06. Fire's Snow

DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI

(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)

Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah 'permainan'. Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.

.

.

.

Dingin menyergap kala salju memainkan alunan musiknya. Membuat semua menjadi lebih putih daripada berwarna. Terjebak pada keindahan yang menjadi candu jiwa.

Tak terkecuali api. Ia yang berusaha membesarkan diri guna menghangati, kini harus tertekuk di bawah belaian yang dihayati. Tanpa sadar jika salju pun perlahan melunak dalam pijarnya yang mewangi.

Jadi, api yang mengabu atau salju yang mengair?

.

.

Kyoto. SMA Rakuzan.

Tuts-tuts piano bermain merdu. Menghasilkan suara yang lincah di telinga. Jemari lentik itu berkuasa. Terus saja memerintahkan nada untuk merangkaikan diri menjadi sesuatu yang pantas untuk didengar.

Empat puluh wajah memandang kagum pada sang Pianis. Tubuhnya tertegak anggun. Sesekali bergerak indah guna mengimbangi kelincahan jemarinya. Sekali lagi, ia mampu menyihir suasana terfokus pada dirinya.

Dan sepertinya mata heterochrome itu turut dalam alunannya. Tak pernah mata dwiwarna itu berpaling. Walau hanya sekadar membasahi diri dengan menutup mata.

Namun, sesuatu di balik surai darah itu bekerja keras. Berusaha mencari sebab akibat dari sesuatu lampau yng tersimpan rapi di folder otaknya. Terlebih kala kedua pualamnya menangkap kepala berambut hitam itu menoleh. Mengabaikan tuts untuk menyunggingkan setipis seringai padanya. Anggun, namun menantang.

"Seijuurou, kurasa keabsolutanmu akhirnya menemukan pagar." Seizouru memindahkan earl grey tea dari cangkir menuju tenggorokannya. Para pelangi itu terdiam. Masih belum menerima kenyataan akan Seizouru yang mengetahui semuanya.

"Ketahuilah tempatmu, Shiiya-basama! Aku mutlak!" geram Akashi. Tentu saja dirinya tak menerima tuduhan tak berakal dari bibinya itu.

"Aku sadar akan posisiku. Kau juga memang mutlak. Tapi, itu hanya akan menunggu waktu untuk musnah. Dan kau tentu sudah merasakan bagaimana rasanya dimusnahkan, bukan?" ucapnya dengan senyum manis. Akashi mendecih pelan. Ingatan ketika kalah dari SMA Seirin di final Winter Cup tahun lalu menguatkan tuduhan Seizouru.

Yang lain hanya terdiam. Menyadari bahwa mereka saat ini hanyalah penonton. Memang berhak berkomentar. Namun, bukankah lebih baik bercuap-cuap di akhir daripada mengganggu jalan cerita?

"Arisa itu bukanlah seperti gadis yang biasa menatapmu penuh kekaguman, Seijuurou. Dia terlalu indah. Bahkan untukmu. Kau tahu? Bila diibaratkan, kau adalah api. Benar-benar ditakutkan bila membesar. Kekuasaanmu penuh di kehidupan."

Akashi terdiam mendengar perbandingan itu. Apa maksudnya?

"Namun sayangnya dia adalah salju. Di mana kau tak akan berdaya bila ia membadai melewatimu."

Gemuruh tepuk tangan membuyarkan ingatan yang berumur seminggu lalu itu. Dilihatnya Yuuki yang membungkuk hormat pada guru beserta teman-teman yang lain. Seolah ia baru saja menyelesaikan sebuah mahakonser.

"Akashi-kun, giliranmu," ucap wanita bersanggul yang duduk dengan memegang sebuah papan kecil. Akashi mengangguk. Kemudian bangkit dengan gagah.

Iris deep crimson-nya melirik tepat ke arah iris gelap Yuuki ketika mereka bersisian. Sayangnya tak berbalas. Karena Yuuki tak perlu melakukan itu, bukan?

Lagi, suara nyanyian piano terdengar. Menghentakkan nada dalam suasana merah yang membara. Ya. Kali ini Akashi membuktikan bahwa ia adalah api dalam permainannya.

