07. When The Day Meet Night
DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI
(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)
Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah 'permainan'. Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.
.
.
.
Siang dan Malam memiliki serpihan. Tentu saja itu cahaya dan kegelapan. Pasangan serasi yang mematikan. Walau sebenarnya itu adalah dambaan.
Dan kini, mereka akan bertemu dalam satu laga. Mencoba membuktikan bahwa ego pribadi lebih berkuasa. Walau di kedalaman sana, mereka tertarik dengan persamaan di antara mereka.
Jadi, Siang yang akan bermalam atau Malam yang menyiangi dirinya?
.
.
Touou Gakuen. 10:15
Pelajaran matematika kali ini sungguh membosankan. Membuat Fukuda beberapa kali meloloskan oksigen secara paksa dari mulutnya. Sesekali ia melirik Yuka di sampingnya. Sosok itu masih saja berkutat dengan catatan yang ia buat. Segera saja Fukuda memasang tampang eneg.
"Cih. Mengapa Yuka-san sangat menyukai setan angka ini?!" batin Fukuda sejalan dengan pemikirannya. Tak segaja ia menatap ke depan. Tempat di mana mangsa jelmaan cokelatnya itu berada.
"Hei, kurasa aku bisa bermain sebentar dengannya," gumam gadis itu kembali. Langsung saja, kakinya yang bebas segera bertengger di kursi Aomine. Sekali hentak, ia pun mendorongnya.
Aomine yang mencoba untuk meloloskan dirinya dari cengkraman deretan angka itu membuka mata ketika merasakan hentakan kecil pada kursinya. Tak peduli, makhluk tan itu kembali mengatupkan mata.
Duk.
Aomine masih tidak mengacuhkannya.
Duk.
"Tch!" wajah tampan itu segera menghadap ke belakang. Ia mendapati sepasang murid baru yang sibuk menyalin catatan. Alisnya pun mengeryit heran.
Padahal kuyakin kalau gadis itu yang menendang kursiku. Batinnya. Ia pun memandang Momoi yang juga melakukan hal yang sama. Kemudian segera menyikut gadis itu pelan.
"Oy, Satsuki!"
Momoi menoleh. Tatapannya meminta pertanggungjawaban Aomine. "Ada apa, Dai-chan?" bisiknya balik.
"Apa kau tak merasa aneh dengan kedua murid baru itu?"
"Untuk saat ini, tidak. Mereka masih terlihat normal untuk kategori orang yang mencurigakan."
"Apa mungkin bibinya Akashi itu membodohi kita ya?"
"Kau yang bodoh, Dai-chan! Jika ia salah, lalu darimana ia tahu tentang mereka? Bahkan aku dapat email dari Akashi-kun kalau ia diserang oleh murid baru di kelasnya tempo hari!" Seraya berkata seperti itu, Momoi segera mengetukkan ujung bolpoinnya dengan keras ke arah surai navy itu.
"Ittai!" jerit Aomine tertahan.
Kontan saja mereka berdua menjadi bahan sorotan seisi kelas. Bahkan Sensei yang mengajar pun menegur mereka.
"Aomine-kun! Momoi-san! Apa yang tengah kalian ributkan itu?" tanyanya garang.
"T-tidak ada, Sensei," cicit Momoi. Namun alasannya tidak diterima oleh Sensei yang memang terkenal sangar itu.
"Saya tidak menerima alasan apapun. Kalian memang sering ribut di kelas. Oleh karena itu..." Sensei melirik sebentar menuju belakang punggung Aomine.
"Fukuda-san?"
"Ya, Sensei?" Fukuda segera menghentikan aktifitas menulisnya.
"Kau bertukar tempatlah dengan Momoi-san. Untuk seharian ini."
Fukuda meneguk ludah. Itu berarti, ia akan duduk dengan Aomine?! Decihan pelan pun segera mengiringi langkahnya dan Momoi yang membereskan barang.
Sempat terjadi deathglare di antara mereka berdua. Sebelum akhirnya dengan sedikit terpaksa, Fukuda melesakkan tubuhnya ke bawah.
Tidak ada yang berani berkomentar atas kejadian itu. Sebelum akhirnya kelas kembali hidup dengan penjelasan lanjutan dari Sensei.
Fukuda akan melanjutkan pekerjaannya tepat ketika jam tangan methalic-nya berkedip. Ada pesan masuk.
