajahnya ya? Apakah kau yang memberitahuku tentang itu, Momoi-san?" Yuka pun tersenyum. Mengejek.
"Diam kau!" bentak Momoi gusar.
"Aku tidak akan diam sebelum kau membalas informasiku juga. Kau yang menawari, maka seharusnya kau juga mempertanggung jawabkannya!"
"..."
"Baiklah. Sepertinya integritasmu sebagai manager Kiseki no Sedai itu hanya bualan semata. Mengingat kau bahkan tidak bisa menyesuaikan antara perkataan dan perbuatanmu."
"Apa yang harus kulakukan untuk membungkam mulutmu, Yuka-san?!" tanya Momoi dingin. Seluruh rasa pada wajahnya tergantikan oleh segurat kedataran yang terlihat mengancam.
"Sudah kukatakan. Berikan aku informasi tentang apa yang kalian lakukan. Maka aku akan diam dengan sendirinya." Yuka pun duduk di kursi terdekat. Seolah memberikan waktu pada Momoi untuk memenuhi permintaannya.
"Baiklah. Apa yang ingin kau ketahui dariku, Yuka Yoshioka-san?"
"Sederhana saja. Siapa yang memberi kalian perintah untuk melakukan semua ini? Dan juga, sejak kapan kalian mengetahui ini, hm?"
"Sesuai janji. Kau hanya memberiku satu informasi. Maka aku juga akan memberimu hanya satu jawaban."
Yuka tersenyum melihat Momoi yang meniru dirinya. Mempermainkan dan membolak-balikkan ucapan lawan. "Kalau begitu, jawaban untuk pertanyaan kedua saja," ucapnya.
Netra sakura itu menyipit begitu melihat Yuka yang mengambil keputusan begitu cepat. Seharusnya, untuk masalah seperti ini, ia memerlukan waktu bukan?
"Ada apa? Mengapa kau tidak segera menjawab pertanyaanku?" ucap Yuka.
"Mengapa kau menanyakan hal itu? Kukira kau akan memilih yang pertama," ujar Momoi.
"Jawab saja. Kau tidak ada hak untuk menanyakan pilihanku, bukan?" senyum tipis dari Yuka berhasil membuat Momoi menggeram kesal.
"Sebulan. Sebulan setelah kepindahan kalian semua, kami sudah mengetahuinya. Dia memberitahu kami informasi lengkap tentang kalian. Juga memerintahkan kami untuk melakukan hal yang sama." Ekspresi Momoi tak berubah. Tetap dingin seperti sebelumnya.
"Oh, souka ..." Yuka pun mengangguk kecil.
"Ini terlalu cepat. Lebih cepat daripada sebelumnya," gumamnya pelan. Yuka mendongak begitu melihat Momoi yang melewatinya. Tanpa mengucap sepatah kata, gadis itu bahkan sengaja menyenggol lututnya. Senyum pun Yuka gunakan untuk menanggapinya.
Yuka segera mengemasi barang-arangnya. Rencananya untuk berdiam di sekolah sepertinya batal. Ia harus melaporkan semua ini. Dan tak ada waktu untuk itu jika ia sampai di apartemennya ketika malam.
"Momoi-san!" panggil Yuka pada Momoi yang akan melewati pintu. Namun sepertinya gadis itu menulikan dirinya. Sehingga Yuka terpaksa menyusulnya dengan cepat.
Sampai di sisi gadis itu, berusaha menyejajarkan langkah, Yuka pun berbisik, "hei, bagaimana rasanya? Bukankah rencananya Aomine-kun akan menghalagi Fukuda-san dariku, lalu kau akan menginterogasiku sepulang sekolahkan? Namun pada kenyataannya, malah aku yang membalikkan fakta."
Momoi segera terdiam. Dirinya yang berusaha untuk tak acuh pada Yuka hancur sudah. Terlebih, darimana ia tahu tentang rencana mereka berdua itu?
"Jangan menatapku dengan heran seperti itu Momoi-san. Aomine-kun terlalu pintar untuk menyimpan kertas pemberianmu. Aku melihatnya membuang kertas tersebut di bawah kolong meja ketika waktu istirahat. Jadi, selanjutnya aku pun meminta Fukuda-san untuk segera pulang."
Yuka tersenyum kecil pada sang lawan. Sebelum akhirnya meninggalkan Momoi yang mematung, menatap tak percaya atas apa yang ia dengar.
.
.
Bukannya tak mungkin. Hanya saja benang merah belum sepenuhnya terjalin. Masih terlalu kusut untuk ikut bermain. Bermain dalam sebuah permainan yang benar-benar menerbangkan laksana angin.
Jadi, apakah mereka akan segera berhenti begitu ternyata takdir tak berpihak lagi?
.
.
Fyuh ... akhirnya tinggal beberapa chapter lagi baru tamat //ditimpuk// padahal di drafts-nya Flutterby ada 22 chapter ...
Yosh, untung saja author sudah minta izin kepada pemilik OC. Jadi, gak khawatir walau di sini dia rada OOC.
Eh, gomen nasai jika chapter kali ini kurang nge-feel. Sudah lama drafts ini berdebu.
Minggu depan mungkin update-nya telat. Soalnya author ada lomba yang harus diikuti. Jadi dari sekarang, author meminta maaf.
Hope you like it!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top