Di belakang, Yuuki tersenyum kecil melihat bagaimana sang target yang begitu bersemangat dalam menguraikan setiap tuts di bawah jemarinya. Membuat seisi ruangan kembali terpana untuk yang kedua kalinya. Selaiknya mereka menyaksikan sebuah pertandingan yang memang tersirat dalam nada itu.

"Akashi Seijuurou. Sagittarius yang bertahta pada tanggal 20 Desember. Si Merah yang merajakan diri dalam permainan Shogi juga basket..." Yuuki merapalkan data Akashi dalam gumamannya. Memastikan bahwa gumaman itu tak akan sampai tersangkut di telinga teman-teman yang lain.

Selang beberapa saat kemudian, ruangan mengheningkan diri kala jemari Akashi terangkat di udara. Menandakan urusannya dengan piano tersebut telah usai. Dan suara yang bergemuruh pun kembali menghiasi ruangan itu.

Akashi kembali ke tempat duduknya. Tepat di depan Yuuki. Membuatnya memasang alarm siaga satu.

"Hei, bukankah itu tadi permainan yang penuh semangat? Kau seperti api yang akan membakar ruangan ini." Bisikan sarat akan pujian itu membuat Akashi terdiam. Tapi kemudian ia pun mengangguk kecil.

"Kau pun demikian bukan? Salju yang turun dengan indah tercermin dari lekuk musikmu." Akashi membalasnya dengan sangat tenang sekali. Namun Yuuki tahu kalau detak jantung Akashi masih sedikit lebih cepat dari biasanya.

Yuuki terdiam sebentar. Kemudian ia pun tersenyum sangat manis kepada Akashi. Senyum meremehkan.

Tch! Kali ini Aru-jisama salah memprediksi. Target sudah mengetahui rencana kita! Diam-diam Yuuki pun mengetikkan pesan di layar jam tangannya yang terlihat mewah. Kemudian segera mengirimnya ke semua kontak di sana. Minus nickname Mr. Storm tentunya.

*****

Jam pelajaran olahraga kali ini semakin membuat Akashi yakin. Kalau Yuuki memang bukan siswi sembarang. Juga datang dengan niat tertentu.

Bagaimana tidak? Olahraga kali ini ialah lari halang rintang dua kali putaran. Dan Yuuki –dengan elegannya– mampu menyelesaikan itu semua dengan waktu tercepat di antara semuanya. Dengannya pun hanya berbeda nol koma sekian yang dianggap oleh guru adalah sama.

Namun bukan itu yang menjadi fokus utama Akashi. Ia hanya menatap heran pada pergelangan tangan gadis itu yang masih terhiasi oleh jam tangan berwarna keemasan. Apakah ia tidak kesusahan dengan benda tersebut? Namun, begitu melihat reaksi Yuuki yang menolak ketika diminta untuk melepaskannya, Akashi memiliki firasat lain.

Semua murid perempuan pun mengerubungi Yuuki dengan wajah-wajah penuh penasaran. Heran dengan kecepatan serta kelincahan yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang gadis.

"Yuuki-sama! Kau sungguh hebat tadi. Kau melompat dan meliuk bak penari ternama. Cepat namun elegan!" ucap seseorang di antara mereka.

"Ah, itu hanya sesuatu yang jarang. Kebetulan saja aku bisa melakukannya tadi," jawab Yuuki dengan senyum manisnya. Mencoba merendahkan hati. Tak mungkin kan ia bilang kalau itu adalah kecepatan terlemahnya?

"Kau sama cepatnya dengan Akashi-sama! Sensei sampai terheran-heran dengan kalian berdua lho!"

"Permainan pianomu yang kemarin itu juga sangat mengharukan, Yuuki-sama. Aku sampai menangis mendengarnya. Aku seperti melihat Bethoven main di depanku!" lagi, Yuuki dibuat terperangah dengan reaksi teman-temannya yang di luar imajinasi. Terlebih dengan panggilan yang ng ... seperti tuan putri itu?

"Ingat kemarin ketika kita ulangan Fisika? Kau dan Akashi-sama mendapatkan nilai paling sempurna di semua kelas 2. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini."

"Beberapa tahun terakhir ini?" Yuuki cengo. Tak mungkin kan jika hanya mendapatkan nilai Fisika tapi sampai sebegitunya?