Auntumn. 10:20
Aku tidak nyaman dengan Momoi-san. Dia selalu melirik ke arahku.
Dengan cepat, Fukuda mengetikkan balasan.
Day. 10:20
Sabarlah Yuka-san. Setidaknya posisi ini hanya berlangsung untuk hari ini saja.
Ia pun mengembuskan napas begitu tak mendapatkan balasan dari Yuka. Refleks ia pun melirik Aomine. Tampak pemuda itu berkali-kali menguap lebar.
Sadar diperhatikan, Aomine pun melirik balik. Sebuah seringai kecil pun ia dapatkan dari perbuatannya itu.
"Heh? Dia menantangku ya? Tak masalah. Karena yang bisa mengalahkan aku hanyalah aku seorang." Aomine menggumamkan itu ketika memasang smirk balasan.
*****
Suara besi yang terbentur terdengar berulang-ulang ketika kaki tegap itu menaiki tangga di genggamannya. Tujuannya sudah jelas atap sekolah. Tempat yang benar-benar menentramkan untuk merealisasikan ilusi pikiran.
Dahi Aomine berkerut ketika ia mendapati sesosok perempuan yang membelakanginya. Perempuan itu terduduk di pinggir rooftop. Seolah tak takut dengan ketinggian yang mengawasinya dari bawah.
Entah mengapa, neuron motorik di otak Aomine kali ini bekerja dengan cepat. Membuat sebuah pesan untuk segera dituruti oleh badan itu. Dengan mengendap-ngendap, Aomine pun sampai di belakang sosok itu.
Hee? Jadi dia membaca majalah itu? Tak kusangka perkataan Seizouru-san ternyata benar. Pikir Aomine begitu melihat lembaran yang ia intip dari belakang. Di sana, tertera banyak perenang dalam berbagai model dan posisi. Tentunya itu adalah lelaki yang ber-topless ria.
"Nee, apakah milikmu sama seperti mereka, Aomine-kun?"
Aomine segera terlonjak kaget hingga terjatuh ke belakang begitu mendengarnya. Sementara perempuan itu, Fukuda, hanya terkekeh kecil. Sama sekali tak merasa aneh dengan pertanyaannya yang ambigu itu.
"S-sejak kapan?!" ucap Aomine gugup. Perlahan, ia pun bangkit dan segera memasang tampang bodohnya.
"Tentunya sejak kau menjejak pada tangga itu, Aomine-kun. Kau kira suara kakimu yang khas itu tidak membuyarkan konsentrasi pikiranku yang tengah ber-fangirling-an?"
Kepala Aomine tertelengkan. Sebelum akhirnya ia tertawa keras. "Hahaha... kukira murid baru dengan penampilan polos sepertimu tidak bisa melakukan hal itu," ujarnya.
Fukuda tersenyum masam. Perlahan, ia menutup benda di genggamannya. Lalu menaruhnya di belakang punggung. "Yeah, begitulah. Aku bukan sepertimu Aomine-kun. Yang sekali lihat saja, sudah ketahuan kalau kau adalah fans berat Horikita Mai-chan," celetuk gadis itu seraya tersenyum.
Sontak Aomine bungkam. Itu memang benar. Namun nada suara Fukuda terlalu membenarkan hal itu.
"Tak perlu terkejut begitu. Wajar saja. Sewajar kau yang sanggup memakan satu kantung burger sekali waktu."
"Darimana kau tahu tentang itu?"
"Darimana? Ya dari asalnya."
Diam-diam Aomine cengo di balik wajahnya yang menegang itu. Sikap Fukuda yang seperti itu memupuskan fakta kalau dia adalah seorang mata-mata di matanya. Namun Aomine tak ambil pusing. Ia harus membuktikan hal itu dengan caranya sendiri.
"Oy Fukuda!" Aomine maju perlangkah. Kali ini, jarak antara mereka yang dipupuskan.
"Ada apa?" Fukuda melakukan hal yang sama. Sel tubuhnya bersiaga. Mencoba meminimalisir kejutan yang akan datang.
"Apa tujuanmu ke sini, hm? Jangan berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kau adalah mata-mata dari seseorang bernama Kugori."
Sebenarnya, Aomine asal-asalan menyebutkan nama –yang menurut Masaomi adalah suami dari Seizouru– itu sebagai dalang dari datangnya Fukuda dan Yuka ke sekolah mereka. Dan sekarang, ia yakin kalau tebakannya itu benar adanya. Buktinya? Fukuda sudah memucat seperti mayat.