Gadis yang tadi memberikan informasi mengangguk. Kemudian dengan cepat berkata, "itu semua karena Rai-sensei terkenal dalam kesulitan ulangannya. Bahkan rumor yang kudengar, kau dan Akashi-sama adalah yang pertama kali bisa mendapatkan nilai sesempurna itu semenjak Rai-sensei menjadi guru di sini. Dan itu berarti nyaris enam tahun!"

"Kyaa!! Yuuki-sama dan Akashi-sama adalah pasangan yang cocok! Kalian sama-sama sempurna di semua bidang!!"

"Aku setuju dengan hal itu!"

"Kenapa kalian tidak jadian saja?"

"Kami akan setuju jika kau adalah pasangan Akashi-sama!"

Berbagai teriakan absurd membuat Yuuki tak nyaman dengan keadaan sekitarnya. Dengan sopan, ia pun menerobos lautan manusia yang mengurungnya. Siapa sangka jika dirinya akan seperti ini di sekolah barunya itu?

Dan tepat ketika ia keluar, ia mendapati sepasang mata yang menatapnya dengan penuh curiga. Segera ia pun mengubah cara pandangnya. Benar-benar singa.

"Sepertinya ada yang mendadak tenar di sini," ucap Akashi. Nadanya yang terkesan tajam dan menyindir itu membuat Yuuki turut mengukir smirk tak kalah panas dari si Raja Gunting.

"Memangnya kenapa? Apa kau takut aku mengalahkan kepopuleranmu? Tenang saja. Toh kau pernah kalah juga kan, Raja Absolut?" Yuuki pun segera melenggang santai. Tak memedulikan Akashi yang sudah bersiap dengan gunting di genggamannya. Yuuki bisa merasakannya dan segera berbalik. Menatap balik heterochrome itu.

Lihat saja nanti. Aku akan membalasmu! Pasti! Keduanya pun kembali mengirim pesan rahasia di balik tatapan menantang itu.

*****

Pulang sekolah hari ini mungkin merupakan sesuatu yang buruk bagi Yuuki. Dan itu semua karena berkali-kali jam tangannya mengerjap-ngerjap. Mengganggu konsentrasinya ketika belajar. Dan terpaksa ia pun pergi ke atap sekolah untuk memeriksa semua apa yang masuk.

Spring. 08:15.

Apa maksudmu, Snow?!

Fire. 08:28.

Sudah kuduga rencana ini tak akan berjalan mulus

Night. 08:21.

Benarkah? Bolehkah kita menjadikan ini alasan agar berhenti dari tugas ini?

Rain. 08:22.

Tch! Bilang saja pada Aru-jisama. Aku sudah bosan di Amerika sini.

Auntumn. 09:00.

Kita percaya saja pada Aru-jisama. Dia mungkin ada kesalahan sedikit ketika memeriksa tugas ini.

Summer. 09:01.

Argh! Jika benar, sia-sia aku selalu adu tojos dengan si Sialan itu di sini!

Winter. 09:06.

Huft! Baiklah. Aku juga sudah lelah bersama Predator Snack ini.

Wind. 09:08.

Aku setuju dengan Auntumn. Lebih baik laporkan pada Aru-jisama.

Day. 09:13.

Boleh aku tidur sekarang?

Rain. 10:00.

Btw, kalian belum mengumpulkan data-data target padaku!

Lima panggilan dan sepuluh pesan. Sial! Batin Yuuki kala melihat inbox yang ada di jamnya. Segera ia membalas semua pesan yang bernada kekhawatiran itu.

"Aku kira, tak ada orang di sini ..."

Yuuki segera menengok ke arah pintu yang perlahan menjelmakan sesosok orang. Dan Yuuki pun memilih untuk mendecih pelan begitu melihat siapa yang datang.

"Ada apa Tuan Absolut ke sini?" tanya Yuuki dengan nada dinginnya. Dan Akashi hanya tersenyum kecil melihat hal itu.

"Orang yang selalu melihat jamnya ketika pelajaran mungkin bisa dimengerti. Bisa jadi ia sudah bosan dengan materi atau malah ingin segera meloloskan diri."

Yuuki terdiam mendengar itu. Tanpa bertanya pun, ia sudah tahu jika yang dimaksud itu adalah dirinya.