Sial! Darimana dia mengetahui nama kecilnya Aru-jisama?! Ini benar-benar berbahaya. Patut Arisa bilang kalau rencana ini sudah terbongkar! Fukuda bergerak ke belakang mengikuti pemikirannya. Dan dalam hati, dia kembali menyumpahi semua ini.
"Ayo jawab. Bukankah itu benar?" tanya Aomine. Satu sisi dirinya cengo. Sejak kapan maniak basket itu pintar menganalisa seperti ini?
"Untuk apa aku menjawabnya? Apakah kau akan menangis bombay jika aku tidak mau memberikan jawaban pertanyaanmu itu?" tanya Fukuda. Mencoba mengalihkan pemikiran Aomine tentang paman mereka itu.
Aomine menggeleng otomatis. Demi apa ia akan menangis jika tidak mendapatkan jawaban dari gadis di depannya itu? Oh ayolah. Dia bukan jiwa seperti Momoi yang terharu 'hanya' karena sebatang stik es krim dari Kuroko.
"Tentu saja tidak. Kuyakin kau akan menangis jika majalah-majalah hentai kesayanganmu itu yang bermasalah. Iya kan?" Fukuda menaikkan satu alisnya. Memasang gaya yang akan meyakinkan makhluk tan di depannya.
Ingin rasanya Fukuda tertawa melihat muka Aomine yang seketika berkerut hebat. Mungkin pikirannya sedang merangkai cerita berdasarkan sugesti dari Fukuda tadi.
"By the way, kau membuang waktuku, Aomine-kun. Ya sudah lah. Jaa!"
Aomine terkejut begitu melihat Fukuda yang tanpa sungkan langsung meloncat ke bawah gedung. Padahal bangunan itu lebih dari tiga meter.
"Oy Fukuda! Kau belum menjawab pertanyaanku, hei!"
Aomine segera ikut-ikutan melompat begitu melihat Fukuda yang berlari menjauh. Namun yang ia herankan, jalur yang diambil gadis itu bukanlah jalan menuju kelas mereka. Terlihat gadis itu membelokkan langkahnya menuju halaman belakang sekolah.
Di satu sisi, Fukuda terus menjejak tanah dengan keras. Sesekali ia menengok ke belakang. Memastikan bahwa lelaki itu tak mengikutinya karena ia tahu, langkahnya kini sudah memasuki luar teritori sekolah.
Jam methalic-nya lagi-lagi berkedip heran. Mungkin pesan dari Yuka yang khawatir terhadap dirinya yang tak kunjung kembali. Tapi masa bodoh. Yang Fukuda lakukan saat ini hanyalah menghindar dari Aomine tentang Aruka.
"Hosh, hosh, hosh..."
Di balik sebuah pinus besar, tungkai Fukuda berhenti beroperasi. Segera ia terduduk. Pandangan matanya sedikit kabur karena terlalu banyak memakan energi ketika berlari. Seraya mengatur napas, ia membuka pesan yang dari tadi memborbardir jamnya.
What the hell! Banyak sekali panggilan dari Yuka-san. Tch. Mungkinkah ada sesuatu yang genting di sana? Batin Fukuda seraya membuka call log dan pesan yang memang menumpuk di jamnya.
Auntumn. 13:50.
Fukuda-san, kau ada di mana? Kita tengah ada piket untuk membersihkan kelas lho.
Auntumn. 13:55.
Fukuda-san? Apa kau ketiduran lagi gara-gara membaca majalah itu?
Auntumn. 14:00.
Jangan bilang kau bersama dengan Aomine-kun?! Dia juga tidak ada di kelas. Dan sekarang, Momoi-san sedang mencarinya.
Tch. Dasar pekaan! Rutuknya seraya mencoba mengabaikan pesan itu. Namun mengingat Yuka yang dua tahun lebih tua darinya, akhirnya dengan berat hati Fukuda membeberkan apa yang tengah berlaku.
Day. 14:03.
Iya. Aku tengah dikejar oleh si Negro itu. Entah darimana, ia mengetahui nama kecil Aru-jisama. Argh. Kau tahu? Timingnya tidak tepat. Ketika aku tengah menikmati "bento"-ku, ia memergokiku di atap. Tapi jujur saja. Aku penasaran juga akan roti yang mungkin ada pada tubuh si Dakian itu. Mungkin roti rasa cokelat enak juga ya?