"Namun, ketika jam olahraga dan bahkan di atap sekolah ia masih peduli dengan jam tangannya, bukannya itu patut dipertanyakan?"

Akashi perlahan mendekatkan dirinya pada Yuuki yang gugup akan itu. Ingat jika ia dulunya bersekolah di SMA Yobushina? Jadi, pengalaman dengan lelaki pun menjadi sedikit menegangkan.

"Beritahu aku. Siapa yang mengirimmu ke sini? Juga mengirim teman-temanmu kepada teman-temanku juga?" tanyanya tajam. Yuuki memejamkan mata sebentar. Sebelum akhirnya menjawab dengan tegas.

"Itu bukan urusanmu, Akashi-kun. Masalah aku hendak dikirim kemana atau oleh siapa itu adalah privasiku. Jangan rendahkan dirimu hanya karena ingin mengacak-ngacak ketenangan orang!"

Akashi tersenyum miring melihat reaksi Yuuki yang terbilang berani. Pertama kalinya ada teman sekelasnya yang berani untuk 'menceramahi' dirinya seperti itu. Dan itu adalah sebuah tantangan tersendiri bagi Si Surai Merah.

"Jawab saja. Atau aku harus melakukan kekerasan padamu?" Akashi semakin mendekatkan dirinya. Dan sialnya, Yuuki sedikit tidak bisa mengontrol detak jantungnya.

"Kau memang gadis yang menarik rupanya, Arisa."

Kabedon.

"Kau tak berhak memanggil nama kecilku, Akashi." Ucapan Yuuki bersambut dengan tamparannya yang telak mengenai pipi Akashi. Membuat lelaki itu bungkam seketika.

"Permisi!" Yuuki segera melepaskan tangan Akashi dari sisi tubuhnya. Walau untuk itu, ia sedikit merasakan pergelangan tangannya sedikit perih.

"Snow. The nice name."

Yuuki yang baru saja akan menapaki tangga hendak turun langsung membeku. Darimana lelaki itu tahu nickname-nya itu?!

"Kuyakin kau tak akan pulang tanpa ini kan?"

Yuuki berbalik dan mendapati jam tangannya yang entah bagaimana malah tergantung santai di genggaman lelaki itu. Dan Akashi pun mengukir senyum licik.

"Tch! Merepotkan saja!" jujur saja. Akashi sedikit terkejut melihat reaksi Yuuki yang terlihat tenang. Padahal benda berharga itu ada di tangannya.

Dengan sigap, Yuuki segera maju untuk mengambil alih benda berkilauan itu. Dan dengan lincah pula Akashi mengimbanginya. Menghindari terkaman Yuuki yang menyentuh angin.

Entah mengapa, Akashi pun melemparkan jam tangan itu ke samping hingga tersangkut di pagar pembatas. Nyaris jatuh.

Yuuki melirik Akashi yang hanya mengangguk. Dengan membuang napas, gadis itu kemudian berjalan perlahan menuju jam tangannya. Takut jika ternyata itu adalah akal licik Akashi.

Tangannya pun berhasil memegang benda itu ketika Akashi –mungkin masuk zone– dengan cepat menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan segera mengempaskannya ke lantai.

"Terlalu mudah untuk dijebak." Akashi menumpu tubuhnya dengan kedua tangan. Sekaligus mengunci pergerakan Yuuki di bawahnya.

Yuuki hanya menatap tenang kepada si Singa Merah. Walau sebenarnya ia deg-degan parah dengan posisi mereka saat ini.

"Jadi, katakan. Siapa yang mengirimmu ke sini? Atau aku harus membuatmu "hilang akal" dulu baru mau mengakuinya?" tanya Akashi dengan seduktif. Mukanya pun mendekat. Mempersempit jarak antara wajah mereka.

"Coba saja jika kau bisa, Akashi-kun!" bisik Yuuki dengan seduktif pula. Mendengar itu, Akashi menyeringai. Benar-benar dibuat tercengang oleh sikap tenang Yuuki.

Nyaris saja mereka kan saling mengulum jika saja kaki Yuuki yang bebas tak segera menendang atasnya. Tepat di 'milik' Akashi.