"Terserah Yuka-san mau melotot atau apa membaca pesanku, tapi itu yang terjadi kan?" tanyanya pada diri sendiri. Seketika juga, muncul bayangan wajah Yuka yang melotot dengan mata coklatnya. Dan itu selalu terjadi jika para Straight mulai membelok.
Krek.
Suara ranting patah segera membuyarkan fokus Fukuda. Refleks kepalanya melewati batangan pinus guna melihat ke belakang. Dan seketika itu juga ia terkejut melihat penampakan di depannya.
What a heaven! Biar kata ia targetku, tapi jika gayanya seperti itu, justru aku yang duluan pingsan! Fukuda pun segera menutup hidungnya begitu membatin seperti itu.
Di belakang sana, surga bagi Fukuda terjadi. Jelas sekali Aomine yang berdiri dengan napas terengah-engah. Tangan kekar itu pun mengangkat baju seragamnya guna membersihkan wajah tampannya. Sehingga mau tak mau, abs lelaki itu terlihat jelas. Begitu menggoda.
"Keluarlah! Aku tahu kau ada di sekitar sini, Fukuda! Aku bisa merasakan hawa keberadaanmu. Ternyata lumayan kuat juga," oceh Aomine seraya mempertahankan posisinya seperti itu. Insting hewannya sangat meyakinkannya.
Setelah menetralkan detak jantung, Fukuda pun perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Di tangannya tergenggam ranting kering berukuran sedang. Guna berjaga-jaga tentunya.
"Tebakanku lagi-lagi benar," ucap Aomine dengan menyeringai.
"Kapan tebakanmu sebelumnya benar?" tanya Fukuda balik.
"Tentang Kugori sebagai pengirimmu itu."
"Kau salah, Ahomine!" Terpaksa, Fukuda pun berbohong.
"Eeh? Salah ya?"
Fukuda menepuk jidatnya begitu melihat kebohongannya pada Aomine ternyata berefek. Sekarang, lelaki itu tampak kebingungan memikirkannya.
Dan Aomine pun segera menghentikan aksi gilanya setelah melihat Fukuda yang menggenggam ranting. Fokusnya sebagai seorang lelaki pun menyeringai.
"Ada apa dengan ranting itu? Apakah kau takut jika aku menyerangmu, hm?" Aomine pun mendekati Fukuda yang sudah memasang kuda-kuda. Kentara sekali perempuan itu yang sudah bersiaga.
Tangan Aomine pun dengan cepat merengsek ke depan guna merebut kayu itu. Namun Fukuda mampu berkelit dengan mudah. Segera ia memukulkan kayu itu tepat di pergelangan si Makhluk Tan.
"Tch!"
Fukuda sedikit kaget melihat perubahan Aomine setelah mendecih seperti itu. Aura panther pun mulai menguar. Menaikkan hormon adrenalin gadis itu.
Trakk.
Ranting itu pun patah menjadi dua bagian begitu Fukuda menggunakannya sebagai tameng. Keduanya terdiam setelah tangan Aomine terhenti tepat di wajah lawannya.
"Menyerah saja, Fukuda. Kau tak bisa lari dariku!"
Setelah membuang ranting tersebut, Aomine segera menjadikan batangan pinus yang lumayan besar itu sebagai alas untuk memojokkan Fukuda. Dan tentunya ia senang melihat Fukuda yang sedikit gemetaran.
Fukuda yang dalam posisi di-kabedon pun hanya bisa berharap dalam hati. Semoga lelaki itu tidak bermacam-macam dengannya.
Tring!
Sebuah lampu imajiner pun muncul di kepala gadis yang sejatinya kouhai dari Aomine itu.
"Nee, Aomine-kun..."
Aomine melotot begitu melihat perubahan pada Fukuda. Gadis itu menatapnya tajam. Sebelum akhirnya dadanya pun tersentuh oleh jemari gadis itu.
"Tadi aku lihat kau yang mengelap keringatmu lho. Ternyata, milikmu juga besar-besar ya. Lebih enak daripada milik perenang itu," ucap Fukuda seraya menyeringai kecil.
Alhasil, Aomine pun gugup seketika. Tangannya semakin gemetar ketika gadis itu maju dan semakin mendekatkan diri mereka. Apa yang terjadi?! Pikirnya kalut.