Keadaan terbalik. Yuuki pun duduk di atas Akashi yang merintih kecil karena sebagian dirinya terasa hancur. Melihat itu, Yuuki terkekeh kecil.

"Kau lupa kalau kau berhadapan dengan siapa, Akashi-kun. Kami sudah terbiasa melakukan misi seperti ini. Dan juga ..."

Yuuki mendekatkan mukanya ke telinga Akashi. Berbisik kecil namun mematikan. "... membunuh kau dan teman-temanmu pun adalah pekerjaan yang mudah bagi kami."

Heterochrome Akashi melebar. Terlebih ketika Yuuki tersenyum manis, menepuk pipinya sebentar, dan langsung bangkit dengan langkah anggun.

Pintu berdebam. Menghilangkan jejak Yuuki di baliknya. Dengan tertatih, Akashi bangkit lalu terduduk pelan. Sekali lagi, ia merasakan sebuah kekalahan. Namun entah mengapa kekalahan kali ini terasa menyenangkan.

"Ah sial! Siapa sebenarnya Arisa itu?!" ujar Akashi pada dirinya sendiri. Tangannya perlahan memegang dadanya yang sedikit sakit. Bagaimana tidak sakit jika sesuatu di sana menghentak dengan cepat? Hentakan yang tak biasa ia rasakan.

*****

Yuuki dengan cepat-cepat meninggalkan sekolah. Bayangan kejadian di rooftop benar-benar membuatnya merinding. Itu adalah akting terbaik yang pernah ia berikan selama berhubungan dengan lelaki.

Lagi, senyuman –tepatnya seringai– dan tatapan menghunus khas Akashi kembali menghiasi pandangannya. Dengan kesal, Yuuki memegang kepalanya dengan sedikit erat. Mengapa semuanya menjadi seperti ini?!

Jam tangannya mengerjap. Menandakan ada sesuatu yang masuk. Sebuah pesan yang langsung dibuka dengan cepat oleh Yuuki.

Mr. Storm. 16:15.

Kembali ke Osaka pada tanggal 31 Maret. Ada perubahan rencana.

"Huh ... semoga ini yang terakhir kalinya aku berhubungan dengan si Bakashit itu." Yuuki lagi-lagi menggelengkan kepalanya ketika kejadian di rooftop, terutama ketika mereka terlalu dekat itu kembali terngiang di benaknya.

"Argh! Kuso!" umpat Yuuki sedikit kasar. Tak menyadari bahwa ada yang memerhatikannya dari atas sana. Dan sebuah senyuman tipis pun menyipitkan mata dwiwarna itu.

.

.

.

Skip kejadian tadi. Lupakan bahwa harus ada yang berubah untuk ini. Karena itu tak perlu lagi. Untuk apa memikirkannya jika hasilnya pun sama-sama tak terbagi?

Lagi, sebuah masa akan mendekati akhir. Meminta waktu untuk bereinkarnasi kembali menjadi awal dengan sihir. Terdengar kikir. Namun, siapa yang kan menolak jika yang meminta adalah dua insan yang telah terjebak pada ego yang diukir?

.

.

.

Akhirnya .... Up juga *sujud syukur*

Hwaa... Gomen nasai jika chapter ini kurang lagi seperti yang kemarin. Auhtor buatnya menjelang masa hibernasi sih. :'(

Gomen nasai jika OC merasa ternistakan di sini :v . Jujur saja. Author lumayan menikmati pembuatan chapter ini karena sesuatu dan lain hal. Semula, chapter ini akan ditambahkan beberapa 'bumbu'. Tapi gak jadi karena Author sudah kelewat mager.

Oh ya ... Mengenai masa hibernasi, sepertinya Author sudah memulai tahap pertama. Dimana Author akan berubah menjadi semi Reader. Tetap membuat tapi gak akan dipost//penuh asupan semua otp//. Itu pun kalau beneran bisa buat :v . 

Juga, mungkin ke depannya Author akan sedikit lama dalam meng-update. Selain masalah hibernasi, juga dikarenakan minggu depan sekolah sudah dimulai. Siap-siap bertemu dengan para mapel yang bikin mager. :v

So... See you next chapter! Hope you like it!

.

.

Sstt... Chapter selanjutnya 'hati-hati' ya. Pairnya nyeleweng sih :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top