Bugh!
Alih-alih menemukan jawaban, yang ada Aomine malah tersungkur setelah Fukuda mendorongnya keras. Walau sedikit, namun ia dapat melihat wajah Fukuda yang serius.
"Ternyata, julukan sama dengan perilaku ya? By the way, jangan berani untuk melakukan hal seperti itu lagi, Aomine-kun. Kau sendiri tadi mendengar dari Momoi-san. Bahwa Akashi-kun sudah diserang oleh murid baru di kelasnya kan?"
Aomine melotot. Darimana gadis ini tahu?! Pikirnya.
"Dari itu bisa kita simpulkan. Akashi-kun yang lebih darimu saja bisa terperangkap. Apalagi kalau hanya kau yang seorang Aomine Daiki?" ucap Fukuda sarkastik.
Aomine menggeram. Sebegitu lemah kah dirinya di mata gadis ini? Sungguh. Ia tidak terima hal itu walau buktinya konkrit.
"Dan juga, masalah darimana aku tahu itu bukan urusanmu. Selama kau dan kawan-kawanmu masih dalam jangkauan kami, kalian harus waspada."
"Tch! Bicaramu terlalu besar, Fukuda! Kau kira kami tidak mengetahui rencana kalian itu, heh? Data-data tentang kalian sudah kami ketahui semua, Fukudaho!"
"Terserah kau mau bilang apa. Jujur saja, kami memang sudah menduga kalau rencana ini akan sedikit gagal. Jadi, kau juga jangan sombong hanya karena dirimu mengetahui hal itu juga, Ahomine!"
Segera Fukuda memutar langkah. Lalu kembali berlari. Meninggalkan Aomine yang terpaku mendengar ucapannya yang penuh amarah itu.
Tch. Mengapa menjadi begini? Seharusnya aku setuju dengan Yuka-san dan Orushu. Sebaiknya rencana ini kembali didiskusikan dulu kembali. Bukannya malah menyuruh kami kembali dalam rentang waktu yang masih lama!
Batin Fukuda membising kala pesan dari Aruka yang menyuruh mereka untuk kembali ke Osaka itu membayanginya. Ayolah. Itu masih jauh lagi. Sedangkan ini saja sudah darurat.
Ngomong-ngomong, adegan yang tadi itu indah juga ya? Kali ini, pikirannya memutar saat Aomine meng-kabedon-nya itu. Dan itu cukup untuk membuat hidungnya terasa panas.
"Ah, shimatta!" rutuk Fukuda. Namun jujur saja, wajahnya tidak bisa diajak kompromi untuk tidak tersenyum lembut.
Sementara itu...
Aomine menelentangkan dirinya di atas rerumputan. Pikirannya masih terpaku pada kejadian seharian ini.
"Hm, nan desu ka?" bisiknya. Tanpa disadari, tangannya sudah memegang dada yang terus berdetak kencang itu.
.
.
.
Ketika cahaya dan kegelapan bersatu, itu laiknya harmonisasi nada yang menggebu. Lihatlah. Karena mereka, kini Siang dan Malam harus menyusun ulang rencana mereka.
Aneh? Mungkin memang terdengar seperti itu. Namun jangan salahkan mereka. Salahkan sistematika alam yang sudah mulai kadaluwarsa untuk masanya.
.
.
.
Akhirnya, jadi juga chapter ini. //narik napas lega.
Btw, Gomen nasai karena Author tidak bisa membuat jadwal yang baik untuk up cerita ini. Setelah kemarin hibernasi nyaris dua bulan, sekarang rasanya mau mikir dua kali dulu kalau mau nulis. Alhasil, seluruh drafts menjadi terbengkalai.
Jadi, bagaimana menurut kalian chapter kali ini? Menurun kah? Jika iya, maafkan Author. Author benar-benar kehilangan "kemampuan" gara-gara hibernasi terlalu lama. Jadi, maklumi jika chapter kali ini benar-benar kurang.
Akhir kata, semoga kalian tidak bosan dengan jalan ceritanya yang absurd nan lambat ini. Ngomong-ngomong, ternyata makin lama makin dekat ya? Pair habis ini, pair dari Fukuda Shogo alias Haizaki x Akemi. //walau kata OC-nya mereka incest sih :v
Jaa! Mata ashita, Minna-san!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top